• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSIDING SEMINAR HASIL LITBANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROSIDING SEMINAR HASIL LITBANG"

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)

Peran IPTEK Hasil Hutan Bukan Kayu

untuk Kesejahteraan Mayarakat

Nusa Tenggara Timur

PROSIDING

SEMINAR HASIL LITBANG

Kupang, 16 Oktober 2012

Balai Penelitian Kehutanan Kupang

Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi

2014

PROSIDING

SEMINAR HASIL LITBANG

(2)

Peran IPTEK Hasil Hutan Bukan Kayu

untuk Kesejahteraan Mayarakat

Nusa Tenggara Timur

PROSIDING

SEMINAR HASIL LITBANG

Kupang, 16 Oktober 2012

Balai Penelitian Kehutanan Kupang

Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi

(3)

ii

PENYUNTING

Penanggung Jawab : Kepala Pusat Litbang Konservasi dan

Rehabilitasi

Penyunting : Prof. Rst. Dr.Ir. Pratiwi M.Sc

Dr. Ika Heriansyah, S.Hut.,M.Agr Dr. Ir. Hendra Gunawan, M.Si

Dr. I Wayan Susi Dharmawan, S.Hut.,M.Si Ir. Ragil Setio Budi Irianto, M.Sc

Drs. Kuntadi, M.Agr Sekretariat Redaksi

Ketua Merangkap Anggota : Ir. Harisetijono, M.Sc

Anggota : Lukman Hakim, S.Hut.,MP

(4)

KATA PENGANTAR

Prosiding ini merupakan kumpulan hasil IPTEK dalam seminar yang diselenggarakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Kupang (BPK Kupang) pada tanggal 16 Oktober 2012 merupakan salah satu pertanggungjawaban kepada publik atas dana yang digunakan. Seminar ini juga merupakan upaya penyebarluasan informasi atas hasil IPTEK yang dilakukan. Thema seminar adalah "Peran IPTEK Hasil Hutan Bukan Kayu untuk Kesejahteraan Masyarakat Nusa Tenggara Timur." Diharapkan hasil-hasil IPTEK BPK Kupang dapat menjadi bahan pertimbangan para pihak dalam melaksanakan pembangunan kehutanan di wilayah semi arid untuk peningkatan pendapatan masyarakat.

Akhirnya saya sampaikan apresiasi yang besar kepada panitia penyelenggara di BPK Kupang atas upaya yang konstruktif dalam penyebarluasan IPTEK yang dihasilkan. Semoga prosiding ini bermanfaat.

Bogor, November 2014

Kepala Pusat

Ir. H. Adi Susmianto, M.Sc. NIP. 19571221 198203 1 002

iii 

(5)

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI iv

LAPORAN KETUA PANITIA vi

RUMUSAN viii

MAKALAH

1. UPAYA KONSERVASI DAN PELESTARIAN CENDANA:

SEBUAH KAJIAN 1 Sumardi , Hery Kurniawan, Misto

2. ANALISIS FINANSIAL PENGEMBANGAN USAHA PERSEMAIAN CENDANA DI PULAU TIMOR

S. Agung Sri Raharjo, Eko Pujiono, Retno Setyowati, Bernadus Ndolu 13 3. KERAGAMAN SPESIES AVIFAUNA HUTAN PENELITIAN OILSONBAI

- KUPANG, NTT

Oki Hidayat 23 4. PELUANG PENANGKARAN KURA-KURA LEHER ULAR ROTE (Chelodina

mccordi,Rhodin 1994) SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER PENDAPATAN

Kayat dan Grace S. Saragih 31 5. EFEKTIFITAS PESTISIDA NABATI DAN HAYATI UNTUK PENGENDALIAN

HAMA KUTU SISIK (Chionaspis sp.) PADA TANAMAN CENDANA (Santalum album linn)

Rina Yuana Puspiyatun dan Heny Rianawati 43 6. PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI BEBERAPA TIPE HUTAN DI

PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Dhany Yuniati, Hery Kurniawan, Eko Pujiono, Felipus Banani 53 7. HUTAN TANAMAN CENDANA DI OMTEL DAN AMAKLAT KABUPATEN

ALOR NUSA TENGGARA TIMUR

M. Hidayatullah 67 8. ANALISIS SPASIAL DEFORESTASI : STUDI CAGAR ALAM GUNUNG

MUTIS

Eko Pujiono 81 9. POLA KEMITRAAN DALAM REHABILITASI MANGROVE : STUDI KASUS

DI KECAMATAN BOLENG – KABUPATEN MANGGARAI BARAT

(6)

v

10. POTENSI DAN NILAI EKONOMI EKOWISATA TAMAN NASIONAL LAIWANGGI WANGGAMETI DAN UPAYA PENINGKATANNYA

Rahman Kurniadi 105

11. PEMANFAATAN KOTORAN SAPI DAN PENANAMAN TANAMAN

CASUARINA PADA LAHAN KERING DI HAMBALA SUMBA TIMUR

Ida Rachmawati 115 12. PERTUMBUHAN DAN GANGGUAN KESEHATAN TANAMAN CENDANA

(Santalum album Linn) DI KHDTK SISIMENI SANAM

Irfa’i 125

13. TEKNIK PENURUNAN KADAR AIR MADU DALAM RUANGAN MENGGUNAKAN DEHUMIDIFIER

Saptadi Darmawan, Retno Agustarini, Nurul Wahyuni 137

LAMPIRAN

Jadwal Acara Daftar Peserta

(7)

LAPORAN KETUA PANITIA SEMINAR HASIL PENELITIAN

“ PERAN IPTEK HASIL HUTAN BUKAN KAYU UNTUK KESEJAHTERAAN MASYARAKAT NUSA TENGGARA TIMUR”

KUPANG, 16 OKTOBER 2012

Yang terhormat Bapak Kepala Badan Litbang yang diwakili Kepala Pusat Penelitian Keteknikan Kehutanan dan Pengelolaan Hasil Hutan ;

Yang terhormat para Kepala UPT Lingkup Kementerian Kehutanan di Kupang Yang terhormat Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTT

Yang terhormat Para Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten dan Kota Se-NTT. Yang terhormat para pemakalah Penelitian, dan para undangan yang telah hadir.

Assalamu’alaikum warrahmatullaahi wabarakaatuh, Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua,

Puji Syukur kita panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberi hikmat dan karunia kepada kita semua sehingga dapat berkumpul di tempat ini untuk mengikuti dan berdiskusi dalam kegiatan seminar hasil penelitian.

Kami juga mengucapkan terimakasih kepada bapak/ibu sekalian yang telah hadir dan meluangkan waktunya untuk memenuhi undangan kami baik sebagai narasumber maupun peserta seminar hasil penelitian.

Dasar pelaksanaan Seminar Hasil Penelitian ini adalah :

Surat Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (SP-DIPA) TA. 2012 Nomor 0380/029-07.2.01/22/2012 tanggal 9 Desember 2011.

Thema yang akan diskusikan adalah : “Peran IPTEK Hasil Hutan Bukan Kayu Untuk Kesejahteraan Masyarakat Nusa Tenggara Timur” . Seperti kita ketahui bersama bahwa Negara kita memiliki potensi hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang sangat besar oleh karenanya Balai Penelitian Kehutanan Kupang sebagai institusi penelitian telah melakukan dan menghasilkan berbagai hasil penelitian HHBK yang dapat dimanfaatkan oleh pengguna.

(8)

Para hadirin yang terhormat,

Tujuan diadakannya kegiatan seminar ini adalah untuk memasyarakatkan hasil – hasil penelitian HHBK yang telah dilaksanakan oleh Balai Penelitian Kehutanan Kupang untuk menunjang kesejahteraan masyarakat Nusa Tenggara Timur.

Terkait dengan pemanfaatan HHBK, peserta yang diundang berasal dari UPT Kementerian Kehutanan di Kupang, Pengelola Ekosistem Hutan, Penyuluh, Peneliti, Akademisi, Dinas Kehutanan Propinsi NTT, Dinas Kehutanan Kabupaten- Kota se –NTT.

Materi yang akan di sampaikan meliputi : Kebijakan Pengelolaan HHBK di Propinsi NTT, Kelembagaan Pengelolaan HHBK di NTT, Strategi Pelestarian dan Upaya Konservasi Cendana, Analisis Finansial Berbagai Persemaian Cendana di Pulau Timor, Keragaman Spesies Avifauna Hutan Penelitian di Oelsonbai, Karakteristik Habitat, Efektifitas Pestisida Alami Untuk Pengendalian Hama Kutu Sisik Pada Tanaman Cendana di Ponaian Kab. Kupang, Pendugaan Simpanan Karbon di Beberapa Tipe Hutan di Propinsi NTT.

Para hadirin yang terhormat,

Demikianlah yang dapat kami laporkan terkait dengan penyelenggaraan Seminar Hasil Penelitian. Kurang dan lebihnya mohon maaf.

Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.

(9)

viii

RUMUSAN

Seminar Hasil Litbang Balai Penelitian Kehutanan Kupang “Peran Iptek Hasil Hutan Bukan Kayu untuk Kesejahteraan

Masyarakat Nusa Tenggara Timur” Kupang, 16 Oktober 2012

Memperhatikan sambutan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Timur, arahan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (PUSTEKOLAH), pemaparan pemateri dan diskusi yang berkembang dalam seminar ini, maka forum sepakat untuk membuat rumusan sebagai berikut:

1. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) memiliki peran yang penting bagi sektor kehutanan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. HHBK unggulan NTT antara lain adalah kutu lak (Laccifer lacca), lebah madu (Apis sp), ulat sutera (Bombyx mori), kemiri (Aleurites moluccana), asam (Tamarindus indica), cendana (Satalum album), gaharu (Aquilaria sp) dan bambu (Bamboosa sp). Permasalahan yang dihadapi dalam pemanfaatan HHBK adalah permasalahan pemasaran. Diperlukan penelitian berkaitan dengan permasalahan tersebut dan penelitian beberapa jenis HHBK potensial (Kemiri, Lontar)

2. Upaya pelestarian dan konservasi cendana mendesak untuk dilaksanakan oleh seluruh stakeholder, mengingat resiko kepunahan cendana semakin tinggi. Strategi pelestarian cendana antara lain adalah penggunaan benih berkualitas, pemilihan target lahan potensial, pengembangan cendana di lahan masyarakat dan pemberian insentif pengembangan cendana. Sedangkan strategi konservasi dapat dilakukan dengan konservasi tegakan tersisa, pengumpulan materi genetik dan pembuatan plot konservasi sumberdaya genetik.

3. Untuk lebih mendorong peran serta masyarakat dalam pengelolaan cendana diperlukan pemberian insentif. Bentuk insentif dapat berupa pelatihan, bantuan bibit dan biaya pemeliharaan, maupun pemberian penghargaan bagi masyarakat. Yang tidak kalah penting adalah perbaikan peraturan daerah tentang cendana serta peningkatan komitmen seluruh stakeholder cendana dalam pelaksanaan Masterplan Cendana.

4. Penyediaan bibit dalam jumlah dan kualitas yang baik sangat penting dalam upaya pengembangan cendana di NTT. Pembibitan cendana baik dalam skala kecil maupun besar mampu memberikan keuntungan finansial bagi para pengembangnya. Pemerintah perlu terus mendorong upaya pembibitan oleh swasta ataupun masyarakat dan menjamin ketersediaan pasar bibit cendana melalui kebijakan pengembangan cendana.

5. Di sekitar Hutan Penelitian Oeilsonbai dijumpai beragam jenis avifauna (33 spesies dari 20 famili). Akses jalan yang mudah dan dekat dengan Kota Kupang menjadikan lokasi tersebut sangat potensial untuk dikembangkan sebagai tujuan wisata bird watching.

6. Nusa Tenggara Timur memiliki potensi sumberdaya alam khususnya fauna yang cukup potensial untuk dikembangkan sebagai pendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Salah satu spesies yang memiliki potensi yang cukup besar dan belum banyak dikembangkan di NTT adalah Kura kura leher ular (Chelodina mccordi). Penangkaran Kura kura asli Pulau Rote ini dapat dilakukan oleh masyarakat maupun swasta. Perlu penelitian berkaitan pakan kura-kura di penangkaran yang lebih murah dan mudah dibuat oleh masyarakat.

(10)

ix

7. Pengendalian hama dan penyakit cendana dapat dilakukan dengan memanfaatkan pestisida alami. Beberapa bahan lokal yang dapat digunakan dalam upaya pengendalian hama dan penyakit kutu sisik pada cendana adalah mimba dan kerinyu. Mimba memiliki efektifitas yang lebih baik jika dibandingkan dengan kerinyu. Diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif dengan mempertimbangkan sejarah serangan hama penyakit dan faktor genetik cendana. 8. Nusa Tenggara Timur menyimpan potensi karbon yang cukup besar. Hutan alam

Ampupu (Eucalyptus urophylla) maupun hutan alam huek (Eucalyptus alba) yang merupakan jenis-jenis asli NTT memiliki rata-rata simpanan karbon perhektar yang lebih besar dibandingkan dengan simpanan karbon pada hutan tanaman jati (Tectona grandis) dan hutan tanaman ampupu (E. urophylla). Hal ini jika digarap dengan lebih serius akan memberikan manfaat ekonomi yang cukup besar bagi NTT.

9. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi Sumber Daya Hutan yang ada diperlukan dukungan kebijakan dan komitmen seluruh stakeholder yang ada di Provinsi NTT. Teknologi yang terus dikembangkan diharapkan dapat menjadi pendorong bagi terwujudnya pemanfaatan hutan dan kehutanan sebagai salah satu penopang perekonomian Wilayah NTT. Disinilah tantangan bagi Balai Penelitian Kehutanan Kupang untuk terus menghasilkan penelitian yang menunjang pengembangan dan pemanfaatan potensi daerah bagi kesejahteraan masyarakat.

(11)
(12)

1

UPAYA KONSERVASI DAN PELESTARIAN CENDANA: SEBUAH KAJIAN

Oleh :

Sumardi, Hery Kurniawan dan Misto ABSTRAK

Cendana (Santalum album Linn.) merupakan salah satu species dari famili Santalaceae yang mampu menghasilkan minyak atsiri dengan aroma khas dan bernilai enonomi tinggi. Jenis ini memiliki keunggulan kualitas lebih tinggi dalam produksi kayu teras dan kandungan minyak dibandingkan jenis lain dari genus Santalum yang juga mampu menghasilkan minyak atsiri. Populasi jenis ini telah mengalami penurunan produksi tajam akibat eksploitasi yang berlebihan dan tidak diikuti dengan upaya pelestarian. Penurunan populasi cendana di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), menurut kriteria dan kategori versi 3.1 tahun 2001 dari International Union for Conservation of Nature and Natural Recources (IUCN, 2001) termasuk katagori Critically Endanger (CR A1d). Dengan demikian perlu dilakukan upaya pelestarian dan konservasi untuk menjamin kelangsungan jenis ini di NTT. Berdasarkan kajian terhadap beberapa hasil penelitian dan studi pustaka, upaya konservasi dan pelestarian cendana yang dapat dilakukan antara lain dengan melakukan konservasi tegakan, pengumpulan materi genetik, demplot konservasi sumberdaya genetik, penggunaan benih berkualitas, pemilihan target lahan potensial, pengembangan di lahan masyarakat dan pemberian insentif pengembangan cendana.

Kata Kunci : eksploitasi, strategi, pelestarian, konservasi sumberdaya genetik

I. PENDAHULUAN

Cendana (Santalum album Linn.) telah lama dikenal sebagai komoditi bernilai ekonomi tinggi. Jenis ini memberikan kontribusi besar bagi pembangunan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) selama kurun waktu 1989/1990–1999/2000, dengan kontribusi sebesar 40% dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Darmokusumo et al., 2000). Namun demikian, eksploitasi berlebihan dan tanpa diimbangi dengan upaya rehabilitasi mengakibatkan penurunan potensi, bahkan tidak dapat memberikan kontribusi bagi PAD Provinsi NTT sejak tahun 2000.

Disamping sebagai icon Provinsi NTT, cendana jenis S. album memiliki keunggulan kandungan minyak lebih tinggi dibanding dengan jenis lain pada genus Santalum. Seperti disampaikan oleh Srinivasan et al., 1992 dalam Barret & Fox, 1997, bahwa beberapa spesies dari genus Santalum lainnya juga menghasilkan minyak, namun S. album memiliki kualitas minyak lebih baik dari spesies lain dari genus Santalum. Rata-rata kandungan minyak pada kayu teras S. album sebesar 4,5-6,5%, lebih besar jika dibandingkan dengan kandungan minyak pada S. spicatum (1,5-3,0%) dan S. lanceolatum (1,8-2,5%) yang tumbuh di Australia (Weiss, 1997 dalam Doran et al., 2002).

Dengan demikian, jelas bahwa cendana jenis S. album yang mampu tumbuh secara alami di NTT memiliki nilai ekonomi lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis lain pada genus Santalum, melestarikan dan mengembalikan peranan cendana dalam

(13)

2

pembangunan Provinsi NTT merupakan tantangan sekaligus kesempatan yang besar yang harus segera dilakukan.

II. KONSERVASI CENDANA

Pengelolaan sumberdaya alam atau biodiversitas perlu dikelola dan dijaga dengan baik pada semua tingkatan, baik pada tingkat ekosistem, spesies, maupun genetik. Upaya konservasi cendana merupakan hal mendesak yang harus dilakukan untuk menjamin kelangsungan jenis tersebut. Upaya konservasi yang dapat dilakukan pada cendana saat ini adalah dengan melakukan konservasi tegakan, pengumpulan materi genetik, dan demplot konservasi sumberdaya genetik.

A. Konservasi Tegakan

Akibat ekploitasi cendana yang berlebihan dan kesalahan kebijakan dalam pengelolaan cendana telah mengakibatkan terjadinya degradasi potensi cendana baik di alam maupun di lahan-lahan masyarakat. Penurunan populasi ini sangat mengkhawatirkan terhadap eksistensi cendana. Kemerosotan populasi cendana menurut data hasil inventarisasi Dinas Kehutanan NTT tahun 1987-1988 dan 1997-1998 mencapai 85% dalam kurun waktu 10 tahun (William, 2001). Menurut kriteria dan kategori versi 3.1 tahun 2001 dari International Union for Conservation of Nature and Natural Recources (IUCN, 2001), pengurangan populasi ini termasuk kategori Critically Endangered (CR A1d) yang berarti populasinya menghadapi resiko kepunahan yang sangat tinggi dalam waktu yang sangat dekat karena tingginya tingkat eksploitasi yang mengakibatkan penurunan luas wilayah yang ditempati, dan kualitas habitatnya menurun (Haryjanto, 2007). Berdasarkan hasil inventarisasi tahun 1987, sekitar 80 % pohon cendana berada di lahan masyarakat dan hanya sedikit yang berada di dalam kawasan hutan (Ndoen, 2003). Pada tahun 2011 dilakukan inventarisasi potensi dan habitat cendana, hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata potensi cendana pada tingkat pohon di lahan masyarakat di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU), dan Belu berturut-turut adalah sebanyak 7, 1, dan 2 pohon/desa (Kurniawan, 2011).

Potensi cendana yang masih tersisa, jika tidak dilakukan tindakan penyelamatan akan segera hilang seiring dengan kebutuhan ekonomi pemiliknya. Cendana ukuran besar pada tingkat pohon umumnya ditemui di lahan masyarakat yang relatif dekat dengan tempat tinggal pemiliknya, hal ini berhubungan dengan keamanan dari pencurian pohon cendana yang diketahui memiliki nilai ekonomi tinggi. Tindakan

(14)

3

penyelamatan yang dapat dilakukan antara lain dengan pemberian insentif bagi pemilik cendana pada tingkat pohon atau pada ukuran diameter pohon tertentu yang dapat digunakan sebagai pohon induk. Dengan pemberian insentif tersebut, diharapkan masyarakat akan tetap menjaga keberadaan pohon induk tersebut sebagai salah satu sumber mata pencaharian masyarakat. Disamping itu pelatihan dan bimbingan teknis terhadap masyarakat tentang pemanenan biji cendana perlu dilakukan, sehingga masyarakat memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam pemanenan biji cendana. Dengan demikian selain insentif yang diberikan, masyarakat juga mendapat tambahan pendapatan dari hasil penjualan biji cendana hasil pemanenan di lahan miliknya.

Cendana yang berada di dalam kawasan hutan jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan yang tumbuh di lahan masyarakat. Tindakan pemeliharaan dan pengamanan cendana di dalam kawasan hutan dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat setempat. Bentuk pelibatan masyarakat setempat merupakan langkah pemberian insentif dalam bentuk gaji dari pemerintah sekaligus untuk menghindari perusakan dan pencurian pohon cendana oleh masyarakat sekitar. Pengamanan di dalam kawasan hutan untuk pohon cendana memiliki kekhususan perlakuan dibanding dengan pengamanan jenis pohon kayu lainnya, karena nilai ekonominya yang tinggi.

B. Pengumpulan Materi Genetik

Pemanenan kayu teras cendana selalu dilakukan dengan diikuti pemanenan akarnya, karena kandungan minyak cendana juga terdapat pada akarnya (Rao & Bapat, 1992). Hal tersebut sangat merugikan, karena tanaman tersebut sudah tidak mungkin lagi melakukan regenerasi menggunakan tunas akar. Konsekuensi lebih jauh dari tindakan tersebut adalah hilangnya beberapa genetik potensial untuk kepentingan program pemuliaan. Hasil penelitian jenis cendana menggunakan allozyme dan random amplified polymorphic DNA (RAPD) di Victoria, Australia menunjukkan bahwa regenerasi aseksual melalui tunas akar dapat meningkatkan ukuran populasi jenis tersebut (Trueman et al., 2001). Hal tersebut berkaitan dengan tetap terjaganya keragaman genetik dari populasi sebelumnya.

Keragaman genetik diperlukan oleh setiap spesies untuk menjaga vitalitas reproduksi, ketahanan terhadap penyakit dan kemampuan beradaptasi pada perubahan lingkungan (Haryjanto, 2007). Keragaman genetik merupakan faktor penting dalam program pemuliaan tanaman. Hal ini disebabkan karena keragaman genetik merupakan faktor penentu bagi peningkatan perolehan genetik dalam program pemuliaan tanaman.

(15)

4

Semakin luas keragaman genetik yang tersedia akan memberikan kemungkinan lebih besar pada peningkatan perolehan genetik. Besarnya keragaman genetik mencerminkan sumber genetik yang diperlukan untuk adaptasi ekologi dalam jangka pendek dan evolusi dalam jangka panjang (Lande & Shannon, 1996 dalam Rimbawanto et al., 2007). Hal serupa juga disampaikan oleh Finkeldey & Hattemer, 2007, bahwa semakin tinggi keragaman genetik suatu tanaman semakin besar peluang tanaman untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan mencerminkan kemampuan suatu jenis untuk bertahan hidup dengan adanya perubahan lingkungan.

Keragaman genetik sangat diperlukan dalam strategi konservasi secara efektif (Loveless, 1992 dalam Azees et al., 2009). Hasil penelitian Rimbawanto et al., 2007, dengan menggunakan materi dari 17 populasi cendana di NTT dan Jawa menunjukkan bahwa rerata keragaman genetik populasi cendana yang dianalisis sebesar 0,391, dengan rata-rata jarak genetik antar populasi sebesar 0,038. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman genetik yang berada di dalam populasi adalah sekitar 96%. Dengan demikian keragaman genetik cendana di NTT dan Jawa lebih banyak berada di dalam populasi dibanding antar populasi. Dengan demikian untuk menjaga dan menyelamatkan meteri genetik yang masih tersisa saat ini, dapat dilakukan dengan mengambil sebanyak-banyaknya materi genetik di dalam populasi yang masih ada. Individu di dalam populasi biasanya berbeda secara genetik satu dengan lainnya karena setiap individu memiliki gen yang berbeda. Tindakan tersebut dilakukan dengan harapan dapat menjaring sebanyak-banyaknya genetik yang masih tersisa pada populasi cendana untuk di konservasi untuk kepentingan program pemuliaan di masa mendatang. Materi yang berhasil dikumpulkan dari populasi cendana ditanam dalam satuan lahan dalam bentuk kebun konservasi sumberdaya genetik. Tujuan konservasi sumberdaya genetik hutan adalah melindungi kemampuan hutan untuk beradaptasi dari perubahan lingkungan dan menjadi populasi dasar untuk meningkatkan produksi dan keuntungan lain dari pertumbuhan pohon melalui seleksi dan aktivitas pemuliaan (Erriksson et al., 1993 dalam Skroppa, 2005). Sumberdaya genetik tersebut diharapkan akan aman untuk dimanfaatkan dimasa mendatang.

Selain mengambil materi genetik sebanyak-banyaknya di dalam populasi cendana, hal yang harus diperhatikan adalah meminimalkan efek inbreeding yang memiliki efek negatif pada karakter-karakter penting untuk pemuliaan tanaman dan usaha menjaga variasi genetik jangka panjang. Untuk menjamin sampel materi tidak

(16)

5

berkerabat, maka penentuan jarak antar pohon induk perlu mempertimbangkan sistem penyerbukan dan penyebaran benih. Aturan umum jarak antar pohon induk sebaiknya lebih dari 100 m. Untuk konservasi sumberdaya genetik secara eksitu, standar keragaman genetik paling tidak mengkonservasi 90-95% semua allele dengan frekuensi alelle>0,05 (common allele) (Marshall & Brown, 1975 dalam Neel & Cummings, 2003). Kegiatan konservasi dengan menentukan sampling dari 5 populasi untuk spesies yang jarang dapat menangkap 90-95% common allele (Brown & Briggs, 1991). The Centre for Plant Conservation (1991) untuk melakukan konservasi genetik menggunakan standar yang disarankan Marshall & Brown (1975) untuk standar keragaman genetik paling tidak mengkonservasi 90-95% semua allele dengan frekuensi alelle>0,05 dan menggunakan standar yang disarankan Brown & Briggs (1991) untuk menerapkan 5 populasi target untuk koleksi materi genetik konservasi eksitu (Haryjanto, 2012).

C. Demplot Konservasi Sumberdaya Genetik

Demplot konservasi sumberdaya genetik secara eksitu diperlukan untuk menyelamatkan materi genetik yang telah berhasil dikumpulkan sebagai sumber materi bagi program pemuliaan cendana di masa mendatang. Pembangunan demplot mengikuti konsep konservasi sumberdaya genetik era ketiga menurut Soekotjo (2001), yaitu dengan penanaman sistem populasi terpisah untuk mencegah adanya hibridisasi antar populasi dan dengan tetap mempertahankan identitas famili dan individu di dalam populasi. Konsep dengan struktur yang demikian menguntungkan baik dari sudut pandang pemuliaan maupun konservasi. Desain yang digunakan menyesuaikan dengan kondisi lahan yang ada, namun diusahakan berbentuk bujur sangkar. Jika jenis yang dikonservasi lebih dari satu, maka penanaman dapat dilakukan dengan saling berdampingan antar jenis. Jenis yang berbeda sekaligus dimanfaatkan sebagai jalur isolasi bagi jenis yang lainnya.

Upaya konservasi sumberdaya genetik cendana telah dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Populasi yang dikoleksi berasal dari Pulau Timor (11 populasi), Pulau Sumba (4 populasi), Pulau Alor (3 populasi), Pulau Jawa (1 populasi), Pulau Flores (2 populasi), Pulau Pantar (1 populasi) dan Pulau Rote (1 populasi). Hasil analisis Rimbawanto et al. (2007), dengan menggunakan materi dari 17 populasi cendana di NTT dan Jawa menunjukkan keragaman genetik yang berada di dalam

(17)

6

populasi sekitar 96%. Berdasarkan data tersebut Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Kupang, berupaya untuk melakukan konservasi sumberdaya genetik cendana di NTT dengan sumber materi genetik yang lebih banyak diambil di dalam populasi yang masih ada, dengan mengikuti konsep konservasi sumberdaya genetik generasi ketiga.

Konservasi sumberdaya genetik cendana juga dilakukan di Provinsi NTT dengan membangun plot konservasi sumberdaya genetik di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Konservasi tersebut melibatkan 3 populasi dari Pulau Timor yakni Populasi Pulau Timor Bagian Barat I (Bu’at), Populasi Pulau Timor Bagian Barat II (Netpala) yang mewakili populasi dataran tinggi Pulau Timor, dan Populasi Pulau Timor Bagian Timur (Belu) yang mewakili populasi dataran rendah Pulau Timor. Masing-masing populasi terdiri dari 25 famili, sehingga konservasi sumberdaya genetik cendana yang dilakukan pada tahun 2012 oleh BPK Kupang di Kabupaten TTU adalah sebanyak 75 famili.

III. STRATEGI PELESTARIAN CENDANA

Cendana sebagai tanaman asli Provinsi NTT, sudah selayaknya untuk dikembangkan di daerah asalnya. Strategi pelestarian yang dapat dilakukan pada cendana selain penerapan teknik budidayanya saat ini adalah dengan penggunaan benih berkualitas, pemilihan target lahan potensial, pengembangan di lahan masyarakat, dan pemberian insentif pengembangan cendana.

A. Penggunaan Benih Berkualitas

Benih berkualitas akan menghasilkan pertanaman yang berkualitas, begitupun sebaliknya benih dengan kualitas rendah akan menghasilkan pertanaman dengan kualitas rendah. Untuk mendapatkan benih berkualitas dibutuhkan sumber benih berkualitas. Sumber benih untuk tujuan pemenuhan benih dalam jangka pendek dapat berupa tegakan benih teridentifikasi (TBT), tegakan benih terseleksi (TBS), maupun areal produksi benih (APB). Ketiga sumber benih tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan benih jangka pendek yang sifatnya sementara, sebelum tersedia sumber benih pada tingkatan lebih tinggi yakni tegakan benih provenan (TBP), kebun benih semai (KBS), kebun benih klon (KBK), dan kebun pangkas (KP).

Benih yang dihasilkan dari sumber benih berkualitas, diharapkan merupakan benih yang dihasilkan dari perkawinan silang (cross-breeding) sehingga benihnya memiliki kualitas yang lebih baik jika dibandingkan dengan hasil perkawinan kerabat

(18)

7

(inbreeding) atau perkawinan sendiri (selfing). Daya adaptabilitas terhadap lingkungan pada pertanaman yang dihasilkan dari benih hasil perkawinan silang akan lebih tinggi, disebabkan oleh genetik penyusun yang dibawa dari induknya lebih bervariasi. Besarnya keragaman genetik mencerminkan sumber genetik yang diperlukan untuk adaptasi ekologi dalam jangka pendek dan evolusi dalam jangka panjang (Lande & Shannon, 1996 dalam Rimbawanto et al., 2007).

Benih yang dimanfaatkan pada pengembangan cendana saat ini sebagian besar berasal dari benih asalan, yang asal-usulnya tidak jelas. Benih yang demikian memiliki kecenderungan berasal dari hasil selfing atau inbreeding. Hal ini akan berdampak pada kualitas benih yang dihasilkan, benih tidak dapat berkecambah, dapat berkecambah tetapi tidak dapat bertahan hidup lama.

Dalam upaya peningkatan kualitas benih cendana yang digunakan sebagai materi pembuatan tanaman, BPTH Bali dan Nusa Tenggara telah melakukan upaya melakukan sertifikasi beberapa sumber benih cendana di NTT. Sumber benih bersertifikat jenis cendana di diwilayah NTT hingga Mei 2012, disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Sumber benih cendana di diwilayah NTT hingga Mei 2012

No. Lokasi Kab./Kota Luas (Ha) Kelas

1. Lew Oeleng Lembata 2,50 TBT

2. Meredadana Sumba Barat Daya 2,03 TBT 3. Kampung Wotok Manggarai 0,75 TBT

4. Adang Kokar Alor 5,55 TBT

5. Pagomogo Nagakeo 4,09 TBT

6. Noenbila Timor Tengah Selatan 1,60 TBT 7. HTI Polen Timor Tengah Selatan 0,10 TBT 8. Pusu Timor Tengah Selatan 1,17 TBT 9. Netpala-Oelbubuk Timor Tengah Selatan 4,09 APB

10. Oebatu Rote Ndao 5,34 TBT

Sumber : BPTH Bali dan Nusa Tenggara (dalam Sumardi, 2012)

Pada tahun 2012 pembangunan sumber benih cendana dilakukan pada klasifikasi sumber benih lebih tinggi yakni Kebun Benih Semai (KBS), melalui uji keturunan generasi pertama (F-1). Uji keturunan dilakukan di Kabupaten TTU dengan melibatkan sebanyak 70 famili yang berasal dari P. Timor dan P. Sumba.

B. Pemilihan Target Lahan Potensial

Pemilihan lahan potensial yang tepat untuk pengembangan cendana akan mengurangi resiko kegagalan atau kematian tanaman di lapangan. Cendana mampu tumbuh pada kondisi tapak yang bervariasi dan tumbuh secara alami pada daerah tropis (Sen-Sarma, 1977). Jenis ini dijumpai pada jenis tanah antara berpasir hingga tanah

(19)

8

berbatu, namun lebih sering dijumpai pada tanah merah liat (Troup, 1921). Meskipun kisaran tempat tumbuh cendana cukup luas, harus berhati-hati dalam memilih lokasi untuk penanaman cendana. Cendana akan tumbuh optimal pada daerah dengan curah hujan 600–1600 mm, temperatur tahunan minimum sekitar 100C dan maksimum sekitar 350C (Neil, 1990). Cendana termasuk tumbuhan semi parasit dimana selama hidupnya memerlukan inang untuk membantu menyerap hara melalui haustoria. Cendana mengambil unsur N, P dan asam amino dari inang, sedangkan unsur Ca dan K diambil dari akar cendana (Sen-Sarma, 1977).

Berdasarkan hasil penelitian Sumardi, et al., 2011, luasan lahan potensial untuk pengembangan cendana pada masing-masing kabupaten di Pulau Timor adalah seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Distribusi luasan lahan potensial untuk cendana pada masing-masing kabupaten/kota di Pulau Timor

Wilayah Kabupaten/Kota

Luasan Potensial untuk Cendana (ha)

Persentase dari Luasan Total Daratan (%)

Kabupaten Belu 125.216,69 51,32

Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) 163.554,16 61,26 Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) 278.818,77 70,64

Kabupaten Kupang 263.677,77 44,73

Kota Kupang 8.994,48 49,89

Sumber : Sumardi et al., 2011

Berdasarkan Tabel 1, wilayah kabupaten/kota yang memiliki luasan lahan potensial untuk pengembangan cendana paling banyak adalah Kabupaten TTS yaitu seluas 278.818,77 ha atau 70,64% luas total daratan kabupaten tersebut. Persentase luasan lahan potensial untuk pengembangan dan budidaya cendana secara keseluruhan di Pulau Timor adalah seluas 840.261,87 ha atau sebesar 56,08% dari total keseluruhan luas daratan di Pulau Timor. Luasnya lahan potensial tersebut disebabkan oleh kondisi lahan di Pulau Timor yang merupakan habitat alami cendana, didukung dengan jenis tanaman cendana yang memiliki toleransi tinggi terhadap kondisi yang bervariasi (Sen-Sarma, 1977).

C. Pengembangan di Lahan Masyarakat

Model pengembangan cendana di lahan masyarakat dapat dilakukan pada lahan atau lokasi di sekitar pekarangan rumah. Hal tersebut berhubungan dengan kemudahan dalam pemeliharaan dan keamanan dari pencurian. Cendana merupakan jenis tanaman

(20)

9

yang memerlukan pemeliharaan secara intensif, terutama pada saat umur tanaman masih muda.

Penanaman cendana dapat dilakukan pada lahan kosong di sela-sela tanaman pekarangan yang sudah ada sebelumnya. Tanaman pekarangan dapat dimanfaatkan sebagai penaung awal bagi cendana yang ditanam dan sebagai inang sekunder jangka menengah dan panjang jika tanaman pekrangan merupakan jenis legum. Cendana membutuhkan penaung awal jika ditanam dilapangan, untuk menghindari tanaman layu akibar penguapan yang berlebih dan cendana yang baru ditanam dilapangan rentan terhadap cahaya matahari yang terlalu terik. Cendana di lahan pekarangan memungkinkan untuk dilakukan penyiraman karena jaraknya yang tidak terlalu jauh dari rumah.

D. Pemberian Insentif Pengembangan Cendana

Pelaksanaan pengembangan cendana di lahan masyarakat dapat dilakukan berdasar atas keinginan masyarakat untuk mengembangkan cendana di lahan miliknya atau pengembangan cendana yang didasarkan pada program pemerintah untuk mendukung pemulihan cendana di NTT. Jika pengembangan didasarkan pada keinginan masyarakat maka akan lebih mudah bagi pemerintah untuk memfasilitasi kegiatan tersebut dengan menyediakan bibit dan membimbing masyarakat dalam penanamannya. Kegiatan pemeliharaan tentunya tidak memerlukan biaya dari pemerintah, karena masyarakat telah sadar dengan sendirinya untuk menanam dan mengembangkan cendana di lahan miliknya. Namun demikian penyediaan bibit masih memerlukan bantuan pemerintah karena masih banyak masyarakat yang belum memiliki pengetahuan tentang pembibitan cendana. Pembinaan dan bimbingan kepada masyarakat harus dilakukan sampai masyarakat mampu untuk membuat bibit sendiri dan menguasai teknik penanaman cendana dengan benar.

Pengembangan cendana yang didasarkan pada program pemerintah untuk mendukung pemulihan cendana di NTT, akan membutuhkan biaya yang lebih besar dibanding dengan pengembangan cendana yang didasarkan pada keinginan masyarakat. Hal tersebut dikarenakan masyarakat target belum tentu mau dan memiliki keinginan untuk menanam cendana, sehingga masyarakat akan menanam dan memelihara cendana jika ada kompensasi dalam bentuk upah bagi mereka. Untuk menumbuhkan minat dan keseriusan masyarakat dalam pengembangan cendana perlu dilakukan upaya terobosan seperti dalam bentuk pemberian insentif langsung kepada masyarakat yang berhasil

(21)

10

melakukan pengembangan cendana. Insentif tersebut dapat diberikan dari biaya upah pemeliharaan diubah dalam bentuk kompensasi bagi tanaman yang bertahan hidup hingga tahap evaluasi jangka waktu tertentu. Dengan demikian masyarakat akan berusaha menjaga dan memelihara cendana agar tetap hidup, dengan harapan mendapat uang kompensasi yang lebih banyak jika tanaman cendana mereka banyak yang bertahan hidup. Insentif langsung pada masyarakat dapat diatur dalam periode tertentu berdasarkan jumlah tanaman yang hidup yang telah dibudidayakan. Insentif ini sepertinya akan lebih efektif nilainya jika dibandingkan dengan pemberian upah tenaga kerja lapangan yang diberikan tanggung jawab untuk pemeliharaan tanaman cendana di lapangan.

IV. PENUTUP

Pelestarian dan konservasi cendana di NTT harus segera dilakukan karena status populasinya menghadapi resiko kepunahan yang sangat tinggi dalam waktu dekat. Upaya tersebut dilakukan bersama-sama dengan semua stakeholder tanpa mengedepankan ego-sektoral. Strategi konservasi yang dapat dilakukan antara lain dengan melakukan konservasi tegakan yang masih tersisa dari berbagai ancaman dan gangguan, pengumpulan materi genetik untuk mengumpulkan semua materi genetik cendana yang masih tersisa dengan melakukan eksplorasi biji cendana dari semua lokasi di NTT, dan pembangunan demplot konservasi sumberdaya genetik sebagai populasi dasar yang akan sangat berguna bagi tindakan pemuliaan tanaman cendana dimasa yang akan datang. Sedangkan untuk strategi pelestariannya adalah dengan penggunaan benih berkualitas dalam setiap upaya pengembangan cendana sehingga akan didapatkan hasil tanaman dengan kualitas yang tinggi pula, pemilihan target lahan potensial untuk mengurangi resiko kegagalan akibat ketidaksesuaian lahan untuk budidaya cendana, pengembangan di lahan masyarakat sebagai salah satu upaya untuk menjaga keamanan tanaman dari pencurian dan intensitas pemeliharaan yang lebih baik dan pemberian insentif pengembangan cendana untuk merangsang minat masyarakat dalam menanam dan menjaga serta memelihara cendana sampai siap panen.

(22)

11

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Azeez S., Nilson R., Prasad B.A. 2008. Optimization of DNA Isolation and PCR in Santalum album L, Suitable for RAPD and Restriction Digestion. Res. J. Biotechnol. ISBT. 369-371.

Barret D. R., Fox J.E.D. 1997. Santalum album: Kernel Composition, Morphological and Nutrient Characteristics of Pre-parasitic Seedlings under Various Nutrient Regimes. Annals of Botany 79: 59 - 66.

Brown, A.H.D. & J. D. Briggs 1991. Sampling Strategies for Genetic Variation in Ex Situ

Collections of Endangered Plant Species, GENETICS AND CONSERVATION OF

RARE PLANTS.

Darmokusumo, S. Nurgoho. A.A., Botu, E.U., Jehamat, A., Benggu, M. 2000. Upaya Memperluas Kawasan Ekonomis Cendana di NTT. Kumpulan Makalah Seminar Nasional Kajian terhadap Tanaman Cendana (Santalum album L) sebagai Komoditi Utama Perekonomian Prop. NTT Menuju Otonomisasi. Pemda Tk. I NTT bekerjasama dengan LIPI di Jakarta. Jakarta.

Doran, J.C., Thomson, L.A.J., Brophy, J.J. 2002. Sandalwood. Regional Workshop on Sandalwood Research, Development and Extension in the Pacific Islands and Asia. Noumea. New Caledonia.

Finkeldey, R., Hattemer, H.H. 2007. Tropical Forest Genetics. Springer-Verlag Berlin. Heidelberg.

Haryjanto L. 2012. Pembangunan dan Pengelolaan Areal Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Pembangunan Areal Sumberdaya Genetik Tanaman Hutan. Ditjen BPDASPS. Kementerian Kehutanan. Denpasar.

Haryjanto L. 2007. Konservasi Sumber Daya Genetik Cendana (Santalum album Linn.). Prosiding Gelar Teknologi Cendana “Cendana untuk Rakyat: Pengembangan Tanaman Cendana di Lahan Masyarakat”. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. 53-59.

Kurniawan. 2011. Eksplorasi Ekologi Cendana (Santalum album L.) di Pulau Timor. Laporan Hasil Penelitian tidak dipublikasikan. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Kupang.

Ndoen, M.J.S.. 2003. Perkembangan dan Pelestarian Pohon Cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan (Pulau Timor) Nusa Tenggara Timur. Prosiding Promosi Hasil-hasil Penelitian Cendana. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Kupang. Neel, M.C. & Cummings, M.P.. 2003. Effectiveness of conservation targets in capturing

genetic diversity. Conservation Biology. 17: 219-229.

Neil, P.E. 1990. Growing Sandalwood in Nepal – Potential Silvicultur Methods and Research Priorities. USDA Forest Service Gen. Tech. Rep. PSW-122. 72-75. Rao P.S., Bapat V.A. 1992. Micropropagation of sandalwood (Santalum album L.). In:

Bajaj YPS, ed. Biotechnology in agriculture and forestry. Berlin, Heidelberg: Springer-Verlag. 193–210.

Rimbawanto A. 2007. Keragaman Genetik Santalum album dan Implikasinya Bagi Konservasi Sumberdaya Genetik. Prosiding Gelar Teknologi Cendana “Cendana

(23)

12

untuk Rakyat: Pengembangan Tanaman Cendana di Lahan Masyarakat”. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. 33-41.

Sen-Sarma PK. 1977. Sandalwood-its cultivation and utilisation. In: Attal CK, Kapoor BM, eds. Cultivation of medicinal and aromatic plants. RRL Jamu. 287-297. Skroppa, T. 2005. Ex situ conservation methode. In: Gubrek, T., and Turok, J. (eds).

Conservation and Management of Forest Genetic Resources in Europe. Arbora Publisher. Zvolen.

Soekotjo. 2001. The Status of Ex situ Conservation of Comercial Trees in Indonesia. 147–160. In: Thielges B.A., Sastrapraja S.D., Rimbawanto A. (eds). Proceding: Seminar on In situ and Ex situ Conservation of Comercial Tropical Trees. Gadjah Mada University and International Tropical Timber Organization. Yogyakarta.

Sumardi, Hidayatullah M., Yuniati D. 2011. Pembuatan Peta Digital dalam Perencanaan Pengembangan Budidaya Cendana (Santalum album Linn.). Laporan Penelitian Program Insentif Riset dan Teknologi, tidak dipublikasikan. Kupang.

Sumardi. 2012 Dukungan Kementerian Kehutanan Terhadap Pelestarian dan Pengembangan Cendana di NTT. Makalah disampaikan pada FGD Pelestarian dan Pengembangan Cendana, Hotel IMA Kupang, 1 Oktober 2012.

Troup, R.S. 1921. The Silviculture of Indian Trees. Vol. III. Clarendon Press, Oxford. Trueman, S., Warburton, C., James, E., Fripp, Y., Wallace, H. 2001. Clonality in

remnant populations of Santalum lanceolatum. Sandalwood Research Newsletter. 14: 14.

William, A.M. 2001. Haumeni, Not Many: Renewed Plunder and Mismanagement in the Timorese Sandalwood Industry. Resource Management in Asia-Pacific Working Paper No.29. Resource Management in Asia-Pacific Program. Australia National University.

(24)

13

ANALISIS FINANSIAL

PENGEMBANGAN USAHA PERSEMAIAN CENDANA DI PULAU TIMOR

Oleh:

S. Agung Sri Raharjo, Eko Pujiono, Retno Setyowati dan Bernadus Ndolu ABSTRAK

Kebutuhan bibit cendana untuk konservasi dan pengembangan cendana semakin meningkat. Namun kemampuan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan ini terbatas. Di sisi lain, pengusaha masih enggan untuk mengembangkan cendana karena keterbatasan informasi mengenai teknik budidaya dan kelayakan finansial pembibitan cendana. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis kelayakan finansial dari berbagai model pembibitan cendana di beberapa lokasi di Pulau Timor. Pengumpulan data dilaksanakan dengan teknik survey dan observasi. Analisis data menggunakan perangkat lunak excel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pembibitan keseluruhan di Pulau Timor layak secara finansial. Model persemaian sederhana memberikan nilai BCR, NPV dan IRR terbesar. Biaya produksi perbibit pada persemaian tradisional adalah Rp 1.650,- sementara pada persemaian semi permanen dan permanen masing-masing Rp 2.270,- dan Rp 3.950,-.

Kata kunci : persemaian, cendana, finansial, Pulau Timor

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kebutuhan bibit cendana yang berkualitas baik dalam jumlah yang besar sangat diperlukan dalam upaya pengembangan cendana, baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Salah satu strategi dalam Masterplan Pengembangan dan Pelestaran Cendana Provinsi NTT Tahun 2010-2030 adalah penanaman masal. Jika setiap kepala keluarga di Provinsi NTT diwajibkan menanam 4 pohon cendana maka akan dibutuhkan bibit sebanyak 4.000.000 bibit. Untuk mendapatkan bibit dalam jumlah besar tidak dapat hanya mengandalkan peran pemerintah saja, perlu peran serta swasta dalam menyediakan bibit cendana.

Peran swasta pada saat ini belum berkembang. Padahal pada saat ini upaya pengembangan cendana di NTT sangat giat dilaksanakan. Hal ini merupakan peluang pasar bagi upaya pengembangan persemaian cendana. Peran swasta ini sangat erat kaitannya dengan investasi. Permasalahan yang dihadapi oleh pengusaha adalah penguasaan teknik persemaian yang belum baik dan informasi

(25)

14

mengenai kelayakan investasi yang belum tersedia. Sangatlah rasional ketika pemilik modal akan melakukan pilihan antara menanamkan modalnya pada investasi proyek-proyek komersial atau dalam deposito. Untuk menetapkan pilihan diantara 2 alternatif tersebut maka pemilik modal memerlukan studi kelayakan investasi.

Menurut Basalamah (1991) studi kelayakan investasi memiliki kemanfaatan: (1) Memandu pemilik dana atau investor untuk mengoptimalkan penggunaan dana yang dimiliki; (2) Memperkecil resiko keputusan investasi, sekaligus memperbesar peluang keberhasilan; (3) Mengungkapkan alternatif investasi yang didukung oleh hasil analisis kuantitatif yang teruji kecermatannya, sehingga manajer puncak mudah mengambil keputusan yang akurat; (4) Mengungkapkan keseluruhan aspek proyek seutuhnya sehingga keputusan menerima atau menolak sebuah usulan proyek tidak hanya didasarkan atas kelayakan finansial saja, melainkan atas seluruh aspek yang berpengaruh.

Beberapa aspek yang termasuk dalam studi kelayakan investasi adalah meliputi aspek pasar dan pemasaran, aspek teknis dan produksi, aspek keuangan, aspek ekonomi dan sosial, aspek organisasi dan manajemen serta aspek hukum. Dengan informasi tentang kelayakan investasi yang lengkap, diharapkan dapat menarik minat investor sehingga maka pemilik modal akan tertarik dan bersedia melakukan investasi. Informasi mengenai kelayakan investasi persemaian cendana masih sangat kurang, hal ini merupakan salah satu faktor belum berkembangnya usaha persemaian cendana di Nusa Tenggara Timur (NTT) dapat berkembang.

Dengan mengetahui nilai ekonomis dari bibit cendana, diharapkan dapat menjadi patokan harga bagi pengusaha pembibitan untuk menyediakan bibit cendana dan juga dapat menjadi acuan bagi pemerintah untuk memberikan besaran subsidi pembelian cendana kepada masyarakat. Pemberian subsidi ini diharapkan dapat membantu peningkatan peran serta masyarakat dalam mengembangkan tanaman cendana. Harga bibit bersubsidi yang murah diharapkan dapat memacu peningkatan kegiatan penanaman yang pada akhirnya dapat meningkatkan potensi cendana di alam.

(26)

15

B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kelayakan finansial usaha pembibitan cendana yang sudah berkembang di Pulau Timor.

II. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di beberapa lokasi persemaian di Pulau Timor, yaitu Kota Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Desember 2009.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian survei dengan pendekatan nilai biaya (cost value methode).

1. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara : a. Survei lapangan/observasi

Survei dilakukan terhadap para pengusaha pembibitan, meliputi tahapan-tahapan pekerjaan di persemaian, biaya persemaian mulai dari persiapan sampai dengan semai siap tanam, serta observasi pada teknis pembuatan persemaian.

b. Pengumpulan data sekunder

Data-data yang berkaitan dengan kegiatan persemaian, daftar harga bahan bangunan, bahan persemaian (polybag, tanah, pasir, benih cendana dll).

2. Analisis Data

Perhitungan finansial dilakukan dengan membagi biaya produksi dengan jumlah semai yang hidup dan layak jual sampai dengan umur 8 bulan. Tahapan analisis data adalah sebagai berikut (Affianto, dkk. 2005):

Identifikasi kegiatan-kegiatan/tahapan pembuatan persemaian

1. Pengelompokan biaya; biaya dikelompokkan menjadi 2 yaitu biaya bahan dan biaya tenaga kerja.

(27)

16

3. Perhitungan biaya produksi persatuan bibit Biaya persatuan bibit = Total biaya

(1) Jumlah bibit

Jumlah semai berdasarkan pada jumlah semai yang hidup dan layak jual sampai dengan umur 8 bulan. Kelayakan finansial usaha pembibitan cendana diketahui dengan menghitung nilai net preset value (NPV), benefit cost ratio (BCR) dan internal rate of return (IRR) (Astana, 2005).

NPV =

¦

n  t t t t i C B 0 1 (2) B/C Ratio

¦

¦

  n 0 t n 0 t 1 1 t t t t i C i B (3) IRR =

2 1

2 1 1 1 i i NPV NPV NPV i    (4)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Model Persemaian

Berdasarkan hasil observasi terdapat tiga model persemaian yang sudah berkembang di Pulau Timor. Model tersebut adalah model sederhana, model semi permanen dan model permanen. Pengelompokan model ini didasarkan pada masa pakai persemaian yang ada. Model sederhana memiliki masa pakai 2 tahun. Persemaian terbuat dari bahan-bahan yang banyak dijumpai disekitar tempat tinggal pemilik persemaian.

Pengelolaan persemaian sederhana dilakukan oleh pemilik lahan sekaligus pemilik persemaian. Model ini diwakili oleh persemaian Bapak M. Koenunu yang berlokasi di Kota SoE Kabupaten Timor Tengah Selatan dan persemaian milik PT. Fajar Indah Mandiri yang terletak di Kabupaten Timor Tengah Utara. Persemaian bapak M. Koenunu beratapkan plastik bening berada dikebun dengan naungan tanaman pertanian (pisang, mangga). Media tanam yang digunakan adalah tanah isi. Sedangkan persemaian PT.Fajar Indah Mandiri dikabupaten TTU beratapkan pelepah kelapa dan berlokas di lahan yang terbuka. Media tanam yang

(28)

17

digunakan oleh PT Fajar Indah Mandiri adalah campuran tanah, sekam dan pupuk kandang.

Model persemaian semi permanen dijumpai di persemaian milik Balai Penelitian Kehutanan Kupang yang berlokasi di Stasiun Penelitian Bu’at di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Persemaian semi permanen ini memiliki daya tahan sampai dengan 5 tahun. Atap yang digunakan adalah alang-alang, atap ini setiap tahunnya diganti. Media tanam yang digunakan adalah campuran tanah dan pasir. Sementara persemaian permanen diwakili oleh persemaian permanen yang ada di Balai Penelitian Kehutanan Kupang berlokasi di Kota Kupang . Persemaian memiliki umur pakai selama 10 tahun, atap terbuat dari seng plastik dengan media tanam berupa tanah isi pasir dan kompos.

B. Biaya Produksi Bibit Cendana pada Masing-masing Model Persemaian

Biaya produksi selain dipengaruhi oleh bentuk bangunan persemaian juga dipengaruhi oleh lokasi persemaian. Perbedaan harga tersebut misalnya adalah harga 1 rit top soil di SoE (Kabupaten TTS) sebesar Rp 300.000,- di Kefa (Kabupaten Timor Tengah Utara) Rp 200.000,-, sedangkan di Kota Kupang mencapai Rp 350.000,-. Untuk keperluan analisis biaya produksi bibit cendana maka harga komponen persemaian digunakan harga yang sama yaitu harga di Kota Kupang.

Biaya produksi bibit cendana dibagi kedalam empat kelompok biaya yaitu biaya bangunan persemaian, biaya media persemaian, biaya kelengkapan persemaian dan biaya pemeliharaan Komparasi biaya produksi bibit cendana untuk masing-masing bentuk persemaian selama umur produksi dapat dilihat pada Tabel 1.

(29)

18

Tabel 1. Biaya Produksi Bibit Cendana Selama 10 Tahun

No Komponen Biaya Model Persemaian Sederhana Semi permanen Permanen A. Bangunan Persemaian 750.000 4.760.000 6.770.000 B. Media Semai 13.000.000 15.000.000 16.500.000 C. Kelengkapan Persemaian 7.365.000 7.400.000 7.550.000 D. Ongkos Kerja 25.750.000 24.750.000 23.000.000 Jumlah 46.865.000 51.910.000 53.820.000 Sumber: Data Primer (2009)

Biaya produksi pada Tabel 1 menunjukkan biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi bibit sebanyak 4.000 polybag/tahun selama 10 tahun. Umur cendana siap tanam adalah 8 bulan, sehingga dalam satu tahun setiap persemaian hanya menghasilkan satu kali produksi semai cendana. Persemaian sederhana berumur 2 tahun, sehingga setiap dua tahun sekali dilakukan pembuatan bangunan persemaian. Persemaian semi permanen berumur 5 tahun sehingga harus dilakukan pembuatan bangunan persemaian baru pada tahun ke 6. Persemaian permanen berumur 10 tahun sehingga pembuatan persemaian hanya dilakukan satu kali selama masa investasi.

C. Analisis Finansial berbagai Model Persemaian Cendana

Asumsi yang digunakan dalam analisis finansial berbagai model persemaian cendana adalah harga bibit cendana Rp 2.500,-/bibit, persen jadi 80%, suku bunga bank sebesar 10%/tahun dan jangka waktu investasi selama 10 tahun. Dari analisis biaya dan pendapatan berbagai model persemaian cendana maka perbandingan biaya dan pendapatan dapat dilihat pada Tabel 2:

Tabel 2. Nilai Keuntungan Finansial Persemaian Cendana selama 10 Tahun

No Model Persemaian Nilai Finansial

Biaya Pendapatan Keuntungan

1. Persemaian Sederhana 46.865.000 80.000.000 33.135.000 2. Persemaian Semi Permanen 51.910.000 80.000.000 28.090.000 3. Persemaian Permanen 53.820.000 80.000.000 26.180.000 Sumber : Data Primer, 2009

Dengan menggunakan asumsi tingkat suku bunga 10% dilakukan perhitungan terhadap BCR, NPV dan IRR masing-masing model persemaian. Perbandingan nilai NPV, BCR dan IRR dapat dilihat pada Tabel 3.

(30)

19

Tabel 3. Perbandingan Nilai BCR, NPV dan IRR Berdasarkan Model Persemaian

No Model Persemaian BCR NPV IRR

1 Persemaian Sederhana 1,66 19.462.481 12,49 % 2 Persemaian Semi Permanen 1,50 16.426.061 9,75 % 3 Persemaian Permanen 1,39 13.723.510 7,65 % Sumber : Data Primer, 2009

Net benefit cost ratio (Net B/C) adalah perbandingan net benefit yang telah didiscount positif dengan net benefit yang telah didiscount negatif. Kriteria ini akan memberikan pedoman bahwa proyek akan dipilih apabila Net B/C ratio>1, dan proyek ditolak jika Net B/C ratio<1(Harahap, 2006). Nilai BCR keseluruhan model persemaian cendana diatas 1, hal ini menunjukkan bahwa usaha persemaian cendana mampu memberikan keuntungan. Nilai NPV yang bervariasi menunjukkan nilai manfaat dari investasi yang ditanamkan dalam berbagai model persemaian tersebut. Semakin besar nilai NPV dapat diartikan usaha tersebut menghasilkan keuntungan yang besar, namun nilai ini masih perlu memperhatikan besarnya nilai B/C ratio. Persemaian sederhana memperlihatkan nilai NPV terbesar hal ini dipengaruhi oleh investasi untuk membuat bangunan persemaian yang sederhana sehingga mampu mengurangi biaya produksi.

Nilai IRR menunjukkan tingkat nilai suku bunga dimana nilai ekuivalen biaya sama dengan nilai ekuivalen penerimaan. Perhitungan di dasarkan pada nilai presen value. Nilai IRR persemaian sederhana (12,49 %) lebih besar dari pada asumsi suku bunga yang digunakan(10%), hal ini menunjukkan investasi model persemaian sederhana menguntungkan. Sementara itu nilai IRR model persemaian semi permanen (9,75 %) dan model persemaian permanen (7,65 %) lebih kecil dari asumsi nilai suku bunga yang digunakan(10 %), hal ini mengindikasikan investasi model persemaian semi permanen dan model persemian permanen tidak terlalu menguntungkan. Investasi di Bank dengan suku bunga 10% akan lebih menguntungkan walau usaha pembibitan cendana model persemaian semi permanen dan model permanen memberikan keuntungan (B/C ratio-nya > 1).

Hasil analisis finansial di atas menunjukkan usaha persemaian cendana secara finansial mampu memberikan keuntungan. Untuk meningkatkan keuntungan maka dapat dilakukan 2 langkah berkaitan dengan input-output. Langkah pertama adalah dengan menekan jumlah biaya input yang digunakan

(31)

20

usaha persemaian. Pemilihan model yang lebih sederhana akan memberikan keuntungan yang lebih banyak karena investasi lebih murah, selain itu teknologi yang diterapkan lebih sederhana sehingga dapat dilaksanakan secara optimal oleh tenaga kerja yang tersedia. Langkah kedua adalah dengan meningkatkan output sehingga pendapatan meningkat. Asumsi persen jadi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 80 % dengan meningkatkan persen jadi diharapkan bibit yang dihasilkan akan lebih banyak sehingga pendapatan meningkat. Pemilihan model yang lebih sederhana akan memberikan keuntungan yang lebih banyak karena investasi lebih murah, selain itu teknologi yang diterapkan lebih sederhana sehingga dapat dilaksanakan secara optimal oleh tenaga kerja yang tersedia.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil perhitungan analisis finansial yang meliputi NPV, BCR dan IRR, maka usaha pembibitan cendana pada semua lokasi kajiansecara finansial layak untuk dilaksanakan. Biaya produksi perbibit pada persemaian tradisional adalah Rp 1.650,- sementara pada persemaian semi permanen dan permanen masing-masing Rp 2.270,- dan Rp 3.950,-. Dengan suku bunga riil yang berlaku sebesar 10 %, maka harga minimum bibit yang layak bagi investor/pengembang pembibitan adalah Rp 4.000,-.

Peran pemerintah daerah dalam upaya pengembangan cendana oleh masyarakat dapat dilakukan dengan memberikan subsidi harga bibit cendana. Alternatif lain dalam upaya pengembangan cendana adalah dengan memberikan bantuan bahan persemaian kepada kelompok masyarakat dan memberikan pelatihan persemaian serta pendampingan. Untuk meningkatkan keberhasilan pengembangan cendana diperlukan penelitian lebih lanjut berkaitan dengan mekanisme tata niaga dan penjaminan kualitas benih sehingga persen jadi bibit dapat meningkat.

(32)

21

DAFTAR PUSTAKA.

Affianto, A., Susanti, A. dan Riyanto, S..2005. Nilai Finansial dan Ekonomi Tegakan Hutan. Bunga Rampai Hutan Rakyat, Petani, Ekonomi dan Konservasi. Aspek Penelitian dan Gagasan. Editor San Afri Awang. Pustaka Hutan Rakyat. Debut Press. Yogyakarta. hlm. 57-96.

Astana, S. 2005. Analisis Kelayakan Finansial Usaha Budidaya dan Penyulingan kayu Putih Skala Rakyat. Makalah disampaikan pada Acara Temu Lapang yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah di Semarang Tanggal 14 Desember 2005.

Basalamah. 1991. Penilaian Kelayakan Rencana Penanaman Modal. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press.

Harahap, S.S. 2006. Analisis Kritis Atas Laporan Keuangan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

(33)
(34)

23

KERAGAMAN SPESIES AVIFAUNA HUTAN PENELITIAN OILSONBAI, KUPANG, NTT

Oleh:

Oki Hidayat ABSTRAK

Burung merupakan indikator yang sangat baik untuk mengetahui kesehatan lingkungan dan nilai keanekaragaman hayati secara keseluruhan. Populasi dan keanekaragaman burung dapat digunakan sebagai pengukur kelestarian kegiatan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang jenis-jenis avifauna yang terdapat di Hutan Penelitian Oilsonbai. Metode yang digunakan berupa survai dan pengamatan langsung. Metode sensus dilakukan dengan membuat daftar jenis MacKinnon. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya 4 tipe habitat yaitu hutan campuran, hutan jati, ladang dan sungai. Spesies avifauna yang dijumpai mencapai 33 spesies dari 20 famili. Komposisi tertinggi pada hutan campuran mencapai 18 spesies, komposisi terendah pada hutan jati dan ladang, masing-masing hanya 8 spesies.

Kata kunci : Avifauna, habitat, Oilsonbai

I. PENDAHULUAN

Indonesia telah ditetapkan sebagai negara megadiversity ke dua terbesar di dunia (Mittermeier & Mittermeier 1997). Selanjutnya juga dikatakan pula bahwa di dunia tercatat ada 9.040 jenis avifauna (burung), 1.531 jenis diantaranya terdapat di Indonesia dengan 397 jenis (26%) endemik. Di Nusa Tenggara terdapat sekitar 400 jenis dengan 40 jenis di antaranya merupakan jenis endemik.

Burung sudah menjadi sumber inspirasi bagi manusia selama berabad-abad, dan memiliki nilai istimewa dalam berbagai budaya masyarakat. Burung juga merupakan indikator yang sangat baik untuk mengetahui kesehatan lingkungan dan nilai keanekaragaman hayati secara keseluruhan. Populasi dan keanekaragaman burung dapat digunakan sebagai pengukur kelestarian kegiatan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam (Coates et al., 2000). Keberadaan burung membawa banyak manfaat bagi alam termasuk manusia di dalamnya. Burung memiliki nilai ekonomi khusus, salah satunya sebagai penyebar biji tumbuhan. Rangkong, merpati dan burung paruh bengkok merupakan burung penyebar biji, sehingga keberadaannya turut melanjutkan keberadaan permudaan tumbuhan hutan sebagai plasma nutfah yang sangat tinggi nilainya (Hidayat, 2011). Jenis-jenis burung penghisap madu juga tak kalah pentingnya dalam ekosistem. Keberadaannya sebagai agen penyerbukan telah menjalankan sebuah proses penting perkembangan vegetasi yaitu regenerasi.

Keanekaragaman jenis burung yang dapat dijadikan sebagai indikator kualitas lingkungan perlu mendapat perhatian khusus, karena kehidupannya dipengaruhi oleh

(35)

24

faktor fisik, kimia, dan hayati. Faktor fisik dapat berupa suhu, ketinggian tempat, tanah, kelembaban, cahaya, dan angin. Faktor kimia antara lain berupa makanan, air, mineral dan vitamin, baik secara kuantitas maupun kualitas. Faktor hayati yang dimaksud diantaranya berupa tumbuhan, satwaliar, dan manusia (Peterson, 1980).

Hutan Penelitian Oilsonbai merupakan hutan produksi terbatas yang ditetapkan menjadi hutan penelitian. Di lokasi tersebut terdapat stasiun penelitian dengan berbagai sarana penelitian di dalamnya. Pengelolaannya berada dibawah Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Kupang. Kawasan seluas 25 ha ini berada pada ketinggian 100 mdpl. Tipe habitat berupa hutan kering campuran yang merupakan hutan sekunder. Selain berfungsi sebagai lokasi demplot penelitian, kawasan tersebut juga menjadi habitat bagi berbagai macam satwaliar khususnya avifauna (burung). Informasi mengenai keragaman jenis burung diperlukan sebagai data potensi kawasan yang akan digunakan sebagai acuan dalam pengelolaannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang keragaman jenis avifauna di Hutan Penelitian Oilsonbai, Kupang.

II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengambilan data dilakukan pada bulan Agustus 2012 di Hutan Penelitian Oilsonbai, Desa Fatukoa, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang. Hutan Penelitian ini merupakan milik BPK Kupang.

B. Peralatan Penelitian

Peralatan yang digunakan adalah binokuler, kamera nikon DSLR D80, lensa sygma 150-500 mm, Global Positioning System (GPS), data sheet, dan alat tulis-menulis.

C. Metode Penelitian

Pengumpulan data spesies avifauna dilakukan dengan survei dan pengamatan langsung. Pengamatan lapangan dilanjutkan analisis foto untuk memastikan identifikasi jenis. Penjelajahan dilakukan 3 kali dalam waktu yang berbeda sebagai ulangan. Metode sensus burung dilakukan dengan membuat 1 daftar jenis burung yang teramati di sepanjang jalur pengamatan. Setiap jenis baru dicatat hingga mencapai 10 jenis, lalu dibuat daftar baru lagi. Jenis yang sama tidak boleh dicatat 2 kali dalam 1 daftar. (MacKinnon dkk., 1991).

(36)

25

III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keragaman Avifauna

Jumlah spesies yang dijumpai selama pengamatan mencapai 33 spesies dari 17 famili. Tingkat perjumpaan spesies sepanjang waktu pengamatan tampak dalam Gambar 1. Daftar spesies selengkapnya dalam Lampiran 1.

Gambar 1. Akumulasi spesies avifauna di Hutan Penelitian Oilsonbai selama.

Kecenderungan yang tampak selama pengamatan menunjukkan bahwa pertambahan jumlah spesies semakin sedikit seiring dengan bertambahnya waktu pengamatan. Komposisi perjumpaan masing-masing famili tampak pada Gambar 2. Spesies-spesies yang dominan secara umum berasal dari famili Columbidae (kelompok merpati, punai, walik), Meliphagidae (kelompok pemakan madu), dan Plocidae (kelompok bondol-bondolan). Spesies masing-masing famili ini dijumpai dalam jumlah yang relatif lebih banyak dari famili lainnya.

13 19 22 28 29 31 33 0 5 10 15 20 25 30 35 1 2 3 4 5 6 7 Ju mlah jenis Hari pengamatan

(37)

26

Gambar 2. Komposisi famili avifauna yang dijumpai di Hutan Penelitian Oilsonbai selama pengamatan.

Dari ke-33 spesies yang ditemukan terdapat tiga spesies endemik Timor yang merupakan burung penting di Timor. Ketiga spesies tersebut termasuk dalam famili Meliphagidae, spesies tersebut diantaranya cikukua timor (Philemon inornatus), myzomela timor (Myzomela vulnerata), dan isap-madu timor (Lichmera flavicans).

Jumlah jenis famili Meliphagidae ditemukan sebanyak enam jenis. Anggota famili ini merupakan jenis burung pemakan madu/isap madu. Sebagai nektarifor, anggota famili ini banyak memanfaatkan berbagai macam pohon dalam proses pencarian makan. Umumnya jenis-jenis tersebut menyukai daerah-daerah tajuk pohon. Dimana terdapat banyak bunga (Trainor dkk, 2000). Jenis yang tidak umum dijumpai di hutan kering seperti di Oilsonbai adalah jenis isap-madu timor. Menurut Trainor dkk (2000) jenis ini menyukai daerah-daerah yang lebih basah dan lebih umum dijumpai di daerah ketinggian daripada di daerah yang lebih rendah dan kering. Hal ini terjadi disebabkan oleh persaingan dengan meliphaga dada-lurik dimana mereka memiliki relung habitat yang sama pada suatu habitat.

Jenis pemakan biji-bijian yaitu famili Columbidae dan Plocidae menampati urutan kedua jenis yang banyak terdapat di Oilsonbai. Anggota famili Columbidae biasa ditemukan beraktifitas dipermukaan tanah dan di atas tajuk. Di permukaan tanah jenis-jenis ini biasa mencari makan biji-bijian, terkadang mereka memakan batu atau pasir untuk membantu proses pencernaannya. Selain biji-bijian jenis ini senang memakan buah Ficus spp. Di Oilsobai anggota famili Plocidae yang paling melimpah adalah burung-gereja erasia (Passer montanus). Pada saat pengamatan ditemukan pula bekas sarang jenis famili Plocidae.

0 1 2 3 4 5 6 7

(38)

27

B. Perbedaan tipe habitat

Berdasarkan kondisi tipe habitat yang dijumpai, Hutan Penelitian Oilsonbai sebagai lokasi pengamatan dibagi menjadi empat tipe yaitu hutan campuran, hutan jati, ladang dan sungai. Masing-masing tipe hutan tersebut dideskripsikan seperti dalam Tabel 1. Komposisi spesies dan famili yang dijumpai pada masing-masing tipe habitat tampak pada Gambar 3.

Tabel 1. Deskripsi lokasi pengumpulan data avifauna di Hutan Penelitian Oilsonbai

Kode Lokasi Titik pengamatan Deskripsi JU Jalan Utama

(Hutan campuran)

- Jalan aspal dengan vegetasi campuran di sisi kanan kiri

- Vegetasi utama: akasia (Acacia mangium), jati (Tectona grandis), kesambi (Scheichera oleosa) - Merupakan jalan desa dengan aktifitas kendaraan

yang tidak terlalu ramai HJ Hutan jati - Berada di sisi barat stasiun

- Vegetasi utama jati (T. grandis)

LD Ladang - Ladang milik penduduk yang berbatasan dengan pinggir kawasan

- Vegetasi campuran berupa tanaman semusim, semak dan rumput

SU Sungai - Sungai dengan vegetasi yang rapat

- Vegetasi utama: jambu-jambuan (Eugenia spp), pandan (Pandanus spp), Ficus spp

- Pada akhir kemarau biasanya debit air sangat kecil hingga kering

- Terbentuk kolam kecil di bagian utara stasiun pada saat debit air kecil

Gambar 3. Jumlah spesies dan famili avifauna yang dijumpai di Hutan Penelitian Oilsonbai berdasarkan titik pengamatan.

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

Spesies Famili Spesies Famili Spesies Famili Spesies Famili

JU HJ LD SU

Ju

m

la

(39)

28

Berdasarkan grafik pada Gambar 3 tampak bahwa lokasi hutan campuran di sepanjang jalan umum memiliki komposisi spesies dan famili yang paling tinggi. Kondisi habitat yang terdiri dari berbagai macam jenis vegetasi memberikan kemungkinan ketersediaan pakan yang lebih beragam dari ketiga titik pengamatan lainnya.

Sebagian besar jenis burung endemik bergantung pada habitat hutan. Pada dataran rendah savana atau area yang hutannya dibuka ditemukan burung-burung yang oportunistik, yang sebagian besar berasal dari Australia (Rombang dkk, 2002). Pada saat pengamatan ditemukan dua jenis burung daratan migran yaitu jenis wiwik rimba (Cacomantis variolosus) dan kirik-kirik australia (Merops ornatus). Kedua jenis tersebut dijumpai pada tipe hutan campuran.

Spesies kunci pada habitat sungai di Hutan Penelitian Oilsonbai adalah jenis raja-udang erasia (Alcedo Atthis) dari famili Alcedenidae. Burung pemakan ikan dan serangga berukuran sedang/kecil ini berwarna cerah dengan paruh panjang, kokoh dan berbentuk seperti pisau belati (MacKinnon, 1991). Spesies ini menempati relung habitat yang berbeda dari spesies avifauna lainnya di Oilsonbai. Biasa ditemukan pada kolam kecil di utara stasiun.

Di daratan Timor yang kering, beberapa spesies burung menggunakan sebagian besar atau seluruh waktunya di dalam hutan. Spesies-spesies burung ini sangat tergantung akan hutan, tidak adanya hutan dapat mempercepat proses kepunahannya. Distribusi dan persebaran spesies burung tersebut merupakan indikator yang kuat untuk melihat keberlanjutan kelestarian keanekaragaman di Timor Barat yang berhutan kering dan terpecah-pecah dalam blok hutan kecil yang tidak beraturan (Trainor dkk, 2000). Hutan Penelitian Oilsonbai dengan berbagai tipe habitat di dalamnya merupakan salah satu dari blok hutan kecil yang tidak beraturan tersebut. Keberadaannya sangat penting bagi keberlangsungan proses ekologi. Jika kepunahan terjadi maka akan memberikan dampak yang besar bagi lingkungan.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Keragaman spesies avifauna yang dijumpai di Hutan Penelitian Oilsonbai menunjukkan adanya 33 spesies avifauna dari 20 famili yang tersebar pada tipe habitat hutan campuran, hutan jati, ladang dan sungai.

(40)

29

2. Komposisi spesies terbanyak yaitu di hutan campuran dengan 18 spesies dari 13 famili yang disebabkan beragamnya jenis pakan di daerah tersebut.

B. Saran

Penelitian ini merupakan studi awal pengumpulan informasi hayati di Hutan Penelitian Oilsonbai. Selanjutnya masih diperlukan pemantauan untuk avifauna, besar kemungkinan masih terdapat beberapa spesies yang belum tercatat. Selanjutnya diperlukan pengumpulan data dan informasi mengenai jenis mamalia, reptil, amfibi dan insekta, sebagai data dasar potensi kawasan.

DAFTAR PUSTAKA

Coates J. Brian, Bishop K. David dan Gardner D. 2000. Panduan Lapangan Burung-Burung di Kawasan Wallacea. Birdlife International Indonesia Programme. Bogor.

Hidayat, O. 2010. Birdwatching (Pengamatan Burung) di Pulau Timor Provinsi Nusa Tenggara Timur. Warta Cendana Edisi III No.1, BPK Kupang.

MacKinnon, J.1991) A Field Guide to The Birds of Java and Bali. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.

M i t t e r m e i e r , R A . & C G . M i t t e r m e i e r . 1 9 9 7 . Megadiversity (Earth Biologicaly Weatlhiest Nations). C a n a d a : Q u e b e c o r P r i n t i n g I n c . C i m e x . Peterson. 1980. Burung. Pustaka Alam”LIFE”. Tira Pustaka. Jakarta.

Rombang, W.M., Trainor, C. dan Lesmana, D. 2002. Daerah Penting bagi Burung : Nusa Tenggara. PHKA/Birdlife Indonesia, Bogor.

Trainor, C., Lesmana, D., dan Gatur, A. 2000. Arti Penting Hutan Di Daratan Timor Bagian Barat – Telaah Awal Informasi Keanekaragaman Hayati dan Sosial-Ekonomi di Pulau Timor Provinsi Nusa Tenggara Timur. PKA/Birdlife International/WWF, Bogor. Laporan No. 13.

Gambar

Tabel 1. Sumber benih cendana di diwilayah NTT hingga Mei 2012
Tabel 1. Distribusi luasan lahan potensial untuk cendana pada masing-masing  kabupaten/kota di Pulau Timor
Gambar 1. Akumulasi spesies avifauna di Hutan Penelitian Oilsonbai selama.
Gambar 2. Komposisi famili avifauna yang dijumpai di Hutan Penelitian Oilsonbai  selama pengamatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Teori pokoknya dalam Sosiologi Umum dan Politik adalah konsep ashabiyah (solidaritas sosial). Asal-usul solidaritas ini adalah ikatan darah yang disertai kedekatan hidup bersama.

Kemudian rekomendasi dokumen dan manajemen akan menambahkan total 9 (sembilan) poin dengan rincian: kriteria prasyarat kategori konservasi air dan kesehatan dan

Adapun dampak dari mengkonsumsi minuman keras pengasih yang dapat dilihat dari keenam subjek remaja suku dayak berusu yaitu dampak psikis, dimana adanya

Mulai dari arah edar matahari terhadap bangunan yang mempengaruhi masuknya sinar matahari ke dalam ruangan, suhu udara di sekitar lokasi yang mempengaruhi penghawaan

Keadaan bayi yang membahayakan akan memperlihatkan satu atau lebih tanda-tanda klinis seperti tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot dan organ

Ibn Qayyim turut menjelaskan bahawa kandungan Hadith yang menyebut bahawa orang-orang Yahudi bertanyakan tentang al-r uh yang berada di dalam badan manusia bertentangan dengan

 Host Identifier/HostID atauHost adress(alamat host) yang digunakan khusus untuk mengidentifikasikan alamat host (dapat berupa workstation, server atau sistem

Dapatan kajian menunjukkan guru-guru Bahasa Melayu mempunyai tahap pengetahuan yang tinggi, tahap kemahiran yang sederhana, tahap sikap yang sederhana, kekangan