• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketika pertanyaan tentang pentingnya keberadaan Bakor Pakem dilemparkan kepada para penghayat kepercayaan, hal tersebut mendapatkan banyak reaksi dan jawaban. Dalam pandangan mereka, keberadaan bakor ini sangat mengada-ada (absurd) dan sangat diskriminatif. Ketika Bakor Pakem sudah terlalu masuk dan terlalu mengatur sesuatu hal yang privat dalam hubungan manusia dan Tuhannya, maka negara telah “menjajah kebebasan“ seseorang untuk memeluk dan meyakini kepercayaan seseorang.

Menurut bapak Walmuji55, bakor ini tidak perlu diadakan karena benar-benar tidak mempunyai landasan undang-undang yang kuat. Negara boleh mengawasi masyarakatnya dengan konteks kepada organisasi kemasyarakatan bukan kepada sebuah iman kepercayaan seseorang. Iman seseorang itu bersifat sakral dan privat yang tidak dapat diatur dan dibatasi oleh orang lain, sejauh dalam pelaksanaannya tidak menyimpang dan mengganggu ketertiban masyarakat

Pengawasan sebagai bentuk tugas menjaga stabilitas keamanan adalah salah satu bentuk tanggung jawab negara. Pengawasan tersebut jika dilakukan dengan berlebihan maka akan mengekang kebebasan seseorang, dan hal tersebut menjadi sangat bertentangan dengan UU 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2. Pada pasal tersebut dengan tegas dan jelas dalam melindungi juga membebaskan setiap warga negaranya untuk memeluk agama dan kepercayaannnya masing-masing.

55

Wawancara pada bulan 7 Februari 2009 dengan bapak Walmuji di kantor FPUB.

Konstruksi alam pikiran masyarakat yang berkembang sangat mempengaruhi hubungan antara masyarakat kepercayaan dengan negara. Dari sejarah dapat kita ketahui bahwa dominasi Islam sangat mempengaruhi berbagai kebijaksanaan dari negara. Dominasi agama resmi (terlebih dari mayoritas) tersebut sangat terlalu sering ”memaksakan” kehendak dengan membuat aturan-aturan yang cenderung mendiskriditkan para penghayat kepercayaan.

Menurut Trisno S. Sutanto56 yang lebih menyoroti mengenai landasan yang digunakan Bakor Pakem yaitu UU no 1/PNPS/1965. Menurutnya produk-produk yang mempunyai ”pasal-pasal karet”, terbukti selama ini digunakan dengan mudah untuk membelenggu kebebasan berkeyakinan dan sudah tidak relevan dengan perkembangan jaman. Undang-undang tersebut menjadi pasal yang melegitimasi untuk memberangus pemikiran yang kreatif dan kritis apalagi pemahaman agama yang kritis dan lebih ”kreatif”.

Munculnya undang undang UU PNPS tahun 1965 dan beberapa peraturan pemerintah bukan sebuah landasan yang kuat untuk membubarkan dan membekukan sebuah agama dan kepercayaan. Sesuatu yang kongkritlah yang dapat dibubarkan tetapi tidak ada yang bisa membubarkan hal-hal yang abstrak (seperti iman dan kepercayaan). Hal tersebut menjadi catatan pihak Bakor Pakem beserta jajarannya, karena proses-proses pembubaran dan pembekuan sebuah aliran agama memerlukan kajian secara khusus dan medalam.

56

Direktur Madia (Masyarakat Dialog Antar Agama) dalam tuliannya di buku ”Diskriminasi disekeliling Kita, Negara, Politik dan Multikulturalisme” terbitan Interfidei, Hlm. 102.

Hampir senada dengan diatas, bapak Bakir57 mengatakan bahwa agama dan kepercayaan itu adalah mengenai sebuah penghayatan iman kepada Gusti, Tuhan, Allah, Yang Widhi, Jubata, dan lain-lain. Selama penghayatan ini tidak mengganggu ketertiban umum, maka setiap orang bebas untuk memeluk kepercayaannya masing-masing.

Negara berhak mengatur setiap warga negaranya dengan tetapi jangan sampai sebuah aturan yang disusun tersebut membuat sekelompok orang menjadi terdiskriminasikan. Keberadaan Bakor Pakem sendiri juga masih banyak diwarnai dengan berbagai macam kepentingan-kepentingan tertentu. Dari hal itu perlu pembenahan struktur dan cara kerja bakor yang benar-benar netral dan efisien.

57

Wawancara tanggal 8 Agustus 2007 dengan bapak Bakir, seorang penganut Pangerten (kejiwan) dipegunungan Menoreh.

74

Bakor Pakem didirikan pada tahun 1954 sebagai salah satu upaya pemerintah untuk mengontrol perkembangan aliran kepercayaan yang begitu pesat. Badan ini merupakan badan resmi pemerintah dibawah Kejaksaan dan berada diseluruh wilayah Indonesia.

Dasar kewenangan tindakan Bakor Pakem tertuang dalam surat keputusan no stbl 1919 no 27 jo.stbl. no 85 dan 574 dan Undang-undang no 1 PNPS tahun 1965. Bakor ini mempunyai hak dan kewajiban untuk mengawasi, mengatur dan menindak aliran-aliran kepercayaan yang dianggap sesat dan mengganggu ketertiban umum.

Dari penelitian yang dilakukan menemukan bahwa, sejak tahun 1954 sampai sekarang kedudukan dan kinerja Bakor Pakem ini agak terlihat rancu dan rawan. Hal tersebut dikarenakan, pertama karena banyaknya Peraturan dan Undang-undang sebagai landasan bakor yang tumpang tindih. Kedua, tugas Bakor Pakem yang seringkali sama dan serupa dengan Departemen Agama sehingga menyebabkan gagalnya sinergitas yang diharapkan.

Ketiga, masalah pengurusan kearsipan Bakor Pakem terutama di Bakor Pakem Yogyakarta yang sangat tidak lengkap dan tersusun rapi. Hal tersebut mempunyai peranan yang sangat penting sebagai data base kearsipan dan sebagai bukti kinerja bakor ini. Ketika kearsipan ini hilang atau tidak ada, maka kinerja yang telah dilakukan menjadi dipertanyakan.

Dari hal diatas, dapat kita lihat bahwa hubungan antara Bakor Pakem dan masyarakat kepercayaan sepenuhnya tidak berjalan mulus. Hal tersebut dikarenakan masih banyak kesimpangsiuran dan ketidak obyektifan para aparat negara dalam menjalankan fungsi Bakor Pakem. Oleh karena itu banyak pihak yang merasa bahwa Bakor Pakem sangat tidak penting terlalu mengada-ada,

sehingga revolusi kinerja bakor sangat diperlukan untuk memperbaiki citra bakor Pakem itu sendiri.

B. Saran

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh negara, lebih khususnya Bakor Pakem dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.

1. Perlunya redefinisi mengenai masalah agama dan kepercayaan, itu dimaksudkan untuk memaknai sebuah agama dan kepercayaan secara lebih mendalam, meminimalisir subjektifitas, dan pemaknaan disusun secara ilmiah. Diharapkan masalah pendefinisian ini tidak menjadi sebuah perdebatan yang yang panjang dan tidak kunjung habis msampai saat ini.

2. Bakor Pakem memerlukan sistem kearsipan dan prosedural yang baik dan harus berdasar pada landasan hukum yang kuat sebagai alat pengatur dan pengawas keparcayaan masyarakat. Hal tersebut diperlukan peraturan atau undang undang yang khusus sebagai landasannya.

3. Perlunya sinergitas yang lebih komunikatif dan koordinasi yang jelas dalam Bakor Pakem. Hal tersebut dimaksudkan supaya antar lembaga

dibawah koordinasi bakor tidak saling tumpang tindih dan bekerja sendiri sendiri bahkan keluar dari prosedur yang telah ditetapkan.

4. Perlunya dasar kompetensi yang kuat dalam melakukan kajian–kajian khusus dalam mengkaji dan memutuskan mengenai pembekuan dan pembubaran sebuah aliran/sekte kepercayaan tertentu. Dalam sebuah koordinasi dan investigasi diperlukan orang-orang yang berkompeten dan diharapkan juga untuk lebih banyak melibatkan para akademisi, baik para teolog atau ahli-ahli dibidang sosial dan humaniora.

Dari masukan diatas diharapkan kinerja Bakor Pakem menjadi lebih baik dan lebih bisa dipercaya oleh masyarakat, khususnya masyarakat penganut kepercayaan. Kiranya ketika negara membuat pasal 29 UUD 1945, maka pasal

77

Abdulah Ciptoprawiro.1986. Filsafat Jawa , Balai Pustaka, Jakarta. Anas Saidi (edt). 2004, Menekuk Agama Membangun Tahta Kebijakan

Agama Orde Baru, Desantara Utama, Jakarta.

ASa’ad el Hafidy. 1977, Aliran Aliran Kepercayaan dan kebatinan di Indonesia, Ghalia, Indonesia, Jakarta.

Bazor. Moh. R. Departemen Agama,_____Jakarta. Dahler, Frans,DR. Masalah Agama,______ Jakarta.

Daryanto, SS. 1999. Kawruh bahasa Jawa Pepak, Apollo, Surabaya.

Dwi Putranto. 2002, Kontroversi Konsep Ratu Adil dan Satrio Piningit Saya Percaya Saya Dapat, PT Grassindo, Jakarta.

Geerzt, Cliford. 1983, Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Pustaka Jaya, Jakarta,

George Ritzer-Douglas J. Goodman. 2008, Teori Sosiologi Modern, Kencana, Jakarta.

Gottschalk, Louis.____, Mengerti Sejarah. Terj nugroho Notosusanto, Universitas Indonesia press, Jakarta.

Harun Hadiwiyono. 1970, Java and Mystisism ,Yogyakarta.

Interfidei. 2007, Agama dan Negara, Perspektif Islam, Katolik, Budha, Hindhu, Konghuchu, Protestan, Institute Dian/Interfidei, Yogyakarta.

Interfidei. 2007, Diskriminasi di Sekeliling Kita, Negara, Politik Diskriminasi dan Multikulturalisme, Institute Dian/Interfidei, Yogyakarta.

Jacob Sumardjo. 2002, Arkeologi Budaya Indonesia, Pelacakan Hermeunetis-Historis terhadap Artefak-Artefak kebudayaan Indonesia, Qalam, Yogyakarta

Kuntowijoyo. 2006, Budaya dan Masyarakat, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta.

Koentjaraningrat. 1993, Metode-Metode Metode Penelitian Masyarakat, PT Gramedia pustaka utama, Jakarta.

Lindholm, Tore dkk (ed). 2009, Kebebasan Beragama atau berkeyakinan: Seberapa Jauh?, Kanisius, Yogyakarta

Muhammad Damami. 2 002, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa, LESFI, Yogyakarta.

Magnis Suseno, Frans. 2003, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafah tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Moedjanto, G. 1998, Konsep Kekuasaan Jawa Penerapannya oleh Raja Raja Mataram, Kanisius, Yogyakarta.

Mulder, Niels. 2001, Mistisisme Jawa Ideologi di Indonesia, LKIS, Yogyakarta.

Mulder, Niels.1983, Jawa Thailand Beberapa Perbandingan Sosial Budaya, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Nahar Narwawi, Muh. 2003, Memahami Konghuchu sebagai Agama, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sartono Kartodirjo. 1992, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Soehadha, M. 2008, Orang Jawa Memaknai Agama, Kreasi Wacana, Yogyakarta.

Soetomo. 2008, Masalah Sosial dan Upaya pemecahannya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Soerjono Soekanto. 1998, Fungsionalisme dan Teori Konflik dalam Perkembangan Sosiologi, Sinar Grafika, Jakarta.

Suwardi Endraswara. 2003, Mistik Kejawen Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa, Penerbit Narasi, Yogyakarta.

Rahmat Subagya. 2002, Kepercayaan Kebatinan-Kerohanian-Kejiwaan dan Agama, Kanisius, Yogyakarta.

Wawan Susetya. 2007, Kontroversi Ajaran Kebatinan. Penerbit Narasi, Yogyakarta.

Wisnu Minasarwati. 2002, Mitos Merapi dan Kearifan Ekologi menguak Bahasa Mitos dalam Kehidupan Masyarakat Jawa Pegunungan, Kreasi Wacana, Yogyakarta

______. 2002, Jogja Never Ending Asia menggelar Potensi Jogja, PEMDA-DIY dan PT Bagassindo Media Persada, Yogyakarta.

_____. 1984/1985, Pembinaan Penghayat Kepercayaan TYME dengan Memperhatikan Dasar Hukum dan Perundangan Terkait, Depdikbud, Dirjen Kebudayaan Ditbinyat TYME, Proyek

Invebtarisasi Kepercayaan Terhadap TYME, Jakarta.

Makalah

Konflik Sosial ditinjau dari Struktur dan Fungsi, oleh Mulyadi, Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Budaya UGM, dipaparkan dalam Seminar Nasional, bulan Juli 2004.

Koran dan majalah

Suluh. 2006. edisi 26/tahun VI/ Maret-April,

Informan

Wawancara tanggal 20 Januari 2009 dengan Bapak Anas, Wakil Kepala Intelejen Kajati DIY

Wawancara tanggal 7 Februari 2009, dengan Bapak Walmuji, seorang aktivis FPUB (Forum Persaudaraan Umat Beriman) dan penghayat aliran Kawula Ngayogyakarta.

Wawancara tanggal 7 Februari 2009, dengan Sdr. Ngatiyar, seorang aktivis FPUB

Wawancara tanggal 8 Agustus 2007 dengan bapak Bakir, seorang penganut Pangerten (kejiwan) dipegunungan Menoreh

Website http://jakarta.usembassy.gov/bhs/Laporan/Laporan_Kebebasan_Beragama_20 07.html http://jarikmataram.wordpress.com/2007/12/22/kebebasan-beragama-dan-ham-di-indonesia/ http://jurnalhukum.blogspot.com/2007/10/konstitusi-poligami-dan-kebebasan.html http://www.jogja.go.id/ http://www.pemda-diy.go.id/ http://www.mailarchive.com/budaya_tionghua@yahoogroups.com/msg00795. html http://TokohIndonesia.Com/Sri Sultan HB IX

Dokumen terkait