• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Letak Geografis dan Kependudukan 1. Bentang Alam

4. Sosial Ekonomi

2.1. Dinamika masalah Kepercayaan

Secara harafiah kepercayaan berasal dari kata percaya yang berarti (menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia) mengakui atau yakin bahwa sesuatu itu benar atau nyata. Kata ini mengandung makna yang luas, karena kepercayaan itu universal dan amat asasi. Universal dalam arti bahwa kepercayaan dapat dimiliki oleh siapapun dan percaya terhadap apapun, sesuai dengan pengetahuan dan

“kedalaman pikiran” seseorang. Hal itu bersifat asasi karena menyangkut sesuatu yang privat dan kepercayaan tidak boleh dipaksakan.

Masyarakat Yogyakarta ini mempunyai keimanan yang dimanifestasikan ke dalam bentuk agama maupun kedalam ajaran-ajaran kepercayaan lain. Antara agama, kepercayaan, dan kebatinan sebenarnya mempunyai esensi yang sama, yaitu percaya terhadap Yang Ada, Gusti, Tuhan ataupun Allah, perbedaannya adalah bentuk, tata cara ritual dan proses laku menjalankan ajaran yang dianutnya.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan istilah Kepercayaan karena mengandung makna yang lebih luas, sebelum tahun 1978 lebih dikenal dengan nama kebatinan, sesudah itu lebih sering disebut sebagai aliran kepercayan terhadap Tuhan yang Maha Esa (TYME). Aliran kepercayaan ini menurut Mr. Wongsonegoro terbagi kedalam beberapa golongan, yaitu kebatinan, kejiwaan dan kerohanian.

“Kebatinan mengandaikan adanya ruang hidup didalam diri manusia yang bersifat kekal. Disitulah terdapat kenyataan mutlak latar belakang terakhir dan definitif dari segala apa yang bersifat sementara, tidak tetap atau semu saja. Seluruh alam erat dengan segala daya tenaganya hadir secara imanent didalam batin itu dalam wujud kesatuan tanpa batas antara masing-masing bentuk. Bila manusia mengaktivir daya batinnya dengan olah rasa atau semadhi, dia membebaskan diri dari prsangka atas keanekaan bentuk-bentuk. Melalui kontak gaib manusia menyadari diri sebagai satu-dalam-semua dan semua-dalam-satu, selanjutnya dia menerima kekuasaan datas daya gaib dalam kosmos. Corak kebatinan adalah kosmesentris yang terupa dalam sakti, astrologi, olkutisme dan ramalan zaman depan.

Kejiwaan mengajarkan semacam psychotehnik, melalui mana jiwa /mental abadi manusia menyadari diri sebagai Ada-Bebas-mutlak yang tidak tergantung pada apa saja yang ada diluarnya. Manusia dibimbing untuk mengatasi hukum alam dan logika untuk menuju realisasi jiwa sendiri, yang penuh rahasia, daya gaib dan parapsychik. Didalam kebebasan itu manusia mengalami kemuliaan dan kebahagiaan. Kejiwaan ini bersifat anthoposentris, netral terhadap nilai-nilai keagamaan dan sering disebut

sebagai pshichoterapy atau penyembuhan daya jiwa. Kejiwaan juga diartikan sebagai usaha membebaskan diri dari belenggu keakuan dan keduniawian agar menjurus kepada dasar jiwa, dimana ditemukan ketuhanan. Kejiwaan itu berkembang dalam faham pantheis, maupun dalam keyakinan monotheis.

Kerohanian memperhatikan jalan, melalui mana roh manusia sudah dalam jaman sekarang ini dapat menikmati kesatuan dengan roh mutlak, sumber asal dan tujuan roh insani. Terdapatlah kerohanian monistis, menurut mana roh insani yang dianggap mengalir identitasnya sendiri, tetapi dengan partisipasi daya gaib adi-insani. Terdapat pula kerohanian theosentris, dimana roh tercipta merasa dipersatukan dengan Tuhan pencipta tanpa kehilangan kepribadiannya sendiri, entah melalui jalan budi atau Gnosis, entah melaliu jalan bakti, cinta atau tawakul”.15

Tentu saja klasifikasi ini tidak mutlak untuk menjadi eksklusif, masing masing saling menpengaruhi ataupun terkait satu dengan yang lainnya, walaupun begitu penggolongan ini akan lebih bisa diterima dalam kelompok masyarakat modern. Sedangkan kejawen yang kita kenal sekarang adalah bentuk-bentuk kepercayaan kepercayaan masyarakat Jawa yang sekarang lebih familier dikalangan masyarakat kita. Kejawen sendiri juga mempunyai beragam bentuk (aliran-aliran) dan karakter sesuai dengan pengembangan dan perkembangannya..

Aliran kepercayaan masyarakat Jawa (disebut sebagai Kejawen) di Yogyakarta dipengaruhi dua hal yaitu; kejawen yang terpengaruh kraton dan luar kraton. Aliran kejawen yang terpengaruh oleh kraton adalah kejawen yang merupakan ajaran atau tradisi yang berkembang dan secara turun menurun dilestarikan di lingkungan kraton atau dipimpin oleh kerabat/trah kraton. Kejawen ini mempunyai tradisi yang lebih banyak pengaruhnya karena sampai saat ini

15

Subagya, Rahmat. 2002. Kepercayaan dan Agama Kebatinan Kerohanian Kejiwaan. Kanisius, Yogyakarta. Hlm.43-44.

penganut tradisi kraton yang masih banyak. Kraton Yogyakarta sendiri sampai sekarang masih mengembangkan tradisi kejawen-Islam yang sangat sinkretis dan pluralis.

Kejawen yang ada diluar kraton adalah kejawen yang biasanya dipimpin oleh orang-orang awam (atau trah bangsawan yang hidup) diluar tembok kraton (Mancanegara), biasanya mereka adalah orang-orang “ngelmu’ yang menerima wahyu secara tersendiri. Pemimpinnya tidak selalu orang yang berdarah biru

tetapi kebanyakan berasal dari rakyat biasa.

Pembagian lain dari perspektif pelaku lelaku kejawen ini terdapat dalam lelaku perorangan dan lelaku secara kelompok paguyuban16. Hal itu dimaksudkan bahwa seseorang penghayat kepercayaan bisa melakukan kepercayaan itu secara pribadi dan tidak ikut melibatkan orang lain/kelompok Orang tersebut dengan sengaja memisahkan diri dari kelompok paguyubannya dan melaksanakan ajaran kejawen secara personal.

Lelaku yang kedua dilakukan dalam sebuah kelompok paguyuban, kelompok ini biasanya mempunyai struktur dan anggaran dasar rumah tangga (AD/ART) yang jelas. Dari pembagian itu dapat dipastikan bahwa hanya yang tergabung dalam kelompok paguyubanlah yang bisa mendaftar dan tercatat secara administratif oleh lembaga-lembaga pengawasan pemerintah.

16

Menurut mbah Bakir (seorang penganut kajiwan di daerah pegunungan seribu) kebanyakan para penghayat keparcayaan masuk kedalam banyak padepokan atau paguyuban kejawen, namun bagi mereka para penganut kajiwan yang beraliran makrifat akan lebih cenderung berguru seorang diri (masuk dalam penganut kapribaden).

Sementara itu ada kesalahpahaman dan kesalahkaprahan pandangan didalam masyarakat umum terhadap para penghayat kepercayaan (kejawen). Hal tersebut terlihat dari munculnya stereotip-stereotip negatif mengenai jalan kehidupan masyarakat kepercayaan. Contoh yang dapat diambil adalah ketika orang berbicara tentang mistik akan diidentikkan dengan klenik, haram, “mistik”, bersekutu dengan setan dan sebagainya.

Kesalahpahaman inilah yang harus diluruskan kembali, karena bansga Indonesia ini mempunyai kepercayaan lokal yang amat banyak jumlahnya (multi aliran dan multi ajaran). Sehingga ketika generalisasi stereotif negatif yang sangat absurd tersebut diarahkan kepada masyarakat keperayaan, tentulah menjadi sangat konyol dan tidak cocok sama sekali. Kita harus mengetahui dan memahami terlebih dahulu tentang sebuah aliran yeng bagaimana, aliran siapa, dimana dan bagaimana karakternya.

Stereotif yang sudah terlanjur mengakar dalam paradigma masyarakat tersebut terjadi, karena banyak orang yang tidak mempunyai pengetahuan cukup mengenai terhadap seluk beluk aliran-aliran kepercayaan. Sehingga sangat diperlukan adanya sharing informasi dan kajian-kajian ilmiah secara konferhensif yang mengangkat tentang masyarakat kepercayaan (kejawen).

Ketika kita berbicara mengenai masalah aliran Kepercayaan (kejawen) tentulah harus tahu tentang ajaran-ajaran kejawen terlebih dahulu. Ajaran kejawen ini mempunyai aspek-aspek yang sangat luas, seperti masalah ketuhanan, kosmologi, mitologi dan praktek praktek mistisisme lainnya.

Secara esensial ajaran kejawen mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk mengetahui sangkan paraning Dumadi (asal usul kehidupan) dan pencapaian kesempurnaan hidup. Secara garis besar hal itu terimplikasi kedalam dua konsep besar yaitu pertama dalam konsep menuju Manunggaling Kawulo Gusti (Hablun min Allah) dan konsep Memayu Hayuning Buwana (hablun min annas).

Manunggaling Kawulo lan Gusti ini adalah hubungan yang bersifat vertikal yaitu hubungan manusia dan Tuhannya, dimana terjadi hubungan yang selaras dan dinamis diantara keduanya (Jumbuh, Curiga manjing Warangka dan Warangka manunggal ing Curiga). Persatuan (manunggal) antara manusia dan Tuhan adalah puncak dari sebuah kesempurnaan hidup (makrifat) manusia, karena pada posisi ini manusia bisa ngerti sedurung winarah (tahu sebelum diberi tahu), atau dapat menembus ke dimensi lain tak terbatas ruang dan waktu.

Proses menuju keadaan keadaan makrifat itu tidak saja didapat dengan mudah, karena seseorang pada level tersebut tentu saja sudah sangat mendalami “laku prihatin” kejawen sesuai dengan alirannya. Petungan, meditasi (semedhi), puasa, wirid, adalah hal dasar yang mutlak dijalani bagi pelaku dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan.

Dalam pelaksanaannya banyak sekali secara teknis terjadi perbedaan ritual antar aliran kejawen. Hal ini tidak menjadi masalah, mengingat hasil dari ajaran-ajaran itu berasal dari ‘wahyu” seseorang yang bisa berbeda. Wahyu yang

diterima itulah yang mendasari pegangan hidup dari para penganut aliran kepercayaan17.

Proses atau jalan menuju kemanunggalan itu banyak ditulis dalam bentuk sastra oleh pujangga seperti Yasadipura I, Pakubuwana IV, Ranggawarsita atau yang lain, yang berbentuk serat, suluk, macapat. Sastra yang amat terkenal dan terkait dalam hal ini adalah Serat Dewa Ruci, Serat Centhini, Serat Cabolek, Serat Wirid Hidayat Jati dll.18

Kedua, konsep Memayu Hayuning Bawono adalah mengenai masalah hubungan manusia dengan alam sekitar. Ajaran ini lebih menitik beratkan kedalam prilaku sosial dan etika moral (filsafat sosial) manusia yang tercerminkan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Frans Magnis Suseno terdapat dua kaidah dasar orang Jawa yang tercermin kedalam prinsip hidup, yaitu prinsip kerukunan dan prinsip hormat.

Prinsip kerukunan lebih mengarah kepada hubungan yang harmoni, guyub, tepa slira dan sebagainya, sedangkan prinsip hormat lebih mengarah kepada sikap yang beretika seperti menghormati yang tua atau lebih tua, menyapa orang lain, menggunakan bahasa kromo dan sebagainya. Selain itu kelebihan orang jawa

17

Harun Hadiwiyono. 1970, Java and Mystisicm,Yogyakarta. Hlm. 52-53. Datangnya wahyu tidak secara tiba-tiba tetapi secara berangsur angsur, wahyu ada dan tumbuh dalam jiwa manusia terpilih. Derajad kejiwaan ini dapat disebut wahyu, pepadang, suksma sejati, kesadaran hidup, dan sabda. Sedangkan jalan menemukan wahyu tersebut terdapat dalam serat Sasangka Jati.

18

Abdulah Ciptoprawiro. 1986, Filsafat Jawa. Jakarta, Balai Pustaka. Hlm. 39-77.

adalah dengan menggunakan bahasa pitutur (bahasa lisan) seperti paribasa, saloka, parikan, purwakanthi dll19 sebagai piwulang (pelajaran, pengajaran) etika.

Dari hal diatas, menjadi lucu dan aneh ketika para penghayat kepercayaan dan sejenisnya dituduh, diidentikkan serta dihukum dengan penggeneralisasian mistik, klenik, perdukunan, dan sebagainya, dengan alasan yang tidak jelas. Antara mistik dan klenik mempunyai perbedaan yang mendasar. Menurut Suwardi Endraswara, mistik lebih bermakna sebagai cara hidup dan pola hidup kepercayaan, sedangkan klenik adalah sebuah laku (hasil) ditataran praksis. Secara mendasar mistik lebih menuju ke jalan hidup seseorang untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, sedangkan klenik dan perdukunan adalah salah satu efek-efek (praktek) dari pola hidup tersebut.

Ketika pemahaman seorang penghayat mencapai tingkat yang tinggi (sejati/kasepuhan/makrifat), maka sebenarnya tidak menjadi sebuah masalah. Menjadi masalah ketika banyak orang yang hanya menjadi sebuah objek (konsumen klenik) dari mistik orang lain. Artinya orang itu hanya menjadi konsumen dari amalan, jimat–jimat, pusaka yang diperoleh secara instan dan minim pemahaman esensi spiritual.

Perbedaan dasar antara orang yang lelaku dan pengguna ilmu instan sangatlah signifikan. Seorang pelaku lelaku itu sangatlah mengerti mengenai esensi laku spiritual yang dilakukan, sedangkan konsumen instan tadi tidaklah mengerti tentang esensi spiritual. Para konsumen tersebut yang tidak mempunyai

19

Daryanto, SS, 1999, Kawruh bahasa Jawa Pepak. Apollo.Surabaya. Hlm.19. Contoh parikan; 1) Kembang kencur, gandha sadhep sanding sumur, kudu jujur yen kowe kepingin makmur. 2)Manuk tuhu mencok pager, yen sinau mesti pinter.

landasan spiritual yang kuat tersebut, akhirnya menjadi minim nilai dan jauh dari jiwa spiritualitas.

Menjadi tambah terpuruk ketika banyak oknum-oknum penghayat yang berbekal ilmu spiritual minim mengkomersialisasi sebuah ilmu-ilmu laku kejawen. Dampaknya adalah hilangnya nilai-nilai sakral dalam sebuah laku

spiritual. Pada saat komersialisasi melanda didunia spiritual, maka spiritual yang ditawarkan adalah hampa, tak bermakna dan cenderung menyesatkan. Di ibaratkan seperti tanaman padi yang subur dan berbiji besar namun tidak berisi. Hal-hal inilah yang memacu kenapa istilah klenik dan perdukunan mendapat stereotif negatif dari berbagai pihak .

Dokumen terkait