• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Bakor Pakem di Daerah Istimewa Yogyakarta

2. Kebatinan versus Agama

Hubungan antara kebatinan dan agama adalah hal yang sangat rawan konflik dan merujuk pada ketegangan, bahkan tidak mungkin pertentangan itu merambah pada pertentangan fisik. Menurut Bakker, ketegangan itu mengarah kenilai mutlak, hendak menerka dan menjawab rahasia terakhir dari hidup, berasaskan pada keyakinan masing-masing, diibaratkan sebagai dua jalan yang tidak bisa bertemu.

Kebatinan dianggap sebagai agama baru yang mencoba menggeser posisi agama agama besar, yang dianggap sebagai bida’ah atau semacam bentuk kafir-isasi atau murtad-isasi, penyelewengan aqidah dan sebagainya. Sedangkan kebatinan sendiri datang dengan sebuah pendalaman dari penghayatan agama, dimana agama sebagai tuntunan hidup gagal dalam mendamaikan dan menyejahterakan manusia. Agama-agama yang ada dirasa sudah tidak mampu memahami dan menjiwai kebutuhan manusia.

Kegagalan Hirarki dan struktur agama-agama besar di Indonesia untuk memberikan pemecahan bagi personalan persoalan sosial yang pokok dari kehidupan masyarakat dewasa ini ( A. Wahid)47.

Lebih ekstrim lagi adalah adalah agama besar sudah dianggap sebagai ajaran ajaran yang berkedok tugas mulia atau jalam menuju surga, tetapi nyatanya banyak ditunggangi kepentingan sehingga orang bisa berbuat apa saja dengan mengatasnamakan agama.

Sebenarnya antara agama dan kebatinan sama-sama menghayati iman ke hakekat tertinggi, membina batin untuk bersatu dengan-Nya dan mengalami

47

kesatuan dengan dirinya. Namun masalah yang paling sensitif adalah karena alasan politis, sehingga dari kalangan kebatinan sangat berhati hati dalam merumuskan hubungannya dengan kelompok agama.

Gerakan kebatinan bukanlah merupakan sutu agama baru yang akan mendesak agama-agama yang sudah ada, tetapi kebatinan bahkan akan memperdalamnya atau sublimeren agama-agama yang sudah ada. Ditegaskan pula bahwa para pengikut kebatinan bukanlah para penganut atheis, karena mereka semua percaya pada Tuhan (Mr. Wongsonegoro dalam Konggres Kebatinan II, Solo 1956).

Kebatinan datang ketika krisis melanda dan modernisitas membuat orang terasing dengan dirinya. Gerakan ini mencoba untuk melindungi diri dari gerakan gerakan sekulerisme, materialisme dan rasionalismedengan menggali nilai-nilai harta terpendam dari kebudayaan asli. Bahkan gerakan kebatinan ini ingin menyelamatkan unsur dari tradisi yang sangat kaya. kebatinan menyediakan baik peningkatan rasa agama dan kepribadian asli maupun pemulangan harga diri melawan rasa minder terhadap teknologi asing48.

Sementara dari beberapa kelompok agama menegasikan maksud dan tujuan diatas, seperti pendapat dari As’ad El Hafidy mengenai penyebab timbulnya aliran-aliran baru dalam kepercayaan, mistik dan kebatinan adalah; a) Karena salah terima, salah faham diwaktu menerima pelajaran daari guru

agama yang mengambil kiasan dan pralambang. Berdasarkan kebatinan yang mendalam dan falsafah yang multi tafsir.

b) Mancampur-adukkan faktor-faktor penting yang diambil dari sumber-sumber pelajaran agama, mengambil salah satu lafadz dan kalimat dari ayat atau bahasa arab dengan diberi arti dan makna dengan sesuka hatinya,

48

sehingga terjadi kekeliruan murod dan maksudnya sehingga hilanglah tujuan Lafadz kalimat yang asli (sehingga timbullah golongan Islam Putihan dan Islam Abangan).

c) Sengaja mengadakan aliran-aliran baru dalam kepercayaan mistik atau kebatinan dengan dalih “mengembalikan jiwa asli” karena Hindhu dan Budha berasal dari India, agama Yahudi dari Israel, agama Masehi dari Eropa dan Islam dari Arab.

d) Ingin memashurkan namanya, dengan cara membuka praktek perdukunan, meramalkan kebaagiaan, ilmu rajah, perbintangan, bahkan terdapat yang mengharapkan kedatangan Ratu Adil, Imam Mahdi, Jayabaya, dll.

e) Bukan tidak mungkin dalam suasana yang serba kacau, pencipta aliran-aliran baru memadang gejala-gejala untuk kekayaan pribadi. Jaringan dikembangkan dengan propaganda aliran-aliran tersebut. Malah ada yang sampai hati menggunakan gelar-gelar Kanjeng Kyai, Bendoro, Ki Ageng, resi, Syech, bahkan menobatkan diri sebagai nabi yang menerima wahyu langsung dari Tuhan, dan yang sangat terlalu menganggap dirinya sederajat dengan Tuhan.

f) Beranggapan bahwa “bunyi UUD 1945 pasal 29” adalah kesempatan untuk menjelmakan aliran-aliran baru dalam kepercayaan. Setiap orang berhak atas kebebasan agama keinsyafan batin dan fikiran, dijadikan alasan pokok untuk mencipta agama baru yang dianggapnya sesuai dengan kepentingannya sendiri.

Dari paparan faktor diatas, sekiranya dapat kita lihat dengan jelas berbagai pertentangan, prasangka dan ”pelabelan” pada kelompok masyarakat kepercayaan. Maka tak pelak hal tersebut menjadikan “perang dingin” yang berkepanjangan dan tak kunjung padam sampai hari ini. Berbagai klarifikasi yang diberikan oleh keduanya hanya sebatas bisa diterima oleh kelompoknya sendiri.

Nuansa politis benar-benar terasa ketika Depag sebagai pengemban UUD 1945 pasal 29 berusaha untuk memberi definisi agama. Sebagai tindak lanjutnya maka dibentuklah panitia pemberian definisi dibawah pimpinan Menteri Agama K.H. Wahid Wahab yang mengusulkan sebagai syarat-syarat agama yaitu, Wahyu Allah, Rasul, Nabi, Kitab Suci, kaidah hidup bagi para penganut49. Dari usulan Menteri Agama ini yang kemudian menjadi cikal bakal UU/Nomor 01/ PNPS tahun 1965 (penodaan agama). Pada akhirnya negara ini hanya mengakui agama Islam, Kristen, Katolik, Hindhu, Budha dan Konhuchu, selain dari 6 agama ini dinyatakan bukan sebagai agama.

Puncaknya disekitar tahun 1963-1965 ketika gerakan kebatinan semakin meluas dan meliar, selain itu diindikasikan banyak infiltrasi komunis yang masuk kedalam kelompok-kelompok kebatinan. Pada masa itu anggapan bahwa komunis itu identik dengan ateis (tidak bertuhan), kafir, murtad dsb, sangatlah kuat.

Konflik dan perdebatan diantara masyarakat kebatinan dengan kelompok agamawan sudah sampai mencapai ke gejala menebar fitnah. Sehingga tak heran ketika terjadi Gerakan 30 September di tahun 1965 maka banyak aliran-aliran yang dituduh terinfiltrasi oleh PKI langsung dibekukan dan dibubarkan.

49

Seperti pada kasus pada agama Adam Makrifat atau dikenal sebagai aliran Pran Soeh (perkumpulan umat agama Adam Makrifat) yang berkembang semenjak 1921 di Muntilan dan Yogyakarta. Pada mulanya agama bimbingan dari romo Pran-Soeh Sastrosoewignyo (seorang putra dari Kyai wiropati yang senang dengan ajaran Islam makrifat) itu bernama Oemat Moehamad Manunggal (OMM), karena diprotes oleh umat Islam disekitarnya. Kemudian berganti menjadi Oemat Moehamad Muntilan dan kemudian diganti lagi Pran-soeh.

Hal yang paling tragis adalah ketika sesudah terjadi Gerakan 30 September 196550, pimpinan ajaran Pran-Soeh yang bernama Sirwoko hilang tanpa diketahui rimbanya. Kemudian tanggal 6 agustus 1966 agama ini resmi dibekukan dan dibubarkan melalui keputusan kejaksaan tinggi dikarenakan terlibat dengan gerakan komunis.

Mulai ditahun 1965-an51 orang menjadi takut untuk “tidak beragama” mereka berbondong-bondong untuk masuk salah satu agama. Hal itu terjadi hanya untuk menghindari dicap komunis, atheis, dan supaya mereka bisa mengurus urusan administratif. Karena pelayanan yang bersifat admisnistratif hanya diberikan adalah kepada orang-orang yang beragama resmi saja.

Dari berbagai bentuk kejadian itulah disini fungsi dan peranan dari Badan Koordinasi Pakem menjadi penting, yaitu untuk mengatur dan menjalankan

50 Suluh, edisi 26/tahun VI/ Maret-April,2006. Hlm. 8. 51

Hal yang paling nampak dan membekas adalah dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri yang tertuang dalam Perpu no 477/7405 tahun 1978, mengenai kewajiban untuk memeluk 5 agama yang diakui. Walaupun di tahun 1991 surat edaran ini dicabut tetapi dampaknya masih sangat kental, tetapi masyarakat luas masih saja sulit untuk menerima aliran-aliran kepercayaan sampai saat ini.

amanat perundang-undangan yang berlaku secara bertanggung jawab, netral dan adil.

Dokumen terkait