• Tidak ada hasil yang ditemukan

Secara struktural, Pakem berada di garis depan dalam melakukan berbagai pengawasan, dimana dalam tugasnya membawahi berbagai instansi yang sebuah kekuatan dalam menjalankan kewajibannya. Kekuatan sinergitas dan kekuatan legal inilah yang menjadi sebuah legitimasi dalam mengambil keputusan dalam membekukan sebuah aliran kepercayaan.

Semenjak awal pendiriannya, kejaksaan selalu berada dalam jajaran pengambil keputusan tertinggi. Prosedur pengambilan keputusan ini ini melalui berbagai prosedur yang ada, salah satunya adalah dengan melakukan koordinasi dengan keanggotaan Bakor Pakem dan lembaga keagamaan yang bersangkutan. Misalnya, jika yang dilaporkan melakukan penodaan agama adalah sebuah aliran yang berbau agama islam maka MUI-lah yang menjadi partner koordinasi tersebut, sedangkan jika yang dianggap melanggar memakai sitilah atau berbau Katolik maka Pakem akan berkoordinasi dengan KWI dan seterusnya 52.

Dari awal pendirian Bakor ini, adalah dalam rangka untuk mengawasi dan mengamati perkembangan agama dan kepercayaan masyarakat. Namun ternyata otoritas yang diperoleh itu diwarnai celah-celah penyimpangan didalam pelaksanaan tugas-tugasnya, hal itu karena, pertama, tumpang tindihnya pelaksanaan antar instansi yang disebabkan koordinasi yang tidak matang. Kedua,

52

Wawancara Bulan 20 Januari 2009 dengan bapak Anas, Wakil Kepala Intelejen Kajati DIY.

kearsipan yang kurang baik hal ini dibuktikan pada saat penelitian di Dinas Kejaksaan Tinggi DIY (yang manjadi naungan utama dari bakor pakem), karena saat pencarian data-data disekitar tahun 1955-1978 tidak mempunyai data dengan lengkap.

Data-data dalam arsip yang tidak lengkap tersebut sejarah Bakor Pakem menjadi terpotong-potong dan hilang. Sistem kearsipan yang tidak terdokumentasikan dengan baik tersebut sangatlah merugikan banyak pihak, baik untuk kalangan masyarakat kepercayaan ataupun untuk kaum akademisi yang akan melakukan penelitian. Keadaan itu tentu saja memperihatinkan, jika sebuah badan yang paling rawan konflik tidak membekali diri dengan data dan fakta yang valid dan komperhensif.

Dari hal itu, maka tak heran jika banyak pandangan dan keluhan dari berbagai pihak yang menginginkan untuk membubarkan Bakor Pakem. Legitimasi Pakem pada UU No.1/PNPS/1965 tentang penodaan agama dianggap bertentangan dengan pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan beragama dan berkepercayaan. Selain itu masalah kepercayaan dan kebenaran iman tidak dapat diukur dan diadili oleh sebuah lembaga negara. Belum lagi dari berbagai keputusan yang diambil sering kali ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu dari kelompok-kelompok “agama resmi”.

Bakor Pakem sering digunakan sebagai sebuah stempel dalam melegalkan fatwa-fatwa dari golongan-golongan agama, hal itu terbukti dari alur dan proses pengaduan dari “masyarakat”. Prosedur yang dilakukan ketika ada sebuah pengaduan dari sekelompok masyarakat atau institusi keagamaan tertentu, maka

pengkajian dan investigasi dilakukan dalam koordinasi Pakem dan institusi keagamaan tersebut. Namun hal itu menjadi lemah dan tidak berdasar ketika sebuah aliran agama atau kepercayaan yang diadukan tersebut, tidak pernah dipanggil dan duduk dalam sebuah pengkajian dan koordinasi bersama.

Jika seandainya pihak aliran yang diadukan duduk bersama dengan pihak yang mengadukan, maka Bakor Pakem sendiri juga tidak dapat melarang dan membubarkan iman kepercayaan sekelompok manusia. Masalah kebenaran atas iman dan kebenaran yang bersifat abstrak tersebut tidak dapat diadili oleh sebuah lembaga negara.

Secara kongkrit bakor ini bisa membubarkan sebuah aliran keagamaan dan kepercayaan jika tindakan para penganut sebuah aliran tersebut benar-benar meresahkan dan mengancam, ketertiban dan keselamatan negara.

Kelemahan lain adalah ketika pengkajian soal inti sebuah ajaran selalu didominasi dan diatur oleh Departemen Agama atau lembaga-lembaga keagamaan yang notabene hanya terdiri orang orang yang sudah sepaham dan dari aliran yang sama. Dari hal tersebut Bakor Pakem terlihat tidak mempunyai landasan atau kompetensi masalah keagamaan secara luas dan mendalam (dari berbagai perspektif) dalam sebuah keputusan.

Dalam menjalankan tugasnya dan membentuk instrumen, Bakor Pakem selalu meminta pandangan ahli dari lembaga-lembaga resmi seperti MUI KWI dan PGI karena menganggap dirinya tidak mempunyai kompetensi teologi. Tafsir agama ini menjadi rujukan badan dalam menilai kemurnian suatu aliran kepercayaan”53.

53

Menurut data yang diperoleh, dari tahun 1959 sampai 1979 ada 78 buah aliran agama dan kepercayaan diseluruh Indonesia yang dibekukan dan dibubarkan secara legal (ada beberapa aliran yang dibubarkan secara tidak legal). Menjadi aneh ketika hanya ada 6 yang dibekukan atau dibubarkan dengan instansi atau surat edaran atas nama Bakor Pakem, yang lainnya dibawah atas nama Kejaksaan, Peperda, Walikota, atau Kepres. Dari tempat pengeluraan keputusan tersebut dapat kita lihat bahwa otoritas Bakor Pakem dilangkahi, karena menurut keputusan Perdana Menteri no 67/PM/1954 atau UU no 25/1959, hanya Bakor Pakem-lah yang bisa membekukan atau membubarkan sebuah aliran54.

Dengan melihat fakta-fakta diatas berarti dapatlah kita berasumsi lagi bahwa ada kebingungan fungsi dalam pembagian kerja antara keduanya, ataukah posisi Bakor Pakem di kejaksaan hanyalah sebagai badan ”fiktif ”belaka. Dalam arti bahwa bakor ini adalah proyek ”tergesa-gesa” pemerintah pada waktu itu.

Selama ini pengawasan hanyalah sebatas pada pendataan dan penerimaan laporan dari masyarakat saja. Padahal Bakor Pakem ini berperan sangat penting dalam sebuah pengawasan dan pelayanan terhadap masyarakat, yaitu dengan menjadi ujung tombak dari pemerintah dalam menjunjung tinggi keadilan sosial. Sebagai institusi yang berhadapan langsung dengan msyarakat luas, maka tingkat kompetensi dan profesionalitas haruslah dijunjung tinggi, supaya hasilnya tidak mengecewakan pihak lain.

54

Kejaksaan sendiri sebagai penyelenggara utama dari bakor ini malah tidak menggatasnamakan Bakor Pakem sebagai badan sah dalam memberikan surat keputusan pembekuan diatas.

Dokumen terkait