• Tidak ada hasil yang ditemukan

Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

Disusun oleh : L. Krisna Yulianta

014314007

JURUSAN ILMU SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

i Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

Disusun oleh : L. Krisna Yulianta

014314007

JURUSAN ILMU SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

(6)
(7)

vi

Saya menyatakan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis adalah asli kreasi saya sendiri tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan atau daftar pustaka, sebagaimana karya ilmiah.

Yogyakarta, 15 Januari 2010 Penulis

(8)

vii

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : L. Krisna Yulianta

Nomor Mahasiswa : 014314007

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

BAKOR PAKEM Pengawas Aliran Kepercayaan Indonesia: Hubungan dengan Paguyuban Paguyuban Kepercayaan tahun 1954-1978 di Yogyakarta Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelola dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa meminta ijin dari saya maupun memberi royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya susun dengan sebenarnya. Yogyakarta, 15 Januari 2010

Yang menyatakan

(9)

viii

Dari sebuah persahabatan dengan kawan sebuah aliran kepercayaan, timbullah niat untuk meneliti mengenai kehidupan masyarakat kejawen. Dari berbagai perbincangan yang telah dilakukan, ada hal yang sangat menarik yaitu mengenai dinamika sejarah hubungan masyarakat kepercayaan dengan negara.

Penggunaan term kepercayaan itu menggantikan istilah kebatinan yang lazim dipakai sebelum tahun 1970-1980an. Dari pendalaman istilah tersebut, ternyata kelompok kejawen itu masuk menjadi salah satu bagian dari istilah kepercayaan. Kejawen sendiri dipakai oleh masyarakat kepercayaan yang menggunakan ajaran dan tradisi Jawa.

Dengan perjalanan yang amat panjang dan penuh liku, penulis sangat merasakan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, maka dari itu ucapan terima kasih yang sangat sebesar-besarnya diberikan kepada:

1. Kepada Dr. Praptomo Bayardi, M.Hum selaku Dekan Fakultas Sastra atas segala dispensasi dan bantuan yang diberikan

2. Kepada dosen pembimbing saya, Drs. Hb.Hery Santosa, M.Hum atas dispensasinya, atas kritik dan saran, bantuan dan dukungan juga pengertian yang telah diberikan kepada saya.

(10)

ix

kesabaran, dorongan dan finansialnya sehingga saya bisa menyelesaikan studi saya.

5. Keuskupan Agung Semarang yang telah membantu finansial pengerjaan penelitian ini.

6. Bp. Anas, Wakil Ketua Intelejen Kejaksaan Tinggi DIY, dan staff yang telah membantu dalam pencarian data.

7. Segenap staf kerja Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. 8. Mas Try dan staf sekretariat Fakultas Sastra yang selalu melayani

keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah

9. Bapak Walmuji dan mas Ngatiyar, aktivis Forum Persaudaraan Umat Beriman Yogyakarta.

10.Keluarga Bapak Hadi yang telah bersedia membantu saya tanpa pamrih, Tuhan memberkati keluarga anda semua.

11.Rekan dan sahabatku sejarah 2001, Gagak, Enok, Taji, Tato, Eka, Laza, Hendri, Khrisna, Eko, Edi, Lina, Ajeng, Riska, dan Erna, atas semangat semangatnya.

12.Rekan-rekan Kanisius dan Impulse, mas Rangga, mbak Hani, mbak Rosa, mas Tomi, Mbak Vrida dan lain-lain atas teladan dan pencerahannya. 13.Rekan-rekan Being Community, Parikesit Institute, Bungah Nata Institute,

Wiridan Sarikraman semuanya, terimakasih atas keliaran ide-ide pikirannya

14.Rekan-rekan Kampus Multikultur Realino (MCR), mbak Vibri, pak Totok,Pak Warno, Pak Toni, Ima, mas Andono, mas Eksan, terimakasih atas segala bantuan dan pengertiannya.

(11)

x kasih atas semuanya

17.Adik-adikku yang kritis dan semoga kuliahnya tidak terlalu lama seperti saya!

18.Untuk dek Kent Wahyuni, terima kasih atas segala perhatian yang telah diberikan pada saya.

19.Semua teman dan sahabat saya yang tidak mungkin disebutkan disini, terimakasih atas semua pembelajaran, bantuan, semangat, dan kegilaan-kegilaan yang telah menemani perjalanan hidup saya.

Hasil dari penelitian ini disadari masih jauh dari sempurna, karena itu masukan dan kritik dari pembaca yang sifatnya membangun masih sangat diperlukan. Semoga skripsi ini berguna bagi siapa saja dan dapat membantu bahan studi selanjutnya.

(12)

xi

para pembaca untuk memahami dan mendalami mengenai hubungan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat dengan kelompok Aliran Kepercayaan didaerah Yogyakarta. Dalam memahami sebuah hubungan, kita harus memahami terlebih dahulu mengenai karakter masyarakat aliran kepercayaan dan karakter Bakor Pakem itu sendiri, dan baru kemudian bisa melihat hubungan diantara keduanya.

Data-data yang diperoleh menggunakan penelitian kualitatif, dengan metode pengumpulan data dari studi pustaka dan sumber wawancara dari orang orang yang relevan dan berkompeten dibidangnya

(13)

xii

deepening on the relationship between the Supervisory Coordinative Institution of Social Belief Sect to the group of belief sect in particularly in Yogyakarta region. In comprehending a relationship, we should initially comprehend the character of belief sect society and character of Bakor Pakem it self, and then it can be seen the relationship amongst both of them.

The data was gained by using qualitative research, by data collection method comprised of literary study and source of interview was from the relevant person and competent in his field.

(14)

xiii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

2. Batasan Permasalahan ... 11

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12

3. Historiografi atau Penulisan ... 17

(15)

xiv

3. Sosial Ekonomi ... 23

C. Karakter Masyarakat Jawa di Yogyakarta ... 23

1. Sejarah Masyarakat Jawa ... 23

2. Masyarakat Kepercayaan ... .. 25

2.1. Dinamika Masalah Kepercayaan ... .. 25

2.2. Abangan dan Santri ... 33

D. Yogyakarta sebagai Sentral Eksistensi Kelompok Kepercayaan ... 36

Bab III BAKOR PAKEM A. Latar Belakang Pendirian ... 39

1. Perdebatan di Departemen Agama ... 39

2. Proses terbentuknya Bakor Pakem ... 44

B Struktur dan Birokrasi Bakor Pakem ... 46

1. Tujuan dan Fungsi Bakor Pakem ... 48

2. Tugas dan Wewenang ... 49

3. Cakupan dan Prosedur Pengawasan ... 49

4. Dasar Pembekuan dan Pembubaran terhadap Aliran Agama dan Kepercayaan ... 53

C. Bakor Pakem di Yogyakarta ... 54

Bab IV ANTARA BAKOR PAKEM DAN MASYARAKAT KEPERCAYAAN A. Gerakan Kebatinan ... 57

1. Munculnya Gerakan Kebatinan ... 57

2. Kebatinan versus Agama ... 62

B. Bakor Pakem sebagai Garis Depan Pengawasan ... 67

C. Bakor dalam Kacamata Penghayat ... 71

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 74

B. Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 77

(16)

1 A. Latar Belakang

Sejak dahulu Indonesia bersifat multikultur, sebuah bangsa yang mempunyai kemajemukan budaya, suku ras, suku, dan agama. Nusantara yang kita miliki ini sangat terkenal di seluruh penjuru dunia karena letaknya yang strategis dan rempah-rempahnya yang banyak diburu oleh para pedagang Eropa, Afrika, Australia maupun dari Asia sendiri.

Nusantara memiliki sistem kepercayaan yang sangat beragam dan sudah mengenal konsep Tuhan Yang Maha Esa. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan nama-nama Tuhan dalam bahasa suku asli, seperti Puang Matoa (Toraja), Ladong di Langi (Minahasa) Mori Kareang (Flores), Uis Afu (Timor), Yi Tau Wulu Tau

(Sawu), Mula Satene (Seram)1.

Konsep Ketuhanan di Nusantara bersifat Deistik (Ketuhanan Murni ) dan dikenal manusia. Dalam tulisannya Jakob Sumardjo, mengatakan bahwa dualisme keberadaan yaitu Dunia Atas dan Dunia Manusia membutuhkan Dunia Tengah. Dunia tengah ini menghubungkan antara Dunia Atas (Tuhan) yang gaib dan Dunia Bawah (manusia) yang nyata.

Dunia Tengah ini merupakan sesuatu yang transenden dan menghadirkan tenaga-tenaga gaib didunia manusia. Pelaku, upacara, wujud benda-benda, wujud

1

(17)

tarian, wujud doa dan tempat upacara selalu menjadi unsur dari bagian Dunia Tengah. Hal tersebut termanifestasikan kedalam simbol benda-benda ritual yang dipergunakan oleh masyarakat asli Indonesia2.

Pada fase berikutnya banyak para pedagang dan bangsawan yang datang ke nusantara dengan membawa agama-agama transnasional, seperti agama Hindhu, Budha, Islam, kristen, dan lain-lain. Pengaruh para misionaris dan pendakwah agama-lah yang menyebabkan agama–agama tersebut menjadi berkembang pesat dan banyak dianut oleh berbagai masyarakat diseluruh nusantara ini.

Pada awalnya dimasa kemerdekaan tahun 1945, banyak kepercayaan lokal yang berdiri sendiri-sendiri dan berkembang dengan amat pesat. Dari itulah, muncul banyak berbagai aturan atau peraturan pemerintah yang membatasi ruang gerak aliran kepercayaan masyarakat tersebut.

Keragaman kepercayaan ini menjadi terpilah dalam dalam dua kelompok, yaitu; agama resmi dan kepercayaan lokal (agama lokal). Hal tersebut terjadi karena sejak tahun 1965 kepercayaan asli dan lokal yang tidak diakui sebagai agama, tetapi hanya dianggap sebagai sebuah budaya.

Hal tersebut terlihat dengan dibentuknya Departemen Agama (Depag) dan instansi lain yang mengatur dan mengawasi berbagai aliran itu. Puncaknya pada tahun 1961 diadakan konggres yang salah satu hasilnya adalah ketentuan-ketentuan tentang definisi serta syarat-syarat legalitas sebuah agama. Syarat itu adalah bahwa sebuah agama harus mempunyai Tuhan, Kitab Suci, Rasul, Nabi

2

(18)

serta hukum sendiri bagi kehidupan para penganutnya yang berupa perintah dan petunjuk tertentu.

Syarat yang ditentukan tersebut menimbulkan berbagai kontroversi dan tindakan diskriminasi terhadap kelompok kepercayaan dan berbagai sekte-sekte keagamaan. Pada hakikatnya antara agama dan kepercayaan mempunyai persamaan dan perbedaan, seperti yang dikemukakan oleh Mr Wongsonegoro dalam seminar kebatinan III di Semarang;

Agama dan kebatinan (kepercayaan): kedua-duanya mempunyai unsur yang sama yaitu panembah (kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa) dan budi luhur. Perbedaanya adalah hanya terdapat pada stress atau tekanannya. Bagi agama stressnya diberikan kepada panembah (Tuhan) sedangkan pada kebatinan memberikan tekanan pada tercapainya budi yang mulia dan kesempurnaan hidup3.

Pada dasarnya agama dan kepercayaan dapat hidup bersama, tetapi dalam realitanya terjadi diskriminasi dan intervensi yang dilakukan oleh kelompok kelompok agama yang “diresmikan” itu. Banyak alasan yang cenderung sangat mendeskreditkan kepercayaan-kepercayaan yang terdapat dimasyarakat. Hal itu disebabkan karena ajaran kepercayaan adalah bentuk penyimpangan dari agama. Ajaran-ajaran yang bersifat sinkretis, pluralis dianggap sebagai bentuk ajaran sesat yang tidak sesuai dengan aqidah-aqidah agama.

Perdebatan terhadap masalah itu seringkali dibahas dan didamaikan melalui macam macam konggres kebudayaan, seminar, simposium, atau diskusi-diskusi yang diadakan oleh pemerintah maupun masyarakat kebatinan sendiri.

3

(19)

Walaupun Demikian hal tersebut masih belum bisa mendamaikan juga karena banyak perbedaan prinsipil yang tidak bisa diterima oleh kelompok lain.

Sebagai langkah untuk membendung gerakan kebatinan yang semakin meluas dan radikal, maka pada tahun 1955 dibentuklah Bakor Pakem (Badan Koordinasi Pengawas Aliran Masyarakat) yaitu badan koordinasi sebagai pengawas dan “penentu nasib” aliran-aliran kepercayaan masyarakat. Bakor inilah yang berwenang dalam mengawasi, membubarkan dan membekukan sebuah aliran keagamaan dan kepercayaan secara legal.

Alasan pemilihan tema ini adalah, pertama, belum ada penelitian atau kaijan yang secara khusus membahas mengenai Bakor Pakem ini. Kedua, dari pengamatan yang dilakukan memberikan gambaran bahwa bakor ini mempunyai kontibusi penting dalam perkembangan sejarah politik, sosial dan budaya. Kronologi sejarah terbentuknya bakor ini sendiri terbukti menyimpan banyak sekali masalah yang kompleks antara kelompok agamawan dan kelompok kepercayaan. Menjadi sangat menarik, ketika negara mencoba menengahi perdebatan itu dengan pembentukan institusi seperti Depatermen Agama (Depag) dan Bakor Pakem sebagai solusi penengah diantara kelompok itu.

(20)

Dari catatan Bakor Pakem Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang ada, terdapat puluhan paguyuban kepercayaan dengan ribuan para penghayatnya yang masih eksis sampai saat ini. Oleh karena itu terdapat benang merah antara tema tulisan dengan lokasi penelitian.

Pemilihan periodeisasi dilakukan berdasarkan awal terbentuknya Bakor Pakem ditahun 1954, sedangkan tahun 1978 dipilih sebagai momen perpindahan birokrasi. Pada awalnya bakor Pakem dibawah kekuasaan Departemen Agama, (Depag) kemudian berubah menjadi dibawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud). Dari masa 1954-1978 tersebut ada berbagai fakta-fakta yang menarik yaitu mengenai latar belakang pendirian Pakem, dinamika perpindahan dibawah Depag ke Depdikbud, dan dari Bakor Pakem periode Orde Lama ke Orde Baru4.

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari uraian diatas maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahannya sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang pembentukan Bakor Pakem?

2. Apa landasan kewenangan Bakor ini dalam membekukan dan membubarkan sebuah aliran?

3. Bagaimana dinamika hubungan antara masyarakat kepercayaan, Bakor Pakem dan Pemerintah?

4

(21)

C. Landasan Teori dan Batasan Permasalahan 1. Landasan Teori

Sebagai landasan dalam meneliti dan menganalisa pokok bahasan ini serta menggunakan berbagai pertimbangan, maka penelitian ini menggunakan teori Konflik dan teori Fungsional Struktural.

Teori Konflik

Teori konflik sangat relevan dalam melihat berbagai permasalahan antara para penghayat dengan para agamawan. Sedangkan teori Fungsional Struktural menjadi sangat berguna ketika melihat fungsi Bakor Pakem sebagai sebuah bagian dari sistem.

Alasan penggunaan teori ini, bahwa adanya relevansi berbagai fakta-fakta di awal pembentukan Bakor Pakem yang mempunyai berbagai masalah (konflik) yang kompleks. Menurut para pemuka teori seperti Ralf Dahendrof, Randal Collins, Georg Simmel dan Lewis Coser bahwa realitas dalam masyarakat akan selalu terjadi perubahan-perubahan yang bersifat dinamis. Perubahan itu tidak bisa lepas dari berbagai masalah dan kepentingan yang berpotensi menimbulkan sebuah konflik antar kelompok.

(22)

ini terjadi kerena adanya sesuatu yang dihargai dalam masyarakat, tidak terdistribusi secara merata dan tidak semua orang memperolehnya secara sama.

Menurut Simmel, melalui pendekatanya (sosiologi formal) berusaha menyusun abstraksi dari unsur-unsur formal proses-proses dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada pelbagai konteks sosial. Simmel berpendapat bahwa terjadinya konflik tidak dapat dielakkan dalam masyarakat. Masyarakat dipandang sebagai struktur sosial yang mencakup proses-proses asosiatif dan disosiatif yang hanya dapat dibedakan secara analitis.

Landasan pemikirannya ini adalah pemikirannya yang bersifat organistis terhadap dunia sosial. Dalam menjelaskan unsur-unsur formal, maka proses-proses sosial merupakan bukti sistematis. Pernyataan itu mengacu pada ajaran-ajaran organistis yang berpengaruh pada masa itu. Sehingga Simmel lebih mengutamakan akibat-akibat konflik dari pada perubahan sosial.

Organisme dalam pandangan Simmel terdapat bagian-bagian atau dorongan untuk membenci dan berkelahi. Namun naluri itu bercampur dengan kasih sayang yang kemudian dibatasi oleh pelbagai kekuatan dalam hubungan sosial. Konflik dianggap sebagai sebuah pencerminan dari pertentangan kepentingan atau naluri bermusuhan.

(23)

sebagai suatu hal yang bertentangan dalam organisme, namun bahkan sebagai pemelihara sistem sosial.5

Cosser sebagai pengembang dari teori Simmel, mengatakan bahwa penyebab terjadinya konflik adalah kondisi yang menyebabkan ditariknya legitimasi dari sistem distribusi yang ada dan intensifikasi tekanan terhadap kelompok-kelompok tertentu yang tidak dominan. Tekanan-tekanan yang semakin intensif dipengaruhi oleh konteks sosialisasi dan kendala struktural yang dipergunakan untuk menekan kelompok-kelompok yang ada.

Teori konflik sendiri adalah sebuah cara pandang dalam melihat masalah yang tepat dalam mengamati berbagai perubahan sosial termasuk kedalam berbagai kausalitas peristiwa. Dari teori ini bukan dimaksudkan untuk melihat segala sesuatu secara negatif (menegasikan) sebuah realitas, tetapi sebuah perspektif untuk memperdalam dalam menganalisis sebuah perubahan. Relevansinya dengan penelitian skripsi ini adalah untuk mengupas berbagai pertentangan yang penuh kepentingan antar organisasi atau kelompok.

Teori konflik ini sering juga dianggap sebagai hal yang penuh dengan situasi yang kacau dan penuh kekerasan, tetapi hal itu merupakan sebuah implikasi yang paling ekstrim. Secara nyata (real) keadaan masyarakat kita akan selalu mengalami perubahan yang belum tentu berjalan secara tenang dan damai, tidak semua sistem yang akan menyesuaikan sendiri untuk mencari keseimbangannya sendiri.

5

(24)

Untuk mendukung pernyataan secara positif diatas maka dapat dilihat mengenai fungsi konflik yang dikembangkan adalah6:

1. Sebagai alat menciptakan solidaritas

2. Membantu menciptakan aliansi dengan kelompok lain 3. Mengaktifkan peranan individu yang semula terisolasi 4. Mempunyai fungsi komunikasi

Fungsi-fungsi tersebut menjadi dampak positif yang dapat kita ambil nilai dan hikmahnya. Jika kita mencermati dinamika perkembangan kehidupan beragama dinegara kita, maka akan banyak menemukan berbagai konflik-konflik dengan berbagai kepentingan.

Teori konflik diatas sangat relevan menjelaskan perubahan sosial yang ada dan tidak dapat dipungkiri bahwa dari konflik tersebut dapat menimbulkan integrasi sosial. Hal itu dapat dilihat dengan akan timbulnya rasa solidaritas yang tinggi, terbentuknya koalisi, dan terbukanya komunikasi dengan pihak yang bertikai.

Didalam pertentangan masyarakat kepercayaan dengan kelompok keagamaan tersebut menimbulkan solidaritas diantara kelompok tersebut. Penyelesaian yang dilakukan juga mengarah kepada komunikasi timbal balik dan negosiasi yaitu dengan berbagai macam dialog-dialog.

Teori Fungsional Struktural

Pendekatan terhadap sebuah konflik dapat diterapkan dengan memperhatikan aspek stuktural dan fungsional dari kehidupan sosial setempat.

6

(25)

Pendekatan stuktural fungsional ini sudah berkembang sejak lama dalam studi sosiologi dan antropologi. Tokoh-tokoh yang menggunakan pendekatan ini adalah Emile Durkheim, yang diteruskan oleh Radcliffe Brown.

Durkheim memandang masyarakat modern sebagai keseluruhan organistis yang memiliki realitas-sendiri dan saling mempunyai ketergantungan. Keseluruhan tersebut mempunyai seperangkat kebutuhan dan fungsi-fungsi tertentu, yang harus dipenuhi oleh yang menjadi bagiannya supaya selalu dalam keadaan normal. Jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka akan menimbulkan ketimpangan, depresi sosial akan mempengaruhi perangkat sistem yang lainnya. Masyarakat pada hakikatnya adalah sebuah keteraturan sosial

Menurut Brown pada dasarnya manusia dalam memenuhi kebutuhan tidak hanya secara individual saja, melainkan melalui kehidupan bersama secara terorganisasi atau tertata dalam hukum dan nilai-nilai tertentu. Hal tersebut diperoleh dengan kesepakatan bersama atau dalam bahasa Malinowski disebut

Charter, yang diartikan sebagai suatu sistem yang terorganisasi tentang aktivitas-aktivitas sosial yang pernah ditujukan.

Ketika berbicara mengenai bagaimana negara membentuk sebuah lembaga dalam menyelesaikan sebuah konflik, maka konteks ini lebih relevan jika dilihat dari teori fungsional struktural. Teori ini melihat berbagai gerakan sosial masyarakat sebagai sebuah pencarian keserasian dan keseimbangan sistem (equilibrium system).

(26)

(diz-organized). Dalam konteks ini, pendekatan yang digunakan dikenal dengan adanya pendekatan sistem Balanced and Equilibrium, yaitu suatu keadaan dimana diutamakan terjadinya keseimbangan kekuatan sehingga tidak terjadi perubahan sosial yang mengarah ke penghancuran sistem yang ada.

Bakor Pakem sebagai lembaga bentukan pemerintah yang difungsikan sebagai alat untuk menstabilkan berbagai perubahan dan pergolakan didalam masyarakat. Fungsi dan tujuan dari lembaga sangat berpeluang untuk menjaga kestabilan sistem yang sedang berjalan.

Pemerintah Orde Baru dalam semua kebijakan pembangunan selalu berlandaskan kepada filosofi konsep keseimbangan dan keamanan atau security. Perubahan sosial sebagai fenomena mikro yang sering dijumpai oleh kalangan peneliti sosial di Indonesia adalah akibat dari menguatnya pengaru-pengaruh birokrasi dikalangan masyarakat. Program–program pembangunan yang diintrodusir pemerintah dilakukan oleh lembaga pemerintah yang diatur dengan sistem birokrasi yang kuat7.

2. Batasan permasalahan

Pembahasan penelitian difokuskan mengenai hubungan Pengawas Aliran Kepercayaan dengan Masyarakat Kepercayaan. Untuk membatasi supaya penulisan ini tidak terlalu melebar maka diperlukan batasan masalah. Batasan ini terbagi dalam tiga hal yaitu; pertama, mengenai karakter singkat masyarakat kepercayaan di Yogyakarta, kedua, mengenai Bakor Pakem itu sendiri, dan ketiga membahas hubungannya diantara keduanya.

Penelitian ini sendiri sedikit lebih banyak membahas tentang Bakor Pakem itu sendiri. Pada bahasan ini kita bisa melihat mengenai proses berdirinya,

7

(27)

bagaimana struktur dan fungsinya juga berbagai hasil yang telah dikerjakan oleh Bakor Pakem dari tahun 1955-1978. Disini juga dilengkapi dengan beberapa perspektif para penghayat dalam melihat sebuah Bakor tersebut.

D. Tujuan dan Manfaat penelitian 1). Tujuan penelitian

Penelitian dan penyusunan skripsi berjudul Bakor Pakem, Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat; Hubungan dengan Paguyuban-Paguyuban Kepercayaan pasca 1955-1978 di Yogyakarta ini, dilakukan untuk mengetahui bagaimana dinamika perkembangan dan hubungannya masyarakat kepercayaan dengan Bakor Pakem. Selain itu untuk melihat bagaimana eksistensi Bakor Pakem dan masyarakat kepercayaan. Dari hal tersebut kita dapat mengetahui apakah Bakor Pakem ini merupakan lembaga yang tepat untuk mengawasi dan mengatur organisasi-organisasi kepercayaan.

2. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan yang dirumuskan itu, maka penelitian dan penulisan ini dimaksudkan agar mencapai sasaran:

1. Memberikan gambaran dan pengertian mengenai Bakor Pakem dalam hubungannya dengan masyarakat kepercayaan Indonesia. 2. Memberikan gambaran kecil tentang sebuah keragaman religi yang

(28)

3. Hasil penelitiaan ini diharapkan menjadi salah satu informasi atau sebagai referensi bagi para penghayat atau masyarakat penggemar kebatinan secara universal.

4. Sebagai bahan relektif bagi penulis sendiri.

E. Tinjauan Pustaka

Penyusunan karya tulis ini lebih menitik beratkan kepada studi historis, sehingga sebagian besar porsi penelitian dilakukan melalui kajian kepustakaan. Beberapa buku yang dirasa relevan dengan objek penelitian untuk dijadikan acuan utama antara lain: buku yang berjudul Kepercayaan dan Agama Kebatinan kerohanian kejiwaan yang ditulis oleh Rahmat Subagya. Buku ini berisikan tentang berbagai definisi tentang masalah kepercayaan dan keagamaan secara jelas dan kritis, sistematis dan tajam. Selain itu gambaran pokok masalah masalah kepercayaan dan agama dibuka dengan luas dan disertai kronik-kronik kebatinan sebagai pelengkapnya.

Buku ini memberikan sebuah pemahaman dalam memandang dan menafsirkan tentang kehidupan spiritual dengan bebas dari kungkungan agama maupun aturan-aturan manusia yang cenderung membatasi kebebasan beragama. Secara gamblang Rahmat Subagya memberikan penjelasan mengenai masalah kebatinan, penggolongannya dan inti-inti pemikiran dari ajaran kebatinan.

(29)

mempertemukan ide-ide agama asli nasional dengan supra nasional. Apabila agama asli diganti dengan agama asing maka akan terjadi sinkretisme atau

koeksistensi heterogen dari kedua agama tersebut, kedua akan terjadi pertobatan semu dimana agama asli secara icognito (menyamar atau samar-samar) menyelundup dalam agama asing dengan reinterpretasi lokal, kompromis dan pemalsuan agama lain dan yang ketiga terjadi asimilasi homogia, inkorporasi dan pempribumian.

Buku ini juga memberikan pengertian tentang kedudukan agama asli dalam teologi, agama dan kedudukannya dalam aturan negara. Selain itu dijelaskan mengenai aspek-aspek ritual beserta pengartiannya. Penulis buku ini memaparkan juga mengenai berbagai tantangan dalam eksistensi dan regenerasi agama asli dalam gerakan kebatinan, beserta kronik singkat kebatinan. Dalam halaman terakhir ia menekankan tentang pendekatan rohani dan penghargaan terhadap agama asli (local genius).

Buku yang ketiga merupakan karangan Kuntowijoyo yang berjudul

Budaya dan Masyarakat, dibuku ini banyak diulas mengenai pengalaman masyarakat indonesia dalam masa transisi menuju masyarakat industri dengan mengganti berbagai atribut dari masyarakat tradisional agraris menuju suatu tatanan masyarakat yang baru sekali. Disini dipaparkan berbagai faktor pendukung dan kendala dan dalam batas-batas tertentu, dibicarakan pula pembandingan sejarah perkembangan masyarakat kini yang tergolong maju.

(30)

amat mempengaruhi masyarakat kita. Karena itu terjadi kontradiksi antara budaya lama dengan budaya baru. Disini pula terlihat adanya usaha kembali kemasa masa mistik dengan banyaknya guru, paguyuban, agama-agama lokal maupun prilaku masyarakat yang mencari ”sesuatu” untuk diikuti.

Adanya gerakan mistik ini menimbulkan berbagai pro dan kontra. Disisi para pelaku mistik yang tetap menghayati kehidupan kepercayaan yang setara dengan agama, disisi lain adanya pertentangan dari kaum agamawan yang bersikeras untuk menghilangkan kepercayaan selain dalam bentuk agama resmi.

Buku-buku tersebut sangat sedikit dalam menyentuh mengenai seluk beluk dan strategi Bakor Pakem yang digunakan untuk meredam berbagai masalah keagamaan dan kepercayaan. Hal tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian mengenai Bakor Pakem. Hasil penelitian ini diharapkan memberi sumbangsih wacana alternatif dan digunakan sebagai alat kroscek melalui perspektif historis.

F. Metode Penelitian 1. Pengumpulan Data

1.1. Studi Pustaka

(31)

lainnya seperti pada manuskrip, laporan penelitian, ataupun pada media media cetak lainnya.

1.2. Wawancara

Wawancara dilakukan sebagai upaya dalam memperoleh data lisan yang diperlukan guna melengkapi data yang belum tercukupi melalui suber tertulis. Data ini diperoleh melalui pengadaan wawancara kepada beberapa sumber yang dianggap mampu memberikan data otentik dan akurat, sehingga diharapkan dapat mendukung validitas data.

Adapun data data selanjutnya kemudian dikroscek melalui kritik sumber. Kritik ini bertujuan untuk sejauh mana kredibilitas sumber-sumber8. Kritik ini dilakukan untuk menghindari adanya kepalsuan dan keberpihakan suatu sumber data, sehingga data yang didapat dapat dipertanggung jawabkan secara valid.

2. Analisis Data

Data yang telah diseleksi dan diuji, kemudian dilanjutkan dengan analisa data. Tahap ini sangatlah penting dan menentukan dalam penulisan. Jenis analisis ditentukan oleh sifat data yang dikumpulkan. Apabila data yang dikumpulkan itu berwujud kasus maka yang akan dihasilkan adalah analisa bersifat kualitatif.9

8

Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. Terj Nugroho Notosusanto. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Hlm. 75.

9

(32)

Hasil analisa akan menunjukkan tingkat keberhasilan suatu penulisan. Penulis berusaha menempatkan data secermat mungkin supaya hasil penulisan ini bisa mendekati keadaan yang sebenarnya. Pengolahan data secara cermat diharapkan mampu mengurangi subyektifitas yang biasanya muncul dalam historiografi, sebab sejarah dalam arti obyektif yang diamati dan dimasukkan dalam pikiran subyek tidak akan pernah murni tetapi akan lebih banyak diberi warna sesuai kaca mata subyek.10

Penulisan ini menggunakan model diskripsi analitis, sumber-sumber yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis sehingga dapat memecahkan masalah yang sedang diteliti. Melalui model penulisan ini diharapkan dapat menghasilkan suatu tulisan yang dapat dipertanggung jawabkan moral dan material. Metode ini diterapkan dengan cara mendeskripsikan atau menjabarkan objek penelitian melalui penggunaan pisau analitis tertentu.

Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosial dan politik. Pendekatan sosial ini digunakan sebagai alat menganalisis masalah yang ada dalam penulisan sejarah dengan memakai teori dan konsep dari ilmu sosial. Adapun pertimbangan dengan menggunakan pendekatan politik adalah karena berbagai konflik antara para agamawan dengan masyarakat kepercayaan telah mencapai ke ranah peraturan-peraturan legal (Undang-Undang/Peraturan Pemerintah) dan kepentingan-kepentingan politis.

10

(33)

3. Historiografi atau penulisan

Historiografi adalah proses mengisahkan atau merekonstruksi kembali peristiwa yang ada berdasarkan data-data yang ada. Dalam langkah ini terjadi interpretasi terhadap sumber-sumber yang ada dan diyakini kebenarannya, untuk memperoleh hasil yang maksimal dan mendekati kebenaran peristiwa itu. Proses ini menghindari subyektifitas yang berlebihan. Bentuk penulisan dalam penelitian ini adalah dengan model diskriptif analitis, tulisan ini tidak hanya berisi sebuah kronologi saja tetapi disertai dengan sebuah analisis interpretatif.

G. Sistematika penulisan

Secara keseluruhan skripsi ini akan dibagi menjadi lima bab sebagai berikut:

Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan dan manfaat penulisan, tinjauan pustaka, kerangka teori dan pendekatan, metode penelitian dan penggunaan sumber serta sistematika penulis.

Bab II berjudul Masyarakat dan tradisi Jawa. Bab ini menjelaskan tentang karakter geografis dan situasi masyarakat Jawa pada umumnya. Untuk memahami mengenai gambaran keagamaan masyarakat Jawa, dibahaslah mengenai tradisi dan ajaran-ajaran kepercayaan di Yogyakarta .

(34)

Di bab IV merupakan bab inti dari permasalahan yang diangkat. Pada bagian ini menjelaskan dinamika hubungan Bakor Pakem dengan masyarakat kepercayaan. Bab yang berjudul Antara Bakor Pakem dan masyarakat Kepercayaan ini, mencoba untuk menggali lebih jauh mengenai hubungan yang terjalin diantara keduanya. Disini dapat dilihat dua perspektif, yaitu perspektif Bakor Pakem dalam melihat Masyarakat Kepercayaan dan perspektif Masyarakat Kepercayaan dalam memandang Bakor Pakem.

(35)

20 A. Masyarakat Jawa di Yogyakarta

Dalam penulisan ini kita akan mencoba untuk menelusuri tentang perkembangan masyarakat kepercayaan di Yogyakarta. Supaya lebih jelas dan lebih sistematis maka diperlukan sebuah pembatasan masalah, dalam penelitian ini kita harus mengetahui tentang siapa yang disebut sebagai suku Jawa dan karakternya. Suku Jawa itu berbeda dengan Pulau Jawa, karena didalam Pulau Jawa itu menyangkut masalah letak geografis dan suku Jawa itu menyangkut sebuah komunitas bangsa.

Yogyakarta dalam konteks ini masuk kedalam kategori suku Jawa, disamping masyarakat Jawa lain yang meliputi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pembagian ini sebenarnya hanya legalitas sebuah geografi saja, kalau ditelusur mengenai orang Jawa ini sebenarnya tidak hanya dikatakan bahwa orang Jawa tidak terdapat di Pulau Jawa saja tetapi sudah mencakup seluruh Indonesia.

(36)

Kasus yang sempat menghebohkan sebagai contohnya ketika klaim Malaysia atas kesenian Reog Ponorogo, dan setelah diselidiki ternyata para pemainnya adalah masyarakat Jawa yang telah lama tinggal dan menjadi warga negara tersebut. Dalam konteks lokal sendiri ternyata ada ragam kesenian dan

ngelmu (ilmu) kejawen yang tetap dilestarikan seperti di Lampung, Riau, Palembang ataupun banyak daerah lain yang telah dimukimi oleh masyarakat Jawa.

Disisi lain, istilah dengan “Jawa” atau kebudayaan Jawa sendiri saat ini juga perlu dipertanyakan dan direfleksikan, karena dimasa modern ini banyak orang Jawa yang memiliki style bukan seperti layaknya orang Jawa, atau istilah yang populer adalah “Jawa sing ilang jawane”. Sehingga perlu adanya semangat dan usaha-usaha kongkrit untuk melestarikan kebudayaan Jawa.

Adapun batasan dari masyarakat Jawa adalah orang-orang yang masyarakat yang beretnis Jawa dan masih berkomitmen terhadap kebudayaan Jawa, entah tinggal dipulau Jawa atau pun daerah lain11. Sedangkan menurut Frans Magnis Suseno menyebutkan bahwa orang Jawa adalah orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa12.

11

Muhhamad Damami. 2002, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa,

LESFI, Yogyakarta. Hlm.12.

12

(37)

B. Letak Geografis dan Kependudukan 1. Bentang Alam

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu dari 30 Propinsi di Indonesia, yang terbagi ke dalam lima wilayah administrasi pemerintahan yaitu; kabupaten Sleman, Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo dan Kodya Yogyakarta. Wilayah ini di batasi oleh sebagian besar wilayah Jawa Tengah, kecuali sebelah selatannya yang dibatasi oleh Samudera Hindia. Dengan luas 3.186 km2.

2. Geografi Yogyakarta

Kondisi tanah di Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan ditanami berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan, disebabkan letaknya di dataran lereng gunung Merapi yang garis besarnya mengandung tanah vulkanis. Sejalan perkembangan kota dan permukiman yang pesat, lahan pertanian sangat menyusut. Dari data 1999 menunjukkan penyusutan 7,8% dari luas area Yogyakarta (3.249,75) karena beralih fungsi ( ke lahan Pekarangan)

Pertambahan penduduk dari tahun ke tahun cukup tinggi, pada akhir 1999 jumlah penduduk kota sebanyak 490.433 jiwa dan sampai pada akhir Juni 2000 tercatat penduduk bertambah sebanyak 493.903 jiwa dengan tingkat kepadatan rata rata 15.197/km2. Jumlah ini terus bertambah dengan cepat dari tahun ke tahun, terlebih dengan pertambahan penduduk musiman yang tidak terdata secara pasti secara administratif. Angka harapan hidup penduduk ini menurut jenis kelamin laki-laki usia 72,25 tahun dan perempuan usia 76,31 tahun13.

13

(38)

4. Sosial Ekonomi

Kehidupan sosial ekonomi mayarakat Yogyakarta sudah cukup baik di karenakan mobilitas perekonomian yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi Yogyakarta selalu naik dengan adanya pusat-pusat perekonomian dari sentra-sentra industri kecil sampai besar, ditambah dengan majunya sistem pendidikan yang terus menerus menjadi daya tarik bagi pelajar di daerah lain. Disisi pariwisata Yogyakarta sendiri mempunyai daya tarik yang khas seperti kraton Yogyakarta, Malioboro, museum, monumen dan lain-lain. Secara garis besar wilayah DIY mempunyai banyak potensi dalam wilayah geografisnya sepaerti wisata gunung, wisata agrobisnis dan wisata sepanjang pantai selatan.

C. Karakter masyarakat Jawa di Yogyakarta 1. Sejarah Masyarakat Jawa

(39)

Di abad ke X terjadi perindahan kerajaan Mataram Kuna ke daerah sungai Brantas di Jawa Timur karena berbagai alasan. Pertama karena adanya bencana alam yang banyak membahayakan kerajaan, kedua karena intervensi dari musuh dan sebagainya. Sesudah jaman Empu Sindok yang memakai gelar Raja Mataram, kerajaan di Jawa Timur ini di kuasai oleh Kediri yang di pimpin oleh Airlangga. Kerajaan ini mampu mengungguli kerajaan Sriwijaya dalam bidang perdagangan, sehingga kemajuan pesat terdapat dipantai utara Jawa.

Di kerajaan Kediri ini mencapai puncaknya pada jaman Jayabaya (1135-1157), dibawah pemerintahannya terdapat pujangga kraton yang menerjemahkan naskah Mahabarata, selain itu ia sendiri terkenal sebagai seorang peramal yang termasyur14. Raja Kediri terakhir adalah Kertanegara yang sangat berani menentang khaisar Mongol, Khublai Khan. Keratnegara menghina dan membunuh utusan Mongol yang menyuruhnya untuk tunduk kepada Mongol. Tindakan tersebut membuat Khubilai Khan menghukum Kertanegara, namun raja ini telah terbunuh lebih dahulu.

Setelah itu kerajaan Majapahit pun (1293-1522) muncul dengan pendirinya Raden Wijaya. Kerajaan ini mencapai kejayaannya pada masa raja Hayam Wuruk dan patihnya yang terkenal dengan sumpah Amukti Palapa, Gajah Mada. Pada masa itu wilayah kekuasaanya jauh lebih luas dari wilayah Indonesia sekarang. Kerajaan ini runtuh ketika diserang oleh Demak dan menghilang pada abad XVI

14

(40)

Sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak memegang peranan penting dalam pengislaman masyarakat Jawa, sehingga kerajaan sesudahnya banyak yang terpengaruh oleh Islam, seperti Pajang (1546-1582)dan Mataram Islam .

Mataram Islam ini didirikan hasil dari kemenangan atas konflik di Pajang, sehingga Panembahan Senapati atau Sutawijaya menjadi raja Mataram. Semula Mataram adalah bagian dari Pajang yang berbentuk kadipaten, tetapi kemudian menjadi kerajaan besar yang bisa menyaingi kerajaan Demak.

Kerajaan ini menjadi Cikal bakal dari kraton Yogyakarta dan Surakarta, dimana pembagian ini berdasarkan perjanjian Giyanti (1754). Perjanjian ini ada dikarenakan terjadi perpecahan antara pangeran Mangkubumi dengan Raden Mas Said, sehingga jalan tengahnya dengan melakukan pembagian wilayah kerajaan. Sampai sekarang kraton Yogyakarta masih mempunyai eksistensi dan kultural yang amat kuat bagi masyarakatnya.

2. Masyarakat Kepercayaan

2.1. Dinamika masalah Kepercayaan

(41)

“kedalaman pikiran” seseorang. Hal itu bersifat asasi karena menyangkut sesuatu yang privat dan kepercayaan tidak boleh dipaksakan.

Masyarakat Yogyakarta ini mempunyai keimanan yang dimanifestasikan ke dalam bentuk agama maupun kedalam ajaran-ajaran kepercayaan lain. Antara agama, kepercayaan, dan kebatinan sebenarnya mempunyai esensi yang sama, yaitu percaya terhadap Yang Ada, Gusti, Tuhan ataupun Allah, perbedaannya adalah bentuk, tata cara ritual dan proses laku menjalankan ajaran yang dianutnya.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan istilah Kepercayaan karena mengandung makna yang lebih luas, sebelum tahun 1978 lebih dikenal dengan nama kebatinan, sesudah itu lebih sering disebut sebagai aliran kepercayan terhadap Tuhan yang Maha Esa (TYME). Aliran kepercayaan ini menurut Mr. Wongsonegoro terbagi kedalam beberapa golongan, yaitu kebatinan, kejiwaan dan kerohanian.

“Kebatinan mengandaikan adanya ruang hidup didalam diri manusia yang bersifat kekal. Disitulah terdapat kenyataan mutlak latar belakang terakhir dan definitif dari segala apa yang bersifat sementara, tidak tetap atau semu saja. Seluruh alam erat dengan segala daya tenaganya hadir secara imanent didalam batin itu dalam wujud kesatuan tanpa batas antara masing-masing bentuk. Bila manusia mengaktivir daya batinnya dengan olah rasa atau semadhi, dia membebaskan diri dari prsangka atas keanekaan bentuk-bentuk. Melalui kontak gaib manusia menyadari diri sebagai satu-dalam-semua dan semua-dalam-satu, selanjutnya dia menerima kekuasaan datas daya gaib dalam kosmos. Corak kebatinan adalah kosmesentris yang terupa dalam sakti, astrologi, olkutisme dan ramalan zaman depan.

(42)

sebagai pshichoterapy atau penyembuhan daya jiwa. Kejiwaan juga diartikan sebagai usaha membebaskan diri dari belenggu keakuan dan keduniawian agar menjurus kepada dasar jiwa, dimana ditemukan ketuhanan. Kejiwaan itu berkembang dalam faham pantheis, maupun dalam keyakinan monotheis.

Kerohanian memperhatikan jalan, melalui mana roh manusia sudah dalam jaman sekarang ini dapat menikmati kesatuan dengan roh mutlak, sumber asal dan tujuan roh insani. Terdapatlah kerohanian monistis, menurut mana roh insani yang dianggap mengalir identitasnya sendiri, tetapi dengan partisipasi daya gaib adi-insani. Terdapat pula kerohanian theosentris, dimana roh tercipta merasa dipersatukan dengan Tuhan pencipta tanpa kehilangan kepribadiannya sendiri, entah melalui jalan budi atau Gnosis, entah melaliu jalan bakti, cinta atau tawakul”.15

Tentu saja klasifikasi ini tidak mutlak untuk menjadi eksklusif, masing masing saling menpengaruhi ataupun terkait satu dengan yang lainnya, walaupun begitu penggolongan ini akan lebih bisa diterima dalam kelompok masyarakat modern. Sedangkan kejawen yang kita kenal sekarang adalah bentuk-bentuk kepercayaan kepercayaan masyarakat Jawa yang sekarang lebih familier dikalangan masyarakat kita. Kejawen sendiri juga mempunyai beragam bentuk (aliran-aliran) dan karakter sesuai dengan pengembangan dan perkembangannya..

Aliran kepercayaan masyarakat Jawa (disebut sebagai Kejawen) di Yogyakarta dipengaruhi dua hal yaitu; kejawen yang terpengaruh kraton dan luar kraton. Aliran kejawen yang terpengaruh oleh kraton adalah kejawen yang merupakan ajaran atau tradisi yang berkembang dan secara turun menurun dilestarikan di lingkungan kraton atau dipimpin oleh kerabat/trah kraton. Kejawen ini mempunyai tradisi yang lebih banyak pengaruhnya karena sampai saat ini

15

(43)

penganut tradisi kraton yang masih banyak. Kraton Yogyakarta sendiri sampai sekarang masih mengembangkan tradisi kejawen-Islam yang sangat sinkretis dan pluralis.

Kejawen yang ada diluar kraton adalah kejawen yang biasanya dipimpin oleh orang-orang awam (atau trah bangsawan yang hidup) diluar tembok kraton (Mancanegara), biasanya mereka adalah orang-orang “ngelmu’ yang menerima wahyu secara tersendiri. Pemimpinnya tidak selalu orang yang berdarah biru

tetapi kebanyakan berasal dari rakyat biasa.

Pembagian lain dari perspektif pelaku lelaku kejawen ini terdapat dalam lelaku perorangan dan lelaku secara kelompok paguyuban16. Hal itu dimaksudkan bahwa seseorang penghayat kepercayaan bisa melakukan kepercayaan itu secara pribadi dan tidak ikut melibatkan orang lain/kelompok Orang tersebut dengan sengaja memisahkan diri dari kelompok paguyubannya dan melaksanakan ajaran kejawen secara personal.

Lelaku yang kedua dilakukan dalam sebuah kelompok paguyuban, kelompok ini biasanya mempunyai struktur dan anggaran dasar rumah tangga (AD/ART) yang jelas. Dari pembagian itu dapat dipastikan bahwa hanya yang tergabung dalam kelompok paguyubanlah yang bisa mendaftar dan tercatat secara administratif oleh lembaga-lembaga pengawasan pemerintah.

16

(44)

Sementara itu ada kesalahpahaman dan kesalahkaprahan pandangan didalam masyarakat umum terhadap para penghayat kepercayaan (kejawen). Hal tersebut terlihat dari munculnya stereotip-stereotip negatif mengenai jalan kehidupan masyarakat kepercayaan. Contoh yang dapat diambil adalah ketika orang berbicara tentang mistik akan diidentikkan dengan klenik, haram, “mistik”, bersekutu dengan setan dan sebagainya.

Kesalahpahaman inilah yang harus diluruskan kembali, karena bansga Indonesia ini mempunyai kepercayaan lokal yang amat banyak jumlahnya (multi aliran dan multi ajaran). Sehingga ketika generalisasi stereotif negatif yang sangat absurd tersebut diarahkan kepada masyarakat keperayaan, tentulah menjadi sangat konyol dan tidak cocok sama sekali. Kita harus mengetahui dan memahami terlebih dahulu tentang sebuah aliran yeng bagaimana, aliran siapa, dimana dan bagaimana karakternya.

Stereotif yang sudah terlanjur mengakar dalam paradigma masyarakat tersebut terjadi, karena banyak orang yang tidak mempunyai pengetahuan cukup mengenai terhadap seluk beluk aliran-aliran kepercayaan. Sehingga sangat diperlukan adanya sharing informasi dan kajian-kajian ilmiah secara konferhensif yang mengangkat tentang masyarakat kepercayaan (kejawen).

(45)

Secara esensial ajaran kejawen mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk mengetahui sangkan paraning Dumadi (asal usul kehidupan) dan pencapaian kesempurnaan hidup. Secara garis besar hal itu terimplikasi kedalam dua konsep besar yaitu pertama dalam konsep menuju Manunggaling Kawulo Gusti (Hablun min Allah) dan konsep Memayu Hayuning Buwana (hablun min annas).

Manunggaling Kawulo lan Gusti ini adalah hubungan yang bersifat vertikal yaitu hubungan manusia dan Tuhannya, dimana terjadi hubungan yang selaras dan dinamis diantara keduanya (Jumbuh, Curiga manjing Warangka dan Warangka manunggal ing Curiga). Persatuan (manunggal) antara manusia dan Tuhan adalah puncak dari sebuah kesempurnaan hidup (makrifat) manusia, karena pada posisi ini manusia bisa ngerti sedurung winarah (tahu sebelum diberi tahu), atau dapat menembus ke dimensi lain tak terbatas ruang dan waktu.

Proses menuju keadaan keadaan makrifat itu tidak saja didapat dengan mudah, karena seseorang pada level tersebut tentu saja sudah sangat mendalami “laku prihatin” kejawen sesuai dengan alirannya. Petungan, meditasi (semedhi), puasa, wirid, adalah hal dasar yang mutlak dijalani bagi pelaku dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan.

(46)

diterima itulah yang mendasari pegangan hidup dari para penganut aliran kepercayaan17.

Proses atau jalan menuju kemanunggalan itu banyak ditulis dalam bentuk sastra oleh pujangga seperti Yasadipura I, Pakubuwana IV, Ranggawarsita atau yang lain, yang berbentuk serat, suluk, macapat. Sastra yang amat terkenal dan terkait dalam hal ini adalah Serat Dewa Ruci, Serat Centhini, Serat Cabolek, Serat Wirid Hidayat Jati dll.18

Kedua, konsep Memayu Hayuning Bawono adalah mengenai masalah hubungan manusia dengan alam sekitar. Ajaran ini lebih menitik beratkan kedalam prilaku sosial dan etika moral (filsafat sosial) manusia yang tercerminkan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Frans Magnis Suseno terdapat dua kaidah dasar orang Jawa yang tercermin kedalam prinsip hidup, yaitu prinsip kerukunan dan prinsip hormat.

Prinsip kerukunan lebih mengarah kepada hubungan yang harmoni, guyub, tepa slira dan sebagainya, sedangkan prinsip hormat lebih mengarah kepada sikap yang beretika seperti menghormati yang tua atau lebih tua, menyapa orang lain, menggunakan bahasa kromo dan sebagainya. Selain itu kelebihan orang jawa

17

Harun Hadiwiyono. 1970, Java and Mystisicm,Yogyakarta. Hlm. 52-53. Datangnya wahyu tidak secara tiba-tiba tetapi secara berangsur angsur, wahyu ada dan tumbuh dalam jiwa manusia terpilih. Derajad kejiwaan ini dapat disebut wahyu, pepadang, suksma sejati, kesadaran hidup, dan sabda. Sedangkan jalan menemukan wahyu tersebut terdapat dalam serat Sasangka Jati.

18

(47)

adalah dengan menggunakan bahasa pitutur (bahasa lisan) seperti paribasa, saloka, parikan, purwakanthi dll19 sebagai piwulang (pelajaran, pengajaran) etika.

Dari hal diatas, menjadi lucu dan aneh ketika para penghayat kepercayaan dan sejenisnya dituduh, diidentikkan serta dihukum dengan penggeneralisasian mistik, klenik, perdukunan, dan sebagainya, dengan alasan yang tidak jelas. Antara mistik dan klenik mempunyai perbedaan yang mendasar. Menurut Suwardi Endraswara, mistik lebih bermakna sebagai cara hidup dan pola hidup kepercayaan, sedangkan klenik adalah sebuah laku (hasil) ditataran praksis. Secara mendasar mistik lebih menuju ke jalan hidup seseorang untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, sedangkan klenik dan perdukunan adalah salah satu efek-efek (praktek) dari pola hidup tersebut.

Ketika pemahaman seorang penghayat mencapai tingkat yang tinggi (sejati/kasepuhan/makrifat), maka sebenarnya tidak menjadi sebuah masalah. Menjadi masalah ketika banyak orang yang hanya menjadi sebuah objek (konsumen klenik) dari mistik orang lain. Artinya orang itu hanya menjadi konsumen dari amalan, jimat–jimat, pusaka yang diperoleh secara instan dan minim pemahaman esensi spiritual.

Perbedaan dasar antara orang yang lelaku dan pengguna ilmu instan sangatlah signifikan. Seorang pelaku lelaku itu sangatlah mengerti mengenai esensi laku spiritual yang dilakukan, sedangkan konsumen instan tadi tidaklah mengerti tentang esensi spiritual. Para konsumen tersebut yang tidak mempunyai

19

(48)

landasan spiritual yang kuat tersebut, akhirnya menjadi minim nilai dan jauh dari jiwa spiritualitas.

Menjadi tambah terpuruk ketika banyak oknum-oknum penghayat yang berbekal ilmu spiritual minim mengkomersialisasi sebuah ilmu-ilmu laku kejawen. Dampaknya adalah hilangnya nilai-nilai sakral dalam sebuah laku

spiritual. Pada saat komersialisasi melanda didunia spiritual, maka spiritual yang ditawarkan adalah hampa, tak bermakna dan cenderung menyesatkan. Di ibaratkan seperti tanaman padi yang subur dan berbiji besar namun tidak berisi. Hal-hal inilah yang memacu kenapa istilah klenik dan perdukunan mendapat stereotif negatif dari berbagai pihak .

2.2. Abangan dan Santri

Cliford Geerzt membagi struktur dalam tiga varian yaitu Abangan, Santri dan Priyayi20. Dalam penelitian ini lebih menggunakan pembanding antara abangan dan santri21. Abangan disini dipakai dalam mewakili orang-orang yang menggunakan sinkretisme agama dan kepercayaan lokal. Sedangkan santri mewakili orang orang yang taat dan patuh terhadap agama murni.

20

Geerzt, Cliford. 1983, Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Pustaka Jaya, Jakarta. Hlm.8. Abangan yang mewakili suatu titik berat pada aspek aniomistios dari sinkretisme jawa yang melingkupi semuanya, dan secara luas di hubungkan deengan elemen petani, sedangkan santri mewakilki suatu titik berat pada aspek islam dari sinkretisme itu dan umumnya dihubungkan dengan elemen dagang ( dan kepada elemen tertentu pada dikalangan tani) dan priyayi menekankan pada aspek aspek Hindu dan dihubungkan pada elemen birokratik.

21

(49)

Abangan disini bisa dikategorikan sebagai nama lain dalam kejawen, artinya antara kejawen dan abangan mempunyai unsur unsur yang sama, hanya masalah bahasa yang membedakan (kejawen sangat berbau Jawa, sedangkan Abangan sangat berbau agama (Islam)). Sebagai contoh adalah si A itu menganut sebuah agama (resmi) tertentu tetapi ia juga mengakui bahwa ia juga seorang penganut aliran kejawen tertentu.

Disamping itu banyak orang tua penganut kepercayaan yang mempunyai identitas agama di KTP nya, namun ia tidak pernah menjalani prosesi ritual agama tersebut. Sampai saat ini masih banyak orang yang menjalani “agama KTP” seperti itu tetapi jarang terungkap atau sengaja di ungkapkan di depan umum.

Secara politis, kelompok abangan ini terbentuk ketika pemerintah melegalkan beberapa agama besar dan menghapuskan kepercayaan lokal dari definisi agama. Sehingga banyak yang mengikuti atau masuk ke berbagai agama namun hanya bermotif sekedar untuk syarat administratif saja. Dengan mengikuti syarat tersebut dapat berguna untuk mempermudah dalam mengurus berbagai keperluan seperti pembuatan KTP, akta kelahiran, akta nikah dan sebagainya.

(50)

paham sinkretisme. Hal tersebut disebabkan karena kondisi masyarakat mayoritas menganut sebuah agama lebih secara doktriner22.

Doktrin dari kelompok santri adalah orang yang rata-rata terdidik baik secara formal maupun informal, itulah yang membedakan dengan kelompok abangan yang cenderung acuh teradap doktrin agama. Sistem yang terbentuk dikalangan santri lebih terstruktur dengan baik dalam bentuk kelembagaannya. Kelompok ini dimenefestasikan dalam pelaksanaan ritual atau ibadah agama yang cermat dan teratur, selain itu kegiatannya termanifestasikan dalam satu kompleks organisasi sosial dan politik.

Menurut Geerzt sebenarnya selama ini telah terjadi ketegangan antara kelompok abangan dan santri secara halus atau implisit. Ketegangan ini bersumber pada para santri yang terlalu bersifat ideologis, universalisme dan

salvasionisme23 , hal itulah yang menjadi sumber kritikan oleh kaum abangan yang cenderung pragmatis (berpegang teguh) dan relativitis (tidak ada kebenaran mutlak). Serangan nyata oleh kaum abangan lebih kearah moralitas kaum santri yang “lebih suci dari padamu”, tetapi dianggap malah melanggar “ kesuciannya” yang lebih suci padamu- itu sendiri. Sedangkan kaum santri sendiri menuduh kaum abangan sebagai penyembah berhala, syirik dan perlu disucikan lagi .

22

Dalam ajaran Kristen (terutama katolik) pengakuan ada kebenaran diluar ajaran gereja baru diakui sekitar tahun 1960-an setelah adanya konsili Vatikan II.

23

(51)

Dari sebuah narasi diatas dapat dibayangkan bahwa hal tersebut akan menjadi sebuah perselisihan paham yang sengit, berlangsung secara dingin dan secara implisit. Pertempuran ide(ologi) ini seringkali meruncing sehingga kelompok abangan yang tidak suka bermain dikancah politik akan cenderung terpojokkan dan sengaja terpojokkan dengan berbagai “aturan aturan pemerintah”.

D. Yogyakarta sebagai Sentral Eksistensi Kepercayaan

Menurut data ststistik DIY tahun 1999, diperkirakan penganut agama Islam mencapai 91%, Katolik sebesar 4%, Kristen 3%, sedangkan Hindhu dan Budha sebesar 1%. Walau sebagaian besar tercatat sebagai pemeluk Islam, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak orang yang masih mempercayai dan melakukan hal yang berupa mistik kejawen atau hal yang berbau sinkretisme baik Animisme, Dinamisme, Hinduisme, dan sebagainya. Banyak orang Jawa di Yogyakarta masih sangat bersifat kultural dan sangat menjunjung tinggi nilai dan adat jawa, lebih cenderung menganut ajaran yang disebut kejawen24.

Dalam perjalanan waktu para penghayat ini mengorganisasi diri kedalam bentuk paguyuban-paguyuban, namun ada juga sampai saat ini yang masih banyak menjadi penghayat kapribaden (untuk sendiri dan tidak terikat oleh paguyuban). Hingga sekarang ini menurut catatan kejaksaan Tinggi DIY, tercatat 90 aliran kejawen yang tersebar di lima kabupatennya. Aliran-aliran besar seperti Pangestu, Sapto Darmo, Sumarah, Subud dan sebagainya masih sangat eksis sampai saat ini. Ditambah sekarang ini muncul aliran-aliran baru yang menjadi

24

(52)

sangat populer, seperti Paguyuban Tri Tunggal, Kawula Ngayogyakarta dan lain sebagainya. Diperkirakan para penganut aliran kepercayaan di Yogyakarta mencapai puluhan ribu orang.

Berikut adalah daftar aliran-aliran kepercayaan yang tersebar di Yogyakarta

Yogyakarta Sleman Bantul Gunung kidul Kulon Progo

Pangestu Yayasan Surokartono

Sapto darmo Sapto darmo Imbal Wecono Hardo Pusoro Pang. Sangkara

Muda (Pusat)

Sangkoro Mudo Hidup Betul Kasampurnan Jati Sumarah Ngudi Utomo Perjalanan Mardi

Santosaning

Sumarah Purbo Ngudi Utomo Hak Sejati Perjalanan Kawruh Sejati Jati Luhur (Ki Wongso

Inggeno)

Hidup Betul Bondan Kejawen Sumarah Paguyban

ngestitunggal

Ngesti Roso Sejati

Sapta Darma Perjalanan Minggu kliwon Donojati Paguyuban

Theosofi Indonesi (perwatin)

Sapto darmo Hardo Pusoro Ngesti Roso Sejati

Hidup Betul S.B.P.45 Lepasing Budi Hidup Betul Pangestu Dawut Aryadi

Suradi (DAS)

Ngesti Roso Rebo Wage Ngesti

Kasampurnan

(53)

(YKP)

Guru Sejati Hidup Betul Sumarah Woro Kasih Purbaning jati (kasunyatan

Bima Suci) Waris Mataram (Dono Jati) (Paguyuban Jati

Luhur)

Data dari Kejaksaan Tinggi Yogyakarta tahun 1978

Jumlah paguyuban diatas bukanlah data yang pasti 100%, hal itu disebabkan tidak semua aliran-aliran kejawen yang mendaftarkan diri atau tidak terdaftar pada lembaga pengawas. Banyak contoh dari paguyuban-paguyuban yang belum tercatat, diantaranya adalah Paguyuban Tri Tunggal, Paguyuban Kawulo Ngayogyakarta, Agama Jawa Maliki, AJI (Aliran Jiwa Indonesia), Barisan Kampung Perot, Buda Budining Suci, Dawahing Allah Suci, Gabungan Musyawarah Kebatinan RI, Gletah Pethel, Himpunan Kebatinan dan lain sebagainya.

(54)
(55)

40 A. Latar Belakang Pendirian

1. Perdebatan di Departemen Agama

Departemen Agama muncul ditahun 1945 mengganti Shumubu, sebuah kantor Departemen Agama dijaman Jepang (pada masa jaman Kolonial, departemen ini masuk kedalam kantoor voor Inlandsche Zaken (kantor urusan pribumi). Pada saat Nippon berkuasa Shumubu ini di gunakan sebagai alat propaganda politik lewat jalan agama, yaitu dengan mendekati para agamawan dengan maksud supaya mau mendukung gerakan Jepang dalam mewujudkan Asia Raya25.

Departemen ini muncul dalam suasana tegang dalam rapat Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BKKI) 26. Selama dua minggu rapat itu membahas mengenai rancangan dasar dan sistem negara, termasuk wacana mengenai pwembentukan negara islam. Semua pendapat mengenai pembentukan negara Islam dilawan dengan gigih oleh para tokoh-tokoh nasionalis.

25

Bazor. Moh. R. Departemen Agama. Hlm.7. Akhir 1942 pemerintahan Jepang mendekati umat Islam sebagai sasaran propaganda, Gunseikan menyapa para ulama dan kyai.

26

(56)

Perdebatan mengenai kontroversi pendirian negara Islam diawali dengan terbentuknya piagam Jakarta27, tetapi piagam ini tetap saja banyak ditentang oleh berbagai pihak. Salah satu tokoh yang menentang adalah Mohhamad Hatta, beliau mempertahankan pendapat tentang Indonesia sebagai negara demokrasi bukan negara agama. Atas dasar itu ia memberikan ceramah tentang agama dan negara dimana isinya mengenai penolakan terhadap negara agama termasuk kedalam panitia persiapan kemerdekaan.

Berbeda dengan kelompok Kartosuwiryo yang telah mempersiapkan gerakan sendiri untuk membuat negara agama merasa tidak puas, sehingga muncul gerakan Darul Islam di Tasikmalaya-Ciamis. Gerakan yang begitu radikal dan dianggap meresahkan masyarakat tersebut kemudian ditumpas oleh pemerintah.

Pemerintah sebagai sebuah pengurus inti negara kemudian bersikap kompromis dalam menengahi dua perdebatan ideologis (antara negara nasional dan negara agama), maka Syahrir sebagai Perdana Menteri mendirikan sebuah Departemen Agama.28

Pembentukan departemen itu juga difungsikan untuk mewadahi semua agama yang ada dengan adil dan tidak memihak pada sebuah agama, walaupun

27

Piagam Jakarta yang bertanggal 22 juni 1945 mendahului UUD 45 tidak mempunyai kekuatan hukum sipil, tetapi isi dari piagam itu sejiwa dengan Pancasila sebagai dasar negara seperti yang tertuang dalam UUD 45, kecuali dalam kata, berdasarkan ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syaria- syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya.

28

(57)

sebagai mayoritas sekalipun. Semua agama sejajar mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam negara Indonesia.

Tugas atau kewajiban yang paling penting dari Departemen Agama ini adalah melaksanakan asas Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai pelaksana dari falsafah negara Pancasila. Tugas selanjutnya sesuai dengan peraturan Menteri no 10 tahun 1952 adalah sbb;

a) Melaksanakan sila Ketuhanan YME dengan sebaik-baiknya dan agar supaya segenap warga negaranya dapat merdeka menjalankan agama masing-masing sesuai dengan ketentuan yang terkandung dalam UUD.

b) Turut melaksanakan asas ketuhanan YME dan menjaga bahwa tiap-tiap penduduk mempunyai kemerdekaan dan memeluk agama masing dan beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing serta memelihara perkembangan aliran agama-agama yang sehat29.

Negara Indonesia sudah memiliki departemen yang mengurusi semua masalah agama dan kepercayaan masyarakat, tetapi pada akhirnya justru pembuatan departemen ini permasalahan yang dikemudian hari meniimbulkan berbagai kontroversi kehidupan beragama. Hal itu terjadi karena banyak yang

29

(58)

menunggangi departemen (dan agama) tersebut dengan berbagai kepentingan yang bersifat politis.

Ketika agama sudah dilembagakan secara struktural dibawah seorang menteri agama, dampaknya menteri tersebut mempunyai otoritas kekuasaan yang teramat besar. sehingga seringkali dalam membuat dan memutuskan sebuah aturan sepihak dengan begitu mudah.

Pemilihan seorang menteri agama pun juga terbentuk dengan didominasi oleh kolompok mayoritas, sehingga kebijakan-kebijakan diambilpun lebih mementingkan kelompok mayoritas dan penguasa. Sebagai contoh adalah ketika pemilihan menteri-menteri itu berasal dari ulama-ulama yang beraliran konservatif asuhan pondok pesantren yang cenderung memberikan pengetahuan terbatas dan sempit30. Disitu sering terjadi dualisme istilah peraturan antara disatu tugasnya yang melindungi, membantu, menghubungkan, mengajukan, mengatur, menyelenggarakan, memperkembangkan, dst, sementara disisi lain lebih cenderung mengatur, mengawasi dan memimpin.

Sampai pada tahun 1969 (atau mungkin sampai saat ini) Departemen Agama banyak menjadi sorotan karena terjadi krisis intern yang berimbas pada keputusan keputusan ekstern. Seperti yang dikemukaan H.A.R Fachrudin yang menulis megenai keadaan itu,

Mengenai adanya koreksi Muhammadiyah terhadap Departemen Agama, dikatakan, bawa koreksi itu diberikan karena Muammadiyah melihat ada hal-hal yang negatif yang terdapat di Departemen Agama, berupa

30

(59)

penyelewengan yang dilakukan oleh oknum-oknum pejabat Departemen Agama seperti penyuapan, pengeluaran ijasah dan belsit baru dll. Disamping itu dinyatakan juga terlibat tendensi adanya usaha usaha NU-isasi di Departemen Agama.

Dari pernyatan itu paling tidak kira bisa mendapatkan gambaran mengenai situasi saat itu31, bahwa Departemen Agama itu sedang mengalami masalah yang serius terlebih lagi dikatakan bahwa departemen ini banyak melakukan tindak pelanggaran korupsi finansial dan tata usaha yang tidak beres32. Kritik yang paling pedas lagi di kemukakan oleh Ali Sadikin dan Muh. Bazor yang mengatakan bahwa Departemen Agama itu mempunyai sikap yang munafik dan serba kompromis. Sebagai contoh adalah bahwa sebuah departemen ini selalu membuat aturan, dan membebani diri untuk membina, mengembangkan jiwa keagamaan (sesuai dengan keputusan menteri no 56 tahun 1967) tetapi justru orang orang Departemen Agama sendirilah yang sering merusak aturan-aturan yang dibuatnya sendiri.

Didalam perjalanannya, Departemen Agama ini sebenarnya bertugas menjadi mediator hubungan antar agama-agama dan administratifnya, seperti ijin pendirian tempat ibadah, bantuan asing untuk penyebaran agama, pengawasan terhadap sekte-sekte agama dan lain-lain. Disetiap pengawasan dan pengambilan keputusan, departemen ini berkerja sama/bersinergi dengan berbagai departemen lain seperti kejaksaan, kehakiman dan pendidikan.

31

Anas Saidi (ed.). ibid., Hlm. 56, Kementrian agama ini menjadi ajang pertarungan antar kelompok-kelompok didalam Islam itu sendiri selain itu rendahnya profesionalitas mereka menjadi kepriatinan.

32

(60)

2. Proses terbentuknya Bakor Pakem

Sesuai dengan namanya badan ini terbentuk dalam rangka sebagai pengawas terhadap aliran-aliran atau sekte-sekte kepercayaan masyarakat. Saat itu departemen-departemen pengawas menganggap adanya indikasi yang tidak baik dalam perkembangan aliran keparcayaan masyarakat. Sehingga merasa perlu mengadakan sebuah badan khusus yang mengawasi perkembangan berbagai aliran agama dan kepercayaan didalam masyarakat.

Di masa-masa perang kemerdekaan Indonesia, gerakan kebatinan bergerak dan menyebar secara luas. Hal itu sangat dikhawatirkan oleh berbagai pihak terutama dari Departemen Agama. Setelah melakukan kajian-kajian mengenai hal tesebut, maka usulan untuk membuat badan koordinasi pengawas aliran kepercayaan tersebut diterima dan direstui oleh Syarir, sebagai Perdana Menteri Indonesia waktu itu.

Sebelum menjadi Badan Koordinasi, Pakem ini dinamakan sebagai panitia interdepartemental Pakem sesuai dengan keputusan Perdana Menteri no 167/PM/195433 tanggal 1 Agustus 1954, yang diketuai oleh seorang pejabat dari unsur instansi kejaksaan dan anggotanya terdiri dari instansi-instansi lainya.

Panitia ini bertugas untuk:

1. Menyelidiki dan mempelajari bentuk, corak dan tujuan dari masyarakat beserta dengan cara-cara perkawinananya yang terjadi dalam masyarakat.

33

(61)

2. Memperhatikan, mengusulkan kepada pemerintah peraturan-peraturan/ undang–undang yang mengatur apa yang disebut butir 1 dan membatasinya untuk ketentraman, kesusilaan dan kesejateraan dalam suatu masyarakat yang demokratis sesuai ketentuan tersebut dalam pasal 33 UUD Sementara RI

Baru tahun 1959 dibentuklah Badan Koordinasi Pakem berdasarkan UU no 25/1959 di beberapa provinsi oleh Panglima Daerah Militer selaku penguasa perang setempat. Dimana Bakor ini bertanggung jawab terhadap Jaksa Agung Pusat, Kajati (Kepala Kejaksaan Tinggi) I dan II. Lembaga ini diperkuat oleh UU no 15 ditahun 1961 pasal 3 yang menegaskan bahwa wewenang dan tugas kejaksaan untuk mengawasi aliran kepercayaan34.

Berdasarkan Surat Edaran Departemen Kejaksaan Biro Pakem Pusat No 34/Pakem/S.E/61 tanggal 7 April 1961, Bakor Pakem didirikan disetiap propinsi dan kabupaten Semenjak tahun 1960-1966 telah terbentuk Bakor Pakem di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur dan Aceh35.

34

ASa’ad el Hafidy. 1977, Aliran-Aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia, Ghalia, Indonesia. Jakarta. Hlm. 90.

35

(62)

B. Struktur dan birokrasi Bakor Pakem

Secara umum inti dari susunan tim Bakor Pakem terdiri dari seorang ketua yang merangkap anggota dari Kejaksaan Agung RI, seorang Wakil Ketua yang merangkap anggota dari kejaksaan Agung RI, dua orang sekretaris merangkap anggota dari Kejaksaan Agung dan anggota-anggota yang terdiri dari wakil-wakil instansi pemerintah lainnya yang tugas dan wewenang mencakup pengawasan masalah aliran kepercayaan masyarakat. Berikut ini adalah gambar bagan struktur Bakor Pakem:

Gambar ilustrasi.1 Struktur Tim Pakem Pusat

(Sumber: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dasawarsa Ditbinyat)

(63)

Bakor Pakem didaerah tingkat I dan II mengalami persamaan struktur, hanya saja kalau di Provinsi Bakor ini diketuai Kajati (Kepala Kejaksaan Tinggi) sedangkan di kabupaten/kotamadya di ketuai oleh Kajari (Kepala Kejaksaan Negeri), dan begitu seterusnya.

Berikut ini adalah gambar struktur Bakor Pakem di Daerah tingkat I dan II:

Gb.2

Bagan Struktur Pakem Daerah Tingkat I

(Sumber: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dasawarsa Ditbinyat)

Gb. 3

Bagan Struktur Pakem di Daerah Tingkat II

(64)

Struktur dalam bagan diatas merupakan gambaran koordinasi antar instansi yang bersangkutan. Setiap instansi yang berada dalam bagan diatas akan secara otomatis menjadi anggota dari Bakor Pakem.

Bakor Pakem menyelenggarakan konsultasi dan melakukan pertukaran informasi dengan instansi-instansi dan badan-badan lainnya, baik dari pemerintah maupun non pemerintah termasuk badan-badan keagamaan/ kepercayaan TYME. Sinergitas tersebut menjadi poin penting dalam menjalankan tugas yang menjadi tanggung jawab Bakor tersebut.

1. Tujuan dan Fungsi Bakor Pakem

Sesuai dengan keputusan Kepala Kejaksaan Tinggi DIY no 01/0.4/01/2008, maka pengawasan tarhadap aliran kepercayaan masyarakat bertujuan untuk:

1) Agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru.

2) Untuk mengefektifkan pengambilan langkah yang perlu, agar pelaksanaan Kepercayaan terhadap TYME benar benar sesuai dengan dasar Ketuhanan yang Maha Esa, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

(65)

2. Tugas dan wewenang

Badan koordinasi Pakem mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:

1) Menerima laporan dari masyarakat tentang permasalahan yang menyangkut Pakem.

2) Menerima laporan dan memberi petunjuk kepada tim Pakem daerah. 3) Melakukan tugas-tugas pengawasan dan penindakan secara fungsional. 4) Menyelenggarakan kondultasi, rapat dan pertukaran informasi dengan

instansi dan badan lainnya, baik pemerintah maupun non pemerintah termasuk badan-badan keagamaan dan kepercayaan terhadap TYME. 5) Meminta bantuan kepada semua instansi baik sipil maupun TNI untuk

dapat melaksanakan sesuai dengan hirarki.

Dalam surat edaran Departemen Kejaksaan Biro Pakem Pusat No 34/Pakem/S.E/61 tanggal 7 April 1961 dijelaskan bahwa tugas Bakor ini adalah mengikuti, memperhatikan, mengawasi gerak-gerik serta perkembangan dari semua gerakan agama, semua aliran kepercayaan atau kebatinan, memeriksa dan mempelajari brosur-brosur keagamaan/aliran kepercayaan baik yang berasal dari dalam dan luar negeri.

3. Cakupan dan Prosedur Pengawasan

Aliran kepercayaan menjadi sebuah objek pengawasan Bakor Pakem, adapun pengawasan itu dilakukan mempunyai cakupan-cakupan, yaitu:

Gambar

Tabel I Data dari Kejaksaan Tinggi Yogyakarta tahun 1978
Gambar ilustrasi.1

Referensi

Dokumen terkait

Perencanaan Rehabilitasi Gedung Kantor Paket I 12.000.000,00 1 Paket APBD Oktober November

PERAN PEMERINTAH DESA DALAM PENANGANAN KONFLIK KEAGAMAAN (Studi Penelitian Tentang Konflik Keagamaan Antara Nahdhlatul Ulama Dengan Majelis Tafsir Al- qur’an Di Desa

Fresmon Pacifik Prima periode 31 Desember 2009 sampai dengan 31 Desember 2012 Dengan data perbandingan berdasarkan hasil pengamatan sementara menggunakan konsep

Kabupaten Bandung adalah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Jawa Barat (Berita Negara

Adanya tekanan dari serikat pekerja dan peraturan pemerintah di bidang ketenagakerjaan menyebabkan manajer mengalami kesulitan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK)

Pendekatan perbandingan merupakan salah satu cara yang digunakan dalam penelitian normatif untuk membandingkan salah satu lembaga hukum ( legal institutions ) dari sistem hukum

Uji toksisitas akut dermal menggunakan hewan percobaan yang diperlukan untuk mendeteksi efek toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemaparan suatu sediaan uji.

Anak menyamakan kartu yang bermuatan jumlah dengan gambar bentuk yang berbeda dan letak formasi berbeda. Anak menyamakan seperti pada tahap IV ditambah dengan