• Tidak ada hasil yang ditemukan

BATU KARANG DI ATAS GUNUNG - I

Dalam dokumen Bulan Jatuh Di Lereng Gunung 11-20 (Halaman 186-200)

18. BATU KARANG DI ATAS GUNUNG - I

DENGAN MEMANGGUL bungkusan pakaiannya, Gemak Ideran meninggalkan pesanggerahan. la mengarah ke Barat Daya. Kecuali menjauhi jalan besar, ia mempunyai alasannya sendiri.

Sebenarnya hanya main untung-untungan, Diah Windu Rini dan Niken Anggana pasti melanjutkan per-jalanannya ke Kartasura. Mengingat kuda mereka mati ter-pagut ular Rawayani, tentunya belum jauh meninggalkan pesanggerahan.

Kecuali bila mereka membeli kuda baru. Lalu teringatlah dia, Niken Anggana akan menunggu ayahnya di lembah Gunung Lawu. Berdasarkan ingatannya itu, ia kini mulai memasuki lembah Gunung Lawu. Dalam hal ini ia merasa malu sendiri. Malu terhadap Rawayani. Sebab gerak-gerik gadis itu mengambah jalan yang pasti dan diperhitungkan. Sebaliknya, dirinya tidak. la tidak terlalu pasti. Bukan mustahil, Diah Windu Rini menolak memasuki lembah Gunung Lawu walaupun Niken Anggana menghendaki demikian.

Selain itu, ia sesungguhnya buta terhadap situasi yang sedang terjadi. Pemberontakan Sunan Garendi hanya didengarnya sepintas dari tutur-kata pedagang keliling Tameng di atas perahu. Sunan Garendi dibantu laskar Cina, pelarian dari Jakarta.

Mengapa demikian? Sebab antara tahun 1740— 1743 Kompeni Belanda bertindak sewenang-wenang terhadap masyarakat Cina di Jakarta. Mereka ditangkapi, disiksa, disembelih, dikejar-kejar dan dibuang ke Sri Langka.

Terdengarlah kabar an gin, mereka yang kena hukum buang sebenarnya mati diceburkan di tengah lautan. Demi menghadapi perlakuan Kompeni Belanda, masyarakat Cina (Tionghoa) bersatu-padu mengangkat senjata. Gubernur Valckenier memerintahkan pembinasaan.

Kampung Cina dibakar dan pada tahun 1740 ribuan orang Cina mati disembelih. Sudah begitu, harta-bendanya dirampok dan dirampas.

Tentu saja masyarakat Cina yang tersebar di beberapa kota pantai seperti Pekalongan, Rembang, Juwana, Cirebon, Semarang tidak tinggal diam. Mereka berontak dan mengepung Semarang.

Kebetulan sekali salah seorang putera Amangkurat IV yang bernama Garendi kurang puas terhadap perlakuan ayahandanya terhadapnya. Dengan

membawa laskarnya ia berontak dan mundur sampai di Pekalongan. Lantas saja laskar Cina membantunya. Dengan demikian, tergabunglah laskar Jawa dan laskar Cina. Sebenarnya, tuju-an Laskar Cina melawan Kompeni Belanda. Karena pusar pemerintahan Kompeni Belanda berada di Semarang dan Kartasura, maka mereka menyerbu kota Semarang dan Kartasura pula .

Penyerbuan laskar gabungan Sunan Garendi mengalutkan pemerintahan Kartasura. Penduduk lari pontang-panting ke luar kota. Demikian pulalah orang-orang Istana. Banyak di antara mereka yang tertangkap dan terbunuh. Dan peristiwa itu mengejutkan seluruh penduduk wilayah kerajaan.

Mereka ke luar jalanan dengan tujuan yang masih kacau-balau. Itulah sebabnya Gemak Ideran menjauhi lalu-lintas umum atau jalan-jalan besar yang dilalui laskar pemerintah.

Tetapi justru karena peristiwa itu pula, Gemak Ideran bertambah pengetahuannya. Dari tutur-kata orang ia mendengar kabar tentang kalutnya penduduk Ibu Kerajaan. Dari tutur-kata mereka pula, ia mendengar kabar Paku Buwana II dilarikan mengarah ke Selatan. Tujuannya ke Surabaya.

Tentunya harus melintasi lembah Gunung Lawu. Itulah sebabnya, hatinya bertambah mantap. la percaya pada suatu kali pasti akan dapat berternu dengan Diah Windu Rini dan Niken Anggana.

"Betapapun pandai Rawayani, dia bukan siluman dalam arti sebenarnya atau bidadari yang bermata dewa. Pastilah dia perlu bertanya-tanya dulu atau menyaring percakapan orang." ia berpikir di dalam hati.

Maka mulailah ia mencari keterangan tentang Diah Windu Rini dan Niken Anggana. Namun mereka semua tiada yang bisa memberinya petunjuk.

"Niken Anggana puteri Haria Giri seorang ahli pedang dan Komandan Pengawal Sri Baginda. Pastilah dia berada pula di lembah Gunung Lawu. Maka tepatlah dugaan Niken Anggana, bahwa ayahnya pasti melintasi lembah gunung Lawu." ia yakin.

Begitu menyebut-nyebut Niken Anggana, wajah gadis yang sangat cantik itu terbayang kembali di telapak mata-nya. Dia lembut. Dia masih muda belia. Walaupun demikian, sikap hidupnya bersedia mengalah terhadap siapapun. Itulah sifat seorang Ibu Sejati yang menjadi idaman hatinya. Tiba-tiba teringatlah dia kepada cerita Ki dalang Gunacarita tentang pendekar Sondong Landeyan. Bukan mustahil pula, Niken Anggana mengarah ke permukiman.itu dengan alasannya sendiri.

Akan tetapi ... apakah Diah Windu Rini akan mengijinkannya ?

Dan begitu teringat akan watak dan sifat Diah Windu Rini, mendadak saja bayangan Rawayani muncul di depannya. Terus-terang saja, ia belum sempat melihat wajah dan perawakan Rawayani secara jelas. Dua kali ia berjumpa dan berdekatan. Akan tetapi di malam hari.

Meskipun demikian kesannya sangat hebat di dalam perbendaharaan hatinya. Kecantikannya mungkin sebanding dengan Niken Anggana. Cara berpikirnya

tidak berbeda jauh dengan Diah Windu Rini. Dengan begitu, peribadi Rawayani adalah gabungan antara peribadi Diah Windu Rini dan Niken Anggana.

Munculnya bayangan Rawayani di depan matanya, membuat hatinya risau kembali. Teringatlah dia akan sepak-terjangnya yang aneh dan menakutkan. Dan sebentar lagi dia bakal jadi budaknya.

Mengapa tidak? Rawayani yang cerdik pastilah akan mencari dalih-dalih tertentu yang meng-ikatnya terus-menerus. Selain itu, ia jadi tidak mengerti akan dirinya sendiri. Setiap kali bertemu dengan Rawayani, tiba-tiba sikap hatinya jadi berubah. la jadi ikut-tkutan liar pula. Mengapa? Kenapa ? .

Karena tidak pandai menjawab masalahnya sendiri, ia jadi jengkel. Lalu uring-uringan. Akhirnya mengumbar gejolak hatinya. Tak terasa ia lantas menyanyi panjang dan pendek. Tiba-tiba ia mendengar beberapa penunggang kuda hendak melintasinya.

Agaknya mereka tertarik kepada pakaian yang dikenakannya, goloknya dan bungkusan pakaian yang dipanggulnya Mereka menoleh. Aneh ! Begitu melihat dirinya, mereka seperti terkejut. Terus. saja mereka mengabur-kan kudanya. "Siapa mereka?" Gemak Ideran tertarik. la berpikir sejenak. Lalu berkata di dalam hati : "Pada jaman kalut ini, agaknya siapapun tidak dapat menetapkan siapa lawan dan siapa kawan. Aku menyandang senjata tajam. Tentunya me-reka mengira aku salah seorang anggauta laskar lawannya. Entah siapa lawan mereka hanya mereka sendiri yang tahu."

Memang pada saat itu orang-orang gagah saling curiga-mencurigai. Kalau mau jujur sebenarnya dimulai semenjak jaman Amangkurat II tatkala pecah perang antara Untung Surapati melawan Belanda. Pangeran Puger, adik Amangkurat berpihak kepada Untung Surapati. Bahkan di kemudian hari mengangkat diri sebagai Raja Paku Buwana Pertama di Semarang.

Itu terjadi, sewaktu Amangkurat Mas naik tahta. Dan saling curiga dan saling bermusuhan berlanjut pada jaman Amangkurat IV atau Sunan Prabu atau yang disebut pula Amangkurat Jawi.

Pada jaman pemerintahannya, muncullah Patih Danureja yang menggalang kelompok pendu-kungnya. Kini ditambah dengan kelompok-kelompok lain yang saling berebut kekuasaan Belum lagi teratasi, terjadilah peristiwa penyerbuan Laskar Sunan Garendi. Laskar penopang Kcrajaan pecah meajadi beberapa bagian.

Yang setia kepada pengganti Patih Danureja. Yang berpihak kepada Pangeran Mangkubumi. Yang sudi menghamba kepada Kompeni Belanda. Dan yang ikut Sunan Garendi. Mereka semua terdiri dari orang peribumi yang sama warna kulitnya, sama makan-minumnya, sama perangai dan sifat nya, sama sejarah hidupnya dan sama pakaiannya. Bisa dimengerti betapa sukar mereka membeda kan siapa lawan dan siapa kawan.

Justru dihinggapi pikiian demikian, ia jadi menyiasati dirinya sendiri. Kalau dipikir apa sih tujuan-nya sampai memasuki lembah Gunung Lawu. la anak Surabaya dan dibesarkan di pulau Madura.

Sekarang berada di wilayah pusat pemerintahan. Untuk apa ? Sampai disini ia tertawa seorang diri. Timbullah kesadarannya, bahwasanya orang ini bergerak dengan alasannya masing masing.Tak lama kemudian serombongan orang berkuda lewat di sisinya dengan tergesa-gesa. Mereka menga rah ke lembah gunung Eh, pikir pemuda itu. Tentunya merupakan mempunyai alasannya masing-masing Apakah karena Sri Baginda benar-benar melintasi lembah Gunung Lawu menuju ke Surabaya ? Kalau mereka hamba sahaja raja, tak apalah. Tetapi kalau mereka justru orang-orang yang akan menggunakan kesempatan dalam suatu kesempitan wah ... lembah Gunung Lawu bakal banjir darah.

Kira-kira menjelang sorehari, sampailah Gemak Ideran di pinggang gunung. la singgah di sebuah kedai nasi untuk mengisi perut. Kedai itu sepi-sepi saja. Hanya terdapat dua orang yang duduk menghirup minuman kopi. Gemak Ide-ran mencoba bertanya :

"Paman ! Aku harus pulang ke Kartasura. Rasanya tidak mungkin melalui jalan besar. Kalau melalui lembah gunung. harus ke mana?"

Kedua orang itu dan pemilik kedai saling bertukar pendapat. Rupanya mereka belum pernah ke Kartasura sehingga tidak tahu jalan. Tetapi kemudian berkatalah pemilik kedai:

" Dulu salah seorang pamanku pernah ke Karangpandan. Menurut paman, Karangpandan terletak di sebelah barat gunung. Menurut tutur-katanya, harus melalui Ngrambe ... lantas Jamus ... lantas memutar ke barat laut sampai tiba di Kemuning ... lantas eh...selebihnya tak ingat lagi,ndoro. Pendek kata kalau orang biasa tidak bakal berani Sebab selain hanya ada satu jalan setapak, banyak binatang buas dan begal. Apalagi masa kalut begini " "Tetapi kenapa pamanmu berani melintasi jalan setapak itu?" Gemak Ideran menegas.

Pemilik kedai tertawa panjang. Lalu menjawab :

"Soalnya, gara-gara dirundung cinta. Kebetulan yang di-cintai anak orang Karangpandan. Kabar nya, orang tidak takut mati karena cinta."

Gemak Ideran tertawa. Kata-katanya beralasan meskipun diucapkan dengan bahasa yang sederha na Mendadak suatu ingatan menusuk benaknya. Karangpandan ! Dua kali orang itu menyebut nama Karangpandan. Apakah bukan nama dusun sahabatnya yang memberinya beberapa jurus ilmu sakti? Teringat kepada sahabatnya itu, ia jadi teringat kepada keadaan dirinya. Hajar orang dari Jawa Tengah. Permukimannya berada di balik gunung. Tetapi suatu kali bertemu dengan dirinya di pulau Madura. Apa sih enaknya orang hidup merantau, demikianlah pikirannya waktu itu.

Tak pernah di-duganya, bahwa pada suatu kali diapun terpaksa merantau seorang diri. Sekarang ia justru berada di dekat permukim-annya.

Dengan pikiran demikian, ia melanjutkan perjalanannya mendaki gunung. Dusun Ngrambe sudah berada di depan matanya. Tiba-tiba ia mendengar suara derap kuda yang datang dari arah Timur. Itulah jalan simpang menuju dusun-Jagaraga. Di tengah kesunyian alam, derap langkah kuda cepat menarik perhatian siapa saja, termasuk dirinya. Terus saja ia mendaki ketinggian dan duduk di atas batu.

Apa yang dilihatnya benar-benar membuat hatinya terkejut. Karena penunggang kudanya seorang gadis yang cantik sekali. Anehnya, ia seperti sudah mengenalnya. Rasanya tidak asing pula. Tetapi siapa? Seperti orang linglung ia mengawaskan gadis itu dengan mata tak berkedip.

Gadis itu mengenakan pakaian berwarna kuning muda. Potongannya modern seperti yang dikenakan nonik nonik pada jaman itu. Nonik adalah sebutan bagi gadis-gadis Belanda. Kain leher nya putih. Mengenakan topi lebar buatan Meksiko. Bercelana panjang dengan membawa-bawa pedang pendek. Tangan kirinya menuntun seekor kuda berpelana lengkap.

Dan begi-tu berada di depannya, ia turun ke tanah. Lalu menambat-kan kuda yang dituntunnya pada sebatang pohon. Setelah itu ia menoleh kepadanya dan bersenyum. Dan melihat senyum itu, tak terasa terloncatlah seruan Gemak Ideran :

"Rawayani?"

Gadis yang cantik sekali itu tersenyum lebar. Lalu me-nyahut: "Benar. Kau memanggilnya? Bukankah belum cukup satu bulan?"

Hilanglah kesangsian Gemak Ideran mendengar ucapan gadis itu. Benar-benar dialah Rawayani. Memang sampai pada hari itu, belum pernah ia melihat peribadi Rawayani dengan jelas. Ternyata Rawayani seorang gadis yang pantas disebut sebagai bidadari yang tersesat di bumi. Ah ! Tidak pantas ia disebut sebagai siluman. Benar-benar tidak pantas.

Namun mengingat tingkah-lakunya...ih ! Benarkah gadis secantik itu, membunuh orang tak ubah membunuh sekawanan lalat belaka ?

Pertemuan yang mendadak itu benar-benar mengejutkan hati Gemak Ideran, sehingga pemuda itu menjadi terlongong-longong. Berbagai perasaan dan bayangan berseliweran di dalam dirinya. Tak tahu ia, harus berbuat bagaimana Selagi demikian, Rawayani berseru :

"Kau turunlah ! Bukankah engkau memanggilku? Mari kita berbicara. Tentunya engkau membutuh kan seekor kuda untuk mencari kedua temanmu, bukan?" Oleh pertanyaan itu tersentaklah kesadaran Gemak Ideran. Terus saja ia melompat dari tempat duduknya dan menuruni ketinggian dengan setengah lari. Serunya seperti kanak-kanak mengharapkan memperoleh hadiah cokelat : "Apakah mereka selamat?"

"Memangnya kenapa?" kedua alis Rawayani berdiri.

Bukan main cantik wajahnya sampai Gemak Ideran hampir-hampir tertegun. Dengan nagas setengah memburu pemuda itu menyahut:

"Rawayani ! Bukankah apa yang terjadi dalam pesanggerahan adalah hasil kerjamu yang repih? Atau kau bermaksud ingkar?"

"Hei, hei! Kau berprasangka buruk terhadapku?"

"Bukan begitu !"-Gemak Ideran menghampiri. "Kau jelaskan padaku, apa yang sedang terjadi."

Rawayani tidak menjawab. Sebaliknya ia tersenyum menang. Katanya : "Kau sendiri yang minta, bukan? Artinya kau sendiri yang melanggar."

"Melanggar apa?"

"Bukankah kau berjanji satu bulan lagi? Karena itu, sesungguhnya aku tidak berhak menemuimu."

"Tetapi...tetapi..." Gemak Ideran menungkas.

Pada detik itu berbagai perasaan bergumul hebat dalam dirinya. Terang sekali, gadis itu sengaja datang membawakan seekor kuda baginya. Sekarang menyatakan, dia tidak berhak menemui dirinya sebelum satu bulan. Artinya, kuda yang ditambatkan itu belum tentu diperuntukkan bagi nya. Tetapi bukankah sebentar tadi dia mengatakan dirinya memerlukan seekor kuda demi mencari Diah Windu Rini dan Niken Ang-gana? Dan tiba-tiba rasa takut yang pernah diperolehnya kembali menghantui dirinya.

"Tetapi apa?" Rawayani menegas.

"Tetapi..." Gemak Ideran menelan ludah. "Kau sengaja menyusul diriku, bukan?"

"Kalau tidak bagaimana, kalau ya bagaimana?"

Dibantah demikian, mau tak mau Gemak Ideran menggaru-garuk kepalanya. Benar-benar ia merasa berhadapan dengan seorang gadis secerdik dan selicin setan. Namun ia tidak sudi mengalah. Dengan suara setengah lantang ia men-jawab :

"Kalau tidak, bagaimana mungkin engkau mengetahui diriku berada di lembah gunung?"

"Bukankah engkau sendiri yang berkata hendak ke-mari?"

"Baik." Gemak Ideran merasa terpojok. Memang ia pernah berkata hendak mengantarkan Niken Anggana menghadang ayahnya di Gunung Lawu. "Tetapi bagaimana engkau mengetahui aku kehilangan kudaku?"

"Bukankah kudamu mati?"

"Betul. Tetapi bagaimana engkau mengetahui?"

"Karena aku berada di pesanggerahan dan kebetulan melihat kudamu dan kedua kuda temanmu yang mati tersungkur."

"Apakah bukan hasil kerjamu?"

"Tidak." "Tidak,"

"Tidak. Bukan aku yang melaukan."

"Bukan engkau? Lalu siapa?" Rawayani tertawa. Sahutnya :

"Kau sendiri yang minta, bukan?"

"Minta apa?"

"Bukankah kau bermaksud minta keteranganku?"

Mau tak mau Gemak Ideran mengangguk dalam hati. Sewaktu hendak membuka mulutnya, Rawayani mendahului:

"Dengan begitu, sudah dua kali engkau melanggar kehendakmu sendiri."

"Eh, apakah pertanyaanku ini ada sangkut-pautnya dengan janjiku hendak mengikutimu satu bulan lagi?"

"Tentu saja."

"Kalau begitu, apa perlu kau membantu diriku?"

"Maksudmu dalam hal aku membawakan kuda ini?" Rawayani menegas. "Betul."

"Sebab tanpa berkuda, engkau akan melanggar janjimu. Dan aku tidak mau berteman dengan seorang satria yang akan ingkar janji."

"Kenapa?" Gemak Ideran tercengang.

"Waktumu akan terlalu sempit untuk mengetahui dimana kedua temanmu kini berada."

"Ah ! Masakan mereka tidak dapat kususul? Apa sebab?" Kembali lagi Rawayani tertawa. Sahutnya :

"Sudah tiga kali engkau minta jasaku, bukan?"

"Baiklah, baiklah." ujar Gemak Ideran. Hampir saja ia mengaku kalah. Tiba-tiba keangkuhannya bangkit pada detik itu pula. Melanjutkan :

"Bawalah kudamu ! Aku akan melanjutkan perjalananku." "Bagaimana kalau sampai melebihi satu bulan?"

"Bukankah engkau akan selalu mengetahui di mana beradaku? Nah, pada hari perjanjian itu engkau boleh datang padaku."

"Bagaimana kalau engkau belum bisa menemukan di mana mereka berdua berada?"

"Itu soalku. Eh, kenapa kau main bertanya terus-menerus?" Gemak Ideran mendongkol.

Rawayani memperdengarkan suara tertawanya. Pantulan suaranya terdengar jernih, merdu, sedap dan syahdu. Tetapi bulu tengkuk Gemak Ideran tiba-tiba meremang Entah apa sebabnya, ia seperti seseorang yang dipaksa minum racun.

"Baiklah, anggap saja aku yang melanggar perjanjian." di luar dugaan Rawayani sudi mengalah.

Namun judstru demikian, hati Gemak Ideran berkebat-kebit. Dengan memasang telinganya ia menunggu kata-kata lanjutannya. "Tetapi karena engkau sudah melanggar tiga kali, maka aku malahan mempunyai pihutang Anggap saja impas. Hai, mau ke mana?"

Gemak Ideran memang memutar tubuhnya dan hendak melangkah pergi. la tadi bersikap tidak mau kalah atau mengalah terhadap gad is itu. Tetapi setelah Rawayani mau mengalah, ia malahan merasa terhina. Dengan begitu, didalam hati sesungguhnya ia mengakui keunggulan lawannya.

Maka satu-satunya jalan hanya menghukum diri dengan meninggalkan tempat, meskipun hatinya ingin benar mendengar warta Diah Windu Rini dan Niken Anggana.

"Hei !" seru Rawayani setengah membentak. "Apakah kau benar-benar tidak mau mendengar kabar apa yang sudah terjadi di pesanggerahan?"

Mau tak mau, Gemak Ideran menghentikan langkahnya Namun tak sudi ia membalikkan tubuhnya. Rupanya Rawayani dapat membaca keadaan hatinya. Dengan cepat ia menghampiri. Katanya dengan suara sungguh-sungguh : "Waktu aku tiba di pesanggerahan ketiga ekor kudamu sudah mati. Bukan main hebat pukulannva. Pasti membawa racun atau setidak-tidaknya hawa beracun yang mematikan."

"Hm." Gemak Ideran mendengus."Kau maksudkan orang lain yang membunuh kuda-kuda itu?"

"Tidak hanya tiga ekor kuda saja. Tetapi termasuk pelayan-pelayan pesanggerahan dan mereka yang sedang menyateroni kalian."

"Eh, kau maksudkan..."

"Sst ! Mari kita kembali duduk di atas ketinggian itu. Meskipun di sini sunyi, siapa tahu ada orang yang mengintip. Rasanya kurang enak kita berbicara di tengah jalan." ujar Rawayani dengan suara agak lembut.

Gemak Ideran seperti kena tertarik besi berani. Tanpa membantah sepatah katapun ia patuh kepada ajakan Rawayani. Gadis itu ternyata sudah mendahului mendaki tanjakan di tepi jalan dan duduk di atas batu. Ia menunggu sampai Gemak Ideran duduk di dekatnya. Lalu melanjutkan :

"Kau tidak bertanya siapa yang membunuh mereka? Baiklah, biar aku saja yang mengatakan. Mereka terdiri dari tiga orang pemuda yang sebaya umurnya. Barangkali setahun atau dua tahun lebih tua daripadamu. Yang satu berpakaian seorang pengemis. Yang berperawakan tinggi besar mengenakan pakaian hijau. Dan yang ketiga seorang pemuda ngganteng dan mentereng. Gerakan mereka cepat luar biasa. Jelas sekali, ilmu kepandaian mereka sangat tinggi dan seimbang. Mereka datang dari arah-barat bagaikan terbang. Kecepatannya susah kulukiskan. Mereka datang dan pergi tak ubah iblis.

Sambil tertawa riuh mereka seperti sedang ber-lomba membunuh rombongan bertopeng itu."

"Kalau begitu mereka sekawan juga?" Gemak Ideran memotong.

"Nah, inilah anehnya. Mereka justru sating berhantam. Si pengemis dikejar yang tinggi besar. Dan yang tinggi besar dikejar yang mentereng. Si pengemis memasuki pesanggerahan dan mengacau rencana rombongan bertopeng yang datang menyateroni pesanggerahan.

Dia berputar-putar di an-tara mereka seperti sedang main petak. Kedua lawannya yang sedang mengejar rupanya penasaran. Hampir berbareng mereka melontarkan pukulan dari jauh. Tetapi yang terhajar adalah rombongan bertopeng itu. Mereka tidak sempat ber-kutik sedikitpun dan roboh dengan mata terbelalak. Mungkin sekali mereka mati dalam keadaan terkejut, heran atau kesakitan. Si pengemis tidak mempedulikan Dia tertawa terbahak-bahak sambil memaki-maki ... "

"Hai kerbau bangkotan ! Namamu sih gagah."

"Kenapa tidak? Aku Singgela Apa celanya?" bentak pemuda yang berperawakan tinggi besar.

"Singgela kentut ! Kau kerbau beracun !" si pengemis menyahut dengan tetap mengumandangkan tertawanya. "Kau hanya pandai membunuh kawanan kentut."

"Hai Saring ! Yang memukul bukan aku saja. Tetapi jangkrik edan pula "

Rupanya yang dipanggil dengan sebutan jangkrik adalah pemuda mentereng yang berada di sampingnya. Pemuda itu tidak menyahut. Dia hanya mendengus. Lalu melompat menerjang si pengemis. Di luar dugaan Singgela menghalangi. Kedua tangannya direntangkan Brus !

Mereka berdua mengadu tenaga. Lalu bertempur dengan amat serunya. Pada saat itu muncullah beberapa pelayan Mungkin mereka terkejut mendengar suara gaduh. Tapi celakalah mereka. Tahu-tahu gumpalan angin yang deras luar biasa menghantam mereka. Itulah pukulan Singgela dan pemuda mentereng itu. Menyaksikan peristiwa itu si pengemis memaki-maki.

"Kamu siluman-siluman jahat ! Apa salah mereka? Apa dosa mereka? Hayo rebutlah aku !"

Pengemis yang bernama Saring itu kemudian menerjang mereka berdua sambil mundur ke arah kudamu. Akibatnya ketiga ekor kuda yang tertambat menjadi sasaran pukulan dari jauh. Melihat hal itu, Saring merasa salah. Terus saja ia melesat mengundurkan diri. ...

Semenjak Rawayani menyebut-nyebut tentang seorang pemuda pengemis, hati Gemak Ideran tercekat. Suatu bayangan berkelebat dalam benaknya. Dan

Dalam dokumen Bulan Jatuh Di Lereng Gunung 11-20 (Halaman 186-200)

Dokumen terkait