• Tidak ada hasil yang ditemukan

SI PEMUDA LUSUH

Dalam dokumen Bulan Jatuh Di Lereng Gunung 11-20 (Halaman 60-81)

13. SI PEMUDA LUSUH

DENGAN BERDIAM DIRI, Diah Wmdu Rini melanjutkan perjalanannya mengarah ke barat. Gemak Ideran dan Niken Anggana menjajarinya. Sebenarnya merka ingin minta beberapa keterangan. Tetapi meliat Diah Windu Rini bersikap angker, mereka mengurungkan niatnya. Mereka sudah mengenal watak dan sifat Diah Wmdu Rini. Dalam keadaan demikian, siapapun tidak diperkenankan mengganggunya.

Sebenarnya di dalam hati, Diah Windu Rini sibuk sendiri. Suatu teka-teki memenuhi benaknya. Siapakah yang bermain di belakang mereka? Agaknya orang itu sebagai majikan mereka yang menakutkan dan mengerikan. Sudah dapat dipastikan, bahwa majikannya berkepandaian luar biasa tingginya dan berkuasa. Dan majikan itu ingin memiliki pedang Sangga Buwana. Kompeni Belanda ? Ah, orang-orang Belanda mustahil mempunyai kepercayaan terhadap sebuah pusaka sakti. Seorang Cina yang berkepandaian tinggi ? Kehadirannya 'rnasih disangsikan. Atau seorang Adipati ? Ha, mungkin sekali. Soalnya sekarang, siapakah dia.

Gunung Welirang, Arjuna dan Anjasmara merupakan tiga gunung lambang Iri tunggal semenjak jaman dahulu. Lambang kekuatan Brahma, Wisnu dan Syiwa. Lambang asal-usal manusia, kehadirannya di dunia dan kepergiannya ke alam moskwa. Alam sekitamya bukan main indahnya.

Semua persada buminya berselimut hijau alam yang lembut, cerah dan meriah. Hawanya sejuh, teduh dan nyaman. Angin tidak begitu keras sehingga membawa perasaan aman kepada siapapun yang disentuh nya. Kepada mahkota pohon-pohon yang dibuainya, kepada binatang yang hidup di lembah ngarai dan di dalam hutannya, dan kepada manusia dengan makhluk lainnya yang tiada kasatmata.

Maka tidak mengherankan, meskipun hati Diah Wmdu rini masguJ dihadapkan kepada teka-teki yang merumunkan benaknya, masih sempat ia mengagumi suasana alam cerah menjelang sianghari. Demikian pula Niken Anggana dan Gemak Ideran yang sebenar-nya ingin menanyakan sesuatu hal.

Tatkala perjalanan tiba di tengah petak hutan yang memagari wilayah Ugeran dan Papar, sekonyong-konyong Diah Windu Rini melarikan kudanya menerobos petak hutan mendaki tanjakan yang letaknya berada di atas tebing

jurang. Di atas tebing jurang itu, ia mengembarakan pandang matanya. Beberapa saat kemudian, ia balik kembali. Lalu berseru singkat:

- Gemak Ideran, Niken ! Kita beristirahat di sini. -

la mendahului turun dari kudanya dan ditambatkan pada sebatang belukar di tengah rerumputan. Gemak Ideran dan Niken segera turun pula dan membiarkan kuda mereka menggerumiti rerumputan yang hijau segar. Kemudian mereka menghampiri Diah Wmdu Rini. Sambil menghempaskan diri

di atas rerumput-

an, Gemak Ideran berkata :

- Ayunda, apakah aku diperkenankan mengajukan bebearapa pertanyaan ? - Diah Windu Rini menunggu sampai Niken Anggana duduk di sampingnya pada sebuah batu yang terlindung oleh rindang pohon. Lalu menyahut:

- Sebenarnya kita perlu memejamkan mata dahulu sebelum melanjutkan perjalanan. Bukankah semenjak semalam kita belum sempat tidur ? -

- Benar. - Gemak Ideran mengangguk. - Tetapi apabila pertanyaanku ini belum memperoleh penjelasan, rasanya susah juga aku memejamkan mataku. - Diah Windu Rini tersenyum. lamenimbang-nimbangsejenak. Memutuskan : - Baiklah ! Apa yang akan kau tanyakan padaku ? -Gemak Ideran memperbaiki letak duduknya. Kemudian menegas seperti berkata kepada dirinya sendiri : - Ayunda dapat menebak tepat permainan sandiwara mereka. Apakah ayunda

mengenal mereka ? -

- Tidak. -

- Apakah karena memperoleh kisikan seseorang ? -

- Kisikan ? - Diah Windu Rini tercengang.

- ya, aku melihat seorang pemuda lusuh yang duduk di luar rumah makan sedang menggerumiti paha ayam. Sikapnya acuh tak acuh seolah-olah tenggelam dalam rasa nikmat yang di-perolehnya. Beradanya di luar rumah makan atau katakan dengan tegas di sekitar rumah makan, perlu dipertanyakaa Bukankah begitu ? -

- Alasanmu ? -

- Pemilik rumah makan dan para tetamu kabur begitu rnen-cium bahaya. Sebaliknya, pemuda itu sama sekali tidak bergeser dan tempatnya. Paling tidak menimbulkan beberapa dugaan Setidak-tidaknya, dia mempunyai kepandaian untuk menjaga diri. Itulah yang pertama kali. Yang kedua, bukan mustahil dia termasuk salah seorang anggauta mereka. Bila kedua-duanya bukan begitu, tentunya dia seorang pemuda yang miring otaknya. Tetapi kenapa ia tiba-tiba menghilang entah ke mana berbareng dengan-kepergian kita meninggalkan rumah makan ? -

Diah Windu Rini mendeham perlahan. Wajahnya nampak bersungguh-sungguh. Sewaktu hendak membuka mulutnya, Niken Anggana mendahului: - Apa sih alasan mereka menuduh diriku sebagai pembunuh puteri Adipati Brahim ? -

- Sebentar! Biarlah kujawab sekaligus. - ujar Diah Windu Rini. Kemudian berkata seperti seorang guru di depan kelas :

- Ada empat hal yang membuatku dapat melihat siapa mereka. Sungguh, aku belum mengenal siapa mereka. Tetapi sewaktu melihat lagak-nya Srenggana memakan daging harimau, aku sudah dapat menebak delapan bagian. Ingat-ingatlah cara mereka menempati kursinya seakan-akan mengepung Kyahi Dengkul dan Nyai Rumpung...-

- Ayunda ! - Niken Anggana memotong. - Apakah Srenggana tidak makan daging harimau ? -

- Apakah engkau dapat membuktikan dia memakan daging harimau ? - Diah Windu Rini balik bertanya.

- Ya benar, - pikir Niken Anggana.

Untuk membuktikan Srenggana makan daging harimau memang susah. Sebaliknya kalau yang dimakannya bukan daging harimau, bagaimana cara membuktikannya ?

- Apakah daging kambing ? - akhirnya Niken Anggana minta pembenaran. - Nah, adik ! Lain kali engkau harus lebih banyak mengenal harimau, kuda, sapi, kambing dan babi ... tentunya berbeda, Kau amat-amati seratnya atau serabutnya ! Masing-masing memiliki ciri yang khas. Serat atau serabut daging kuda lebih kasar bila dibanding dengan daging lembu. Pernahkah engkau mengamat-amati macam serabutnya ? kalau belum faham, suatu kali engkau akan makan daging babi yang dikatakan daging lembu...-

- Ah ya ! - pikiran Niken Anggana seperti terbuka. - Mengapa aku tidak mempunyai pikiran begitu ? -

- Itulah karena hatimu terlalu mulia, adikku. - ujar Diah Windu Rini. - Kerapkali seseorang diperbodoh karena kemuliaan hati-nya. -

Niken Anggana meruntuhkan pandangnya. Terasa di dalam hati, ia masih perlu banyak belajar. Selagi demikian Diah Windu Rini melanjutkan ulasannya:

- Begitu aku melihat daging yang dimakannya, segera aku memperoleh firasat buruk. Apalagi setelah metihat kedudukan mereka yang berlagak hendak mengepung Kyahi Dengkul dan Nyai Rumpung. Yang ketiga, nama mereka yang tidak selaras dengan keperibadiannya. Dengkul, Rumpung...ah, aku berani

bertaruh bahwa mereka semua mengenakan nama samaran yang berhubungan dengan tugasnya. Sreng gana artinya anjing serigala. Maka ia menyesuaikan diri dengan berlagak makan daging harimau. Tetapi sesungguhnya, dia ditugaskan untuk menyergap lawan. Guntur ... tentunya tugasnya untuk menggertak lawan selain mempunyai tenaga kuat Sedang nama Dengkul dan Rumpung, sudah jelas. Dengkul adalah nama anggauta kaki sebagai penghubung. Rumpung berhubungan dengan hidung. Dialah pengamat atau penyelidik. Karena itu berlagak sebagai pendamai. Tetapi sebenarnya ingin mengorek keterangan lebih dalam lag!...-

Mendengar ulasan Diah Windu Rini, tak terasa Gemak Ideran dan Niken Anggana memanggut membe narkan. Sementara itu Diah Windu Rini meneruskan :

- Yang keempat cara mereka berbicara. Mereka berlagak tidak saling mengenal. Tetapi bila kalian agak cermat sedikit saja, segera akan melihat bahwa pembicaraan mereka saling menimpali. Dan yang ke lima, perginya pemilik rumah makan dan para tamu lainnya. Kaburnya para tamu bisa dimengerti. Tetapi perginya pemilik rumah makan membuktikan bahwa dia setidak-tidaknya sudah mengenal siapa mereka. Sekiranyadiapuntermasuk anggauta komplotan, peranan yang dilakukan masih kasar. -

Diam-diam Gemak Ideran kagum kepada kecermatan pengamatan Diah Windu Rini. Andaikata dia memperoleh peng-lihatan demikian, akan mengambil kesimpulan tiada beda dengan Diah Windu Rini. Terasa dalam dirinya, bahwa berbekal kepan-daian tempur saja belum cukup. la masih perlu meninggalkan kewaspadaan'dan berhati-hati.

- Meskipun aku sudah memperoleh kesimpulan demikian, tetapi belum kuketahui dengan jelas siapakah pemimpin mereka. -Diah Windu Rini m^njutkan. - Maka kualihkan perhatian mereka kepada secarik kertas yang menyebut-nyebut pedang Sangga buwana. Kemudian aku memerintahkan kalian meninggalkan tempat Di sanalah topeng mereka terbuka. Tetapi di balik belakang punggung mereka. Siapa dia, inilah soalnya. -

- Ayunda belum bisa menebak ? - Gemak Ideran menegas. - He-e. - Diah Windu Rini mengangguk.

- Hai! Kalau begitu kita bakal bertemu dan berhadap-hadapan dengan masalah yang pelik dan rumit - seru Gemak Ideran.

- Benar! Karena itu, mulai sekarang kita harus berhati-hati dan berwaspada. - - Pedang Sangga Buwana...- Niken Anggana seperti menggerutu. - Sebenarnya apa sih keistimewaannya sampai mereka ikut-ikutan untuk merebutnya. -

- Mengapa mereka ikut-ikutan untuk merebutnya masih perlu diselidiki. Tetapi apa keistimewaan pedang Sangga Buwana sehingga menjadi pusat perhatian orang-orang pandai ... hm ... panjang ceritanya. - ujar Diah Windu Rini. - Yang penting sekarang, tidur dulu! Tentang riwayatpedtng itu akan kuceritakan perlahan-lahan. -

Untuk yang pertama kali itu, Niken Anggana berkelana seorang diri tanpa pengawalan. Dahulu, tatkala diberangkatkan ke Madura, ayahnya menyertakan laskar Kasunanan dan Kepatihan. la berada dalam kereta berkuda yang tertutup rapat, sehingga perasaannya aman. Tak mengherankan sering ia tertidur lelap. Dibandingkan dengan perjalanan sekarang, alangkah jauh berbeda.

Karena kini sudah dewasa, ia harus berangkat mening-galkan Madura tanpa pengawalan laskar. Berkuda seorang diri, hanya dengan dikawal dua orang

saja. Begitu tiba di Pasuruan, ia mengalami hal-hal yang aneh. Kemudian terlibat suatu perkelahi-an yang tak keruan juntrungnya. Sekarang harus beristirahat di tengah hutan di atas rerumputan demi melepaskan lelah. Hawanya memang segar sejuk menyenangkan, akan tetapi prarasanya mengabarkan adanya ancaman bahaya. Hanya saja siapa yang akan mendatangkan bahaya, ia kurang jelas.

Dengan pikiran itu, tak terasa ia tertidur pulas. Memang semenjak semalam, ia tidak sempat memejamkan mata sedetik-pun. Dan pagi tadi baru saja ia terlepas dari saat-saat yang menegangkan. Tak mengheran kan, ia mudah tertidur lelap. Entah sudah berapa lama ia tertidur lelap, tiba-tiba ia mendengar suara gaduh. Suara beradunya pedang dan senjata logam lainnya.

Gugup ia menegakkan badannya dan melihat Gemak Ideran rebah terkulai di atas rerumputan. Dan disana Diah Windu rini sedang bertempur menghadapi tiga orang musuh yang terdiri dari seorang nenek-nenek dan dua orang laki-laki. Siapa mereka dan kapan datangnya ? Ah, menapa ia sama sekali tidak mendengar kedatangan mereka ?

Melihat Gemak Ideran roboh di atas rerumputan, ia heran bukan kepalang,

Gemak Ideran bukan seorang pemuda lemah.

Apakah dia diserang selagi tertidur lelap ? Memperoleh dugaan demikian, gugup ia menghampiri dan mencoba membangunkan-nya.

- Kakang ! - ia menegakkan badannya.

- Niken! - bisik pemuda itu dengan suara parau, - Kau mengerti Ilmu pamudaran ? -

- Sedikit -

Kau pukullah diriku di bagian betis dan bawah tengkukku. Aku akan mengerahkan tenagaku untuk membantumu. -

Ilmu Pamudaran termasuk ilmu sakti untuk membebaskan orang dari pembelengguan ilmu sakti tertentu. Begitu tangan Niken Anggana rnenyentuh titik penyaluran, seketika itu juga mantra Pamudaran segera bekerja. Gemak Ideran dapatbergerak kembali, tneskipun sendi-sendi tulangnya belum pulih seperti sediakala.

- Kau awasi tiga orang itu yang mengkerubut ayunda Diah Windu rini. Engkau jangan bergerak dulu. Tunggu sampai aku pulih kembali. - ujar Gemak Ideran seraya menegakkan badannya.

- Memangnya kenapa ? - Niken Anggana minta keterangan. - Mereka bertiga bukan sembarangan. -

- Apakah kakang kenal mereka ? -

- Belum. - jawab Gemak Ideran. - Aku terbangun tatkala mendengar suara bersuing di udara. Begitu menyenakkan mata, aku melihat berkelebatnya sesuatu mengarah padamu. Buru-buru aku menangkis nya. Ternyata sebilah pedang disambitkan kepadamu. Untuk pedang bersarung sehingga tidak melukai diriku. Lihat, apakah bukan pedangmu ? -

Niken memalingkan mukanya dan melihat sebilah pedang bersarung tak jauh dari padanya. Begitu melihat, segera ia mengenalnya sebagai pedangnya sendiri.

- Hai! - Niken Anggana heran. - Kalau begitu, merekalah yang mencuri pedangku ! Apa sebab dikembali kan padaku ? -

- Sabar dulu! Lebih baik kau dengarkan dulu keteranganku! -potong Gemak Ideran. - Mendengar suara pedangmu jatuh di atas rerumputan, ayunda segera meletik bangun dan mengejarnya. Tepat pada saat itu, seseorang memukul diriku dengan disertai mantra panyirepan. Kau tahu mantra panyirepan ? - - Bukankah untuk menidurkan orang ? -

- Benar. Tetapi mantra panyirepan ada beberapa tingkat kurasa ini yang dinamakan orang mantra Bega nanda. Sebab begitu aku terkena mantranya, seketika itu lesulah seluruh sendi tenagaku. Yang kuheran kan, mantra panyirepan macam apapun hanya berlaku diwaktu malamhari. Mantra itu akan tawar bila kena terik matahari. Tetapi kenyataannya, masih saja aku terkena. Mungkin, kita berada di tengah hutan sehingga sinar matahari tertahan oleh rimbun mahkota daun-daun. Sekiranya tidak demikian, tentunya orang yang menggunakan mantra itu seorang ahli tapa. Ternyata mereka bertiga tergolong pertapa-pertapa yang biasanya bermukim di atas gunung. Lihatlah yang jelas ! Yang perempuan itu mengaku bernama: KALIKA seorang pertapa dari Gunang Lasung yang berada di pulau Bali. Kemudian LEKONG dan SETELUK yang bermukim di Gunung Rinjani dari pulau Lombok. Sungguh mengheran kan, mengapa orang seberang cenunukan sampai masuk ke pulau Jawa. Lebih mengherankan adalah orang yang berperanan di belakang mereka. Sebab mustahil sekali mereka datang kemari atas prakarsanya sendiri. Pasti ada yang memerintahnya. -

- Apa alasan kakang ? -

- Mereka datang dengan membawa pedangmu. Bukankah sejalan dengan orang-orang yang mengincar pedang Sangga Buwana ? Karena engkau adalah puteri Haria Gin, mereka atau dia yang mencuri pedangmu mengira bahwa engkau membawa-bawa pedang Sangga Buwana. -

- Ah, ya. - Niken Anggana tersadar. - Lagi-lagi masalah pedang Sangga Buwana' Begitu hebat daya tank pedang leluhurku itu bagi mereka sampai...sampai...-

Kata-kata Niken Anggana terputus oleh bunyi suara nyaring. Itulah suara bentrok pedang Diah Windu Rini dengan tongkat baja Kalika. Diah Windu Rini sangat cerdik. Begitu habis mengadu tenaga, sebat luar biasa ia menggerakkan pedangnya melingkar seperti lingkaran ular hendak meremuk mangsanya. Sambil memutar ia maju dua langkah. Tiba-tiba ujung pedangnya menyontek. Tak ampun lagi ikat pinggang jubah Kalika terputus. Tetapi ia tidak berhenti sampai disitu saja. Masih saja pedangnya bergerak menampar golok Seteluk ke samping.

Lekong yang berada di luar gelanggang belum mengetahui, bahwa baik Kalika maupun Seteluk sudah dilukai Diah Windu Rini. la hanya heran dan

rnendongkol mengapa rekannya belum dapat merobohkan seorang gadis yang belum pandai beringus. Terus saja ia ikut menerjang. Tetapi tahu-tahu, tangannya terasa nyeri. Cepat-cepat ia memeriksa. Ternyata sudah berlumuran darah. Hai, kenapa ? la tidak mengetahui, bahwa Diah Windu Rini masih mempunyai senjata andalan. Itulah senjata bidik atau penggendam yang dapat melukai lawan dari jarak jauh. Dalam penasarannya dan terbakar oleh rasa marah, Lekong menjerit :

- Gadis siluman ! Kau menggunakan senjata apa ? Hari ini, terpaksa aku mengadu jiwa. Kau atau aku yang mampus disini. -

Setelah menjerit demikian, ia melompat menerjang sambil menahan rasa sakit. Senjta yang digunakan adalah semacam pancing yang diputar kencang di udara sebelum merabu lawan. Tali pengikatnya terbuat dari baja lentur yang dapat memanjang dan mengerut pendek. Tajamnya luar biasa ibarat dapat merajang daging. Tetapi sebelum senjatanya' mengenai sasaran tiba-tiba terdengar seseorang tertawa geli dari balik pepohonan.

- Hai siluman tua ! Mengapa kalian ikut cenunukan di sini ? Dengan berbekal ilmu kepandaian demikian, kalian bisa berbuat apa ? Sebenarnya kau harus berterima kasih kepadanya. Sebab kalau dia bermaksud mengambil jiwamu, saat ini engkau sudah kehiiangan sebelah tanganmu. Lalu tinggal memotong sebelah tanganmu lagi. Bukankah kau bakal mati kehabisan darah ? -

Gemak Ideran segera berdiri sambil melemparkan pandangnya ke arah datangnya suara itu. Begitu mengenal siapa yang berkata itu, berserulah ia setengah tak percaya :

- Hai dia ! -

- Siapa ? - Niken Anggima menegas. Diapun ikut berdiri setelah memungut pedangnya yarig tergeletak di atas rerumputan.

- Pemuda lusuh di depan rumah makan. - bisik Gemak Ideran.

Niken Anggana tercengang. Pemuda lusuh di depan rumah makan ? Lalu menegas :

- Apakah pemuda lusuh yang kau pertanyakan kepada ayunda Windu Rini ? - - Benar. Itulah dia ! - jawab Gemak Ideran dengan suara mengandung kegembiraan. - Aku sudah menduga, dia pasti mempunyai sangkut-paut dengan kepentingan gerombolan yang sedang bermain sandiwara di rumah

makan. Diapun menghilang berbareng dengan keberangkatan kita

meninggalkan rumah makan. Mustahil hanya secara kebetulan. Nyatanya, kini

dia muncul kembali. Man kita dekati! -

Selagi ia melangkahkan kakinya, terdengar suara bersuing di atas kepalanya. Sebilah pisau terbang menetak dahan pohon. Tak! Dan dahan itu terpotong tak ubah leher terpangkas pedang tajam. Syukur Niken Anggana sempat menariknya kembali dan dibawanya mundur berlindung.

- Kakang, sabarlah dulu ! - ujar Niken Anggana dengan setengah tertawa. - Tunggulah sampai orang-orang itu tidak berkutik lagi. -

Gemak Ideran terdiam, Tetapi hatinya mendongkol. Mengingat diapun kurang jelas siapa pemuda lusuh itu, ia terpaksa menahan diri. Sementara itu terdengar pemuda lusuh itu berseru:

- Sudah lama aku mengintipmu. Ternyata kalian hanya pandai menyerang orang selagi tertidur lelap. Apakah perbuatan kalian termasuk perbuatan orang-orang gagah ? -

Kalika, Lekong dan Seteluk tergugu mendengar kata-kata pemuda itu. Jadi mereka sudah kena intip semenjak tadi ? Diam-diam hatinya tercekat, karena kehadiran pemuda itu berada di luar pengamatan.

Biasanya, telinganya yang terlatih semenjak puluhan tahun yang lalu dapat menangkap bunyi nafas seseorang pada jarak duapuluh langkah. Mengapa kali ini hilang dayanya ? Tentunya pemuda itu bukan tokoh sembarangan. Dan memperoleh pikiran demikian, segera mereka bersiaga menghadapi segala kemung-kinan.

Tetapi pemuda itu hanya duduk berjagang di atas sebuah batu. Sama sekali ia tak bergerak dari tempatnya. Hanya mulutnya saja yang berkomat-kamit seperti lagi menggerumiti penganan. Setelah menelannya habis tiba-tiba ia berseru lagi :

- Hai Kalika, kau satu-satunya wanita di antara mereka berdua. Apakah engkau gundiknya ? -

Lekong dan Seteluk marah bukan main. Dengan berbareng mereka meloncat menghampiri. Pemuda itu meloncat pula dari tempat duduknya seraya berkata : - Hai ! Apakah kalian ingin mencoba-coba keampuhan senjataku ? Lihat, hanya sebatang tongkat penggebuk anjing. -

Setelah berkaia demikian, dengan gesit ia menyerang. Nampaknya ringan saja, tetapi tiba-tiba mengarah sasaran yang mematikan. Keruan saja Lekong dan Seteluk terkejut bukan kepalang. Buru-buru mereka membela diri. Akan tetapi serangan pemuda itu, mendadak saja berubah menjadi suatu rangkaian serangan yang cepat luar biasa. Sebentar saja ia dapat mendesak mereka berdua hampir-hampir menca pai tebing jurang. Dan sadar akan bahanya mengancam jiwanya, dengan berjumpalitan Lekong dan Seteluk terbang ke udara melewati kepala pemuda lusuh itu. Begitu tiba di atas tanah, Lekong membentak :

- Sebenarnya siapa engkau ? -

- Aku ? - pemuda itu tertawa riang. - Aku seorang pengembara. Apakah kalian perlu mengenal namaku ? -

- Betul! - Kalika berteriak. - Kau sudah mengenal kami bertiga. Tentunya engkau tidak takut memper kenalkan namamu agar dapat kami kenang selama hidup. -

- Waddooo...sampai perlu kau kenang ? Hihi...sebenarnya apa sih aku ini sampai perlu menerima suatu kehormatan besar ? Aku hanya seorang pengemis. Lihat! Akupun tidak cakap. Kulit tangan dan wajahku

berbentong-bentong putih. Suaraku buruk seperti bunyi suara gagak. Karena itu tidak berani aku mempunyai nama. -

- Betul-betul kau tidak mempunyai nama ? - ejek Kalika.

- Tidak. Apa sih hebatnya suatu nama. Yang penting, bukankah yang menyematkan nama itu ? -

- Hm, hm...- Dengus Lekong. Kemudian berkata kepada Kalika :

- Bagaimana kalau kita namakan si gagak putih ? Bukankah dia sendiri yang berkata suaranya jelek seperti bunyi burung gagak ? -

- Yang putih kau angkat dari mana ? - Kalika menegas seraya memiring-miringkan kepalanya.

- Kulit tangan dan mukanya berbecak-becak putih, kan ? -Seteluk yang semenjak tadi rnenutup mulutnya menyambung:

- Gunakan bahasa kita. -

- Maksudmu ? - Lekong menegas.

- Jangan putih, tetapi seta. Dengan begitu kita sebut dia Gagak seta. - - Waddoooo...bagus, bagus ! - pemuda itu berseru girang.

Lantas saja dia menandak-nandak seperti anak gendeng. - Bagus ! Hari ini aku mempunyai nama yang tepat. Ya, sebutlah aku Gagak Seta!-

Ketiga orang itu sebenarnya bermaksud menghina pemuda lusuh itu. Tak tahunya pemuda lusuh itu malahan menandak-nandak kegirangan. Keruan saja mereka mendongkol bukan kepalang sampai wajahnya merah padam.

- Bangsat! Kau ini manusia atau siluman ? - bentak Lekong.

- Aku ? Kau sebut manusia, boleh. Kau sebut siluman, aku tidak melarang. Pendek kata, hari ini aku mempunyai nama yang tepat sekali. Gagak Seta! Gagak Seta dari lembah Gunung Lawu. Kalian bertiga menyebut-nyebut nama gunung Rinjani dan gunung Lasung. Bagus ! Jadi kita berempat sama-sama dari gunung. -

Kalika, Lekong dan Seteluk kelak muncul kembali di "MENCARI BENDE MATARAM" dengan nama Jahnawi, Mohe dan Kalika yang meninggal di hari tua diganti oleh Jinawi. Mereka bertiga menamakan diri sebagai Utusan Suci.

Dalam dokumen Bulan Jatuh Di Lereng Gunung 11-20 (Halaman 60-81)

Dokumen terkait