• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTEMPURAN MAUT - I

Dalam dokumen Bulan Jatuh Di Lereng Gunung 11-20 (Halaman 81-103)

14. PERTEMPURAN MAUT - I

MEREKA BERTIGA mencoba mengejar waktu. Matahari sudah hampir bersembunyi di balik gunung. Sebentar lagi, malam hari tiba. Mereka memutuskan untuk menginap di tepi hutan di atas suatu ketinggian. Oleh pengalaman senjahari tadi, mereka kini tidur bergantian.

Tetapi malam itu ternyata aman sentausa tiada sesuatu yang mengganggu. Dengan demikian mereka menyambut munculnya matahari dengan perasaan segar bugar.

Kebetulan sekali tidak jauh dari hutan itu, terdapat sungai yang berair bersih jernih. Arusnya menumbuk-numbuk batu yang mencongakkan diri dari permukaan air: Suaranya bergemerisik nada yang riang bebas merdeka, Diah Windu Rini dan Niken Anggana mandi bersama, sedang Gemak Ideran berjaga-jaga di ambang tebing sungai.

Kesempatan itu, dipergunakan Gemak Ideran untuk duduk berenung-renung di atas batu yang mencongakkan diri di tebing sungai. Sambil merenungi pula pemandangan alam, pikirannya menjangkau beberapa masalah yang belum terjawab.

Yang pertama soal pedang Niken Anggana yang dikembalikan oleh Kalika, Lekong dan Seteluk. Siapakah mereka dan atas suruhan siapa ? Kedua, munculnya Gagak Seta dan yang terakhir nama Surengpati yang dibawa-bawa sebagai adik-seperguruan Diah Windu Rini yang dirahasiakan. Mengapa dan kenapa ?

Selagi demikian, ia mendengar suara Diah Windu Rini berkata kepada Niken Anggana di bawah tebing :

- Niken, kau tahu sendiri. Pedangmu dikembalikan. Tentunya mengira, pedangmu pedang pusaka Sangga Buwana. Sebenarnya, apakah ayahmu benar-benar memiliki pedang yang diincar orang di seluruh dunia ini ? -

- Maksudmu pedang Sangga Buwana ? -

- Tentu saja. Apakah ada pedang pusaka lainnya yang melebihi pedang Sangga Buwana. -

Niken Anggana tidak segera menjawab. Agaknya ia sedang mengingat-ingat Lalu berkata seperti kepada dirinya sendiri :

- Sebenarnya, aku sendiri belum pernah melihat Hanya sesekali aku pernah mendengar kabar, bahwa pedang itu sebenar-nya berasal dari ibu. Hanya dari mana ibu memperolehnya, aku tidak tahu. -

Diah Windu Rini tidak mendesak. Selang beberapa saat lamanya, ia terdengar berkata lagi :

- Sebenarnya menarik sekali riwayat pedang itu. Ayahku mengabarkari, bahwa pedang itu berasal dari Kamboja entah dari negeri Thai. Yang jelas dihadiahkan kepada seorang puteri Sriwijaya. Siapa namanya, aku tidak jelas. - (selanjutnya baca : "JALAN SIMPANG DI ATAS BUKIT')

- Lalu bagaimana bisa sampai di tanah Jawa ? -

- Mungkin sekali dibawa seorang pendekar jempolan dari Tarumanegara. Pendekar itu disebut dengan nama Mojang. Apakah namanya benar demikian, akupun tidak tahu. Yang jelas, pedang itu berpindah dari tangan ke tangan. Barangsiapa yang memiliki menjadi seorang ahli pedang kenamaan yang tak ter-kalahkan. -

- Ah, kalau begitu mereka mengincar pedang Sangga Buwana untuk menjadi seorang pendekar jempolan. - seru Niken Anggana.

- Mungkin sekali. Tetapi aku mempunyai pendapat lain. -Niken Anggana rupanya tidak berani mendesak. Gemak Ideran yang berada di atas tebing menajamkan pendengarannya. Lama sekali ia tidak mendengar sesuatu. Sebenarnya ingin ia menjenguk dari atas, akan tetapi rasa susilanya tidak mengijinkan ia berbuat demikian. Maka terpaksalah ia menya barkan diri, moga-moga Diah Windu Rini berkenan menerangkan alasannya. Alhamdulilah ! Setelah menunggu sekian lamanya, terdengar Diah Windu Rini berkata lagi : - Memang aku percaya, pedang itu menyimpan suatu rahasia besar. Setidak-tidaknya rahasia Ilmu Pedang yang sangat tinggi. Kecuali itu menyimpan rahasia cara menjatuhkan suatu kekuasaan. -

- Hai ! Bagaimana ayunda mempunyai pendapat begitu ? -Niken Anggana berseru terperanjat.

- Lihat saja riwayat pedang itu yang selalu berpindah tangan. Mula-mula berada di tangan pendekar Mojang. Musuh negara Tarumanegara dapat dihancurkan. Lalu berpindah tangan ke Sriwijaya lagi. Dan pemerintahan Mataram di bawah kebijaksanaan Raja Darmawangsa runtuh oleh serbuan raja Wora-Wari. Pedang itu sempat dibawa lari ke Jawa Timur. Berdirilah kerajaan Empu Sendok. Mulai lagi terjadi perebutan. Yang memiliki pedang akhirnya menang perang. Itulah Raja Airlangga. Pedang Sangga Buwana berpindah ke tangan Ken Arok. Berdirilah ia sebagai raja yang dianggap sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Pcdang Sangga Buwana kemudian berada di tangan Raden Wijaya.

Tentara Cina dapat diundurkan. Ini berkat uluran tangan kakek-moyangku Wirareja. Jadi pedang Sangga Buwana sempat singgah di Madura untuk yang pertama kali. Lalu berpindah tangan ke Demak. Dan runtuhlah Kerajaan Majapahit. Pindah lagi ke Jawa Barat. Dari sana kembali ke Jawa Tengah karena dibawa Untung Surapati. Lalu dikuasai kakekku Trunajaya. Runtuhlah kerajaan Mataram. Kakek melarikan diri ke Ngantang Jawa Timur hingga wafatnya. Pedang Sangga Buwana yang sempat berada ditangan kakekku untuk yang kedua kalinya musnah. Dan sekarang orang mencoba merebutnya kembali dari tanganmu. Mereka mengira, pedang Sangga Buwana berada di tangan ayahmu. Nyatanya tidak. -

- Kalau begitu yang mencuri pedangku kemarin malam tentunya pemimpin orang-orang di rumah makan. - potong Niken Anggana.

- Tidak. -

- Tidak ? -

- Tidak. - jawab Diah Windu Rini menekankan ucapannya yang pertama. - Barangkali yang mencuri pedangmu hanya ingin menguasai ilmu kepandaian yang tinggi. Tetapi rombongan ini mempunyai tujuan lebih jauh. Mereka berangan-angan ingin mendirikan suatu kekuasaan baru. -

Gemak Ideran tercekat hatinya, mendengar keterangan Diah Windu Rini. la kcnal Diah Windu Rini seorang gadis yang cerdik luar biasa. Selain itu, seringkali ia dibawa berbicara mengenai urusan negara oleh ayahnya. Maka pendapatnya tentu mempunyai alasan yang masuk akal.

- Tetapi mengapa ayunda berani menyebut-nyebut tentang pedang pusaka itu kepada mereka ? - Niken Anggana minta keterangan.

- Bukankah leluhurku pernah memiliki pedang pusaka itu ? Apa salahnya bila mereka berhubungan denganku. - jawab Diah WinduRini dengan suara ketus. Gemak Ideran tertawa sendiri di dalam dadanya. Teringatlah dia, leluhur Diah Windu Rini terkenal semenjak jaman Majapahit.

Pada abad ke tigabelas, hiduplah seorang panembahan di pulau Madura yang bermukim di Balinge. Panembahan Balinge mempunyai dua orang anak laki-laki yang gemar bertapa. Yang tua bernama Adi Podai, adiknya disebut orang Pangeran Adi Rasa. Adi Podai bertapa di atas Gunung Geger. Seoang Pangeran Adi Rasa di atas Ujeng Alang-alang. Kedua tempat itu berada di wilayah Bangkalan. Pada masa bersamaan bertapa seorang puteri yang cantik jelita di atas Gunung Payudan. Jarak antara Gunung Payudan dan Gunung Geger kurang lebih 150 kilometer. Puteri itu berkulit kuning langsat, sehingga disebut orang Puteri Koneng (Kuning). Sebenarnya namanya : Zaini. Puteri Pangeran Secodiningrat, cucu Pangeran Beragung.

Suatu keanehan terjadi. Meskipun antara Pangeran Adi Podai dan puteri Koneng tidak pernah berkenalan, namun mereka berdua dapat bertemu dalam persemadian. Kedua-duanya meraga-sukma (suksmanya meninggalkan raganya) dan bertemu di atas udara. Mula-mula mereka terkejut. Pangeran Adi Podai mengira Puteri Koneng seorang bidadari.

Sebaliknya Puteri Koneng mengira Pangeran Adi Podai seorang dewa. Pertemuan yang pertama kalinya ditanggapi dengan rasa heran. Kemudian diulangi untuk yang kedua kalinya. Lalu untuk yang ketiga kalinya. Akhirnya sering mojok di udara. Tak usah dijelaskan lagi, mereka saling jatuh cinta dan bersenggama dengan cipta. Dan pada suatu saat Puteri Koneng mengandung dan melahirkan seorang putera yang diberi nama Jakatole .

Hubungan cinta-kasih di udara dilanjutkan lagi dan puteri Koneng melahirkan puteranya yang kedua, bernama Jakawedi.

Karena puteri Koneng tetap bertapa di atas gunung, Jakatole diambil anak-angkat oleh Empu Kelleng. yang bertempat tinggal di Sumenep. Sedang Jakawedi diambil anak-angkat Kyahi Pademawu di Pamekasan. Setelah dewasa Jakawedi menyeberang ke tanah Gresik (sebelah barat kota Surabaya) dan diangkat menjadi raja oleh penduduk.

Adi Podai, ayah Jakatole dan Jakawedi, mengabdi ke Majapahit. Dia ditugaskan membuat gapura istana. Jakatole yang ingin bertemu dengan ayahnya menyusul ke Majapahit. Tentu saja pertemuan itu sangat mengharukan. Berkatalah sang ayah kepada Jakatole:

- Kau lebih perasa daripadaku. Kau berusaha mencari dan bertemu dengan ayahmu. Sebaliknya, belum pernah aku bertemu dengan ibumu. Baiklah, karena kau sudah berada di Majapahit, lanjutkan tugas pekerjaan ayah. Aku akan mencari ibumu yang bertapa di atas Gunung Payudan. Kau tak usah berkecil hati. Aku mempunyai dua macam pusaka. Sekumtum bunga dan sebatang tongkat. Bila gapura retak, makanlah bunga ini. Dan tongkat ini akan menolong kesukaranmu. -

Dan Adi Podai benar-benar meninggalkan Majapahit unutk kembali ke Madura. Jakatole kemudian melanjutkan pekerjaan ayahnya yang belum selesai. Pada suatu hari, dinding gapura retak. Jakatole tak tahu lagi apa yang harus dilakukan, karena tiada bahan penambalnya. Teringatlah dia akan pesan ayahnya. Untung-untungan ia memakan kuntum bunga. Tiba-tiba keluarlah suatu cairan yang lengket dari pusarnya. Dan dengan air ajaib itu, ia menambal gapura Majapahit yang tetap berdiri tegak sentausa sampai ratusan tahun kemudian.

Banyak jasanya Jakatole terhadap Majapahit. la sangat sakti dan sukar ditandingi siapapun. Oleh rasa terima kasih Raja menganugerahi seorang puteri cantik bernama Dewi Ratnadi Sayang, puteri itu tunanetra. Harapan raja, dengan kesaktiannya Jakatole pasti dapat menyembuhkannya.

Jakatole menerima anugerah itu dengan hati ikhlas. Sesungguhnya ia tidak dapat menyembuh kannya. Meskipun demikian, ia sangat mencintai isterinya, Takut diejek orang dan diancam murka raja, ia mohon diri hendak pulang ke Madura dengan membawa isterinya.

Tiba di tanah Madura, tiba-tiba Dewi Ratnadi merasa sangat haus, padahal tanah Madura terkenal keringnya. Karena bingung, Jakatole menancapkan tongkatnya di atas tanah. Suatu keajaiban terjadi. Tiba-tiba menyemburlah air

dari dalam bumi dan memerciki kedua mata Dewi Ratnadi. Seketika itu juga, Dewi Ratnadi dapat melihat dunia beserta isi-nya, karena tunanetranya hilang. Tempat tongkat ditancapkan itu dinamakan Socah sebagai tugu peringatan. Socah artinya mata. Sampai sekarang sumber air Socah itu, masih ada. Jakatole tidak kembali lagi ke Majapahit.

Dengan Dewi Ratnadi, ia dikaruniahi putera dan puteri yang menurunkan para adipati Madura dan pendekar-pendekar sakti. Dan Diah Windu Rini termasuk salah seorang keturunan Jakatole dan Dewi Ratnadi. Dengan sendirinya anak keturunan puteri Koneng dan Pangeran Adi Podai.

- Akupun termasuk salah seorang anak-keturunan Pangeran Adi Rasa yang menjadi raja di Gresik. - pikir Gemak Ideran di dalam hatinya. Dan selagi berpikir demikian, Diah Windu Rini dan Niken Anggana sudah berada di atas tebing. Mereka mengenakan pakaian bersih dan mentereng.

Kecantikan mereka makin bertambah-tambah. Dan tak setahunya sendiri, Gemak Ideran sangat menaruh perhatian kepada Niken Anggana. Apakah ini yang dinamakan cinta pertama atau luapan birahi ?

- Gemak Ideran ! Pastilah engkau sudah mendengar semua kata-kataku. - ujar Diah Windu Rini, tak perlu Gemak Ideran berdusta, Sebab kecuali pendengarannya tajam oleh kesaktiannya, jatak antara atas tebing dan tempat dia mandi termasuk terlalu dekat. Karena itu ia mengangguk.

- Lalu bagaimana menurut pendapatmu ? - Diah Windu Rini menegas.

- Ayunda menyebut-nyebut tentang kemungkinan mereka berangan-angan mendirikan suatu kekuasaan. Siapakah mereka ?-

- Justru hal itu yang belum kuketahui. Tetapi gerombolan yang mengacau di rumah makan apakah tidak kau perhatikan ? -

- Apakah maksud ayunda, karena ada di antara mereka terdapat beberapa orang Cina ? - Gemak Ideran minta pembenaran.

- Benar. - Diah Windu Rini kelihatan perihatin. - Menilik riwayat pedang itu pasti ada sangkut-pautnya dengan urusan negara, aku yakin yang mengincar pedang pusaka Sangga Buwana pasti mempunyai perhatian terhadap urusan kekuasaan. Itulah sebabnya sengaja mereka kupancing agar berkumpul di pesanggrahan. Bila mereka benar-benar datang, pastilah kegiatan mereka tidak jauh dari kerajaan Kartasura. -

Ini adalah pernyataan Diah Windu Rini di luar dugaan, meskipun tadi ia tahu Diah Windu Rini mempunyai alasan yang kuat. la sendiri putera Adipati Sawunggaling yang berontak melawan Kompeni Belanda dan boneka-boneka pihak penguasa Kartasura. Darah pemberontak mengalir dalam tubuhnya. Karena itu cepat sekali hatinya tergetar manakala mendengar berita peristiwa tentang urusan negara.

- Baiklah. - akhirnya ia berkata sambil berdiri tegak. - Tinggal satu pertanyaan yang mengharap ayunda terangkan. -

- Sebenarnya siapakah yang bernama Surengpati, sehingga ayunda merasa perlu merahasiakannya ? Bila perlu demikian, akupun tidak akan membiarkan siapapun untuk membicarakan-nya. -

Diah Windu Rini menghentikan langkahnya. Dengan tajam ia menatap wajah Gemak Ideran. Beberapa saat lamanya, ia menimbang-nimbang. Lalu menyenak nafas perlahan. Berkata :

- Surengpati adalah adik-seperguruanku. la seorang yang mau menang sendiri. Congkak, besar kepala, tetapi tulang-tulangnya bagus. Guru mengharapkan dia merajai seluruh ilmu kepandaian di bumi ini demi mengharumkan nama perguruan dan guru sendiri. Pada saat ini, dia baru mewarisi seperempat bagian kepandaian guru. Karena persiapan untuk mencapai tataran masih jauh dan harus ditilik dengan keras, maka namanya wajib kita rahasiakan. Dengan begitu, masa pelajarannya tidakkan terganggu oleh siapapun. Siapa tahu... siapa mengira... Gagak Seta rupanya sudah mencium angan-angan guru. - - Hai, bukankah guru ayunda sudah meninggal ? - potong Gemak Ideran heran. - Betul. - sahut Diah Windu Rini cepat. - Tetapi sebelum wafat, beliau sudah sempat mewariskan kunci-kunci sakti Ilmu Witaradya kepadanya. Sekarang, dia tinggal memperdalam dan mencari pengalaman. -

Gemak Ideran termenung-menung beberapa saat lamanya. Minta keterangan : - Ayunda sendiri seorang puteri yang berkepandaian tinggi. Bagaimana kalau dibandingkan dengan dia ? -

- Aku ? Kepandaianku ini belum sepersepuluhnya kepandaian guru. - sahut Diah Windu Rini dengan mala berkilat-kilat. -Sudahlah, mari kita berangkat ! Sekali lagi kukatakan, jangan biarkan siapapun menyebul-nyebut nama adik-scpcrguruanku itu !-

Tak berani lagi Gemak Ideran mcmbuka mulutnya. Sebenarnya, ingin ia mendapal keterangan apa maksudnya dengan kala-kata harus ditilik dengan keras. Tcntunya ada yang meniliknya, karena gurunya sudah wafat. Siapakah dia ? Tetapi rasa ingin tahunya itu ia telan dalam-dalam, karena takut kena damprat gadis galak itu.

Sementara itu, matahari sudah sepenggalah tingginya. Seluruh persada bumi nampak jelas dan semarak. Di uliik timur, samar-samar muncul awan hitam yang bergerak perlahan-lahan. Bukan mustahil sebentar atau lama hujan akan turun. Diah Windu Rini tidak menghiraukan semuanya itu. Pandang matanya menjangkau jauh. Mungkin sekali di sianghari, ia tiba di Wengker (Madiun). Selanjutnya akan dapat mencapai sebelah barat kota Ngawi menjelang petanghari.

Tiba di sebuah dusun, ia membawa Gemak Ideran dan Niken Anggana bersantap pagi. Sampai saat itu, tiada terjadi sesuatu yang menarik perhatian. Namun sebagai seorang yang berilmu kepan-daian tinggi, prasaanya mengabarkan dirinya bahwa ada yang sedang mengintip gerak-geriknya.

Selagi hendak berangkat, seorang kanak-kanak kira-kira ber-umur lima tahun datang menghampiri. Anak itu memandang dirinya lama-lama. Kemudian berkata :

- Kasih dulu uang ! Aku ada surat. -

- Surat ? Surat siapa ? - Niken Anggana menanggapi. - Surat untuk dia ! Bukan untukmu. - sahutnya.

Niken Anggana tertawa manis. Ia mau mengerti. Lalu menoleh kepada Diah Windu Rini yang masih membawa sikap-nya yang angkuh dan berwaspada. Karena itu, ia berkata lagi kepada si anak :

- Siapa yang menitipkan surat kepadamu ? - - Kasih dulu uang ! -

Niken Anggana tertawa lebar. Segera ia mengangsurkan segenggam uang. Dan melihat jumlah uang yang terlalu banyak, anak itu berkata dengan pandang mata berseri-seri :

- Kalau begitu betul. - - Betul bagaimana ? -

- Yang titip surat ini bilang, aku pasti dapat uang banyaaaaak sekali. Sebab orangnya baik. -

Niken Anggana tersenyum. Minta keterangan : - Siapa yang menitipkan surat ini kepadamu ? -.

- Seorang puteri yang cantik sekali. Sudah, ya...-ujar anak itu.

Dan tanpa menunggu perkenankan Niken Anggana, lantas saja ia melarikan diri.

Surat itu diletakkan saja di atas meja. Sebenarnya Niken Anggana ingin membukanya. Akan tetapi Diah Windu Rini nampak acuh tak acuh. Kesan wajahnya mewakili keadaan hatinya yang tidak senang. Dengan mata suram, ia merenungi surat yang terlipat rapih. Lalu berkata kepada Gemak Ideran :

- Coba baca, apa katanya ! -

Diah Windu Rini maupun Gemak Ideran tidak takut ke-mungkinan surat itu dilumuri racun. Sekiranya demikian, anak yang membawa surat itu pasti sudah mati sebelum sampai di tempatnya. Tetapi selagi Gemak Ideran hendak menggapai surat itu, tiba-tiba terdengar suara sibuk di luar rumah makan. Pemilik rumah makan (sebenarnya lebih tepat bila disebut kedai) menghambur ke luar bersama dua orang lagi. Terdengar mereka ber-teriak-teriak cemas : - Hai ! Kenapa dia mati ? Baru saja dia masuk ke dalam menyerahkan surat. - Mendengar seruan mereka, Gemak Ideran dan Niken Anggana terkejut setengah mati. Terus saja mereka melesat keluar. Dengan penuh tanda tanya mereka menghampiri anak tadi yang tergeletak di tengah jalan. Tatkala Niken Anggana hendak meraba tubuh anak itu, Gemak Ideran menariknya dan

dibawa mundur. Terdengar suara Diah Windu Rini yang sudah berdiri di belakangnya :

- Berangkat! -

Dengan langkah cepat Diah Windu Rini menghampiri kuda-nya yang segera diikuti Gemak Ideran dan Niken Anggana. Kepada pemilik kedai, Diah Windu Rini berkata pendek :

- Di atas meja ada uang setengah rupiah. Cukup, bukan ? - - Oh, cukup...cukup...malahan kelebihan. -

Diah Windu Rini tidak menanggapi. la memutar kudanya dan mendahului melarikannya cepat. Gemak Ideran dan Niken Anggana buru-buru menyusulnya. Sebentar lagi mereka sudah ke luar dari dusun itu.

- Ayunda ! Bagaimana dengan surat itu ? - seru Gemak Ideran. - Sudah kubakar. - jawab Diah Windu Rini pendek.

- Isinya ? -

- Aku akan berjalan terus dengan Niken. Kau kejarlah dia ! Ambil jalan simpang. -

- Siapa ? -.

- Orang yang mengirimkan surat. Awas, dia seorang perempuan yang kejam. - - Siapa dia ? -

- Kukira, dialah yang mencuri pedang Niken dulu. -Gemak Ideran segera membedalkan kudanya dengan mengambil jalan simpang. Pada jaman dulu, seberang-menyeberang jalan penuh dengan belukar dan petak-petak hutan liar. Sclagi Gemak Ideran menerobos belukar, tiba-tiba dua orang menghadang dengan wajah beringas. Teriaknya lantang :

- Kau bawa ke mana perempuan itu ? -

- Perempuan mana ? -

- Tentunya gadis itu ! Apa alasanmu kau menculiknya ? -Gemak Ideran makin terheran-heran.

Sedang dalam keadaan demikian, mereka menyerang dengan berbareng. Senjata mereka pedang panjang. Kelihatannya mereka hendak melampiaskan rasa penasaran dan dendamnya, sehingga lebih tepat bila dikatakan sedang kalap. Dan menghadapi orang kalap, tak mungkin ia bisa mengharapkan dapat berbicara dengan baik-baik. Maka terpaksalah ia menghunus goloknya dan menghantam balik serangan mereka berdua.

Setelah menangkis balik, Gemak Ideran meloncat turun dari kudanya sambil mengelak. Baru saja ia lolos dari serangan kalap, sebatang pedang yang datang dari samping menikam perutnya.

Gemak Ideran terkejut setengah mati. Syukur, masih sempat ia menghantamkan ujung goloknya sehingga benturan yang terjadi membersit suara nyaring.

- Tahan ! - seru Gemak Ideran. - Sebenarnya siapa kalian ? -

- Apakah perlu ? - bentak yang berperawakan gendut. Gemak Ideran tertawa. Sahutnya :

- Baiklah si kalap dan si gendut. Kalian boleh maju berbareng lagi. -

- Bangsat! Meskipun aku gendut, namaku bukan gendut. Aku Pandegelang. - - Nah, kan lebih bagus bila menyebutkan nama sendiri. Dan yang satu ? - - Dia Gulung Tikar. - jawab Pandegelang.

- Eh, apakah mau bangkrut ? - ejek Gemak Ideran sambil tertawa lebar.

- Bangkrut ? Siapa yang bangkrut ? - bentak Gulung Tikar. -Belum tentu berarti bangkrut. Tetapi justru akan menggulung tikarmu dan perangaimu yang jahat. - - Hai, apa salahku ? - teriak Gemak Ideran.

Gulung Tikar tidak sudi melayani pertanyaan Gemak Ideran. Dengan menggerung ia menikamkan pedangnya. Kalau tadi ia menyerang perut, kini mengarah ke dada dan dilanjutkan ke pinggang.

Pikir Gemak Ideran sambil menangkis : Ilmu pedangnya tidak jelek. Pastilah murid orang pandai. Hanya saja belum mahir.

Tiba-tiba saja ia merasa sayang. Lagipula ia merasa tidak bermusuhan dengan mereka. Maka ia tidak mau berkelahi dengan sungguh-sungguh. Setelah menangkis ia mengelak mundur dan maju.

- Gulung ! - seru Pandeglang. - Sayang...mengapa kurang tepat! -

Gulung Tikar rupanya menyesali serangannya yang gagal. Segera ia merangsak kembali dengan dibantu pandeglang yang menerjang dari samping dan belakang.

Diserang demikian, lambat-laun Gemak Ideran merasa kuwalahan juga. Pikirnya, kalau tidak dilawan sungguh-sungguh, mereka tak mau sudah. Maka dengan menggetarkan goloknya, ia balik menyerang.

- Hai, hai! - seru si gendut Pandeglang. - Dia bisa menyerang juga. -

Panas kuping Gemak Ideran direndahkan lawannya. Timbullah niatnya hendak menghajarnya benar-benar. Terus saja ia membentak :

- Akan kulihat siapakah yang bakal jatuh tertungkrap seperti katak buduk. - - Haha...kau bisa ? - ejek Gulung Tikar. - Sebentar lagi kau bakal gulung tikar habis-habisan. -

- Eh, benarkah itu ? - Gemak Ideran mendongkol. Terus saja ia mengangkat goloknya tinggi-tinggi dan dibenturkan kepada dua pedang Pandeglang dan Gulung Tikar.

Pandegelang dan Gulung Tikar boleh merasa diri sudah menguasai ilmu

Dalam dokumen Bulan Jatuh Di Lereng Gunung 11-20 (Halaman 81-103)

Dokumen terkait