• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTEMPURAN MAUT - II

Dalam dokumen Bulan Jatuh Di Lereng Gunung 11-20 (Halaman 103-129)

15. PERTEMPURAN MAUT - II

Dalam pada itu Gemak Ideran yang mengambil jalan lain sudah merasa kehilangan jejak gerombolan yang menggoda Diah Windu Rini. Perhatiannya kini beralih kepada Niken Anggana. Terhadap gadis belia itu, memang ia menaruh perhatian besar. Itulah sebabnya, segera ia memutar arah mengikuti jalan yang diambah Niken Anggana.

Sampai di tepi sungai, ia mendengar suara berisiknya belasan orang. Mereka mengerumuni dua mayat yang meringkuk seperti udang bakar. Bergegas ia turun dari kudanya dan ikut melihatnya. Masih sempat ia mendengar seseorang berkata :

- Siapa lagi kalau bukan dia. -

Setelah berkata demikian, orang itu cepat-cepat balik ke perahunya. Agaknya ia merasa kelepasan omong. Gemak Ideran seorang pemuda yang berbakat dan pandai melihat gelagat. Segera ia mengikuti orang itu dan menghampiri. Menegas :

- Saudura, bolehkah aku tahu siapa yang kau maksudkan dengan dia ? -

Orang itu yang usianya tidak terpaut jauh dengan Gemak Ideran, menoleh. Begilu melihat dandanan Gemak Ideran, wajahnya pucat lesi. Dengan suara agak menggeletar ia menjawab :

- Bukan aku yang bilang. Bukan aku !...Aku tidak tahu apa-apa. -

Gemak Ideran tersenyum menenteramkan. la tahu apa sebab orang itu mengelak dengan suara ketakutan. Pastilah diamengenal siapa pembunuhnya. Hanya saja dia sadar apa akibatnya. Maka dengan tetap tersenyum Gemak Ideran berkata membesarkan hati :

- Jangan takut ! Aku bukan polisi. Juga bukan orang pemerintahan. Aku pun datang dari jauh. Aku hanya minta keterangan agar dapat menjaga diri. -

Orang itu mengamati Gemak Ideran mulai dari ujung kaki sampai ke rambutnya. Melihat sikap Gemak Ideran, rasa takutnya turun tujuh bagian. Menyahut dengan hati-hati :

- Saudara datang dari mana dan akan ke mana ? -

- Aku datang dari Madura. Sedang mengadakan perjalanan ke Kartasura. -

- Perjalanan ke Kartasura ? - orang itu terbelalak.

- Mengapa ? - Gemak Ideran kini heran.

- Apakah saudara belum mendengar kabar ? -

- Kabar apa ? -

Orang itu bercelingukan ke kiri dan ke kanan. Kemudian berkata dengan setengah berbisik :

- Mari ke perahuku saja ! -

Gemak Ideran tercengang. Sama sekali tak diduganya, bahwa orang itu begitu mudah percaya kepadanya. Mungkin sekali ia berhati polos atau sebenarnya mempunyai maksud tersembunyi. Maka dengan mengangguk ia mengikuti orang itu masuk ke dalam perahunya. Ternyata perahu itu kosong. Meskipun demikian ia tetap berwaspada.

- Saudara, namaku Tameng. Pekerjaan ku pedagang keliling. -kata orang itu mengaku bernama Tameng. - Karena pekerjaanku, banyak aku mendengar kabar angin. Aku tidak perlu menanyakan siapa namamu, demi keamananku sendiri. Mohon maaf bila tidak berkenan di hatimu. -

-Tidak, tidak. - sahut Gemak Ideran. - Kalau begitu aku justru akan merahasiakan pertemuan kita ini. Nah katakan padaku kabar apa yang pernah kau dengar! -

- Keadaan Kartasura, bukan ? -

- Ya.-

- Itulah gara-gara Ratu Sumanarsa. -

Syukur, Gemak Ideran pernah mendengar nama itu berkat cciita Ki dalang Gunacarita. walaupun demikian, hatinya sempat tercekat. Menegas :

- Kau maksudkan salah seorang permaisuri Raja Amangkurat IV?-

- Hai, bagaimana. engkau tahu ? - Tameng tercengang.

- Ah, siapa yang tidak mengenal beliau. Sebab beliau adalah ibunda Arya Mangkunegara yang pernah berdiam di Blitar.

- Betul, betul! -Tamengselengah berseru. - Kalau begitu, kabar ini akan jadi lancar. Begini cerilanya. Pada suatu malam Ratu Sumanarsa bermimpi tentang Bulan Jatuh di atas lereng Gunung-Aku bilang diatas lereng, karena sebelum benar-benar jatuh tersangkut pada dahan batang Randu Alas. Itulah semacam pohon kapuk yang berbatang besar dan berdahan panjang. Menurut bunyi mimpinya, penduduk tergoncang hebat melihat bulan jatuh itu. Hampir berbareng mereka berteriak-teriak : Bulan jatuh ! Bulan Jatuh ! Diantara mereka muncul seorang pangeran. Dialah Pangeran Mangkubumi atau Raden Mas Sujono, Dia datang dengan membawa sebatang galah. Dengan galah itu, ia menurun-kan bulan yang tersangkut di atas pohon Randu Alas dan dimakannya habis. Kemudian ia membuang bayangannya ke atas. Eh, bayangan itu ternyata sepertiga bagian bulan yang tergantung di udara. Raden Mas Said mengambilnya dan dimakannya. Bagaimana menurut pendapatmu ? -

- Menurut pendapatku ? - Gemak Ideran tercengang. Itulah pertanyaan yang sama sekali tak diduganya. Lalu melanjutkan sulit :

- Bukankah itu hanya sebuah mimpi indah ? - - Apakah bukan mimpi yang aneh ? -

- Aneh ? - Gemak Ideran tercengang. - Apanya yang aneh ? -

- Matahari, Bulan, Bintang, Gunung dan Samudera adalah lambang mimpi idaman tiap orang. Sekarang Ratu Ayu Sumanarsa bermimpi tentang bulan yang jatuh di lereng gunung. Jadi ada bulan berbareng gunung. Bukankah hebat dan aneh ? Anehnya, kenapa mimpi satu kali saj'a bisa merangkum dua lambang yang hebat! Padahal manusia di manapun tidak dapat menciptakan mimpi sendiri. Jadi, tentunya itulah anugerah Tuhan Yang Maha Esa. - Tameng menerangkan alasannya dengan lancar.

Mendengar keterangan Tameng, diam-diam Gemak Ideran memuji dalam hati. Pikirnya, orang ini paling tidak memiliki suatu kepercayaan yang kokoh. Mungkin seorang penghayat llmu Kajawen. Memperoleh kesimpulan demikian berkatalah ia mengiringkan :

- Sebenarnya apakah yang kau maksudkan dengan lambang idaman orang ? - - Sudah jelas ! - seru Tameng bersemangat. - Gunung,umpamanya, lambang keperkasaan, keteguhan, ketetapan, kekokohan, keluhuran. Samudera, lambang keagungan dan ilmu. Matahari, lambang kekuasaan. Begitu pula bulan. Sifatnya tidak hanya lembut, sejuk, nyaman dan menye nangkan saja,

tetapi dicintai. Sedangkan bintang lambang rejeki, kebahagiaan, keberuntungan, jodoh, pangkat dan derajat Sekarang Ratu Ayu Sumanarsa bermimpi bulan jatuh di lereng gunung. Maknanya jelas! Yang dimimpikan makan bulan sampai habis, pastilah kelak akan menjadi seorang raja. Sedangkan Raden Mas Said demikian juga. Mungkin sekali bedanya hanya soal luasnya wilayah. -

- Eh, kau seperti peramal. - Gemak Ideran tertawa perlahan.

- Bukan begitu ! Aku bukan peramal. Aku hanya membaca Ilmu warisan para w a li dan para cerdik pandai semenjak jaman kuno. Bulan tidak beda dengan matahari adalah lambang kekuasaan tinggi. Kenyataannya, bukan aku saja yang percaya. Sekarang kekuatan laskar kerajaan terbelah. Dan biasanya siluman-siluman bertopeng akan muncul di mana-mana untuk menggunakan tiap kesempatan dalam tiap kesempitan. -

Mendengar Tameng menyebutkan siluman-siluman bertopeng, Gemak Ideran tercekat hatinya. Meskipun yang di maksudkan adalah semacam ibarat, akan tetapi ia mengalami dan melihat munculnya orang-orang bertopeng yang mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Namun dengan bersikap berpura-pura dungu ia minta keterangan :

- Apakah yang kau maksudkan orang yang membunuh dua orang tadi ? -

- Hm, belum tentu. - jawab Tameng dengan membuang mukanya. Kemudian ia menuangkan air minum dalam mangkoknya. Menawari : - Minum ? -

- Terima kasih. -

Tameng tidak berkata lagi. Perlahan-lahan ia meneguk air minumnya. Ternyata aduan bubuk kopi dengan gula merah. Lalu diletakkan perlahan-lahan di atas tikar yang menutupi alas perahu. Tiba-tiba berkata seperti seorang guru yang sedang menguji muridnya :

- Kau pernah mendengar seorang gembong bernama Cing Cing Goling ? - - Cing Cing Goling ? - Gemak Ideran menegas. - Siapa dia ? -

- Haha...kau belum kenal siapa dia, jangan coba-coba masuk ke wilayah ini. - - Kenapa ? -

- Sebab engkau membawa-bawa senjata. Ini bisa diartikan menantang kekuasaannya. Hayo coba terka ! Dia bangsa apa ? -

Gemak Ideran terdiam.Bunyi nama itu kedengarannya aneh seperti nama seorang asing. Mencoba-coba :

- Apakah orang Cina ? -

Tameng tertawa terbahak-bahak. Sahutnya : - Sama sekali bukan. -

- Tetapi bunyi namanya kedengarannya...-

- Pernahkah engkau mendengar sebuah sungai bernama Cing Cing Goling ? - potong Tameng.

Gemak Ideran menggelengkan kepalanya. Dan dengan suara menang Tameng berkata lagi :

- Itulah sungai Serayu. -

- Maksudmu sungai Serayu di wilayah Banyumas ? -

- Benar. - Tameng mengangguk, - Pada waktu para Pandhawa berlomba dengan Kurawa menggali sebuah sungai, Kunti ikut membantu. Kunti adalah Ibu para Pandhawa. Melihat Bhimasena kehilangan semangat, ibunda Kunti menyingsingkan kainnya. Maksudnya hendak ikut terjun dalam penggalian. Dan begitu melihat ibunya yang sangat dihormati dan dicintai akan ikut terjun menggali sungai, Bhimasena tidak rela. Seketika itu juga ia mengerahkan segenap tenaganya. Dengan semangat menyala-nyala, akhirnya Bhimasena dapat menyelesaikan pembuatan sungai seorang diri. Sungai itu lalu disebut orang dengan nama Cing Cing Goling. Artinya lambang kekuatan dahsyat. Sekarang di belahan utara Kota Ngawi ini terdapat seorang pendekar sakti yang menyematkan nama Cing Cing Goling. Artinya mencanangkan dirinya sebagai seorang pendekar yang memiliki kekuatan luar biasa besar. Sayang dia sangat kejam. Tak pernah ia mengampuni lawannya. Contohnya semua anak-buahnya berbuat begitu. Masing-masing diberi warisan ilmu Sakti Batu Panas setengah bagian. Dia sendiri sudah mencapai tujuh bagian. Bila sudah mencapai tingkatan kesembilan, di dunia ini tiada lagi yang dapat menandingi kesaktiannya. -

Gemak Ideran terlongong-longong mendengar keterangan Tameng yang begitu jelas dan mengesankan. Sebenarnya siapakah dia ? Namun mengingat sikapnya yang takut terhadap anak buah Cing Cing Goling, jelas dia tidak mempunyai kepandaian. Namun masih ia mencoba menjajagi :

- Apakah engkau tidak berani mengadakan perlawanan ? -

- Perlawanan ? Dengan berbekal apa aku berani mencoba-coba melawan anak buahnya ? Aku hanya seorang pedagang kecil. Pedagang keliling yang menjajakan dagangan seadanya buat menyambung umur. -

Gemak Ideran memanggut-manggut. la mau mengerti. Minla keterangan lagi : - Jadi dia bukan orang Cina ? -

- Bukan. Cuma dari mana asalnya, aku tidak tahu. Yang kuketahui, kabarnya mempunyai dua orang anak. Laki-laki dan perempuan. Masing-masing sudah mewarisi tiga bagian ilmu kepandaian ayahnya. Kalau anak-buahnya saja bisa membuat orang mati seperti udang terebus, apalagi mereka berdua yang sudah mewarisi Ilmu Batu Panas tingkat tiga. Karena ilu, kau harus berhati-hati. Janganlah mencoba-coba berani mencampuri apa saja yang mereka lakukan. - Karena keterangan Tameng sudah dirasakan cukup, Gemak Ideran tidak perlu berlama-lama berada di atas perahunya. Segera ia memohon diri dan berjanji tidak pernah bertemu apalagi berbicara dengannya. Lalu ia melompat ke tepi dan mencari kudanya. Sebentar saja ia sudah meninggalkan sungai Brantas, memasuki jalan kota Ngawi.

Ia membiarkan kudanya berjalan sekehendaknya. Sepanjang jalan ia memikirkan semua keterangan Tameng. Suara Tameng seolah-olah mengiang-ngiang terus-menerus di dalam pendengar-annya.

Tiba-tiba suatu ingatan mengejutkan hatinya. Pikirnya di dalam hati :

- Orang itu mengaku bernama Tameng. Pekerjaannya pedagang keliling. Tetapi dia mengerti nama jenis ilmu sakti. Tidak mungkin ia tidak berkepandaian. - Sampai disini ia seperti merasa memperoleh kesan tertentu. Namun apa itu, ia tidak jelas. Dan tak dikehendaki sendiri, ia menghela nafas panjang. Segera ia memusatkan pikirannya. Bukankah ia sedang berusaha melacak Niken Anggana ? Teringat akan Niken Anggana timbullah pikirannya. Katanya di dalam hati:

- Niken tertarik benar mendengar cerita dalang Gunacarita. Pastilah ia menggunakan kesempatan ini untuk berkunjung ke Penginapan. -

Akan tetapi rumah penginapan ternyata sunyi senyap. Karena itu ia melanjutkan pelacakan. Tiba-tiba ia mendengar suara kaki kuda. Eh, siapa yang menambatkan kudanya di tengah kebun ? Penuh curiga ia melompat turun dari kudanya. Begitu meng-hampiri, ia terkejut bukan main. Terloncatlah ucapannya setengah berseru :

- Hai ! Kuda Niken ! -

la berdiri tertegun seperti terpaku diatas tanah. Lalu melompat keatas kudanya dan lari balik ke tepi sungai. la yakin, pasti ada hubungannya dengan dua orang yang terbunuh. Dan begitu tiba di tepi sungai, mula-mula yang dicarinya adalah Tameng. Tetapi Tameng tidak kelihatan bersama perahunya.

Tiba-tiba saja jantungnya berdebaran. la seperti merasa menghadapi bahaya yang bersembunyi dalam kegelapan. Cepat ia lari menghampiri rumun orang. Tetapi dua mayat yang tadi terbujur di atas tanah, kini tiada ditempatnya. Dari tutur orang-orang yang masih berdiri di tepi sungai ia memperoleh keterangan : - Mereka dibawa orang ke Kepala Kampung. -

- Sebenarnya siapa sih yang membunuh mereka ? - seseorang berseru.

- Itulah akibat ulahnya sendiri. Mereka mencoba membegal seorang gadis. Lalu datang seorang pemuda yang membunuhnya. - Seorang perempuan setengah umur memberi keterangan.

Kali ini Gemak Jderan tidak mau berkepanjangan lagi. Segera ia dapat menyimpulkan. Pastilah Niken Anggana berurusan dengan si pembunuh. Tetapi mengapa sampai meninggalkan kudanya ? Apakah karena dia merasa dirinya ditolong pemuda itu?

- Ah ! Dengan kepandaiannya sendiri Niken bisa membunuh mereka tanpa bantuan siapapun. - Pikirnya di dalam hati.

Selagi demikian, terdengar seorang gadis berkata dengan suara merdu :

- Kau mencari dia ? -

- Apakah kau tahu ? - Gemak Ideran tidak sabar lagi.

- Jawablah pertanyaanku dulu ! -

- Yang mana ? - Gemak Ideran mendongkol.

- Pacarmu atau bukan ? -

- Kalau benar bagaimana ? Kalau tidak bagaimana ? -

Waktu itu malam hari sangat pekat karena udara tertutup awan hitam. Tiada penerangan apapun di tepi sungai sehingga Gemak Ideran tidak dapat melihat wajah gadis itu dengan tegas. Namun ia yakin, gadis itu seorang berpendidikan. Begitu mendengar kata-katanya, ia membalikkan badan sambil menyahut: - Kalau begitu, cari sendiri ! -

Sekonyong-konyong gadis itu melesat dengan suatu kecepatan yang mengherankan. Dan menyak sikan kegesitan gadis itu, timbullah rasa curiga Gemak Ideran. Terus saja ia menambatkan kudanya asal jadi. Lalu mengejar gadis itu.

Mula-mula ia menyusur sungai. Tidak lama kemudian gadis itu melintasi ladang rumput yang bersemak belukar. Di tengah malam yang gelap gulita bayangannya susah terlihaL Namun Gemak Ideran tidak putas asa. Kali ini ia benar-benar mengerahkan seluruh kepandaiannya. Dengan menajamkan pendengarannya, ia terus mengikuti dari jarak tertentu.

Tiba-tiba jauh di depannya, udara seperti tersekat sesuatu. Apa itu ? Ternyata petak pepohonan semacan hutan liar. Dan gadis itu lenyap begitu saja seperti siluman.

- Hm. - Gemak Ideran mendongkol. - Biarpun kau lari sampai ke ujung dunia, aku akan terus mengejarmu. -

Pada saat itu, sekonyong-konyong terdengar suara bentrokan senjata. Segera ia mempercepat larinya. Dengan penglihatannya yang tajam, ia melihat dua orang bersenjata pedang sedang mengepung seorang gadis yang berkerudung kain hi tarn. Siapa lagi kalau bukan gadis yang sedang dikejarnya. Gadis itu ternyata bersenjata galah baja tipis mirip sebuah cambuk yang dapat dikedutnya dan melencang kaku. Akan tetapi kedua orang yang mengepungnya dapat memagas dan mengutungkan sepertiga senjatanya dengan cepat.

Menyaksikan hal itu, hati Gemak Ideran girang. Sebentar saja ia pasti akan dapat menangkapnya. Hanya saja ia khawatir, gadis itu akan dibunuh oleh kedua orang yang mengepungnya. Maka ia melompat tinggi menghampiri dengan maksud hen-lak menangkap gadis itu hidup-hidup. Tetapi belum lagi tubuhnya mendarat di atas tanah, ia mendengar gadis itu berseru sambil menunjuk dirinya :

- Hai bukan aku ! Dialah yang membunuh kedua temanmu. Mengapa kalian menghadang diriku ? -

Kedua orang itu mendengar suara angin Gemak Ideran yang sedang melompat tinggi di udara. Mereka heran. Tetapi sejenak kemudian yang berdiri di sebelah kiri berteriak :

Pada detik itu tahulah Gemak Ideran apa sebab mereka berdua menuduh dirinya membunuh kedua orang temannya. Bukankah kedua temannya itu sedang berusaha membegal Niken Anggana, lalu datang seorang pemuda yang membunuhnya ? Begitulah tutur-kata orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu di tepi sungai.

- Celaka ! - pikirnya. Gadis itu ternyata licin dan licik. la pandai beipikir cepat selagi dirinya terdesak.

Mereka berdua benar-benar dapat dikelabui gadis itu. Dengan serentak mereka meninggalkannya dan kini berbalik menyerang Gemak Ideran. Dan pada saat itu, si gadis tidak menyia-nyiakan kesempatan yang baik. Secepat kilat ia meninggalkan gelanggang dan set&fitar saja menghilang di balik pepohonan. Bukan main mendongkolnya Gemak Ideran. Saking mendongkolnya, ia tertawa. Lalu dilampiaskan kepada kedua orang yang datang mengeroyoknya. Bentaknya :

- Eh, kalian hendak menuntut balas ? Kepadaku ? Ah, kalian kena dikelabui siluman itu. Sekarang aku tidak mempunyai waktu untuk melayani kalian. - Belum lagi gema suara Gemak Ideran lenyap dari pendengaran, kedua pedang mereka sudah menyambar dengan cepat. Terpaksalah Gemak Ideran menghunus goloknya dan berbareng menya punya. Suatu benturan tidak dapat dielakkan lagi.

Trang ! Kedua orang itu ternyata kalah tenaga. Mereka berdua terhentak mundur setengah langkah. Meskipun demikian, mereka tidak mau tahu. Dengan berbareng pula mereka mengulangi serangan-nya. Kali ini mereka menggunakan tenaga gabungan.

Gemak Ideran tidak berani mengadu kekerasan. la terpaksa mengelak dengan menggeserkan kakinya berbareng memiringkan tubuhnya. Tetapi dengan begiru, mereka berdua kini dapat menghampiri lebih dekat lagi, meskipun serangannya gagal mengenai sasaran.

Dua orang itu sebenarnya belum pernah mengenai Gemak Ideran. Mereka tadi hanya mendengar laporan, bahwa dua tcmannya mati terbunuh tak berkubur oleh seorang pemuda setclah bertengkar dengan seorang gadis. Karena itu mereka menerjang bagaikan dua ekor kerbau gila. Dan betapapun pandai seseorang, dia akan sempat kehilangan akal menghadapi orang yang sedang kalap.

- Tahan ! - bentaknya sambil mengelak, - Sebenarnya siapa kalian ? -

- Apakah engkau perlu mengenai namaku ? - orang yang berperawakan gagah balas membentak,

- Sewaktu engkau membunuh kedua temanku, apakah kau sempat menanyakan namanya ? -

- Siapa yang membunuh kedua temanmu ? - sahut Gemak Ideran dengan menyabarkan - Kalian salah faham. Aku justru sedang mengejar perempuan itu untuk memperoleh keterangan-nya, -

- Cuh ! Siapa sudi mendengarkan ocehanmu ? -

Setelah membentak demikian, ia melompat menikam. Akan tetapi dengan gesit Gemak Ideran mundur ke samping. Kalau saja ia mau membalas, pedang itu dapat digempurnya runtuh.

- Tabun ! Masakan luput ? - temannya marah.

Kau hanya menonton saja. Bantu, dong ! - Tabun tersinggung. - Namamu Tabah, nyatanya kau tidak tabah, -

- Apanya yang tidak tabah ? - kawannya yang bernama tabah merah padam. - Kau mau lari ngacir ? - ejek Tabun.

Tabah menggerung, Dengan memutar pedangnya ia menerjang. Ternyata ia menang setingkat bila dibandingkan dengan Tabun. Gemak Ideran sendiri tiada niat hendak melukainya. la mencoba mengelak. Akan tetapi karena kena kerubut, lambat-laun ia merasa kuwalahan juga. Apalagi pikirannya berada pada gadis berkerudung hitam yang kini sudah menghilang dibalik petak belukar yang rimbun.

Tabah dan Tabun bergembira melihat lawannya kuwalahan. Mereka merasa berada di atas angin. Maka dengan semangat berkobar-kobar, mereka menyerang terus-menerus. Pedang mereka berkelebatan bagaikan kilat menyambar-nyambar. Pikir Gemak Ideran :

- Hm, agaknya mereka tidak dapat diajak berbicara baik-baik. Kalau aku mengalah terus-menerus, bukankah aku sendiri yang bakal celaka ? -

Dengan pikiran itu ia tertawa mendongkol. Serunya :

- Kalian benar-benar bangsa keledai yang goblok. Agaknya aku perlu merangket kalian. Awas ! -

Dikatakan sebagai keledai, Tabun dan Tabah tiada dapat menahan rasa marahnya. Muka mereka merah padam dan dada mereka serasa hendak meledak. Terus saja mereka mendamprat:

- Kau manusia jahanam yang tidak tahu malu. Kau hanya pandai membunuh orang yang tidak berdaya. Coba sekarang kau bisa apa ? -

- Hm, benarkah kalian hendak menuntut balas kepadaku ? Kalau begitu kaliah harus kubuat berjungkir-balik dulu. - bentak Gemak Ideran. Terus saja ia

membalas menyerang. Kali ini ia

bersungguh-sungguh.

Dengan membawa kesiur angin, goloknya menabas dan membabat.Tabun dan Tabah terkejut sekali. Sama sekali tak diduganya, bahwa Gemak Ideran sebenarnya memiliki himpunan tenaga yang melebihi tenaga gabungan mereka. Jelas sekali mereka tidak akan dapat menahan gempuran Gemak Ideran. Tetapi mereka tidak takut. Pikir mereka:

- Kepandaianmu bukankah tidak terpaut jauh denganku ? Hm... masakah kau bisa berbuat banyak...-

Meskipun bisa berpikir begitu, tetapi nyatanya mereka tidak berani menangkis sabetan golok Gemak Ideran. Berbareng mereka melompat mundur menjauhi, lalu memencar ke kiri dan ke kanan. Setelah mereka mulai melakukan siasat maju-mundur. Diperlakukan demikian, mau tak mau Gemak Ideran jadi makin mendongkol. Kalau tidak dapat merobohkan mereka secepat-cepatnya, buruannya bakal hilang dari pengamatan.

Maka diam-diam ia menghimpun tenaga sakti pemberian Ki Hajar Karangpandan. Lalu menunggu saatnya yang tepat. Begitu Tabah menikam yang disusul dengan tusukan pedang Tabun, mendadak saja ia menyontekkan goloknya. Dan terbanglah kedua pedang Tabah dan Tabun.

Gemak Ideran tertawa panjang. Pada detik itu pula ia melesat melompati mereka dan bagaikan kilat ia menghilang di balik pagar pepohonan. Dari balik pohon ia berseru nyaring :

- Hai kalian berdua. Maaf, tak ada waktu aku bermain-main dengan kalian. Suatu kali aku akan datang mencarimu. Kali ini kalian berdua kuampuni. - Tabah dan Tabun tidak hanya kehilangan pedangnya masing-masing, tetapi telapak tangan mereka tergetar nyeri. Beberapa saat lamanya mereka tertegun-tegun. Ilmu apakah yang sedang digunakan lawannya ? Dia hanya menyontek dari bawah. Dan tiba-tiba saja tangan mereka kehilangan tenaga. Kalau saja dia mempergunakan kesempatan itu untuk membabatkan goloknya,paslilah

Dalam dokumen Bulan Jatuh Di Lereng Gunung 11-20 (Halaman 103-129)

Dokumen terkait