• Tidak ada hasil yang ditemukan

Beban Utang Pemerintah Indonesia

Dalam dokumen H M MEEN NC CEEK KIIK KR RA AK KY YA AT T (Halaman 38-45)

Masalah yang utama dari utang pemerintah saat ini dan di masa datang adalah beban pelunasan, berupa cicilan pokok beserta bunga- nya. Bunga seperti interest untuk pinjaman luar negeri dan kupon untuk Obligasi Negara, bukanlah satu-satunya biaya utang. Ada biaya-biaya lain yang terkait dengan pengadaan pinjaman luar negeri, diantaranya: commitment fee, management fee, dan biaya/premi asuransi. Sedangkan untuk UDN, dalam pengertian yang lebih spesifik, biaya utang yang sebenarnya bagi Pemerintah adalah imbal hasil (yield)SUN yang diperoleh investor. Dalam hal ini, imbal hasil SUN merupakan keuntungan bagi investor yang sudah memperhitungkan besarnya kupon dan harga pasar dari SUN. Pergerakan imbal hasil SUN berlawanan arah (berbanding terbalik) dengan harganya. Artinya, jika imbal hasil turun seiring dengan menurunnya ekspektasi inflasi dan suku bunga, maka harga pasar SUN akan naik, dan begitu juga sebaliknya.

Telah menjadi kebiasaan untuk memakai istilah beban utang se-

■ Istilah Pemerintah berbeda dalam berbagai publikasi di Indonesia.

Ada Public Sectoryang terdiri dari General Governmentdan Rest of the Public Sector. Definisi yang paling sering dipakai adalahGeneral Government, yang terdiri dari Central Government dan Local Government. Berarti tidak termasuk sektor pemerintah lainnya seperti bank sentral dan BUMN.

■ Publikasi resmi biasa mengelompokkan utang pemerintah berdasar

sumbernya, yaitu pinjaman luar negeri dan Surat Berharga Negara. Pinjaman luar negeri antara lain terdiri dari: Pinjaman Bilateral, Multilateral, Kredit ekspor, Kredit komersial dan leasing.

■ Pengelompokkan juga disajikan atas dasar denominasi mata

uangnya, sekalipun perhitungannya dikonversikan ke dalam dolar Amerika atau rupiah, sesuai kurs waktu itu. Sejatinya, transaksi yang terjadi sesuai dengan denominasi masing-masing.

tiap tahunnya dengan menjumlahkan antara pelunasan pokok de- ngan biaya utang. Untuk keperluan analisa, pengertian biaya utang memang disederhanakan sebagai bunga utang yang harus dibayar pada tahun itu. Bagi pemerintah pusat, beban utang langsung terlihat dalam APBN. Beban pembayaran bunga utang (ULN dan UDN)setiap tahunnya muncul sebagai pos pembayaran bunga utang dalam bagian belanja pemerintah pusat, sedangkan beban cicilan pokok masuk ke dalam bagian pembiayaan.

Angka cicilan pokok UDN “tersembunyi” dalam subpos pem- biayaan melalui SUN neto. Dikatakan tersembunyi karena angka yang ditampilkan adalah hasil bersih penerbitan SUN baru dikurangi dengan pelunasan SUN. Kadang SUN yang dilunasi tidak hanya yang telah jatuh tempo, melainkan juga yang belum namun dibeli kembali oleh pemerintah (buyback). Dapat pula dilakukan penukaran secara langsung seri lama dengan seri SUN baru sesuai dengan yang ditawarkan (debtswitch).

Sementara itu, cicilan ULN tertera dalam denominasi rupiah, sesuai dengan kurs pada saat terjadi pembayaran. Angka kurs di- asumsikan dalam APBN, dan dihitung secara sebenarnya dalam laporan realisasi (PAN dan LKPP).

T

Taabbeell 11..33 BBeebbaann UUttaanngg TTaahhuunn 22000077

Sumber: NK dan LKPP

Keterangan APBN 2007 Realisasi

Pelunasan pokok utang

Utang Luar Negeri Surat Utang Negara

Pembayaran bunga utang

bunga ULN bunga UDN

Total Beban Utang

86,50 54,83 31,67 85,09 26,66 58,42 171,59 117,98 57,92 60.06 79,55 25,73 53,82 197,55

Pendapatan Negara & Hibah Porsi Beban Utang (%)

723,06 23,73

708,49 27,88

Dalam APBN 2007, direncanakan total pembayaran utang pe- merintah pusat adalah Rp 171,59 triliun. Terdiri dari: pelunasan pokok utang sebesar Rp 86,50 triliun (cicilan ULN Rp 54,83 triliun dan pe- lunasan UDN Rp 31,67 triliun)dan pembayaran bunga utang sebesar Rp 85,09 triliun (bunga ULN Rp 26,66 triliun dan bunga UDN Rp 58,42 triliun). Total pembayaran utang tersebut merupakan 23,73 % dari total Pendapatan negara yang direncanakan pada tahun tersebut. Namun, realisasinya (dari LKPP, masih bersifat sementara) tidak persis seperti itu. Pelunasan utang pokok menjadi lebih besar, namun pembayaran bunga justeru lebih kecil (lihat tabel 1.3). Ini bisa terjadi karena memang dimungkinkan oleh peraturan mengenai mekanisme keuangan negara, serta sebagian biaya bunga dibayar sesuai dengan tingkat yang sesungguhnya terjadi.

Salah satu yang paling “luwes” untuk berubah adalah rencana pelunasan pokok utang dalam negeri (SUN). APBN 2007 men- cantumkan angka SUN neto sebesar Rp 40,61 triliun, artinya selisih dari yang diterbitkan (utang baru)dengan yang dilunasi. Teknisnya tidak bersifat terlalu mengikat (meskipun ada prosedur persetujuan DPR), karena biasanya SUN yang dilunasi lebih dari jumlah yang jatuh tempo tahun bersangkutan, diantaranya dengan membeli kembali (buyback) atau menukar (debtswitch) SUN tertentu. Yang ditekankan oleh APBN 2007 adalah adanya kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit melalui SUN sebesar neto itu. Dalam ke- nyataanya (termasuk adanya revisi APBN di tengah pelaksanaan tahun anggaran), pada tahun 2007 diterbitkan SUN senilai Rp 117,15 triliun dan yang dilunasi senilai Rp 60,06 triliun. Dengan demikian, SUN neto tahun 2007 adalah Rp 57,07 triliun (lebih besar dari yang direncanakan APBN).

Dalam APBN 2008, direncanakan total pembayaran utang pe- merintah pusat adalah Rp198,14 triliun. Terdiri dari: pelunasan pokok

utang sebesar Rp 106,6 triliun (cicilan ULN Rp 59,66 triliun dan pe- lunasan UDN Rp 47 triliun) dan pembayaran bunga utang sebesar Rp 91,54 triliun (bunga ULN Rp 28,74 triliun dan bunga UDN Rp 62,80 triliun). Total pembayaran utang tersebut merupakan 26,02 % dari total Pendapatan negara yang direncanakan pada tahun tersebut. Namun, realisasinya masih akan kita tunggu.

Hanya saja, oleh karena RAPBN diajukan bulan Agustus, biasanya dengan data utang per bulan Juni, maka selama pembahasannya (sekitar tiga bulan)sering sudah ada perubahan. Selain itu, pihak DPR bisa saja menghendaki adanya perubahan, meskipun jarang bersifat mendasar untuk pos utang. Perubahan pun sangat mungkin terjadi di tengah pelaksanaan APBN, melalui mekanisme APBN Perubahan. Untuk tahun 2008, baru berjalan dua bulan, pemerintah sudah me- ngajukan RAPBN-P (ketika buku ini ditulis ditetapkan APBN-P). Khusus untuk pos utang, diajukan kenaikan yang cukup signifikan. Besar kemungkinan akan ada APBN-P II dalam tahun anggaran ini.

Sebenarnya untuk lebih mengendalikan beban utang di masa mendatang, Pemerintah dan DPR telah mengeluarkan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang KeuanganNegara. Pemerintah juga telah mengeluarkan PP Nomor 23 Tahun tentang “Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah”. Undang-undang dan PP tersebut diantaranya mengatur bahwa besarnya defisit dari General Governmentsmaksimal 3 persen dari PDB dan besarnya rasio utang dari General Governmentsterhadap PDB maksimal 60 persen.

Target agar angka rasio utang dari General Governments ter- hadap PDB tidak melebihi dari 60%, tampaknya tidak sulit dicapai.

Bahkan pada masa menjelang dan awal krisis saja, angka rasio ULN total (pemerintah dan swasta) terhadap PDB masih menunjukkan angka 48,5 % dan 60,3%. Wajar jika untuk tahun 2008 ini, pemerintah mematok angka 34% sebagai target rasio utang pemerintah atas PDB. Sebagai catatan, kebanyakan ekonom menyarankan rasio yang aman untuk total ULN terhadap PDB adalah 25%. Berarti, jika hanya memperhitungkan ULN pemerintah, angkanya harus lebih kecil lagi. Ingat bahwa angka penyebutnya masih tetap PDB.

Untuk memahami kondisi beban utang yang berat saat ini, kita memang harus melihat perkembangan utang sejak pemerintahan Orde Baru. Pada masa itulah, Indonesia mulai memposisikan utang sebagai salah satu penopang utama pengelolaan ekonomi negara. Konsep yang dikatakan dipakai adalah kebijakan anggaran belanja berimbang. Prakteknya, pemerintah menempatkan utang luar negeri sebagai komponen penutup kekurangan.

Pada saat Indonesia mendapat rejeki berlimpah dari oil boom, ada peluang mengubah kondisi ini dalam kebijakan anggaran. Namun, utang luar negeri tetap saja menjadi komponen utama pemasukan di dalam angaran pemerintah. Tampaknya, para kreditur justeru makin antusias memberi pinjaman, melihat “kemampuan membayar” Indonesia dari hasil minyaknya. Dalam konteks ini, kemungkinan besar pandangan yang mengatakan bahwa ULN mengakibatkan tidak terjadinya pertumbuhan tabungan domestik yang berarti adalah benar. Sederhananya, dengan ULN yang berlimpah maka perekonomian Indonesia menjadi “manja”, dan tak berupaya keras untuk melakukan akumulasi kapital domestik bagi investasi.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa beban ULN saat ini se- bagian besarnya adalah akibat keputusan pemerintahan Soeharto. Selama periode tahun 2001 – 2007 justeru pembayaran ULN lebih besar daripada penarikannya, meskipun masih belum terlampau

besar, sehingga posisi ULN pemerintah sempat menurun. Saat ini, ada komitmen untuk mengurangi posisi ULN pemerintah. Upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan membayarnya secara disiplin, dan sedapat mungkin menekan penarikan ULN baru.

Dilihat sepintas, hal itu adalah langkah yang baik. Akan tetapi harus diingat bahwa pembayaran cicilan disertai bunganya saat ini dan beberapa tahun ke depan adalah beban yang cukup berat bagi APBN dan perekonomian Indonesia. Secara tidak langsung, rakyat banyak akan memikul beban berat. Penerimaan pajak, apalagi pe- nerimaan SDA, mestinya adalah sarana untuk meningkatkan sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Hak mereka itu sebagiannya di- rampas untuk membayar beban utang, yang tidak sepenuhnya mereka nikmati.

Sementara itu, posisi ULN pemerintah yang sempat mengalami penurunan, ternyata diimbangi dengan UDN yang mengalami pe- ningkatan. Pemerintahan pasca Soeharto turut bertanggung jawab atas langkah ini, dengan anjuran atau rekomendasi dari IMF.

Peningkatan UDN hampir seluruhnya melalui mekanisme pe- nerbitan SUN. Kebijakan ini memang secara serius dilakukan untuk mulai mengubah struktur utang pemerintah. Alasannya, UDN lebih bisa dikontrol dan tidak membuat perekonomian serentan jika posisi ULN-nya yang sangat besar.

Utang dalam negeri dianggap dapat diselesaikan oleh pemerintah tanpa harus bergantung pada uluran tangan atau kemurahan hati para kreditur internasional. UDN juga dianggap dijamin oleh sumber pendanaan berupa hasil penjualan aset-aset yang diserahkan oleh para konglomerat sebagai pengganti fasilitas penerbitan utang ter- sebut. Harap diingat sekitar 650 triliun SUN yang awal adalah ber- kaitan dengan program Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan program restrukturisasi perbankan. Persoalan utang dalam

negeri juga diyakini akan dapat ditanggulangi oleh pemerintah de- ngan menunda pembayaran bunganya, atau dengan melakukan penataan ulang masa jatuh temponya (reprofiling).

Bagaimanapun, SUN baru terus diterbitkan beberapa tahun ter- akhir. Penjelasan resminya adalah untuk membiayai defisit anggaran pemerintah. Ironisnya, salah satu penyebab utama defisit itu adalah SUN yang diterbitkan terdahulu (ditambah dengan beban ULN pemerintah yang masih besar). Ephoria SUN dengan denomisasi dolar Amerika juga perlu diwaspadai, karena secara langsung akan bertentangan dengan tekad mengurangi ULN pemerintah. Dengan kata lain, seluruh SUN itu tetap membebani APBN di masa-masa men- datang.

Perhatikan bahwa ULN maupun UDN pemerintah akan berdampak pada pengelolaan keuangan pemerintah. Ada beberapa hal telah terjadi dan diprediksi masih berlangsung pada tahun-tahun mendatang. Salah satunya, APBN semakin sulit diharapkan menjadi stimulus fiskal bagi pertumbuhan ekonomi, karena sebagian cukup besarnya telah dihabiskan untuk membayar beban utang.

Aspek lain dari upaya pemerintah untuk mengubah profil utangnya, sehingga UDN lebih besar dari ULN tetap perlu dicermati. Sebagian SUN saat ini saja sudah ada yang dimiliki oleh bukan pen- duduk (off-shore). Begitu pula jika dilihat kepemilikan akan SUN saat ini kebanyakan adalah pada lembaga keuangan, khususnya bank, yang mulai diprivatisasi. Dalam prakteknya, privatisasi lebih mungkin berarti pembelian oleh pihak asing, sekalipun sebagiannya dilakukan oleh anak perusahaannya yang berbadan hukum Indonesia. Obligasi yang dahulu diberikan untuk “menolong” berarti akan menguntungkan bank-bank tersebut. Cermatilah bahwa akan ada transfer keuntungan di masa-masa yang akan datang.

UDN dianggap lebih tidak memberatkan bagi pemerintah di- bandingkan ULN. Akan tetapi melihat beban yang masih tetap berat, serta kemungkinan transfer keuntungan yang terjadi, perubahan profil semacam itu tak akan berarti banyak. Ditambah lagi ke- cenderungan untuk meningkatkan obligasi dengan denominasi dolar, yang jelas beban bunganya cukup berat, membuat upaya pe- ngurangan ULN secara total akan terhambat. Yang berubah adalah profil krediturnya, dari anggota CGI ke lembaga-lembaga keuangan internasional, bahkan dana pensiun dari suatu negara bagian Amerika. Keuntungan yang jelas barulah uang kas atau devisa yang masuk saat berutang. Pengalaman Orde Baru dapat terulang, gali lubang tutup lubang, dan generasi mendatang tetap akan me- nanggung akibatnya.

K

Koottaakk 11..44

Dalam dokumen H M MEEN NC CEEK KIIK KR RA AK KY YA AT T (Halaman 38-45)

Dokumen terkait