• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

1.1. Latar Belakang

Hortikultura merupakan salah satu subsektor pertanian yang potensial dalam memberikan kontribusi yang besar terhadap pembangunan ekonomi nasional dan memegang peranan penting dalam sumber pendapatan petani, perdagangan, maupun penyerapan tenaga kerja. Komoditas tanaman hortikultura di Indonesia dapat dibagi menjadi empat kelompok besar, yaitu tanaman buah- buahan, tanaman sayuran, tanaman biofarmaka, dan tanaman hias. Besarnya kontribusi subsektor hortikultura terhadap Produk PDB nasional dapat dilihat pada Tabel 1. Kontribusi komoditas hortikultura secara nasional terhadap pembentukan PDB memperlihatkan kecenderungan yang terus meningkat dari tahun 2007 sampai tahun 2009. Hal ini dapat menunjukkan bahwa subsektor hortikultura merupakan subsektor yang berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional.

Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Indonesia Berdasarkan Harga Berlaku Tahun 2007-2009

No Komoditas Nilai PDB (Milyar Rp) Tahun 2007 % Tahun 2008 % Tahun 2009 % 1 Sayuran 25.587 33,32 28.205 33,50 30.506 34,54 2 Buah-buahan 42.362 55,16 47.060 55,89 48.437 54,84 3 Tanaman Hias 4.741 6,17 5.085 6,03 5.494 6,21 4 Biofarmaka 4.105 5,35 3.853 4,58 3.897 4,41 Total 76.795 100 84.202 100 88.334 100 Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)

Tabel 1 menunjukkan bahwa kontribusi subsektor hortikultura terhadap PDB Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun 2007 sampai tahun 2009. Jika pada tahun 2007 kontribusinya terhadap PDB sebesar 76.795 Milyar Rupiah, maka pada tahun 2008 meningkat menjadi 84.202 Milyar Rupiah, atau peningkatannya sebesar 9,64 persen, kemudian meningkat lagi pada tahun 2009 menjadi 88.334 Milyar Rupiah, atau peningkatannya sebesar 4,90 persen.

2 Peningkatan PDB sebesar itu tercapai karena terjadinya peningkatan produksi di berbagai sentra produksi dan kawasan hortikultura, di samping meningkatnya luas areal produksi dan areal panen serta nilai ekonomi dan nilai tambah produk hortikultura yang cukup tinggi dibandingkan komoditas lainnya, sehingga pengaruhnya positif pada peningkatan PDB1.

Salah satu kelompok komoditas hortikultura yang menunjukkan perkembangan dengan baik adalah kelompok komoditas sayuran. Pada Tabel 1 terlihat bahwa komoditas sayuran merupakan komoditas hortikultura yang menempati urutan kedua penyumbang terbesar PDB setelah komoditas buah- buahan. Komoditas sayuran mengalami peningkatan dari tahun 2007-2009 baik secara kuantitas maupun secara proporsi pertumbuhan (presentasi). Hal ini mengindikasikan bahwa komoditas sayuran dapat memiliki prospek yang baik di masa mendatang dalam memajukan perekonomian nasional.

Selain penyumbang PDB pertanian yang cukup penting dari subsektor hortikultura, komoditas sayuran juga berperan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi masyarakat Indonesia. Kebutuhan sayuran mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan pendapatan per kapita penduduk Indonesia. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2009 memperlihatkan bahwa pada tahun 2002 konsumsi per kapita sayuran di Indonesia sebesar 32,89 kg/tahun, pada tahun 2005 konsumsi per kapita sayuran di Indonesia meningkat menjadi 35,33 kg/tahun, dan pada tahun 2008 konsumsi per kapita sayuran di Indonesia meningkat lagi menjadi 39,45 kg/tahun (Lampiran 1). Peningkatan konsumsi per kapita sayuran di Indonesia ini juga dapat mengindikasikan bahwa permintaan terhadap komoditas sayuran di Indonesia adalah meningkat.

Minat masyarakat Indonesia terhadap sayuran terus meningkat dikarenakan adanya kesadaran dari masyarakat untuk mengikuti pola hidup sehat dan yang telah menjadi gaya hidup masyarakat. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap produksi sayuran di Indonesia. Secara keseluruhan, produksi tanaman sayuran di Indonesia cenderung mengalami peningkatan yang menjadikan sayuran merupakan salah satu komoditas yang memberikan kontribusi

1

3 untuk meningkatkan pendapatan nasional. Data perkembangan produksi sayuran di Indonesia selama tahun 2008 dan tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Produksi Tanaman Sayuran di Indonesia Periode 2008 – 2009

No Komoditas Produksi (ton) Perkembangan (%) 2008 2009 1 Kentang 1.071.543 1.176.304 9,77 2 Lobak 48.376 29.759 -38,48 3 Kol/Kubis 1.323.702 1.358.113 2,59 4 Sawi 565.636 562.838 -0,49 5 Wortel 367.111 358.014 -2,47 6 Kembang Kol 109.497 96.038 -12,29 7 Terung 427.166 451.564 5,71 8 Buncis 266.551 290.993 9,16 9 Labu Siam 394.386 321.023 -18,60 10 Kangkung 323.757 360.992 11,50 11 Bayam 163.817 173.750 5,06 12 Kacang Panjang 455.524 483.793 6,20 13 Jamur 43.047 38.465 -10,64 14 Ketimun 540.122 583.139 7,96 Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)

Tabel 2 menunjukkan perkembangan produksi dari sebagian besar tanaman sayuran di Indonesia. Sebagian besar tanaman sayuran yang ada pada tabel tersebut mengalami peningkatan produksi dari tahun 2008 ke tahun 2009 yang menunjukkan perkembangan yang positif seperti tanaman kentang (9,77 persen), kol/kubis (2,59 persen), terung (6,71 persen), buncis (9,16 persen), kangkung (11,50 persen), bayam (5,06 persen), kacang panjang (6,20 persen), dan ketimun (7,96 persen). Perkembangan yang kurang baik ditunjukkan oleh beberapa tanaman sayuran dimana terjadi penurunan produksi dari tahun 2008 ke tahun 2009 antara lain tanaman lobak (-38,48 persen), sawi (-0,49 persen), wortel (-2,47 persen), kembang kol (-12,29 persen), labu siam (-18,60 persen), dan jamur (-10,64 persen). Perkembangan beberapa tanaman sayuran yang kurang baik disebabkan oleh banyak faktor dan dapat diduga bahwa tingkat risiko dalam pengusahaan dari beberapa tanaman sayuran tersebut adalah besar pada tahun 2009.

Jamur adalah sayuran yang dikonsumsi sebagai makanan atau sebagai obat-obatan. Jamur sebagai makanan sangat digemari masyarakat karena rasanya sangat lezat, bahkan jamur mempunyai khasiat yang baik bagi kesehatan.

4 Teksturnya yang mirip seperti daging menjadikan jamur sebagai bahan alternatif bagi masyarakat yang ingin mencoba hidup lebih sehat. Beberapa jamur yang telah dibudidayakan dan aman dikonsumsi manusia adalah jamur merang

(Volvariella volvaceae), jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus), jamur kuping

(Auricularia polytricha), jamur champignon (Agaricus bisporus), dan jamur

shiitake (Lentinus edodes). Salah satu jamur yang cukup dikenal dan banyak digemari masyarakat adalah jamur tiram putih.

Saat ini jamur telah menjadi kebutuhan manusia dan telah banyak yang menggemari masakan dari jamur. Dalam tiga tahun terakhir, minat masyarakat untuk mengonsumsi jamur terus meningkat seiring dengan popularitas dan memasyarakatnya jamur sebagai bahan makanan yang lezat dan bergizi. Salah satunya dapat dilihat dari kreatifitas para pedagang, yang sebelumnya hanya menjajakan jamur segar, sekarang sudah bertambah ke olahan, seperti memproduksi keripik jamur.

Kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi jamur berpengaruh positif terhadap permintaan jamur itu sendiri. Permintaan jamur terus meningkat, berapapun yang diproduksi oleh petani habis terserap. Kenaikannya sekitar 20-25 persen per tahun. Potensi jamur dapat juga dilihat dari besarnya permintaan pasar luar negeri, seperti Singapura, Jepang, Korea, China, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Dengan melihat tingginya permintaan jamur Indonesia, maka petani Indonesia memiliki peluang yang besar menjadi produsen dan eksportir jamur di pasar domestik ataupun di pasar Internasional. Namun, saat ini tingginya permintaan jamur tidak dapat dipenuhi dengan produksi dalam negeri. Produksi jamur Indonesia hanya mampu memenuhi 50 persen dari permintaan pasar dalam negeri dan belum termasuk permintaan pasar luar negeri, seperti Singapura, Jepang, Korea Selatan, China, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Sampai saat ini permintaan pasar ekspor belum sanggup terpenuhi karena untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri saja masih kurang2.

Banyak usaha jamur di Indonesia yang mengalami ketidakberdayaan sehingga tidak mampu memenuhi permintaan jamur yang terus meningkat sementara pasokan jamur terbatas. Ketidakberdayaan industri jamur nasional disebabkan berbagai hal seperti produsen benih yang terbatas, tidak adanya 2

Masyarakat Agribisnis Jamur Indonesia.2007.Bisnis Jamur Bikin Tergiur. http://www.agrina-online.com [4 September 2011]

5 standarisasi dan jaminan kualitas bibit, teknologi produksi yang belum dibakukan, tempat pembiakan jamur yang kurang higienis serta penanganan pasca panen yang sederhana. Selain itu, terbatasnya permodalan petani, bank yang belum mendukung serta prosedur yang rumit, sehingga penjualannya dikuasai oleh tengkulak. Penyebab lain tidak tersedianya profil atau informasi komoditas yang menyeluruh yang dapat dimanfaatkan para pelaku bisnis jamur3. Tabel 3 memperlihatkan perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas komoditas jamur di Indonesia selama tahun 2005-2009.

Tabel 3. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Komoditas Jamur di Indonesia Tahun 2005-2009

No Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (ton) Produktivitas (ton/Ha)

1 2005 254 30.854 121,47 2 2006 298 23.559 79,05 3 2007 377 48.247 127,97 4 2008 637 43.047 67,57 5 2009 700 38.465 54,95 Standar Deviasi 32,73 Koefisien Variasi 0,37

Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)

Tabel 3 memperlihatkan bahwa produktivitas jamur di Indonesia adalah berfluktuasi. Namun, tabel tersebut tidak mencerminkan kondisi produktivitas jamur di Indonesia yang sebenarnya, karena pada tabel tersebut luas panen yang digunakan adalah dalam bentuk satuan hektar. Padahal, jamur tidak ditanam pada hamparan tanah seperti tanaman lainnya pada umumnya, tetapi jamur tumbuh pada media tanam yang disebut substrat atau baglog yang terbuat dari serbuk kayu, dedak, dan kapur yang dicampur dengan bahan lainnya dan produksinya dilakukan di dalam sebuah kumbung. Belum tentu di dalam satu hektar lahan, jumlah dan ukuran kumbung, rak kumbung, dan baglog yang diusahakan oleh setiap pengusaha jamur di Indonesia adalah sama setiap periode tanamnya, sehingga satuan hektar tidak seharusnya digunakan jika ingin melihat fluktuasi produktivitas jamur di Indonesia yang sebenarnya. Satuan luas panen yang harusnya digunakan dalam tabel tersebut adalah dalam bentuk satuan baglog sehingga produktivitas jamur di Indonesia dapat dikatakan berfluktuasi. Namun

3

Achmad Dimyati (Direktorat Jenderal Hortikultura, Departemen Pertanian). 2011. Peluang Bisnis Jamur. http://www.naturindonesia.com [4 September 2011]

6 demikian, berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bagaimana perkembangan produksi jamur Indonesia dari tahun 2005-2009.

Daerah sentra jamur di Indonesia ada di beberapa provinsi seperti Aceh, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, dan Bali. Khusus untuk jenis jamur tiram putih jika dilihat dari jumlah produksinya, maka ada empat provinsi di Indonesia yang merupakan penghasil jamur tiram putih terbanyak, yaitu provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta dan Jawa Timur. Data Produksi di keempat wilayah tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Luas Panen dan Produksi Jamur Tiram Putih di Pulau Jawa Tahun 2007 Provinsi Luas Panen (Ha) Produksi (Ton)

Jawa Barat 291,79 7.306,75

Jawa Tengah 15,23 1.838,93

D.I. Yogyakarta 5,89 651,32

Jawa Timur 385,09 28.557,05

Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura (2009)

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa jumlah produksi jamur tiram putih di pulau Jawa pada tahun 2007 paling tinggi diproduksi di provinsi Jawa Timur. Provinsi Jawa Barat merupakan wilayah yang juga memiliki tingkat produksi terbesar kedua setelah jawa Timur. Sama halnya seperti data produksi jamur Indonesia (Tabel 3), data pada tabel ini juga menggunakan hektar sebagai satuan luas panennya. Satuan luas panen yang harusnya digunakan dalam tabel tersebut juga adalah dalam bentuk satuan baglog, bukan dalam satuan hektar.

Salah satu wilayah penghasil jamur tiram putih yang terbesar di Provinsi Jawa Barat adalah wilayah Kabupaten Bogor. Petani jamur tiram putih di wilayah Bogor tersebar di beberapa kecamatan, seperti Megamendung, Cisarua, Pamijahan, Dramaga, Ciawi, Ciseeng, Leuwisadeng, dan di kecamatan lainnya (Lampiran 2). Selain didukung oleh ketersediaan bahan baku dalam memproduksi jamur tiram putih seperti serbuk gergaji, dedak, kapur, dan tambahan unsur lain sebagai media pembuatan baglog, juga didukung oleh ketersersediaan pasar jamur tiram putih yang masih terbuka lebar. Bogor merupakan salah satu pemasok utama jamur tiram putih ke kota-kota besar seperti ke kota Jakarta.

7 Salah satu produsen jamur tiram putih yang terletak di Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat adalah usaha Rimba Jaya Mushroom (RJM). Perusahaan ini merupakan perusahaan yang cukup berhasil dalam menjalankan usahanya dan menjadi perusahaan jamur tiram putih yang terbesar di Bogor untuk ukuran usaha perorangan. Tabel 5 akan memperlihatkan bagaimana produktivitas jamur tiram putih pada usaha Rimba Jaya Mushroom setiap hari dari bulan Januari-September 2012.

Tabel 5. Produktivitas Jamur Tiram Putih pada Rimba Jaya Mushroom Setiap Hari dari Bulan Januari-September 2012 (jika diasumsikan bahwa jumlah baglog per hari adalah tetap, yaitu sebanyak 523 baglog)

Tanggal Produktivitas (kg/baglog)

Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agts Sep 1 0,17 0,55 0,30 0,44 0,22 0,46 0,33 0,36 0,52 2 0,21 0,65 0,30 0,33 0,22 0,41 0,34 0,35 0,54 3 0,19 0,66 0,30 0,37 0,28 0,49 0,39 0,33 0,62 4 0,28 0,59 0,28 0,38 0,28 0,45 0,52 0,34 0,73 5 0,22 0,51 0,37 0,39 0,28 0,41 0,48 0,33 0,78 6 0,23 0,53 0,32 0,40 0,25 0,33 0,44 0,36 0,70 7 0,19 0,55 0,33 0,37 0,32 0,34 0,37 0,38 0,44 8 0,22 0,57 0,36 0,37 0,54 0,39 0,30 0,39 0,48 9 0,22 0,59 0,32 0,28 0,45 0,44 0,34 0,43 0,52 10 0,24 0,47 0,32 0,26 0,49 0,44 0,36 0,48 0,56 11 0,29 0,46 0,33 0,28 0,45 0,37 0,38 0,51 0,62 12 0,33 0,47 0,41 0,30 0,30 0,36 0,32 0,55 0,57 13 0,39 0,55 0,41 0,39 0,24 0,29 0,26 0,48 0,75 14 0,42 0,54 0,36 0,37 0,26 0,34 0,24 0,40 0,59 15 0,48 0,53 0,31 0,38 0,42 0,32 0,28 0,32 0,60 16 0,50 0,43 0,35 0,43 0,42 0,28 0,26 0,33 0,53 17 0,37 0,40 0,33 0,36 0,33 0,22 0,26 - 0,42 18 0,43 0,38 0,37 0,32 0,29 0,23 0,23 - 0,38 19 0,37 0,45 0,43 0,28 0,25 0,25 0,28 - 0,33 20 0,32 0,48 0,63 0,26 0,20 0,24 0,29 - 0,44 21 0,33 0,37 0,62 0,20 0,22 0,25 0,33 - 0,52 22 0,44 0,32 0,73 0,20 0,25 0,25 0,33 0,26 0,61 23 0,53 0,27 0,65 0,20 0,25 0,28 0,33 0,29 0,62 24 0,50 0,25 0,68 0,16 0,25 0,26 0,40 0,34 0,77 25 0,36 0,27 0,67 0,18 0,30 0,23 0,35 0,33 0,79 26 0,38 0,26 0,65 0,17 0,29 0,24 0,48 0,29 0,43 27 0,36 0,30 0,68 0,18 0,26 0,32 0,49 0,32 0,59 28 0,36 0,32 0,64 0,20 0,24 0,30 0,50 0,34 0,61 29 0,37 0,32 0,65 0,20 0,34 0,40 0,47 0,38 0,61 30 0,39 - 0,56 0,24 0,45 0,39 0,40 0,32 0,61 31 0,49 - 0,56 - 0,46 - 0,37 0,47 - Standar Deviasi 0,10 0,12 0,15 0,08 0,09 0,08 0,08 0,07 0,11

8 Tabel 5 memperlihatkan bahwa terdapat variasi produktivitas jamur tiram putih setiap hari dari bulan Januari-September 2012 pada usaha Rimba Jaya Mushroom. Adanya variasi produktivitas menunjukkan terjadinya fluktuasi produksi dalam usaha produksi jamur tiram putih. Hal ini mengindikasikan adanya risiko pada usaha jamur tiram putih di Rimba Jaya Mushroom. Risiko yang dihadapi dalam usaha jamur tiram putih adalah risiko teknis (produksi). Data pada Tabel 5 juga memperlihatkan bahwa ternyata Rimba Jaya Mushroom menghadapi risiko yang lebih besar pada bulan Maret. Hal ini terlihat dari tingginya nilai standar deviasi pada bulan Maret. Terjadinya variasi produktivitas jamur tiram putih pada usaha Rimba Jaya Mushroom dapat juga menggambarkan bahwa usaha-usaha jamur yang ada di Indonesia juga mengalami variasi produktivitas sehingga dapat juga mengindikasikan bahwa usaha-usaha jamur yang ada di Indonesia juga memiliki risiko dalam pengusahaanya.

Risiko produksi yang terjadi pada perusahaan Rimba Jaya Mushroom dan perusahaan-perusahaan jamur tiram putih yang ada di Indonesia tentu akan menggangu dalam kelangsungan dan perkembangan usaha yang juga berdampak pada perolehan pendapatan. Produksi jamur tiram putih yang berfluktuasi akan menyebabkan pendapatan yang berfluktuasi juga. Kerugian akibat risiko produksi yang dialami adalah jumlah produksi yang rendah dan kualitas hasil panen juga menurun. Risiko pada proses produksi jamur tiram putih disebabkan oleh berbagai faktor yang dapat berasal dari lingkungan produksi, bahan baku yang digunakan, peralatan yang digunakan, dan tenaga kerja yang digunakan. Sumber-sumber risiko pada proses produksi jamur tiram putih sangat perlu diidentifikasi untuk mengetahui penyebab dari risiko agar dapat ditangani dengan baik. Dampak kerugian dari setiap risiko yang terjadi juga sangat perlu untuk diperhitungkan karena berpengaruh langsung terhadap pendapatan yang diterima oleh pemilik usaha. Upaya mengantisipasi terjadinya risiko yang bertujuan menekan dampak risiko dalam usaha jamur tiram putih juga menjadi suatu hal yang menarik untuk dikaji. Oleh karena itu, penelitian mengenai sumber-sumber risiko produksi jamur tiram putih penting untuk dilakukan.

9 1.2. Perumusan Masalah

Usaha Rimba Jaya Mushroom telah memproduksi jamur tiram putih selama sembilan tahun. Budidaya jamur tiram putih sangat berbeda dengan tanaman pertanian lainnya. Jamur tiram putih tidak ditanam pada hamparan tanah seperti tanaman lainnya pada umumnya. Namun, jamur tiram putih tumbuh pada media tanam yang disebut substrat atau baglog yang terbuat dari serbuk kayu, dedak, dan kapur yang dicampur dengan bahan lainnya. Media tanam tersebut harus diolah secara khusus agar jamur dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik dan pembuatan media tanam tersebut membutuhkan keterampilan yang khusus. Karena jamur tiram putih tumbuh pada media tanam atau yang disebut dengan baglog, maka sangat menarik untuk mengetahui apa saja sumber-sumber risiko yang terdapat dalam usaha jamur tiram putih.

Seperti yang telah dijelaskan pada latar belakang bahwa hasil panen jamur tiram putih yang diperoleh usaha Rimba Jaya Mushroom setiap harinya dari bulan Januari-September 2012 bervariasi dalam jumlahnya sehingga produktivitas setiap harinya juga bervariasi atau terjadi fluktuasi produktivitas. Variasi produktivitas tersebut mengindikasikan bahwa usaha jamur tiram putih pada Rimba Jaya Mushroom mempunyai risiko dalam pengusahaannya dan risiko akan berdampak pada kerugian yang akan ditanggung oleh pemilik usaha. Jumlah hasil produksi jamur tiram putih yang berfluktuasi akan menyebabkan pendapatan yang berfluktuasi juga. Terjadinya fluktuasi produktivitas menggambarkan adanya penyimpangan dari return yang diharapkan. Berdasarkan data produktivitas jamur tiram putih pada Rimba Jaya Mushroom setiap hari dari bulan Januari-September 2012 (Tabel 5), maka hasil penilaian risiko produksi pada usaha Rimba Jaya Mushroom dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil Penilaian Risiko Produksi Jamur Tiram Putih pada Rimba Jaya Mushroom Berdasarkan Data Produksi Bulan Januari-September 2012

No. Ukuran Nilai

1 Expected Return 0,390

2 Variance 0,013

3 Standard Deviation 0,116

10 Pada Tabel 6 diperlihatkan hasil penilaian risiko produksi jamur tiram putih pada usaha Rimba Jaya Mushroom berdasarkan nilai coefficient variation. Nilai coefficient variation sebesar 0,3 dapat mencerminkan besarnya risiko produksi jamur tiram putih pada usaha Rimba Jaya Mushroom. Artinya, bahwa untuk setiap satu satuan hasil jamur tiram putih yang diharapkan usaha Rimba Jaya Mushroom dari kegiatan budidayanya, maka risiko yang dihadapi adalah sebesar 0,3. Nilai standar deviasi sebesar 0,116 merupakan nilai penyimpangan dari return yang diharapkan. Terjadinya penyimpangan tersebut mengindikasikan bahwa usaha jamur tiram memiliki risiko dalam pengusahaannya. Penyimpangan yang terjadi disebabkan oleh berbagai faktor.

Setiap risiko yang terjadi pada setiap tahapan proses produksi jamur tiram putih ada penyebabnya atau sumbernya. Jika terjadi risiko produksi pada usaha jamur tiram putih, maka hal tersebut tentu membawa dampak yang merugikan bagi usaha Rimba Jaya Mushroom. Kerugian akibat risiko produksi yang dialami adalah terjadinya penurunan kualitas serta kuantitas hasil panen. Terjadinya penurunan kualitas serta kuantitas hasil panen tentu berdampak terhadap pendapatan yang diterima oleh pengusaha Rimba Jaya Mushroom. Untuk memperkecil dampak risiko yang terjadi pada proses produksi jamur tiram putih, maka sangat perlu untuk mengidentifikasi atau mengetahui apa penyebab dari risiko tersebut sehingga dapat diantisipasi dan ditangani.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu :

1. Sumber-sumber apa yang menyebabkan terjadinya risiko pada setiap tahapan proses produksi jamur tiram putih pada usaha Rimba Jaya Mushroom?

2. Bagaimana upaya perusahaan untuk mengantisipasi risiko pada setiap tahapan proses produksi jamur tiram putih di Rimba Jaya Mushroom? 1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarakan perumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penelitian ini ditujukan untuk:

11 1. Menganalisis sumber-sumber risiko pada pada setiap tahapan proses

produksi jamur tiram putih di Rimba Jaya Mushroom.

2. Menganalisis upaya yang dilakukan perusahaan untuk mengantisipasi risiko pada setiap tahapan proses produksi jamur tiram putih di Rimba Jaya Mushroom.