• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang memiliki keberagaman baik suku, ras maupun agama. Keberagaman ini merupakan sesuatu yang dapat dikatakan suatu daya tarik Negara ini. Sebagaimana semboyan Indonesia yaitu “Bhinneka Tunggal

Ika” yang berarti meski berbeda-beda namun tetap satu jua, yakni Indonesia. Dari

semboyan tersebutlah rakyat Indonesia di harapkan dapat tetap berdampingan secara damai dalam keberagaman tersebut. Dimana Indonesia merupakan Negara dengan beragam suku, etnis dan juga agama. Negara kita memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, dan 6 agama nya yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghuchu.

Seperti kita ketahui bahwa Indonesia adalah Negara Kepulauan. Wilayah Indonesia meliputi ribuan pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Dari masing-masing wilayah Indonesia, terdapat berbagai komunitas, berbagai suku dengan macam budaya yang berbeda-beda. Kesemuanya bisa sangat berbeda antara satu dengan lainnya. Dalam hal ini diperlukan suatu paham yang dapat menjadi sarana pemersatu bagi banyaknya budaya-budaya yang terdapat di Indonesia. Multikulturalisme menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, paham multikulturalisme sangat cocok bila diterapkan

dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang keragaman budayanya amat sangat bervariasi.

Kemudian, bila dihubungkan dengan pasal 32 UUD 1945 (Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945-2002) pada butir pertama : (1) Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Bila kita kaitkan dengan multikulturalisme, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa Pemerintah Indonesia mendukung paham multikulturalisme yang menekankan tentang penerimaan keragaman. Kebudayaan Indonesia sangatlah beragam maka dari itu sangat kompleks. Kelompok manusia yang tinggal dan menetap, dan berinteraksi dengan cukup lama sehingga menghasilkan suatu kebudayaan kelompok itu sendiri, masing-masing dari kebudayaan yang dihasilkan tersebut mempunyai ciri khas dan keunggulan masing-masing. Di Indonesia terdapat ratusan ribu suku yang sangat beragam dan sangat kompleks, dan masing-masing mempunyai ciri khas dan keunggulan tersendiri. Ratusan ribu suku ini berada dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Agar semuanya dapat hidup berdampingan dengan damai tanpa ada rasa iri, tanpa merasa sukunya paling unggul, ataupun merasa menang sendiri, maka diperlukan paham multikulturalisme. Dalam UUD Pasal 32 telah ditegaskan bahwa Negara menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya, maka tidak ada lagi alasan bagi tiap suku untuk merasa narsis terhadap suku masing-masing. Semua suku mempunyai hak yang sama, sehingga masing-masing suku harus saling menghormati dan menghargai budaya suku lain, betapapun itu sangat berbeda.

Kemudian bunyi pasal 32 UUD 1945 (Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945-2002) pada butir kedua : (2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Banyak sekali penelitian yang menyatakan bahwa di Indonesia terdapat ratusan bahasa yang antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan karakteristik yang mendalam. Contohnya : Suku Jawa yang berbahasa Jawa, suku Sunda berbahasa Sunda, Suku Madura berbahasa Madura, dan lain sebagainya. Semuanya tersebar merata di seluruh penjuru nusantara. Walaupun dari segi penggunaan bahasa sangat beragam dan berbeda-beda, negara tetap menghormati bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional Bangsa Indonesia. Artinya negara mengakui bahwa bahasa daerah menempati posisi penting dalam daftar kebudayaan Indonesia. Indonesia boleh saja mempunyai bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional Indonesia, namun Indonesia tidak boleh melupakan bahwa masih ada beragam bahasa-bahasa daerah yang turut membentuk identitas Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang multikultural. Maka dari itu, perlu dilakukan berbagai upaya agar bahasa daerah ini nantinya tetap lestari dan tidak punah seiring dengan berkembangnya zaman. Masing-masing suku bangsa yang berbicara dengan bahasa masing-masing perlu diberi pengertian akan pentingnya bahasa daerah mereka masing-masing. Walaupun dalam mengupayakan pelestarian bahasa itu masing-masing suku tidak perlu menutup diri dan tidak mau berinteraksi dengan suku lain. Maka dari itu, konsep multikulturalisme dan penerapan secara benar memang dibutuhkan. Menerima keragaman dengan menghormati etnisitas suku lain agar tidak timbul perpecahan.

Lalu seperti yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yang mengakui adanya enam agama di Indonesia. Kehidupan beragama tercermin dalam sikap, perilaku dan tindakan sesuai dengan nilai-nilai agama yang menekankan hidup beragama, toleransi dan penghargaan atas pluralitas yang belakangan ini mengalami tantangan yang hebat sekali. Toleransi itu sendiri dalam kehidupan beragama di Indonesia yang sangat multikultural dan multiagama, mungkin tidak akan mudah untuk belajar toleransi apalagi dalam hal beragama karena agama adalah hal yang sangat luhur dan tidak bisa diganggu gugat.

Dengan segala perbedaan yang ada tersebut sudah tentu rentan terhadap konflik. Sehingga agar terhindar dari konflik yang tidak diinginkan tentu kita membutuhkan suatu sikap saling menghargai perbedaan masing-masing yang biasa disebut dengan toleransi. Dalam penerapan toleransi tentu saja bukan hal yang selalu berjalan mulus terutama bagi negara yang multikultural. Misalnya adanya konflik keberagaman atau ketidakrukunan hidup yang muncul dari perbedaan. Sebagai contoh kasus yang terjadi di Poso.

Tahun 1997 Indonesia dilanda krisis moneter disertai dengan fluktuasi kondisi ekonomi dan politik yang tidak menentu, telah menggiring Indonesia menuju konflik nasional, baik secara struktural maupun horizontal. Semenjak runtuhnya rezim orde baru tahun 1998 yang di gantikan oleh B.Habibie yang diharapakan dapat menata sisitem politik yang demokrasi berkeadilan. Pada waktu itu Indonesia sangat rentan dengan perpecahan, terjadi berbagai gejolak konflik di berbagai daerah, salah satunya konflik yang terjadi di poso yang di sinyalir oleh banyak kalangan adalah konflik bernuansa SARA yakni pertikaian suku dan

pemeluk agama islam dan kristen. Peristiwa kerusuhan diawali dengan pertikaian antardua pemuda yang berbeda agama sehingga belarut dan berhujung dengan terjadinya kerusuhan. Impliksasi – implikasi kepentingan politik elite nasional, elite lokal dan miiter militer juga diduga menyulut terjadinya konflik horizonttal sehingga sulit mencari penyelesaian yang lebih tepat. Bahkan, terkesan pihak keamanan porli lamban menangani konflik tersebut. Sehigga konflik terjadi belarut – larut yang memakan korban jiwa dan harta.

Secara umum konflik di poso sudah berlangsung tiga kali. Peristiwa pertama terjadi akhir 1998, lebih 17 bulan kemudian tepatnya pada 16 april 2000 konflik kedua pun pecah. Pada kerusuhan ini ada dugaan bahwa ada oknum yang bermain di belakang peristiwa ini yaitu : Herman Parimo dan Yahya Patiro yang beragama kristen. Kedua oknum ini adalah termasuk elite politik dan pejabat pemerintah daerah kabupaten poso.

Menjelang pemilihan kepala detrah pada waktu itu, kader – kader dari pihak umat kristiani yang bermunculan sebagai kandidat kuat yang menjadi rival buapati saat itu, Sekwan DPRD 1 Sulawaesi tengah dan Drs. Datlin Tamalagi Kahumas Pemda Sulawesi tengah. Keduan belah pihak memilki koneksi yang rill yang amat potensial sehingga sewaktu – waktu dapat dengan mudah muncul letupan ketidaksenangan yang akhirnya pada berhujung pada kerusuhan. Oleh karena itu, potensi – potensi kerusuhan pada waktu itu boleh jadi karena kekecewaan dari elite politik yang beragama kristen yang merasa termarjinalisasi dalam hal politik.

( Oktober 2014, pukul 11.00 WIB )

Selain itu dari sikap toleransi, tumbuhlah sikap perduli juga sangat dibutuhkan meski sulit di praktekkan. Sikap perduli atau empati merupakan sikap yang secara ikhlas mau merasakan pikiran dan perasaan orang lain serta keperdulian yang mendalam sehingga tumbuh rasa iba dan kasih untuk dapat menolong orang lain. Rasa empati ini merupakan kelanjutan rasa simpati. Maka dari itu sikap empati sosial ini sangat dibutuhkan didalam masyarakat majemuk agar tercipta suasana aman dan tenteram serta sejahtera.

Sumatera utara dengan ibukota Medan merupakan salah satu wilayah yang cukup luas dan dengan keberagaman yang cukup banyak. Namun sumatera utara juga salah satu wilayah dengan pluralitas yang dikatakan memiliki kerukunan yang mengagumkan. Orang-orang berpendapat alasan mengapa di balik keberagaman etnis agama ras maupun bahasa di Sumatera Utara masih tetap mampu menjaga kerukunan adalah sesuatu yang menarik dimana perbedaan dari satu aspek ternyata berimbang dengan kesamaan pada aspek lain. Misalnya agama boleh beda, tetapi marga sama. Aliran politik dapat memisahkan, namun kepentingan ekonomi mendekatkan. Faktor lain yang mencuat adalah tidak adanya kelompok yang secara berlapis dan multi aspek yang mendominasi. Tidak hanya itu, untuk menjaga kerukunan umat beragama di Sumut sudah dibentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). FKUB merupakan wadah umat beragama yang sudah dipercaya oleh pemerintah. Untuk membangun rumah ibadah saja Izin Mendirikan Bangunan (IMB) tidak akan diberikan sebelum ada

Faktor lainnya yang sering diutarakan adalah kenyataan sejarah bahwa masyarakat wilayah ini sudah lama menjadi masyarakat majemuk. Bahkan sebelum era kemerdekaan ketika wilayah pantai timur pulau Sumatera dibuka terutama untuk perkebunan, hingga membutuhkan banyak pekerja dan menarik banyak perantau untuk datang. Ini juga dikatakan sebagian pihak membentuk watak orang medan sekitarnya yang kalkulasi untung ruginya hingga ke peringkat tertentu masih bisa meredam keganasan semangat primordial sebagian besar warga. Itulah sebabnya kerusuhan sosial juga baru akan meletus jika adanya momentum yang tepat dan konteks yang mendukung. Memang aneh mengapa kecelakaan kecil dapat membakar kembali konflik horizontal di Ambon. Sedangkan di Medan, beberapa kali ledakan bom terjadi bahkan ada yang menelan korban, namun tidak menimbulkan riuh kerusuhan.

Provinsi Sumatera Utara menyimpan secara potensial faktor-faktor yang rawan berkembang menjadi konflik sosial horizontal dan menimbulkan kerusuhan sosial. Yang terpenting diantaranya adalah masalah pertanahan, kesenjangan ekonomi dan organisasi kepemudaan. Bahwa suatu kerusuhan sosial biasanya didorong tumbuh berkembangnya sejumlah faktor dan berakumulasinya seperangkat variabel. Namun demikian diharapkan sejumlah kasus kekerasan seperti pengrusakan gereja di Binjai pada tahun 2010 lalu. Kapolda pada saat itu menyatakan bahwa pengrusakan gereja tersebut murni kriminal yang dilakukan oleh orang kurang waras. Sama halnya dengan kasus pengrusakan masjid di porsea yang dipicu oleh permasalahan keluarga dimana pelakunya adalah oknum muslim itu sendiri. Para pemuka agama di Medan menghimbau agar masyarakat

untuk saling menjaga ketentraman umat beragama karena bukan tidak mungkin nantinya hal seperti ini berakhir dengan konflik SARA.

Untuk menjaga kondusif nya lingkungan beragama dalam masyarakat dilakukan penandatanganan kesepakatan majelis-majelis agama dan FKUB yang isinya antara lain kesepakatan menjaga kekondusifan dan harmonisasi umat beragama di Kota Medan demi terwujudnya Kota Medan yang modern, madani, religius dan harmonis.

(http://www.jpnn.com/read/2010/09/18/72482/Kapolda:-Perusakan-Masjid-Murni-Kriminal-dilihat : 11 Maret Pukul 11:40)

Jadi dapat dikatakan bahwa potensi konflik pada masyarakat majemuk dimiliki oleh tiap kelompok sosial bahkan tiap lembaga maupun kalangan. Salah satunya lembaga pendidikan. Pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang lain, tetapi juga memungkinkan secara otodidak. Setiap pengalaman yang memiliki efek formatif pada cara orang berpikir, merasa, atau tindakan dapat dianggap pendidikan. Pendidikan umumnya dibagi menjadi tahap seperti prasekolah, sekolah dasar, sekolah menengah dan kemudian perguruan tinggi, universitas atau magang. Sebuah hak atas pendidikan telah diakui oleh beberapa pemerintah. Pada tingkat global, Pasal 13 PBB 1966 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Meskipun pendidikan adalah wajib di sebagian besar tempat sampai usia tertentu, bentuk pendidikan dengan hadir di sekolah sering

tidak dilakukan, dan sebagian kecil orang tua memilih untuk pendidikan home-schooling, e-learning atau yang serupa untuk anak-anak mereka. (Wikipedia Pendidikan)

Sekolah adalah salah satu lembaga pendidikan formal utama dalam dunia pendidikan, sekolah juga dapat dikatakan sebagai kelompok sosial karena adanya interaksi sosial yang berlangsung didalamnya seperti interaksi antara guru dan murid dimana mereka dapat berinteraksi lebih dekat. Contohnya saat murid kurang paham tentang pelajaran yang diberikan oleh gurunya, maka guru dapat memberikan penjelasan yang lebih detail. Robert K Merton menyatakan sekelompok orang yang saling berinteraksi sesuai dengan pola yang telah mapan, disebut kelompok sosial, hal ini menegaskan bahwa sekolah merupakan kelompok sosial. Merton membagi tiga kriteria suatu kelompok :

1. Memiliki pola interaksi

2. Pihak yang berinteraksi mendefenisikan dirinya sebagai anggota kelompok

3. Pihak yang berinteraksi didefenisikan oleh orang lain sebagai anggota kelompok.

Sehingga terbangunlah sebuah hubungan didalam lingkungan sekolah, antara siswa dan guru ataupun pegawai di sekolah serta antara siswa dengan siswa. Sebab tidak hanya siswa yang berbeda-beda bahkan guru-guru serta pegawai sekolah seperti satpam atau penjaga kantin berasal dari beragam suku atau etnis maupun agama. Namun diharapkan siswa dapat memiliki hubungan yang baik sehingga menghindari hal-hal yang tidka diinginkan. Hubungan ini

akan semakin kuat jika diantara mereka ada kepentingan atau pun adanya kepercayaan. Namun tidak jarang terjadi hubungan yang tidak baik misalnya perkelahian atau pun hubungan siswa laki-laki dan perempuan yang tidak semestinya dibentuk di sekolah.sekolah melarang adanya hubungan pacaran disekolah karena pihak sekolah merasa siswa tidak seharusnya membangun hubungan seperti ini, siswa memiliki tanggung jawab sebagai seorang siswa, yakni belajar dan menaati peraturan.

Di Indonesia kebanyakan lembaga pendidikan tidak menekankan pada sistem multikultural dengan toleransi, namun ada beberapa sekolah yang menerapkan toleransi sosial dalam lingkungan sekolah nya dengan lingkungan yang multikultural, salah satunya adalah sekolah yang berada di kecamatan Medan-Sunggal yaitu YP. Sultan Iskandar Muda Medan. Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda ini didirikan pada tanggal 25 Agustus 1987 oleh Bapak dr.Sofyan Tan, seorang pemuda tionghoa dari desa Sunggal. Sekolah ini didirikan sebagai wujud mimpi dari seorang pemuda agar anak-anak miskin dapat bersekolah di sekolah yang berkualitas, tanpa memandang perbedaan apapun. Semua kalangan, suku, ras, agama bisa bersekolah di sekolah ini. Dan bahkan beliau menyediakan program bagi mereka yang tidak mampu membayar biaya sekolah untuk siapapun anak-anak yang bersungguh-sungguh ingin sekolah. (blog YPSIM). Tidak berdasarkan hanya jika dia beretnis tionghoa misalnya agar diterima di sekolah ini. Sama halnya dalam Undang-Undang no 20 tahun 2003 tentang kesetaraan dalam pendidikan, sekolah yang dibangun bapak dr.Sofyan Tan ini juga bertujuan menciptakan lembaga pendidikan dengan kesetaraan baik gender, sosial maupun budaya.

Sekolah ini juga menjunjung tinggi Nasionalisme dan Pancasila dan serta Bhineka Tunggal Ika dimana siswa-siswi dididik untuk mencintai Negara tanpa ada perselisihan karena perbedaan suku,ras maupun agama. Perbedaan merupakan indikator terbesar konflik dalam keberagaman di sekolah. Jika dalam sekolah mendidikkan pentingnya toleransi sosial dalam kehidupan beragama maka potensi konflik dalam sekolah tidak akan membesar sebab dengan adanya ajaran-ajaran kebaikan seperti tenggang rasa, saling hormat-menghormati dan saling tolong menolong pun masih memiliki potensi konflik yang disebabkan banyak hal antara lain beberapa siswa yang memiliki ego yang tinggi atau siswa-siswi yang memiliki tingkat kenakalan yang diluar batas kendali. (Ibnu.blogspot.com:2011).

Hal ini lah yang membuat saya tertarik untuk meneliti lebih dalam tentang toleransi sosial yang ada di lingkungan sekolah multikultural YP.Sultan Iskandar Muda Medan ini. Agar dapat melihat lebih jauh penerapannya pada siswa dilihat dari aspek sosiologisnya. Dalam suatu blog dikatakan bahwa sekolah YP. Sultan Iskandar Muda merupakan sekolah yang merangkul semua golongan siswa-siswi untuk memperoleh pendidikan yang layak tanpa membanding-bandingkan si kaya dan si miskin, agama apapun, dan juga etnis apapun. Tidak hanya menggunakan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” namun sekolah ini juga mendidik siswa-siswi untuk dapat saling menghargai dalam keberagaman yang ada. Seperti salah satu ajaran yang paling dikenal adalah cerita tentang penanam pohon yang menanam banyak pohon dan berkata bahwa 1 pohon yang dia tanam menghasilkan oksigen yang dapat di hirup siapapun tanpa pandang buluh. Hal ini sangat menarik bagi saya untuk diteliti dimana sekolah sebagai salah satu kelompok sosial yang

memiliki interaksi sosial tidak saja bersifat formal namun juga informal misalnya sesama siswa/i dididik dan ditanamkan perasaan kebersamaan dalam perbedaan.