• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakan alat komunikasi dan alat interaksi yang dimiliki oleh manusia dan menjadi ciri khas diri manusia. Manusia yang normal selalu menggunakan bahasa dalam beraktivitas antarsesama manusia dalam kehidupan sehari-hari (homo longuens). Begitu besarnya arti bahasa dalam kehidupan manusia tetapi kita selalu melupakan untuk memikirkan peranan bahasa. Koentjaraningrat (1967) mengatakan bahwa bahasa merupakan unsur vital dalam kebudayaan.1 Suatu kebudayaan yang tinggi derajatnya didukung oleh suatu bahasa dengan kesusastraan yang tinggi, walaupun suatu bahasa pada dasarnya hanya berfungsi sebagai alat komunikasi praktis antarsesama penuturnya. Levi-Strauss (1963) juga mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan produk atau juga disebut hasil dari aktivitas manusia. Hubungan bahasa dan kebudayaan ini dapat menjelaskan berbagai fenomena dan sistem kekerabatan sebagai rangkaian hubungan simbolik.2

Dilihat dari fungsi bahasa sebagai alat komunikasi dan alat interaksi yang dimiliki oleh manusia, bahasa dapat dikaji berdasarkan teori bahasa, baik secara internal maupun secara eksternal atau bahasa dilihat secara interdisplin. Kajian

1

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Universitas, 1967).

2

Edith Kurzweil, Jaring Kuasa Strukturalisme: Dari Lévi-Strauss sampai Foucault (Terjemahan Nurhadi dari The Age of Structruralism, Lévi-Strauss to Foucault) (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004), p 25.

internal merujuk pada struktur internal bahasa dalam arti linguistik, sedangkan kajian eksternal merupakan kajian yang melibatkan hal-hal atau faktor-faktor yang berada di luar bahasa yang melibatkan lebih dari disiplin ilmu yang dinamakan dengan kajian sosiolinguistik.

Nababan (1984) mengatakan sosiolinguistik merupakan studi atau pembahasan bahasa sehubungan dengan penutur bahasa sebagai anggota masyarakat yang mempelajari atau membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa.3 Di dalam hal ini, Wijaya (2006) menyimpulkan pendapat berbagai ahli yang menyatakan ada tiga hubungan antara bahasa dengan struktur masyarakat penuturnya. Ketiga macam hubungan itu adalah: (i) hubungan struktur bahasa mempengaruhi masyarakat di mana struktur bahasa menentukan cara-cara yang dipakai penutur bahasa dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari; (ii) hubungan masyarakat mempengaruhi bahasa di mana budaya masyarakat tampak dalam struktur bahasa yang digunakannya; dan, (iii) hubungan itu dapat ada tetapi dapat tidak ada sama sekali antara bahasa dan budaya.4

Di dalam hubungan bahasa dan masyarakat, kebanyakan masyarakat bahasa di Indonesia menggunakan bahasa daerah atau bahasa etnik mereka sebagai bahasa pertamanya. Meskipun demikian, masyarakat Indonesia secara formal mendapat

Di dalam tiga konteks sosiolinguistik seperti di atas, penelitian ”Pemilihan Bahasa dalam Komunikasi Politik oleh Partai Politik Lokal di Pemerintahan Aceh” sangatlah perlu dilakukan.

3

P.W.A. Nababan, Sosiolingistik: Suatu Pengantar (Jakarta: Gramedia, 1984), p 2.

4

I Dewa Putu Wijaya dan Muhammad Rohmadi, Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analisis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), p 8.

pendidikan bahasa Indonesia secara resmi di sekolah sejak dari sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi, pendidikan bahasa Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kurikulum pendidikan nasional. Walaupun demikian, pendidikan bahasa daerah juga dipelihara dan dijaga oleh pemerintah melalui kurikulum unsur lokal menurut daerah masing-masing di semua provinsi di Indonesia. Dengan demikian, pada umumnya bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua bagi masyarakat bahasa di Indonesia yang tinggal di pedesaan atau perkampungan di daerah-daerah terpencil di seluruh Indonesia dan yang menjadi bahasa pertama adalah bahasa daerah masing-masing.

Sebaliknya, bagi mereka yang lahir dan tinggal di perkotaan dan di kawasan industri menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dan selanjutnya mempelajari bahasa daerah mereka sebagai bahasa kedua yang didorong oleh keinginan memiliki identitas etnik. Maka, dapat dimengerti jika dikatakan bahwa hal yang lumrah atau biasa bagi masyarakat Indonesia berkedudukan sebagai masyarakat bahasa yang bilingual.

Indonesia dikenal dengan kekayaan bahasa-bahasa daerah. Kedudukan bahasa daerah sebagai bahasa suku atau juga disebut bahasa etnik dipelihara oleh negara. Bahasa daerah itu ditentukan kedudukannya dalam penjelasan UUD 1945 Bab XV pasal 36 mengamanatkan bahwa, “Di daerah-daerah yang memiliki bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura dan sebagainya), bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara.

Bahasa-bahasa itu pun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup.”5 Penyataan bahwa bahasa daerah yang dipelihara rakyatnya dengan baik-baik akan dihormati oleh negara berarti bahasa daerah tersebut secara sah mempunyai hak hidup untuk digunakan oleh rakyatnya. Sebaliknya, pernyataan bahwa bahasa daerah tersebut akan dipelihara juga oleh negara mengisyaratkan bahwa negara berkewajiban melestarikan bahasa daerah dengan mengupayakan pembinaan dan pengembangannya.6

Secara politik, bahasa daerah adalah bahasa yang dipakai sebagai bahasa perhubungan intradaerah atau intramasyarakat di samping bahasa Indonesia, selain itu juga dipakai sebagai sarana pendukung sastra serta budaya daerah atau masyarakat etnik di wilayah Republik Indonesia.

Dengan demikian, bahasa daerah pada masing-masing daerah berfungsi sebagai alat komunikasi para penutur bahasa daerah tersebut masing- masing, untuk memperkaya bahasa nasional dan sebagai pendukung nilai-nilai budaya nasional.

7

5

UUD 1945: Naskah Asli dan Perubahannya (Jakarta: Pustaka Pergaulan).

Pernyataan ini memberi isyarat bahwa bahasa daerah dan bahasa Indonesia digunakan dalam komunikasi masyarakat. Hal ini diperkuat oleh fungsi bahasa daerah sebagai (i) lambang kebanggaan daerah; (ii) lambang identitas daerah; dan, (iii) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat daerah. Di samping itu, dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai (i) pendukung bahasa nasional; (ii) bahasa pengantar

6

Hasan Alwi. ”Pelestarian Bahasa Daerah dalam Rangka Pembinaan Bahasa Indonesia.” Makalah Seminar Nasional VII Bahasa dan Sastra Indonesia, Medan, 7-9 Juli 1977, p 49.

7

Hasan Alwi dan Dendy Sugono (ed.), Politik Bahasa: Rumusan Seminar Politik Bahasa (Jakarta: Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional, 2003), p 4.

di sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lain; dan, (iii) alat pengembangan serta pendukung kebudayaan daerah.8

Bahasa daerah, di satu sisi memberikan hak hidup dalam sistem pendidikan nasional tetapi di sisi lain menimbulkan kekhawatiran persepsi generasi muda terhadap bahasa daerahnya. Hal ini disebabkan bahasa daerah hanya digunakan di tingkat sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk tujuan memperlancar pengajaran bahasa Indonesia, sehingga berkonotasi langsung terhadap ketidakperluan penggunaan bahasa daerah di tempat yang penduduknya lancar berbahasa Indonesia.

Dengan demikian, negara menjamin eksistensi bahasa daerah dan bahasa Indonesia sehingga masyarakat Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi bilingual atau multilingual.

Mahsun (2000) memandang persoalan pemilihan bahasa daerah di sekolah secara psikologis telah membentuk persepsi peserta didik akan kurang pentingnya bahasa dan kultur yang mereka miliki yang terekam dalam bahasa ibu mereka dan secara tidak langsung membentuk pola pikir negatif terhadap bahasa ibunya yang dapat mengurangi kebanggaan terhadap bahasa dan kultur etniknya.9

8

Mahsun, “Bahasa Daerah sebagai Sarana Peningkatan Pemahaman Kondisi Kebhinnekaan dalam Ketunggalan Masyarakat Indonesia: Ke Arah Pemikiran dalam Mereposisi Fungsi Bahasa Daerah,” dalam Hasan Alwi dan Dendy Sugono (ed.), Politik Bahasa (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2000), p 40.

Persepsi ini tidak boleh dibiarkan terus-menerus namun diperlukan reorientasi terhadap perundang-undangan sebagai landasan hak hidup bahasa daerah. Persepsi yang

9

merugikan perkembangan bahasa daerah ini menjadi daya tarik peneliti untuk menempatkan bahasa Aceh sebagai bagian integral bahasa daerah di Indonesia.

Pernyataan bahwa bahasa daerah itu dipelihara oleh rakyatnya dan dipelihara oleh negara berarti bahasa daerah itu memiliki peranan yang penting dalam sistem komunikasi etnik. Komunikasi dengan menggunakan bahasa daerah dilindungi oleh UUD 1945 dan tentunya dilindungi oleh negara. Negara memiliki kewajiban melindungi dan melestarikan bahasa daerah itu. Kondisi ini menempatkan bahasa dan politik sebagai satu kesatuan. Menurut Spolsky (2008), “Language is regularly used

in the exercise of political power.”10 Bahasa secara teratur menjalankan kekuasaan politik. Bahkan, Spolsky menyatakan bahwa, “There are more subtle uses of

language in politics. The use of a regional or a social dialect by a political leader is often a claim to a specialized ethnic identity.”11

10

Bernard Spolsky, Sociolinguistics (Oxford: Oxford University Press, 2008), p 58.

Bahasa digunakan secara halus dalam politik. Hal itu diperlihatkan dalam dialek sosial seorang pemimpin politik yang secara tegas memberikan klaim identitas etnis khusus kekuasaan politik. Salah satu bahasa daerah (etnik) yang digunakan dalam komunikasi politik di Indonesia adalah bahasa Aceh (selanjutnya disebut dengan BA). BA digunakan oleh masyarakat Aceh yang menetap di Pemerintahan Aceh, khususnya penduduk yang tinggal di Kota Langsa dan Kabupaten Bireuen. Kota Langsa merupakan kota yang berpenduduk heterogen yang terdiri dari suku Aceh, suku Jawa, suku Melayu, suku Minang, suku Karo, dan suku Mandailing. Kelompok masyarakat yang menjadi penduduk Kota

11

Langsa hidup membaur satu sama lainnya dalam aktivitas sehari-hari menurut profesi masing-masing. Di dalam pembauran ini mereka memilih menggunakan bahasa Indonesia (selanjutnya disebutkan dengan BI) dan bahasa campuran antara BI dengan bahasa daerah (alih kode/campur kode) sebagai bahasa komunikasi berinteraksi antara satu suku dengan suku lainnya dan dalam kehidupan bermasyarakat telah terjadi persentuhan sosial antara satu suku dengan suku lainnya. Sebaliknya, Kabupaten Bireuen memiliki profil yang berbeda dengan Kota Langsa, karena penduduk Kabupaten Bireuen adalah kabupaten lebih homogen jika kita bandingkan dengan penduduk Kota Langsa. Di dalam kehomogenan ini, peneliti berasumsi bahwa masyarakat Bireuen memiliki kecendrungan menggunakan BA sebagai bahasa ibu mereka.

Selain beberapa hal yang telah disebutkan terdahulu, ada suatu kondisi yang memosisikan BA menjadi penting dalam sistem komunikasi di Aceh, terutama dalam komunikasi politik. Hal ini terjadi sebelum adanya partai lokal di Aceh dan bahkan sebelum MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005. Masyarakat Aceh pada saat itu menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari, terutama dalam lingkungan pendidikan dan perkantoran. Bahkan, pengadilan umum dan pengadilan agama terpaksa menggunakan penerjemah BA ke dalam bentuk BI karena masyarakat Aceh yang berperkara tidak fasih atau tidak mau memilih menggunakan BI dalam komunikasinya. Hal ini menandakan bahwa BI menjadi bahasa resmi dalam komunikasi formal/resmi. Dengan kata lain, bahwa BA bukan sebagai bahasa resmi dalam sistem komunikasi di Aceh karena BI adalah bahasa komunikasi resmi

pemerintah dalam wilayah hukum NKRI. Faktor penting lain adalah kondisi kebahasaan ini disebabkan Aceh pada masa konflik antara Pemerintah RI dengan pihak GAM antara tahun 1980 hingga tahun 2004. Oleh karena itu, Aceh pada masa itu dikawal dan dijaga oleh anggota TNI dari Angkatan Darat dan Angkatan Laut dan anggota Polri yaitu Polisi dan Brimob yang ditugaskan untuk menjaga keamanan di Aceh. Di dalam aspek kebahasaan, konflik ini memunculkan pilihan bahasa yang dimengerti oleh kedua belah pihak yang bertikai. Akibatnya, masyarakat menguasai dua bahasa untuk menghindarkan kecurigaan dan tuduhan berpihak pada salah satu pihak yang berkonflik. Caranya, bila bertemu dengan TNI/Polri maka masyarakat Aceh berkomunikasi dalam BI sedangkan bila bertemu dengan GAM atau anggota masyarakat, maka masyarakat Aceh berkomunikasi dalam BA. Dari aspek budaya, Tim Peneliti LIPI menyimpulkan bahwa konflik di Aceh tersebut berdampak hilangnya identitas asli Aceh pada masa Orde Baru.12

Secara kemasyarakatan, anggota TNI dan POLRI boleh dikatakan kesulitan atau bahkan sama sekali tidak memahami bahasa Aceh atau bahasa-bahasa daerah Aceh. Jadi, bukan karena mereka tidak mau berbahasa Aceh sehingga tetap memilih menggunakan BI dalam berkomunikasi dengan masyarakat Aceh. Di samping anggota TNI dan Polri tidak memahami BA, pemilihan BI oleh mereka sebagai aparat negara dalam melaksanakan tugas negara di wilayah konflik. Dalam situasi dan kondisi ini, terpaksa masyarakat yang beradaptasi menggunakan BI dalam

12

J. Anto dan Pemilianna Pardede, Meretas Jurnalisme Damai di Aceh: Kisah Reintegrasi Damai dari

berkomunikasi dengan aparat pemerintah, terutama TNI dan Polri. Kondisi tersebut berlangsung dalam waktu yang sangat lama, yaitu antara 20 tahun sampai dengan 30 tahun atau dari tahun 1980 sampai dengan tahun 2005. Pada masa itu, mulai pada tingkat anak-anak, remaja, pemuda, dan orang tua pun sudah mulai memilih menggunakan BI yang kurang sempurna dari segi ucapan dan susunan kata dalam berkomunikasi. Kondisi kebahasaan seperti ini, semakin memperkuat kemampuan anak-anak, remaja, dan pemuda dalam pembelajaran BI di tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah sehingga tingkat keterampilan berbahasa anak-anak, remaja, dan pemuda Aceh dalam menggunakan BI menjadi lebih baik. Akan tetapi, setelah penandatangan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005 dan setelah lahirnya partai politik lokal di Aceh pada Pemilu Legislatif 2009, maka muncullah suatu fenomena baru bagi masyarakat Aceh dalam berkomunikasi, yaitu memilih menggunakan BA hampir pada semua situasi dan kesempatan. Di dalam situasi ini juga peneliti berasumsi bahwa pemilihan BA lebih dominan daripada BI, atau BA dan BI dipilih secara campur kode atau alih kode dalam komunikasi politik oleh partai politik lokal (selanjutnya disebut dengan parlok) dalam aktivitas mereka, baik secara internal maupun eksternal.

Fenomena penggunaan bahasa dari BI ke BA menjadi realitas kebahasaan di Aceh. Asumsi peneliti bahwa masyarakat Aceh pasca-MoU Helsinki lebih mengutamakan memilih sistem komunikasi dalam BA dalam kehidupan sehari-hari dan menggantikan posisi BI dan BI/BA (campur kode) dengan posisi BI yang pernah dominan pada masa konflik di era Orde Baru. Dengan alasan di atas, penelitian ini

mencoba untuk menjelaskan pemilihan bahasa yang digunakan dan memberikan alasan mengapa parlok memilih menggunakan BA dalam berkomunikasi baik secra internal dan eksternal. Selain itu penelitian ini juga mendeskripsikan sikap bahasa serta kohesi sosial terhadap pemilihan BA oleh parlok dalam komunikasi lisan menggunakan bahasa Aceh (BA), bahasa Indonesia (BI), atau memilih menggunakan BA dan BI (code mixing) atau perpindahan kode (code switching) Apakah ada hubungan yang signifikan pemilihan bahasa, sikap bahasa dengan kohesi sosial dalam komunikasi politik parlok di Pemerintahan Aceh? Jawaban kedua pertanyaan ini dideskripsikan dengan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif dari kondisi kebahasaan masyarakat Aceh, terutama masyarakat yang heterogen bertempat tinggal di Kota Langsa dan masyarakat yang homogen bertempat tinggal di Kabupaten Bireuen.

Sistem komunikasi politik yang menjadi fokus penelitian ini bersifat internal dan eksternal. Komunikasi politik secara internal dalam penelitian ini adalah pemilihan bahasa dalam komunikasi politik oleh parlok dalam aktivitas politik di lingkungan masing-masing parlok. Sedangkan secara eksternal adalah pemilihan bahasa yang dipakai oleh parlok dalam berkomunikasi dengan parlok lainnya. Parlok pada Pemilu Legislatif 2009 di Aceh adalah: (i) Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS); (ii) Partai Daulat Atjeh (PDA); (iii) Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA); (iv). Partai Rakyat Aceh (PRA); (v) Partai Bersatu Atjeh (PBA); dan, (6) Partai Aceh (PA).

Sebaliknya, yang dimaksudkan dengan informal adalah suatu komunikasi politik pada tataran tidak resmi, misalnya dalam komunikasi lisan secara santai, tidak resmi, pembicaraan komunikasi personal ataupun antara sesama pengurus partai dalam situasi tidak resmi, baik di lingkungan kantor partai maupun di tempat lainnya. Sedangkan yang dimaksud dengan situasi formal adalah suatu situasi komunikasi yang terjadi secara internal dan eksternal parlok dan juga dalam komunikasi politik antara satu parlok dengan parlok lainnya untuk keperluan organisasi partai. Hal tersebut dapat terjadi dalam pertemuan-pertemuan atau rapat resmi atau pertemuan resmi partai di DPRK (Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten /Kota).

Berdasarkan penjelasan kondisi di atas maka yang menjadi latar belakang dalam penelitian ini adalah adanya suatu kondisi bahwa sebelum era damai di Pemerintahan Aceh pada masa Orde Baru yaitu pada era 1980-an dan pada awal era reformasi tahun 1999 sampai dengan tahun 2004 kondisi pemilihan bahasa lebih memihak kepada BI dan BI/BA dalam bentuk tukar kode dan ganti kode (code

swiching and code mixing) dan bahkan dalam banyak situasi masyarakat Aceh pada

waktu itu dengan terpaksa harus memilih menggunakan BI walaupun dengan BI yang tidak fasih atau jauh dari kurang sempurna. Hal ini terjadi karena pada masa itu masyarakat Aceh diawasi atau dipantau dan dijaga oleh ABRI, Polisi, Brimob, karena daerah Aceh berada dalam situasi konflik. Anggota militer/TNI, Polisi dan Brimob dalam berkomunikasi dengan masyarakat hanya menggunakan BI dikarenakan mereka tidak mampu berbahasa Aceh dan sekaligus mereka menunjukkan identitas sebagai alat negara yang bertugas di daerah konflik. Bagi masyarakat yang tidak

memilih BI sebagai bahasa komunikasi, mereka (tentara, polisi, dan brimob) menganggap bahwa masyarakat tersebut tidak setia kepada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Di dalam situasi demikian, masyarakat dengan terpaksa harus memilih menggunakan BI, khususnya dalam komunikasi mereka ataupun berkomunikasi sesama anggota masyarakat dihadapan para tentara, polisi, dan brimob. Hal ini berakibat sering terjadi kesalahpahaman serta berbeda pengertian dan pemahaman arti atau makna dalam pemilihan penggunaan BI di antara alat negara tersebut dengan masyarakat Aceh pada waktu itu. Akan tetapi, hal yang demikian tidak terjadi lagi setelah penandatanganan MoU perjanjian damai antara GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dengan Pemerintah Republik Indonesia di Helsinki (Finlandia) pada tanggal 15 Agustus 2005. Pasca MoU tersebut mengurangi situasi konflik di Aceh, di mana masyarakat kembali bebas berkomunikasi dalam BA, walaupun BI juga masih digunakan secara campur kode atas keinginan masyarakat itu sendiri.

Di samping hal yang demikian, kelahiran parlok ada hubungannya dengan perjuangan masyarakat Aceh yang secara historis erat kaitannya dengan perjanjian Helsinki pada 15 Agustus 2005. Bahkan, pengurus parlok Partai Aceh (selanjutnya disebutkan PA) terdiri dari anggota-anggota yang terdaftar dalam GAM ditambah sebagian dari orang-orang pergerakan yang masa itu mendirikan parlok Suara Independen Rakyat Aceh (selanjutnya disebut SIRA) dan sebagian masyarakat yang memiliki nuansa politik mendirikan parlok lainnya dengan jumlah 6 (enam) parlok. Pada masa Orde Baru dan masa konflik di Aceh, parlok belum lahir. Partai nasional

yang berstatus kantor pusat partai atau DPP (Dewan Pimpinan Pusat) berada di Jakarta. Pada waktu itu, partai nasional memilih menggunakan BI dalam berkomunikasi dan menggunakan BA hanya sebagai pelengkap BI. Bahkan, juru kampanye pada masa itu didatangkan dari Dewan Pengurus Pusat atau juru kampanye dari tokoh-tokoh pendukung kampanye memilih lagu-lagu dalam BI bukan memilih menggunakan BA atau kesenian Aceh. Perubahan yang menarik untuk diteliti pasca lahirnya parlok di Aceh adalah indikasi parlok lebih cendrung memilih menggunakan bahasa daerah yaitu BA serta kesenian Aceh dalam berkomunikasi, baik sesama mereka ataupun dengan masyarakat umum. Selain itu, adanya gejala pemilihan BA lebih dominan berbanding BI di tingkat eksekutif Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota di Pemerintahan Aceh. Berdasarkan pengamatan peneliti sejak tahun 2006, ada suatu fenomana baru yang terjadi terhadap pemilihan bahasa dan sikap bahasa pasca lahirnya parlok di Pemerintahan Aceh dibandingkan dengan masa-masa kekuasaan partai nasional atau pada masa-masa terjadinya konflik antara GAM dengan Pemerintahan RI sebelum tahun 2005.

Dokumen terkait