• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.2 Pemerintahan Aceh

Daerah Aceh yang terletak di bagian paling barat Republik Indonesia memiliki posisi strategis sebagai pintu masuk jalur perdagangan dan kebudayaan yang menghubungkan Timur dengan Barat. Secara geografis, Pemerintahan Aceh terletak antara 2º-6º Lintang Utara dan 95º-98º Lintang Selatan dengan ketinggian rata-rata di atas 125 meter di atas permukaan laut. Luas daerah Aceh 57.736,557 km²

dengan daerah melingkupi 119 pulau, 35 gunung, dan 73 sungai.13 Secara administratif, daerah Aceh mempunyai batas-batas sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka; sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara; sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka; dan, sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia.14

Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.15

Pemerintahan Aceh memiliki 13 suku sebagai penduduk asli, yaitu: lama menetap di Aceh. Masing-masing suku memiliki bahasa sesuai dengan nama sukunya. Populasi suku-suku bangsa ini, menurut sensus penduduk tahun 2010, antara lain menunjukkan suku Aceh menjadi penduduk mayoritas di Pemerintahan Aceh. Komposisi penduduk Aceh tersebut adal

13

Aceh dalam Angka: Aceh in Figures 2006 (Banda Aceh: Badan Pusat Statistik dan Badan

Perencanaan dan Pembangunan Daerah, 2006), pp 3-4.

14

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Pasal 3.

15

Tabel 1.1: Jumlah Penduduk dan Sex Ratio Pemerintahan Aceh Hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 Kabupaten/Kota Regency/City Laki-laki/ Male Perempuan/ Female Jumlah/ Total Sex Rasio/ Sex ratio 1. Simeulue 41.245 39.034 80.279 105,66 2. Aceh Singkil 51.638 50.575 102.213 102,10 3. Aceh Selatan 99.616 102.387 202.003 97,29 4. Aceh Tenggara 89.305 89.547 178.852 99,73 5. Aceh Timur 179.682 179.598 359.280 100,05 6. Aceh Tengah 88.812 86.517 175.329 102,65 7. Aceh Barat 87.682 85.214 172.896 102,90 8. Aceh Besar 179.495 170.730 350.225 105,13 9. P i d i e 183.675 194.603 378.278 94,38 10. Bireuen 191.006 198.018 389.024 96,46 11. Aceh Utara 262.101 267.645 529.746 97,93 12. Aceh Barat Daya 62.633 63.358 125.991 98,86 13. Gayo Lues 39.468 40.124 79.592 98,37 14. Aceh Tamiang 126.724 124.268 250.992 101,98 15. Nagan Raya 70.039 68.631 138.670 102,05 16. Aceh Jaya 39.973 36.919 76.892 108,27 17. Bener Meriah 61.871 59.999 121.870 103,12 18. Pidie Jaya 64.958 67.900 132.858 95,67 19. Banda Aceh 115.296 108.913 224.209 105,86 20. Sabang 15.580 15.067 30.647 103,40 21. Langsa 73.930 74.974 148.904 98,61 22. Lhokseumawe 84.893 85.611 170.504 99,16 23. Subulussalam 33.956 33.360 67.316 101,79 Jumlah/ Total 2.243.578 2.242.992 4.486.570 100,03

Berdasarkan tabel 1.1 dapat diketahui bahwa kabupaten/kota yang paling banyak penduduknya adalah Kabupaten Aceh Utara. Akan tetapi, Kota Langsa dan Kabupaten Bieruen yang menjadi lokasi penelitian termasuk wilayah yang banyak penduduknya. Kota Langsa berpenduduk 148.904 jiwa menjadi peringkat ketiga kota terbanyak penduduknya di Pemerintahan Aceh dan Kabupaten Bieruen berpenduduk 389.024 jiwa menjadi peringkat kedua kabupaten terbanyak penduduknya di Pemerintahan Aceh.

Ditinjau dari tingkat kepadatan penduduk, Kota Banda Aceh menjadi kota terpadat di Pemerintahan Aceh. Tingkat kepadatan penduduk di Kota Banda Aceh adalah 3.459 jiwa/km². Kota Langsa menduduki posisi terpadat ketiga setelah Kota Lhokseumawe. Tingkat kepadatan penduduk di Kota Langsa adalah 535 jiwa/km². Akan tetapi, Kabupaten Bireuen tercatat sebagai kabupaten terpadat di Pemerintahan Aceh dengan tingkat kepadatan penduduk 189 jiwa/km². Dengan demikian, Kota Langsa dan Kabupaten Bireuen yang dijadikan lokasi penelitian ini adalah kota/kabupaten yang berpenduduk signifikan dari aspek kuantitas dalam Pemerintahan Aceh.

Tabel 1.2: Kepadatan Penduduk Pemerintahan Aceh Menurut Kabupaten/Kota (Jiwa/km²), Tahun 2004-2009 Kabupaten/Kota Regency/ City Tahun/Year 2004 2005 2006 2007 2008 2009 1. Simeulue 35 38 39 39 40 40 2. Aceh Singkil 40 41 43 37 39 39 3. Aceh Selatan 51 52 53 54 55 56 4. Aceh T 40 40 41 42 42 42 5. Aceh Timur 52 50 51 52 55 56 6. Aceh Tengah 49 27 38 39 42 44 7. Aceh Barat 66 67 62 52 52 54 8. Aceh Besar 112 110 113 104 104 105 9. Pi d i e 113 114 115 131 133 135 10 Bireuen 183 185 187 187 188 189 11 Aceh Utara 148 149 152 158 160 165 12 Aceh Barat D 66 68 68 52 53 53 13 Gayo Lues 12 12 13 13 13 13 14 Aceh Tamiang 118 121 122 123 124 125 15 Nagan Raya 28 31 32 31 32 32 16 Aceh Jaya 21 16 17 18 20 22 17 Bener Meriah - 73 75 76 77 79 18 Pidie Jaya - - - 224 228 236 19 Banda Aceh 3.920 2.916 2.939 3.582 3.551 3.459 20 Sabang 241 240 243 195 191 191 21 Langsa 516 525 530 531 535 535 22 Lhokseumawe 766 854 865 872 877 879 23 Subulussalam - - - 64 64 66 ACEH 71 68 71 72 74 75

Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh

Aceh pada awal kemerdekaan Indonesia berkedudukan sebagai Keresidenan dalam Provinsi Sumatera, dengan residennya yang pertama T. Nyak Arif dan wakil residennya T.M. Ali Panglima Polem. Keresidenan Aceh berdasarkan Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Sumatera berada dalam Provinsi Sumatera Utara yang meliputi Keresidenan Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli. Undang-undang ini membagi Provinsi Sumatera menjadi 3 provinsi, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Keresidenan Aceh menjadi provinsi setelah keluarnya peraturan Wakil-wakil Perdana Menteri pengganti peraturan pemerintah Nomor 8/Des.WKPM tahun 1949 yang membagi Provinsi Sumatera Utara menjadi dua provinsi, yaitu Provinsi Aceh dan Provinsi Tapanuli Sumatera Timur sejak 1 Januari 1950, dengan Tgk. M. Daud Beureueh sebagai Gubernur Aceh.16

Pembentukan Provinsi Aceh pada masa PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) mengalami masalah legalitas. Hal ini menimbulkan kesulitan pemerintah RI karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 22/1948 dan mempersulit usaha pemerintah merealisasikan semua hasil yang dicapai dalam Konperensi Meja Bundar. Oleh karena itu, diadakan perundingan-perundingan akhirnya dicapai kesepakatan bahwa Aceh tetap sebagai keresidenan di bawah Provinsi Sumatera Utara. Hal ini menimbulkan mosi negatif dari Pemerintah Daerah dan DPR Aceh terhadap pemerintah pusat yang menginginkan Aceh tetap diberi status otonomi sebagai provinsi. Bahkan, dampak dari penggabungan kembali

16

Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Jakarta: Proyek Penelitian dan Pencatatan

menimbulkan peristiwa pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) di Aceh yang dipimpin oleh Tgk. M. Daud Beureueh.17

Akhirnya, setelah melalui perundingan-perundingan maka keluar Undang- Undang Nomor 24/1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh yang terpisah dari Provinsi Sumatera Utara. Gubernur pertama Provinsi Aceh adalah Ali Hasjmi yang menjalankan roda pemerintahan sejak 27 Januari 1957. Gejolak politik tidak mengalami perubahan yang signifikan di Aceh. Maka, berdasarkan keputusan Perdana Menteri Nomor 1/MISSI/1959 dan disahkan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tanggal 26 Mei 1959 Provinsi Aceh diberi status “Daerah Istimewa”. Dengan predikat tersebut, Aceh memiliki hak-hak otonomi yang luas dalam bidang agama, adat dan pendidikan.18 Status ini mengalami penyempurnaan lagi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 18/2001 yang meningkatkan status keistimewaan Aceh menjadi daerah otonomi khusus dengan nama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.19

Sejak pengakuan pemerintah RI terhadap otonomi Aceh maka sistem pemerintahan Aceh mengalami penyempurnaan terus-menerus sesuai dengan ciri khas keislamannya. Hal ini menjadi kenyataan setelah keluar undang-undang tentang penyelenggaraan keistimewaan Aceh. Di dalam undang-undang ini tercantum pasal

17

Ibid, p 186.

18

Aceh dalam Angka, ibid, p lv.

19

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

yang berbunyi, “Penyelenggaraan kehidupan beragama di daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat.”20

Pelaksanaan syariat Islam menjadi ciri keistimewaan Aceh mengalami penyempurnaan kembali dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 11/2006 tentang Pemerintah Aceh. Di dalam undang-undang ini, penamaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berubah menjadi Pemerintahan Daerah Aceh yang disingkat Pemerintah Aceh. Di dalam undang-undang ini tercantum pasal keistemawan Aceh sebagai daerah berbasis agama Islam dalam pasal yang berbunyi, “Pembagian urusan pemerintahan yang berkaitan dengan syari’at Islam antara Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota diatur dengan Qanun Aceh.”21

Di dalam kehidupan sehari-hari, pengaruh agama dan kebudayaan Islam sangat besar di Aceh sehingga daerah ini mendapat julukan “Seuramo Mekkah” (Serambi Mekah).22 Hal ini didukung oleh komposisi agama di Aceh dengan agama Islam (97,6%), Kristen (1,7%), Budha (0,55%), dan Hindu (0,08%).23

20

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh, Pasal 4 Ayat 1.

Oleh karena itu, segala aspek kehidupan di daerah Aceh harus didasarkan pada syariat Islam. Hal ini tercermin dalam semboyan kehidupan bermasyarakat yang telah menjadi pegangan umum sejak lama di Aceh, “Adat bak Po Teumeureuhom; hukom bak Syiah

21

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentangPemerintahan Aceh, Pasal 13

Ayat (1).

22

Menuju Aceh Baru Nanggroe Aceh Darussalam (Banda Aceh: Lembaga Informasi Nasional, 2001),

p 2.

23

Kuala; Qanon bak Putro Phang; Reusam bak Laksamana” (adat dari Sultan, hukum

dari Ulama, Qanun dari Putri Pahang, Reusam dari Laksamana).24

Di dalam menjalankan sistem pemerintahannya, Pemerintahan Aceh dipimpin oleh seorang gubernur dan wakil gubernur yang berkedudukan di ibu kota Banda Aceh. Secara konstitusional, gubernur mengemban amanah rakyat melalui anggota legislatif hasil pemilu. Sesuai dengan hasil Pemilu 2009, Pemerintahan Aceh menempatkan 13 anggota DPR RI. Mereka berasal dari Partai Demokrat (7 orang), PKS dan Partai Golkar masing-masing 2 orang, serta PAN dan PPP masing-masing 1 orang. Di samping memilih anggota DPR RI, Pemilu Legislatif di Pemerintahan Aceh memilih anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dan DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh). Untuk anggota DPD yang berasal dari Aceh terpilih Tgk. Abdurrahman BTM., H.T. Bachrum Manyak, Dr. Ahmad F. Hamid, M.S., dan Ir. H.T. A. Khalid, M.M. Untuk pemilihan anggota DPRA, dari 69 kursi yang tersedia dikuasai oleh Partai Aceh dengan raihan 33 kursi (47,8%), Partai Demokrat 10 kursi (14,5%), Partai Golkar 8 kursi (11,6%), PAN 5 kursi (7,3%), PKS 4 kursi (5,8%), PPP 3 kusi (4,4%), serta Partai Daulat Aceh, PDI-P, PKPI, PBB, dan Partai Patriot masing-masing 1 kursi (1,5%).

Dokumen terkait