• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORETIS DAN KAJIAN PUSTAKA

2.3 Kerangka Konseptual

Pemilihan bahasa dalam konsep penelitian ini adalah pemilihan satu bahasa diantara bahasa yang ada dalam suatu masyarakat bahasa. Dalam hal ini masyarakat Aceh yang merupakan masyarakat bilingual yang maknanya masyarakat yang memahami BA sebagai bahasa suku dan juga memahami BI sebagai bahasa nasional. Keberadaan BA bagi masyarakat Aceh adalah merupakan bahasa ibu dan BI merupakan bahasa kedua. Pemilihan bahasa dalam masyarakat yang homogen memiliki kecendrungan yang berberbeda dengan masyarakat yang hiterogen. Dalam kerangka konsep penelitian ini disesuaikan dengan wilayah penelitian yaitu Kota

Langsa yang memiliki masyarakat yang hiterogen dan Kabupaten Bireuen yang memiliki masyarakat yang homogen.

Bahasa yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini adalah BA, BA/BI dengan BA yang dominan, BA/BI dengan BI yang dominan dan BI. Ranah pemilihan bahasa dalam kajian ini terbagi dalam dua katagori yaitu komunikasi politik oleh Parlok dalam aktivitas internal partainya misalnya pemilihan bahasa dalam rapat-rapat internal parlok dan katagori kedua dalam aktivitas parlok secara eksternal dalam komunikasi politik dengan masyarakat serta komunikasi politik parlok di DPRK dalam sistem Pemerintahan Aceh.

Dalam masyarakat memilih suatu bahasa tertentu untuk tujuan komunikasi tentunya memiliki alasan-alasan atau argumen tertentu, ada yang disebabkan oleh kebiasaan dan fasih dalam berkomunikasi, rasa bangga dan senang, rasa puas hati, atau juga masyarakat beragumentasi karena merasa akrab memilih menggunakan sesuatu bahasa, hal yang demikian dapat terjadi disebabkan oleh latar belakang sosial bagi masyarakat pemilih bahasa itu sendiri. Dalam penelitian ini, yang menjadi subjek penelitian adalah parlok dalam kominikasi politik yang memiliki latar belakang sosial politik lokal di Pemerintahan Aceh.

Merujuk pada pendapat Spolsky (2008) menjelaskan bahwa posisi masyarakat multilingual atau bilingual dalam pemilihan bahasa adalah salah satu cara yang paling umum untuk mengidentifikasi seseorang adalah dengan bahasanya, karena bahasa yang digunakan adalah kelompok identitas yang penting. Ada penanda identitas etnis yang lain, seperti makanan, pakaian atau agama. Tetapi bahasa memiliki peran kusus,

sebahagian karena mengatur pemikiran dan sebahagian karena menetapkan hubungan sosial.

Untuk menjawab masalah pemilihan bahasa dalam komunikasi politik parlok di Pemerintahan Aceh dapat dilakukan dengan pola kuesioner nomor 1 sampai nomor 19 dan data tersebut dianalisis secara kuantitatif serta pembuktian empirik dapat dijumpai pada data kualitatif yang merupakan hasil observasi dan wawancara mendalam.

Sikap bahasa merupakan kepercayaan, penilaian serta pandangan terhadap suatu bahasa. Penutur atau masyarakat suatu bahasa memiliki suatu kecendrungan untuk berprilaku terhadap bahasa mereka, sikap bahasa dapat dinilai secara positif atau secara negatif. Sikap bahasa positif diikuti dengan aksi positif serta sikap negatif akan diikuti oleh aksi negatif. Dalam situasi kontak bahasa, monolingual dan bilingual biasanya memiliki sikap positif terhadap bahasa yang dianggap lebih berprestise dan berhubungan secara normal dengan kekuatan politik yang lebih kuat. Sikap terhadap bahasa sering kali dihadapkan dengan sikap pemilih suatu bahasa, bahkan sikap pemilih bahasa dapat dikaitkan dengan sentimen politik atau sosial. Dalam penelitian ini, sikap bahasa diukur dengan ungkapan sangat setuju, setuju, kurang setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju dalam memilih suatu bahasa.

Hasil pengukuran sikap bahasa dapat menghasilkan sikap positif dan sikap negatif sesuai dengan indikator sikap bahasa penuturnya. Merujuk pada Garvin dan Mathiot (1986) Sumarno (2004) dalam sikap bahasa terdapat tiga ciri pokok yaitu (1) kesetiaan bahasa (loyalty language), yang mendorong masyarakat mempertahankan

bahasa mereka, (2) kebanggaan bahasa (language pride) yang mendorong masyarakat mengembangkan dan menggunakan bahasanya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat, (3) kesadaran aturan atau norma bahasa (awereness of the

norm) yang dapat mendorong masyarakat penuturnya berbahasa dengan cermat dan

santun. Yang menjadi penting dalam konteks konseptual pada penelitian ini adalah adanya kecendrungan suatu masyarakat memiliki sikap bahasa tertentu secara positif untuk mempertahankan bahasa sebagai identitas mereka, karena bahasa tersebut milik mereka dan juga memiliki kemungkinan suatu masyarakat beradaptasi menggunakan bahasa kedua mereka untuk tujuan menjaga hal-hal yang positif dalam masyarakat dan dalam berpolitik.

Untuk menjawab masalah sikap bahasa dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kuesioner nomor 20 sampai dengan nomor 31 dan data ini dianalisis dengan metode kuantitatif serta bukti empiriknya dapat dijumpai pada hasil kualitatif dengan wawancara mendalam.

Kohesi sosial (social cohesion) dapat didefinisikan sebagai perekatan yang dibangun oleh suatu komunitas berdasarkan ikatan kefamilian, klan serta geneologi dalam bingkai keetnikan. Kohesi sosial dapat terjadi secara intra masyarakat yang secara historis menempati satu wilayah dan menjaga tata adat dan tata sosial yang sama; kohesi sosial antarmasyarakat yang terbentuk melalui pertemuan sosial lintas masyarakat karena adanya saling membutuhkan satu sama lain hingga terjadilah aktivitas saling membantu antara mereka. Kohesi sosial intramasyarakat terbentuk

melalui mekanisme kesadaran kekerabatan, sedangkan kohesi sosial antarmasyarakat didorong oleh mekanisme pragmatis.

Dalam konteks parlok dalam masyarakat Aceh, kohesi sosial muncul berkaitan erat dengan penyelesaian konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia melalui MoU Helsinki 15 Agustus 2005 dan selanjutnya pada Pemilu Legistatif 2009 lahirlah enam parlok di Pemerintahan Aceh.

Menurut pandangan Halliday dan Hasan (1976) bahasa adalah semiotik sosial, oleh sebab itu pemilihan bahasa dapat dihubungkan dengan kohesi sosial melalui perilaku berbahasa. Perilaku berbahasa dapat dilihat dari ikatan kefamilian, klan, geneologi dalam bingkai keetnikan. Dalam konteks penelitian ini dapat diasumsikan bahwa pemilihan penggunaan BA dan sikap positif mendukung kohesi sosial dalam aktivitas komunikasi parlok, baik secara internal maupun eksternal.

Untuk melihat persoalan kohesi sosial dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kuesioner nomor 32 sampai dengan kuesioner nomor 35, dan data yang diperoleh dianalisis dengan metode kuantitatif yang secara empirik data kualitatif dapat kita jumpai dari hasil wawancara.

Dalam kerangka konsep pemikiran tentang komunikasi politik dalam penelitian ini, konsep komunikasi politik merupakan suatu proses penyampaian pesan-pesan politik oleh masyarakat politik yang tergabung dalam suatu partai politik dalam hal ini adalah parlok kepada masyarakat umum baik secara individu ataupun secara kelompok, baik dalam komunikasi secara internal dalam parlok dalam posisi

rapat-rapat partai maupun secara eksternal dalam komunikasi parlok dengan anggota masyarakat dan juga komunikasi di DPRK dalam bentuk rapat-rapat resmi. Kegiatan komunikasi yang dapat dianggap sebagai komunikasi politik adalah berdasarkan konsekwensinya, harus aktual dan memiliki nilai potensial yang mengatur perbuatan manusia dalam kondisi konflik. Dengan demikian, yang memiliki cakupan sebagai komunikator dalam konsep ini adalah politisi yang tergabung dalam parlok di Pemerintahan Aceh yang memiliki pesan-pesan politik untuk disampaikan kepada pengurus partai juga disampaikan kepada masyarakat serta memperjuangkan sesuatu yang bermanfaat, berguna untuk membangun masyarakat dalam forum resmi di DPRK. Komunikasi politik yang demikian adalah merupakan salah satu fungsi parpol, dalam hal ini parlok menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi politik masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa dalam penggabungan kepentingan (interest aggregation) serta perumusan kepentingan (interest articulation) untuk memperjuangkan menjadi public policy. Dalam hal aktifitas komunikasi dimaksud yang dilakukan oleh parlok tidak dapat menghindari diri dari pemilihan penggunaan bahasa.

Menurut Graber dalam Cangara (2009), komunikasi politik tidak hanya retorika belaka, melainkan juga mencakup simbol-simbol bahasa. Dengan demikian, komunikasi politik merupakan suatu proses komunikasi yang memiliki konsekuensi terhadap aktivitas politik di mana pemilihan bahasa dapat menentukan keberhasilan komunikasi tersebut.

Dokumen terkait