• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORETIS DAN KAJIAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Teoretis

2.1.2 Konsep dan Variabel Penelitian

2.1.2.1 Pemilihan Bahasa

Pemilihan bahasa adalah kebiasaan berbahasa seorang penutur di dalam peristiwa bahasa tertentu dengan petutur (mitra bicara) pada ranah-ranah pemakaian bahasa.38

Bahasa yang menjadi sasaran pengidentifikasian dalam pemilihan bahasa adalah BA, BA/BI dengan BI yang dominan dan BA/BI dengan BI yang dominan dan BI. Kedua bahasa ini dalam ranah pemakaian bahasa memiliki kecenderungan pendominasian di mana pada domain tertentu BA mendominasi tetapi pada domain yang lain BI mendominasi pemilihan bahasa, baik di Kota Langsa maupun Kabupaten Bireuen. Ranah pemakaian bahasa itu sendiri terbagi dalam beberapa aspek, seperti bahasa dalam komunikasi politik secara internal dan eksternal ataupun bahasa dalam komunikasi politik dengan masyarakat dan pemerintah.

Pemilihan bahasa dalam masyarakat homogen memiliki kecenderungan yang tidak sama dengan pemilihan bahasa dalam masyarakat heterogen. Di dalam penelitian ini, penggunaan bahasa masyarakat homogen merujuk pada pemilihan bahasa masyarakat Kabupaten Bireuen sedangkan bahasa masyarakat heterogen mengacu pada bahasa masyarakat Kota Langsa.

Pemilihan bahasa muncul akibat adanya pemilihan penggunaan bahasa di mana masyarakat memiliki alasan tersendiri untuk menggunakan bahasa tertentu. Di

38

dalam pemilihan bahasa, masyarakat memiliki alasan berdasarkan faktor kebiasaan, rasa bangga, rasa puas, atau berdasarkan faktor merasa akrab memilih suatu bahasa. Oleh karena itu, setiap anggota masyarakat mempunyai latar belakang sosial dan kebahasaan dalam memilih bahasa yang menjadi alat komunikasi. Di dalam penelitian ini, komunikasi terjadi secara politis dalam usaha menumbuhkan respon positif dari masyarakat terhadap parlok pada Pemilu Legislatif 2009 di Pemerintahan Aceh.

Di dalam konteks pemilihan bahasa, Fasold (1984) menegaskan bahwa sosiolinguistik menjadi studi karena adanya pemilihan bahasa. Asumsinya banyak bahasa dalam masyarakat, dimana bahasa-bahasa tersebut dipilih oleh masyarakat sebagai alat komunikasi mereka. Oleh karena itu, deskripsi tentang kemungkinan adanya pemilihan bahasa bergantung pada adanya pemilihan penggunaan variasi bahasa sehingga dapat dilakukan kajian sosiolinguistik dengan menggunakan rumus statistik terhadap pemilihan bahasa tersebut.39

Pemilihan bahasa merupakan faktor penting untuk mengungkapkan pemikiran dan hubungan sosial pemakai bahasa. Spolsky (2008) menjelaskan posisi multilungual dalam pemilihan bahasa sebagai berikut:

Why does multilingualism and language contact entail so much emotional reaction? The answer lies not in the practical communication realm, but in teh symbolic function of language and varieties. One of the most commom ways of identifying a person is by his or her language. Because language is language you speak is an important identity group for you. There are other markers of ethnic identity, such as food or clothing or religion. But language

39

has a special role, in part because it organizes thought and in part because it establishes social relations.40

(Terjemahan penulis: Mengapa multilingualisme dan bahasa memerlukan reaksi emosional begitu banyak? Jawabannya terletak tidak di dunia komunikasi praktis, tetapi dalam fungsi simbolik bahasa dan varietas. Salah satu cara yang paling umum mengidentifikasi seseorang adalah dengan bahasanya. Karena bahasa yang dipilih digunakan adalah identitas penting bagi sesuatu kelompok. Ada penanda identitas etnis lain, seperti makanan atau pakaian atau agama. Tapi bahasa memiliki peran khusus, sebagian karena mengatur pemikiran dan sebagian karena menetapkan hubungan sosial).

Berdasarkan penjelasan di atas, pemilihan bahasa menjadi penting karena bahasa menjadi identitas personal dan komunal. Oleh karena itu, pemilihan bahasa memiliki argumentasi tersendiri atau alasan khusus setiap pemakai bahasa. Alasan pemilihan bahasa dapat berupa alasan kebiasaan dan fasih bertutur sehari-hari tetapi dapat pula karena perasaan puas hati atau rasa bangga memilih menggunakan bahasa tertentu dan juga dengan alasan merasa akrab dengan memimilih menggunakan bahasa komunikasinya. Hal seperti inilah yang menjadi fokus penelitian terhadap bahasa dalam komunikasi politik oleh pengurus parlok di Pemerintahan Aceh.

2.1.2.2 Sikap Bahasa

Sikap bahasa adalah kepercayaan, penilaian, dan pandangan terhadap bahasa, penutur atau masyarakatnya serta kecenderungan untuk berperilaku terhadap bahasa, penutur bahasa atau masyarakat dengan cara-cara tertentu.41

40

Bernard Spolsky, ot.cit., p 57.

Sikap bahasa dapat dinilai secara positif atau negatif dalam bentuk sangat setuju, setuju, kurang setuju

41

dan tidak setuju. Akan tetapi, dalam kenyatannya terdapat kecenderungan beberapa orang berpegang pada sikap netral. Menurut Fasold (1984), untuk mengukur sikap seseorang terhadap bahasa dan atau penutur, ada dua metode yang diberlakukan, yaitu metode langsung dan metode tidak langsung.

1. Metode langsung

Metode langsung adalah metode yang digunakan dalam mengukur sikap bahasa dengan mempertanyakan pertanyaan dalam sebuah wawancara atau dengan membagikan kuesioner untuk diisi oleh beberapa responden. Dalam metode ini pewawancara akan mengajukan pertanyaan di mana responnya akan secara langsung menunjukkan sikap bahasa orang yang diwawancarai. Pertanyaan yang diajukan dapat berupa struktur interogatif dengan kuesioner, responden menilai pernyataan itu untuk memperlihatkan kesetujuan atau ketidaksetujuan terhadap hal yang dipaparkan.

2. Metode tidak langsung

Metode tidak langsung adalah metode untuk mengukur sikap bahasa seseorang., metode ini diberikan dalam suatu cara dimana peserta tidak menyadari sikap mereka yang akan diukur. Sebagian besar tipe populer disebut matched guise. Peneliti yang menggunakan metode ini tidak melakukan eksperimen untuk membuat responde mereka menilai kepribadian penutur didasarkan pada ucapan yang mereka dengar.42

42

Made Iwan Indrawan Jendra, Sociolinguistics: The Study of Societies’ Languages (Yogyakarta: Graha Ilmu), pp 106-107.

Lebih lanjut, Fasold (1984) mengatakan beberapa faktor dapat mempengaruhi sikap bahasa. Di beberapa penelitian, prestise atau kemampuan bahasa, latar belakang historis berkaitan dengan bahasa dan pemilihan penggunanya, perubahan sosial ditemukan dalam masyarakat dan pengalaman dalam belajar bahasa adalah faktor yang umum mempengaruhi sikap terhadap pemilihan penggunaan bahasa.43

Orang dapat mengungkapkan penilaiannya terhadap pemilihan penggunaan bahasa tertentu dalam sikap positif atau sikap negatif; sikap bahasa positif itu diikuti dengan aksi positif. Sementara itu, sikap bahasa negatif diikuti oleh sikap negatif. Dalam situasi kontak bahasa, bilingual dan monolingual biasanya memiliki sikap positif terhadap bahasa yang dianggap lebih berprestise dan berhubungan secara normal dengan kekuatan politik yang lebih kuat atau menjanjikan secara ekonomis. Sikap terhadap bahasa seringkali dihadapkan dengan sikap terhadap pengguna suatu bahasa. Bahkan, sikap terhadap pengguna bahasa dapat dikaitkan dengan sentimen politik atau sosial. Oleh karena itu, Jendra (2010) berkesimpulan bahwa teori komunikasi adalah teori yang menjelaskan sikap bahasa positif dan negatif yang ditemukan di antara komunikasi dalam berkomunikasi. Teori ini digunakan untuk menjelaskan secara khusus sikap yang diperlihatkan oleh penutur perseorangan terhadap pendengar dalam sebuah percakapan.44

Hasil pengukuran terhadap sikap bahasa, baik dengan metode langsung maupun metode tidak langsung, menghasilkan sikap positif dan sikap negatif sesuai

43

Ibid, p 107.

44

dengan indikator sikap bahasanya. Menurut Garvin dan Mathiot (1986) dalam Sumarsono (2004), sikap bahasa mengandung tiga ciri pokok, yaitu (1) kesetiaan bahasa (loyalty language) yang mendorong masyarakat mempertahankan bahasanya; bila perlu mencegah pengaruh bahasa asing, (2) kebanggaan bahasa (language pride) yang mendorong masyarakat mengembangkan dan menggunakan bahasanya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat; dan (3) kesadaran norma bahasa

(awareness of the norm) yang mendorong masyarakat menggunakan bahasanya

dengan cermat dan santun.45

Sikap bahasa masyarakat yang positif memiliki kecenderungan kuat untuk mempertahankan bahasanya. Sebaliknya, sikap bahasa yang negatif cenderung mengabaikan tiga ciri pokok sikap bahasa di atas dan tidak peduli terhadap pemertahanan bahasanya. Di dalam pemertahanan bahasa ini, Siregar dkk. (1987) membedakan pemertahanan bahasa pasif dan aktif. Pemertahanan bahasa pasif merupakan ciri masyarakat bahasa di dalamnya terdapat nilai dan sikap yang tumpang tindih. Anggota masyarakat tidak menggunakan bahasa etniknya secara teratur sesuai dengan fungsi bahasa etnik sebagai lambang identitas keetnikannya. Sebaliknya, pemertahanan bahasa yang aktif memiliki hubungan yang harmonis antara satu bahasa dengan bahasa yang lain dalam konteks sosial pemakaian bahasa tersebut. Anggota masyarakat dapat membedakan bahasa untuk melambangkan dua atau bebetapa jenis nilai, sikap, dan perilaku bahasa yang tidak tumpang tindih.46

45

Piana Pratana Sumarsono, Sosiolinguistik (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), p 364.

Dengan

46

demikian, sikap positif bahasa dapat melahirkan pemertahanan bahasa yang aktif, sehingga memberikan identitas etnik dalam konteks linguistik.

2.1.2.3Kohesi Sosial

Secara linguistik, Halliday dan Hasan (1976) mengatakan ada sesuatu yang menciptakan suatu wacana (the property of being a text), yaitu keadaan unsur-unsur yang saling merujuk dan berkaitan secara semantik yang disebut kohesi. Kohesi diciptakan secara formal oleh alat bahasa yang disebut pemarkah kohesi (cohesive

marker), misalnya kata ganti, kata tunjuk, kata sambung, dan kata yang diulang, baik

secara gramatikal maupun leksikal. Dengan demikian, sebuah wacana menjadi padu karena setiap bagian pembentuk wacana mengikat bagian yang lain secara wajar.47

Secara lebih luas, kohesi sosial (social cohesion) dapat didefinisikan sebagai perekatan yang dibangun oleh suatu komunitas berdasarkan ikatan kefamilian, klan dan geneologi dalam bingkai keetnikan. Kohesi sosial dapat terjadi secara intramasyarakat yang secara historis menempati satu wilayah dan menjaga tata adat dan tata sosial yang sama; dan kohesi sosial antarmasyarakat yang terbentuk melalui pertemuan sosial lintas masyarakat karena adanya saling butuh hingga saling membantu. Kohesi sosial intramasyarakat terbentuk melalui mekanisme kesadaran

47

Untung Yuwono. “Wacana,” Pesona bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik, dalam Kushartanti, Untung Yuwono, dan Multamia RMT Lauder, peny. (Jakarta: Gramedia, 2006), p 96.

kekerabatan sedangkan kohesi sosial antarmasyarakat didorong mekanisme pragmatis-ekonomis.48

Di dalam konteks masyarakat Aceh, kohesi sosial yang muncul berkaitan erat dengan penyelesaian konflik pasca-MoU Helsinki merujuk pada pemahaman kohesi secara lebih luas. Menurut Widjajanto (2004) dalam proses penyelesaian suatu konflik berdimensi kekerasan terdapat empat tahap penyelesaian konflik. Tahap

pertama, upaya militer mengendalikan dan menghentikan siklus kekerasan. Di dalam

hal ini yang paling penting adalah bagaimana aksi kekerasan dapat segera direduksi pada level paling minimal sehingga mampu meminimalisasi korban dan menjadi prasyarat proses penyelesaian yang lebih mengedepankan pendekatan politik. Tahap

kedua, penyelesaian politik (political settlement) dalam proses negosiasi antarpihak

yang bertikai. Tahap ketiga, berusaha menemukan solusi konflik secara komprehensif dengan menerapkan problem solving approach, yang terbaik bagi kedua pihak diaplikasikan secara empirik. Tahap keempat adalah peace-building yang meliputi tahap transisi, rekonsiliasi, dan konsolidasi. Tahap ini merupakan tahapan terberat dan memakan waktu lama karena berorientasi struktural dan kultural. Hal terpenting dalam tahap ini adalah pulihnya kepercayaan dan kohesi sosial masyarakat sehingga integrasi masyarakat secara harmonis dapat dicapai dan tidak menyisakan potensi

48

Kohesi Sosial, Perekat yang Selalu harus Dikelola. Makalah disampaikan pada kegiatan Diskusi

Pengayaan Hasil-hasil Internalisasi 7 Tematik Asesmen Pokja PDA Maluku Utara, yang diselenggarakan oleh UNDP di Kantor UNDP, 5 April 2005, p 1.

kerawanan di masa mendatang.49 Untuk itu, menurut Amien (2005), “Kohesi sosial diekspresikan dalam bentuk nilai-nilai bersama (shared values), partisipasi aktif pada kegiatan sosial budaya, saling percaya dan kelembagaan sosial berjalan baik.”50

Kohesi sosial dalam konteks sosial masyarakat berhubungan erat dengan karakter masyarakat. Menurut Robert Melton dalam DeFleur dan Ball-Rokeach (1989), karakter masyarakat secara struktural fungsional dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Masyarakat pada dasarnya merupakan suatu sistem di mana bagian-bagian yang ada di dalamnya saling berhubungan satu sama lainnya; sebagai suatu organisasi yang saling berkaitan, berkelanjutan, dan dengan aktivitas-aktivitas yang terpola. 2. Secara alamiah suatu masyarakat cenderung untuk menciptakan situasi

keseimbangan dinamis. Jika terjadi situasi yang tidak harmonis maka paksaan akan digunakan untuk menciptakan kembali solidaritas.

3. Seluruh aktivitas masyarakat yang terpola akan merupakan bagian dari usaha untuk memelihara stabilitas sistem yang ada.

4. Pada umumnya aktivitas-aktivitas yang berkelanjutan dan terpola merupakan faktor yang sangat diperlukan bagi eksistensi suatu sistem untuk tetap survive.51

Di dalam konflik, faktor bahasa memegang peranan penting. Penggunaan bahasa yang sama menjadi faktor penentu dalam penyelesaian konflik. Untuk

49

Syamsul Hadi, dkk. Disentegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal, dan Dinamika

Internasional (Jakarta: CIRES dan Yayasan Obor Indonesia, 2007), pp 177-178.

50

A. Mappadjantji Amien. Kemandirian Lokal: Konsepsi Pembangunan, Organisasi, dan Pendidikan

dari Perspektif Sains Baru (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2005), p 263.

51

M.L. DeFleur dan S.J. Ball-Rokeach, Theories of Mass Communication. Fifth Edition, (New York: Longman Inc., 1989), p 32.

memilih bahasa yang berterima oleh semua komponen masyarakat harus mempertimbangkan kohesi sosial. Oleh karena itu, Spolsky (2008) memberi simpulan adanya konflik pemilihan dan penggunaan bahasa dalam sikap bahasa masyarakat sebagaimana penjelasannya berikut ini:

Multilingual society inevitably face conflict over language choice. Some aspects of concern for language choice can be explained pracyically, politically, or economically. The speakers of a language are in a stronger position when their language is used for national or international communication, or for government, or for trade and commerce, or for education.But the role of language in establishing social identity adds an additional, nonmaterial dimension to the conflict.52

Pendapat Spolsky di atas memberi penjelasan bahwa masyarakat multilingual pasti menghadapi konflik atas pemilihan bahasa. Beberapa aspek perhatian untuk pilihan bahasa antara lain aspek pemilihan bahasa, politik, dan ekonomi. Para penutur bahasa berada dalam posisi yang lebih kuat ketika bahasa mereka digunakan untuk komunikasi nasional atau internasional, atau untuk pemerintah, perdagangan, dan pendidikan. Akan tetapi, peran bahasa dalam membangun identitas sosial menambah dimensi, yakni dimensi nonmateri untuk konflik. Tambahan dimensi nonmateri ini berindikasi kuat posisi penting bahasa dalam membangun kohesi sosial.

2.1.3 Teori Komunikasi

Setiap manusia sangat ingin berhubungan dengan manusia lainnya, dan hubungan itu dibangun dengan komunikasi. Dengan berkomunikasi setiap orang atau setiap manusia dapat menyampaikan atau menyatakan tentang sesuatu apa yang ada

52

dalam pikiran serta perasaannya kepada orang lain yang diinginkannya. Hal ini dilakukan oleh manusia karena adanya suatu keinginan yang merupakan kebutuhan untuk hidup dengan lingkungannya. Secara sederhana dan mudah dimengerti, komunikasi merupakan proses penyampaian pesan antarpribadi atau antarindividu.

Para ahli mendefinisikan komunikasi menurut sudut pandang masing-masing. Carl I. Hovland dalam Cangara (2009) mengatakan bahwa komunikasi adalah merupakan suatu upaya yang sistimatis untuk merumuskan secara tegas tentang asas- asas penyampaian imformasi serta pembentukan pendapat dan pembentukan sikap. Definisi tersebut menunjukkan bahwa komunikasi bukan saja merupakan proses penyampaian informasi, akan tetapi komunikasi juga merupakan suatu proses pembentukan pendapat umum atau pendapat masyarakat dan juga berfungsi untuk mengubah prilaku sesuatu kelompok masyarakat. Dalam menyampaikan informasi kepada umum atau khalayak ramai diperlukan komunikasi yang komunikatif untuk tujuan mengubah sikap, pendapat dan perilaku umum yang menerima suatu informasi.53

Definisi komunikasi yang lain dicetuskan oleh kelompok sarjana komunikasi yang mengkhususkan diri dalam komunikasi antarmanusia (human communication). Mereka mengatakan bahwa, “Komunikasi adalah suatu transaksi proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan cara membangun

53

hubungan antarsesama manusia, pertukaran informasi untuk menguatkan sikap dan tingkah laku dan berusaha mengubah sikap dan tingkah laku.”54

Di samping pendapat di atas, Lasswel (2009) mengatakan bahwa cara yang akurat untuk menjelaskan komunikasi adalah dengan cara menjawab pertanyaan “Who says what in which channel to whom with what effect?” sehingga paradigma Lasswell meliputi lima unsur komunikasi yaitu komunikator (communicator), pesan (message), media (channel), komunikan (receiver), dan efek (effect).55 Dengan demikian, di dalam komunikasi harus ada pihak yang terlibat sebagaimana terdapat dalam definisi komunikasi yang diungkapkan oleh Everett M. Rogers dan Lawrence Kincaid (1981), bahwa komunikasi adalah suatu proses di mana dua orang atau lebih melakukan penukaran informasi dengan satu sama lainnya yang pada gilirannya akan tiba saling pengertian yang mendalam.56

Komunikasi pragmatis dalam pengertiannya mengandung tujuan tertentu, ada komunikasi yang dikakukan secara lisan, tatap muka, atau komunikasi melalui media massa seperti surat kabar, radio, televisi dan film, maupun komunikasi bukan media massa, seperti komunikasi melalui surat, telepon, papan pengumuman, poster, spanduk, dan bentuk lainnya. Dengan demikian, definisi komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahukan

54

Hafied Cangara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi (Jakarta: Rajawali Press, 2009), p 19.

55

Ibid.

56

tentang sesuatu atau untuk mengubah sikap, pendapat, dan perilaku, baik secara langsung ataupun tidak langsung.

2.1.4 Komunikasi Lisan

Komunikasi lisan (word-of-mouth communication) merupakan suatu aktivitas penukaran ide atau pikiran. Di dalam komunikasi lisan, bahasa yang dipilih digunakan adalah bahasa lisan atau bahasa percakapan. Bentuk lazim dari komunikasi lisan adalah percakapan langsung antara satu orang dengan satu orang lainnya atau percakapan langsung antara satu komunikator dengan beberapa kumunikan. Untuk tercapainya nilai yang efektif antara komunikator dengan komunikan maka ada beberapa hal yang diperlukan oleh komunikator, yaitu kepercayaan dari pihak komunikan, daya tarik, dan kekuatan.

Dalam komunikasi lisan, kemampuan menyampaikan pesan yang merupakan ide, pikiran serta gagasan serta kemampuan mendengarkan pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan akan memberikan nilai yang efektif. Artinya, pesan yang disampaikan dapat diterima dan dipahami serta dimengerti oleh komunikan, baik itu komunikan perorangan ataupun komunikan kelompok atau massa. Dalam tahap yang lebih lanjut, kemampuan dalam menyampaikan pesan juga merupakan cakupan kemampuan menyakinkan komunikan oleh komunikator.

Muhammad (2007) mengatakan bahwa dalam komunikasi lisan dan tulisan dan komunikasi yang menggunakan perangkat keras atau yang menggunakan peralatan elektronik akan muncul beberapa kemungkinan tipe pesan dalam organisasi

sebagai berikut: (i) dyadic; (ii) kelompok; dan, (3) publik. Dalam hal dyadic

exchange ada keperluan (need) oleh pihak komunikator adalah untuk memperoleh

rasa prestise, untuk mengilangkan suatu keraguan dari pihak komunikan, untuk meningkatkan keterlibatan dengan orang-orang yang sama ide atau prinsip, dan untuk mendapatkan manfaat yang nyata. Kemudian, dalam tujuan/hubungan dengan jaringan formal secara internal dan eksternal, dan jaringan informal secara internal dan eksternal dari segi tugas, pemeliharaan, kemanusiaan, dan pembaruan baik secara verbal atau nonverbal. Hal ini menunjukkan bahwa satu pesan dalam organisasi dapat dilihat dari bermacam-macam penggolongan, yaitu suatu pesan dalam jaringan komunikasi formal dapat bersifat internal dan eksternal, baik itu komunikasi dyadic, kelompok, dan publik.57

2.1.5 Komunikasi Politik

Komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan-pesan politik. dalam fungsi komunikasi politik yang terdapat secara inherent di dalam setiap fungsi sistem politik. Perloff dalam Budiharjo (1982) mengatakan bahwa, “Process by which

a nation’s leadership, media, and citizency exchange and confer meaning upon messages that relate to the conduct of public policy.”58

57

Arni Muhammad, Komunikasi Organisasi (Jakarta: Bumi Aksara, 2007).

Kegiatan komunikasi yang dapat dianggap sebagai komunikasi politik adalah berdasarkan konsekuensinya, harus aktual dan memiliki nilai yang potensial yang mengatur perbuatan manusia dalam

58

kondisi konflik. Dengan demikian, yang memiliki cakupan komunikator yaitu politisi, profesional, aktivis dengan memiliki pesan, persuasi, media khalayak dan akibat.

Komunikasi politik merupakan salah satu fungsi partai politik, yaitu menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi politik masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa dalam penggabungan kepentingan (interest aggregation) dan perumusan kepentingan (interest articulation) untuk memperjuangkan menjadi public

policy, baik secara internal maupun eksternal.59

Meskipun komunikasi politik tidak dapat menghindarkan diri dari membicarakan kekuasaan tetapi komunikasi politik memiliki hubungan yang erat dengan bahasa. Menurut Graber dalam Cangara (2009), komunikasi politik tidak hanya retorika melainkan juga mencakup simbol-simbol bahasa, seperti bahasa tubuh serta tindakan-tindakan politik seperti boikot, protes, dan unjuk rasa.

Di dalam hal ini, politisi adalah orang yang bercita-cita untuk atau ingin memegang jabatan pemerintahan, seperti aktivis parpol, anggota parlemen, atau menteri.

60

Bahkan, Cangara (2009) riset komunikasi politik tidak terbatas pada perilaku voting pemilih saja, melainkan sudah mencakup peta politik baik berdasarkan hasil pemilu sebelumnya maupun kecenderungan perilaku politik pemilih dengan melihat berbagai aspek, seperti bahasa politik dan sosio-demografinya.61

59

Ibid.

Dengan demikian, komunikasi politik merupakan suatu proses komunikasi yang memiliki implikasi atau

60

Hafied Cangara, op.cit., p 36.

61

konsekuensi terhadap aktivitas politik di mana penggunaan dan pemilihan bahasa menentukan keberhasilan komunikasi tersebut.

Dokumen terkait