• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORETIS DAN KAJIAN PUSTAKA

2.2 Hasil Penelitian Terdahulu

Mahsun (2005) dalam bukunya yang berjudul Metode Penelitian Bahasa menyatakan bahwa bidang linguistik yang berhubungan dengan pemakaian bahasa merupakan salah satu bagian dari bidang antardisiplin yang disebut sosiolinguistik.66 Sosiolinguistik didefinisikan sebagai subbidang interdisipliner bahasa dengan sosiologi yang mengkaji fenomena kebahasaan dalam kaitannya dengan faktor sosial, termasuk kelas sosial, jenis kelamin, usia, dan etnisitas. Di dalam waktu yang bersamaan, mengkaji fenomena sosial dengan menggunakan penjelasan atas dasar evidensi kebahasaan.67

Pemakaian bahasa dapat dimaknai sebagai penggunaan bahasa menurut dimensi ragam atau verietas, gaya resmi atau santai juga mencakup dimensi ‘siapa yang menggunakan bahasa itu’. Ikhwal tentang siapa yang menggunakan bahasa itu tentulah masyarakat tuturnya yang dalam hal ini adalah masyarakat itu sendiri yang tidak homogen, ia selalu hadir dalam bentuk heterogen. Artinya, dalam masyarakat tutur itu akan terpolarisasi kelompok-kelompok sosial yang masing-masing memiliki kesamaan fitur. Maka, sosiolinguistik memandang bahwa suatu bahasa tidak pernah homogen, akan tetapi bahasa selalu terdiri dari ragam-ragam yang terbentuk menurut kelompok-kelompok sosial yang ada. Dengan bertitik tolak pada pengertian

Batasan ini tentu memiliki argumentasi yang sangat penting, karena bagaimanapun bahasa hadir dalam kehidupan manusia yang bersosialisasi, bahasa tidak hadir dalam situasi manusia itu dalam kesendirian.

66

Mahsun, op.cit., p 202.

67

pemilihan bahasa seperti yang disebutkan di atas, maka Mahsun membagi kajian sosiolinguistik ke dalam 23 (dua puluh tiga) topik, satu di antara ke-23 topik tersebut adalah topik ‘Pemilihan Penggunaan Bahasa dan Profesi (politisi, guru, akademisi, ulama, wartawan dan sebagainya).68

Penelitian tentang pemilihan bahasa atau juga disebutkan dengan penelitian pemakaian atau penggunaan bahasa telah banyak dilakukan oleh peneliti bidang sosiolinguistik sebelumnya. Umpamanya, penelitian yang dilakukan oleh Koentjaraningrat (1967) dan Clifford Geertz (1976) tentang penggunaan bahasa dalam masyarakat Jawa dengan temuan adanya perbedaan tingkat variasi bahasa di kalangan wong cilik dengan saudagar dan masyarakat para priayi.

Tentunya bagi politisi dalam pemilihan bahasa dan profesi dalam kajian ini adalah berlaku bagi orang-orang yang berada dalam partai politik, dalam hal ini adalah mereka yang secara resmi tercatat atau tercantum namanya sebagai pengurus parlok di Kota Langsa dan Kabupaten Bieruen, Pemerintahan Aceh.

69

Penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini antara lain penelitian C.R.J. Roos (1965) tentang pemilihan bahasa masyarakat kelas atas (upperclass) dan kelas bawah (non-upper class) dalam masyarakat Inggeris. Penelitian William Labov (1966) tentang penggunaan bunyi <th> antara antara penduduk New York, Amerika Serikat dari kelas sosial ekonomi. Penelitian Trudgill (1984) tentang Penggunaan bahasa Kanarese, yakni keluarga Dravida dari India Selatan atas kaum Brahmin dan

68

Mahsun, op.cit. p 232.

69

kaum bukan Brahmin di dua kota, yakni kota Bangalore dan kota Dharwar. Demikian juga penelitian Trudgill (1984) tentang pemilihan bahasa Inggeris standard dan nonstandar di Kota Cornwall dan Kota Aberdeen. Kemudian, penelitian Fishman (1972) terhadap penduduk Kota New York tentang perbedaan ciri-ciri fonologis yang terjadi dengan cara-cara tertentu dan peristiwa-peristiwa tertentu.

Tanner (1976) dalam penelitiannya tentang pemilihan bahasa oleh sekelompok kecil masyarakat Indonesia yang melanjutkan studi di Amerika Serikat sejumlah 26 orang. Tanner berkesimpulan bahwa masyarakat Indonesia menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi antarsuku, baik dalam situasi formal maupun informal.70

Teo Kok Seong (1986) dalam kajiannya tentang ‘penghayatan bahasa Malaysia di kalangan masyarakat Cina di Kampong Baru, Sungai Chua Kajang. Dalam kajian tersebut, Teo berkesimpulan bahwa ada tiga faktor penting yang dapat Farid M. Onn, dkk. (1987), melakukan penelitian di Kampung Asun Kunluang di bahagian Utara Alor Setar Kubang Pasu Kedah tentang ‘Penukaran kod dan refleksi sosial dalam masyarakat Melayu” didapati bahwa pola pemilihan bahasa mencerminkan keadaan sosial. Farid berkesimpulan bahwa kriteria umur, pendidikan dan situasi mempengaruhi pemilihan bahasa dalam berinteraksi. Husein Widjaja Kusumah (1986) mengkaji gejala-gejala tukar kod dalam masyarakat dwibahasa yaitu masyarakat bahasa Sunda dan bahasa Indonesia di Bandung. Widjaya Kusuma berkesimpulan bahwa sering terjadi pemilihan bahasa dalam tukar kod dalam berkomunikasi sesama masyarakat Kota Bandung.

70

mempengaruhi penghayatan bahasa Malaysia di kalangan masyarakat Cina yaitu; (1) rasa perkauman (2) faktor demografi (3) faktor nonlinguistik yaitu faktor politik kerajaan tentang bahasa negara.

Marasigan (1983) tentang kajian fenomena pemilihan bahasa dalam percakapan harian dalam masyarakat dwibahasa di Kota Manila Pilipina, Marasigan berkesimpulan bahwa masyarakat lebih senang dan memilih campur kode dan tukar kode dalam komunikasi mereka. Wanpen Thatawakorn (1981) mengkaji tentang fenomena pemilihan bahasa oleh wanita keturunan Yao di Thailand, dari hasil kajiannya Thatawakorn berkesimpulan bahwa wanita keturunan Yao menggunakan bahasa Yao dalam pembicaraan topik yang ringan. Bahasa Yao digunakan untuk membicarakan kebudayaan Yao dan bahasa Thai digunakan untuk membicarakan tentang budaya Thai, dan masalah intelektual.

Hanafiah (1997) mengadakan penelitian tentang pemilihan bahasa oleh masyarakat Aceh di Kota Medan dalam komunikasi sesama suku. Di dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa masyarakat Aceh yang berumur di bawah 20 tahun kurang berminat menggunakan bahasa Aceh. Mereka lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia dan sangat sedikit masyarakat Aceh di Medan yang menggunakan bahasa Aceh berbanding bahasa Indonesia. Sebagian besar masyarakat Aceh menggunakan bahasa campur (campur kode BA/BI) dalam komunikasi informal sedangkan dalam komunikasi formal rata-rata menggunakan bahasa Indonesia.

Siregar (1996) mengkaji pemilihan bahasa atau language choice tentang masyarakat Indonesia di Australia. Siregar berkesimpulan bahwa pemilihan bahasa

merupakan tipikal perilaku berbahasa dari masyarakat yang bilingual atau multilingual. Bagi masyarakat yang menggunakan lebih dari satu bahasa, bahasa ibu (B-1) dan bahasa lain di luar bahasa ibu (B-2) dapat memungkinkan terjadinya variasi atau keragaman bahasa dari aspek penggunaannya dan fenomena masyarakat yang bilingual melahirkan kemungkinan adanya interferensi bahasa.

Dari hasil penelitian para ahli bahasa di atas, ditemukan berbagai hasil penelitian berkaitan dengan bahasa dan konteks sosialnya. Akan tetapi, tidak ditemukan hasil penelitian terhadap pemilihan bahasa dalam komunikasi politik oleh partai politik, terutama dalam sistem Pemerintahan Aceh di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan demikian, penelitian terhadap pemilihan bahasa Aceh serta bahasa Indonesia dalam komunikasi politik parlok di Pemerintahan Aceh merupakan kajian awal pascakonflik dan kekerasan yang melanda masyarakat Aceh.

Dokumen terkait