• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Utami dan Sumaryono

(2008) terhadap remaja di Yogyakarta, ditemukan bahwa dalam proses

pembelian yang bersifat rasional, konsumen melakukan pertimbangan yang

cermat dan mengevaluasi sifat produk secara fungsional. Namun, tak

selamanya konsumen melakukan pembelian secara rasional. Terkadang muncul

pembelian yang lebih didasari oleh faktor emosi. Konsumen sering kali

membeli suatu produk karena dorongan emosional yang sangat kuat dan

tiba-tiba. Hal ini digolongkan dalam pembelian impulsif (impulsive buying) (Utami

& Sumaryono, 2008).

Pada bulan Juni 2013, Nielsen melaporkan hasil penelitian bahwa

jumlah konsumen di Indonesia dengan perilaku pembelian impulsif semakin

meningkat. Hasil survei tersebut diperoleh melalui wawancara langsung

dengan 1804 responden di 5 kota besar Indonesia. Terdapat beberapa indikasi

yang menunjukkan bahwa tingkat pembelian impulsif di Indonesia semakin

meningkat, diantaranya konsumen seringkali tidak membuat perencanaan

barang yang akan dibelanjakan, membeli barang tambahan yang tidak

direncanakan, dan selalu membeli barang tambahan meskipun telah

merencanakan barang-barang yang akan dibeli (AC Nielsen dalam

Pengertian dari pembelian impulsif adalah pembelian yang tidak

rasional dan diasosiasikan dengan pembelian yang cepat dan tidak

direncanakan, diikuti oleh konflik pikiran, dan dorongan emosional

(Verplanken & Herabadi, 2001). Pembelian impulsif dapat terjadi apabila

seseorang mengalami dorongan secara tiba-tiba, begitu kuat atau bersifat

powerful, terjadi terus menurus yang mengakibatkan timbulnya keinginan

untuk melakukan pembelian, dan sulit untuk menolak dorongan yang muncul

tersebut (Rook, 1987; Solomon, 1994; Arnould, Price, & Zinkhan, 2002).

Rook (1987) menyatakan bahwa pembelian impulsif memiliki

konsekuensi negatif terhadap konsumen yang melakukannya.

Konsekuensi-konsekuensi yang dapat diterimanya adalah mendapatkan kesulitan keuangan

setelah melakukan pembelian impulsif, mengalami kekecewaan terhadap

barang yang sudah dibeli, dan mendapat ketidaksetujuan mengenai barang

yang dibeli dari orang-orang di lingkungan sekitar seperti teman ataupun orang

tua. Hal ini menyebabkan terganggunya hubungan atau relasi harmonis antara

konsumen itu sendiri dengan teman, keluarga, dan juga orang tua sebagai

bentuk konsekuensi dari perilaku pembelian impulsif yang mereka lakukan

tersebut.

Pembelian impulsif dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni faktor

dalam diri (internal) dan faktor diluar diri (eksternal). Faktor dalam diri

(internal) terdiri dari kepribadian seseorang (Karbasivar & Yarahmadi, 2011;

Shahjehan, Qureshi, Zeb, & Saifullah, 2012; Verplanken & Herabadi, 2001;

gender (Utami & Sumaryono, 2008; Gasiorowska, 2011; Lin & Chuang, 2005),

harga diri (Djudiyah, 2002; Hadjali, Salimi, & Ardestani, 2012; Marretha,

2013), kontrol diri (Utami & Sumaryono, 2008; Baumeister, 2002), dan mood

(Verplanken & Herabadi, 2001; Rook, 1987; Herabadi, Verplanken, &

Knippenberg, 2009).

Faktor di luar diri (eksternal) yang dapat mempengaruhi pembelian

impulsif terdiri dari konformitas (Sihotang, 2009; Astasari & Sahrah, 2009;

Marretha, 2013), lingkungan toko (Verplanken & Herabadi, 2001; Virvilaite,

Saladiene, & Zvinklyte, 2011), harga, pelayanan, dan perkembangan teknologi

termasuk adanya iklan pada media massa cetak dan elektronik (Youn & Faber;

Harmanciouglu; Schiffman; Michael, William, & Pandit, dalam

Muruganantham & Bhakat, 2003).

Pembelian impulsif dapat terjadi pada masa dan rentang usia berapa

pun. Rawling, Boldero, dan Wiseman (dalam Ghani, Imran, & Jan, 2011)

menyatakan bahwa orang-orang muda cenderung lebih impulsif dibandingkan

mereka yang lebih tua. Penelitian yang dilakukan Lin dan Lin (2005) yang

menggunakan subjek remaja dengan rentang usia 15 hingga 19 tahun

menunjukkan hasil bahwa remaja dengan usia 19, 15, dan 17 tahun memiliki

skor tinggi dalam pembelian impulsif.

Hasil penelitian Rawling, Boldero, dan Wiseman (dalam Ghani, Imran,

& Jan, 2011), serta Lin dan Lin (2005) tersebut dapat diperkuat dengan sebuah

artikel yang dipublikasikan oleh Jawa Pos bahwa 20,9% dari 1.074 responden

mengaku pernah mempergunakan uang SPP mereka untuk membeli barang

yang mereka incar ataupun hanya semata-mata untuk bersenang-senang saja

(Jawa Pos dalam Sihotang, 2009). Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan

dari Nurasyiah dan Budiwati (dalam Setyawati, 2010) yang menyatakan bahwa

remaja memiliki tingkat konsumsi untuk kebutuhan yang bersifat kesenangan

lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan pengeluaran remaja untuk

kebutuhan belajar. Berdasarkan fenomena ini, dapat dikatakan bahwa

pembelian impulsif tidak hanya terjadi pada konsumen yang telah memiliki

penghasilan saja, namun para remaja yang berstatus sebagai pelajar dan belum

berpenghasilanpun juga dapat melakukan pembelian secara impulsif. Oleh

karena itu, pihak marketing sering kali menjadikan remaja sebagai bagian

terpenting dalam target pemasaran mereka (Lin & Chuang, 2005; Lin & Chen,

2012; Johnstone dalam Utami & Sumaryono, 2008).

Menurut Santrock (2007), remaja merupakan masa peralihan dari masa

anak-anak menuju masa dewasa yang dimulai dari usia 10 sampai 13 tahun,

dan berakhir pada usia 18 sampai 22 tahun. Pada masa ini, remaja mengalami

perkembangan yang cukup pesat baik secara fisik, psikologis, dan juga

sosioemosional (Santrock, 2007). Pada aspek fisik, terjadi

perubahan-perubahan dalam diri remaja diantaranya terjadi perubahan-perubahan hormon seksual

yang menimbulkan rasa tidak nyaman dan seringkali mengakibatkan mereka

terlalu fokus pada kondisi fisiknya saja. Remaja juga memiliki minat yang

tinggi akan penampilan termasuk daya tarik dan bentuk tubuh yang sesuai

pada remaja ini dilihat sebagai suatu hal yang penting yang mengakibatkan

ketika keadaan fisik (citra diri) tidak sesuai dengan yang diinginkan, maka

akan menimbulkan perasaan tidak puas, kurang percaya diri, dan rendahnya

harga diri sehingga mereka akan melakukan apa saja untuk terlihat sama

dengan identitas dan citra diri idealnya (Santrock, 2003; Papalia, Old, &

Feldmen, 2008; Monks, Knoers, & Haditono, 2002).

Pada masa remaja, mereka seringkali mengalami emosi yang kurang

stabil, dimana remaja cenderung berpikir secara abstrak dan tergesa-gesa

(Santrock, 2003). Pada masa remaja, peran peer group atau teman sebaya

sangatlah kuat. Hal ini mengakibatkan remaja cenderung melakukan pembelian

secara impulsif untuk mendapatkan penerimaan dari lingkungan sosialnya

(Rook & Fisher, 1995). Ratner dan Khan (dalam Setiawati, 2004) dalam

penelitiannya menemukan bahwa konsumen remaja membeli suatu produk

bukan berdasarkan kebutuhan mereka, akan tetapi karena adanya pendapat dari

orang lain yang dirasa penting bagi mereka.

Terkait dengan harapan untuk mendapat penerimaan dari lingkungan

sosialnya, remaja seringkali melakukan imitasi dan mengadopsi penampilan

dan gaya hidup selebritis yang dikaguminya. Remaja seringkali menjadikan

selebritis yang dikaguminya sebagai pedoman dalam gaya hidup, penampilan,

dan bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Selebritis dinilai memiliki

citra diri yang kuat, baik, dan positif, serta memiliki daya pikat fisik tersendiri

yang dapat mempengaruhi remaja sehingga ia dapat terlihat menarik, sesuai

menimbulkan rasa puas, senang, percaya diri, dan meningkatnya harga diri

mereka. Oleh karena itu, ketika melihat iklan yang ditampilkan oleh selebritis

yang dikaguminya, maka remaja akan cenderung membeli produk-produk yang

ditawarkannya agar rasa senang, puas, dan percaya diri dalam dirinya dapat

terpenuhi (Hergenhahn & Olson, 2009; Goldsmith, Paul, & Madden, 2000;

Kamins, 1989; Rex, 1997). Hal ini diperkuat oleh pernyataan Hausman (dalam

Virvilaite, Saladiene, & Zvinklyte, 2011) bahwa motif dasar dari perilaku

hedonis pada pembelian impulsif adalah pemuasan perasaan kesenangan,

kepuasan, percaya diri, sesuatu yang baru, kejutan, dan kedekatan emosional

dengan lingkungan sosial.

Beberapa peneliti menyatakan bahwa remaja yang memiliki harga diri

yang rendah karena citra diri yang negatif dan kebiasaan remaja untuk

mengikuti keinginan memperindah penampilan, memiliki daya tarik, dan

bentuk tubuh yang sesuai dengan jenis kelamin, serta perkembangan fashion,

memiliki relasi yang positif terhadap kecenderungan pembelian impulsif (Han

dalam Virvilaite, Saladiene, & Zvinklyte, 2011; Djudiyah, 2002; Hadjali,

Salimi, & Ardestani, 2012; Marretha, 2013). Hal ini mengakibatkan remaja

akan melakukan apa saja termasuk pembelian impulsif terhadap produk-produk

yang ditawarkan oleh selebritis yang dikaguminya untuk memperindah

penampilan, memiliki daya tarik, meningkatkan harga diri, dan citra diri yang

positif guna memenuhi hasrat pemenuhan rasa senang, puas, dan percaya

Para konsumen, termasuk konsumen remaja seringkali membeli

barang-barang yang bukan berdasarkan kebutuhan mereka, barang-barang-barang-barang tersebut

cenderung dibeli hanya karena adanya dorongan yang kuat dan keinginan

sesaatnya saja. Barang-barang yang dibelinyapun bermacam-macam jenisnya

(Rook, 1987; Solomon, 1994; Arnould, Price, & Zinkhan, 2002). Berkaitan

dengan hal tersebut, pada tahun 2009 Herabadi, Verplanken, dan Knippenberg

(dalam Verplanken & Sato, 2011) melakukan observasi dan wawancara kepada

para konsumen dengan berbagai macam rentang usia di berbagai department

store untuk mengetahui macam-macam produk yang sering kali menimbulkan

perilaku pembelian impulsif. Berdasarkan penelitian tersebut, didapatkan hasil

bahwa produk-produk yang sering kali menimbulkan perilaku impulsif

diantaranya pakaian, barang-barang yang berhubungan dengan hobi, aksesoris

pribadi, dan produk kecantikan serta perawatan tubuh. Selain itu, Verplanken

dan Sato pada tahun 2011 juga melakukan penelitian yang serupa dengan

Herabadi guna mencari tahu produk-produk yang menimbulkan perilaku

pembelian impulsif pada konsumen. Berdasarkan penelitian tersebut,

ditemukan bahwa barang-barang yang sering kali menimbulkan pembelian

impulsif pada konsumen adalah perhiasan atau aksesoris, parfum, pakaian dan

perlengkapan olahraga, serta makanan (junk food dan snack yang kurang sehat)

(Verplanken & Sato, 2011).

Menurut Miller dan Stern (dalam Hodge, 2004), pembelian impulsif

dapat disebabkan karena konsumen tiba-tiba teringat untuk melakukan

ataupun ia pernah melihat produk tersebut dalam suatu iklan tertentu.

Berdasarkan pernyataan tersebut, banyak perusahaan yang akan mengerahkan

inovasi dan kreativitasnya untuk mempromosikan produk dan jasanya agar

para konsumen membeli produk dan jasa yang mereka tawarkan. Para

produsen biasanya akan melakukan berbagai bentuk komunikasi pemasaran

seperti periklanan, promosi penjualan, publikasi hubungan masyarakat (press

release), penjualan personal, dan pemasaran langsung guna memperkenalkan

produk-produk dan jasa mereka. Para produsen seringkali menggunakan

bidang periklanan dalam memasarkan produk-produk mereka. Hal ini

dikarenakan media komunikasi pemasaran periklanan dianggap cukup mampu

menjadikan sebuah produk dikenal secara luas oleh khalayak (Sulaksana dalam

Riansyah, 2012).

Terkait dengan pembuatan iklan yang memiliki daya tarik yang kuat

terhadap perilaku membeli konsumen, Shimp (2003) menyatakan terdapat

beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk membuat suatu iklan menjadi

menarik, yakni: menjadikan selebritis sebagai endorser, menggunakan sisi

humor, pemakaian rasa bersalah, dan memakai unsur seksual. Schiffman dan

Kanuk (2008) menyatakan bahwa para pemasang iklan sering kali

menggunakan daya tarik selebritis dan kelompok rujukan yang serupa lainnya

untuk berkomunikasi dengan pasar-pasar mereka. Schiffman dan Kanuk (2008)

menambahkan bahwa penggunaan selebritis dan kelompok rujukan lainnya ini

dinilai efektif oleh para pemasang iklan, identifikasi ini mungkin didasarkan

terhadap suatu gaya hidup), pada empati (terhadap seseorang atau situasi), atau

pada pengakuan (terhadap seseorang sejati atau meniru-niru atau terhadap

suatu situasi).

Salah satu jenis iklan yang seringkali dibuat oleh pihak perusahaan

adalah iklan dengan penggunaan public figure. Salah satu jenis public figure

yang kerap digunakan oleh pihak perusahaan untuk membuat iklan guna

menarik niat beli konsumen adalah selebritis. Pringle dan Binet (2005)

menyatakan bahwa penggunaan selebritis dapat membantu pengiklan untuk

mendapatkan perhatian dari publik. Penggunaan selebritis dinilai lebih dapat

menimbulkan perhatian kepada khalayak sehingga informasi yang disampaikan

mendapatkan perhatian.

Menurut McCracken (1989) celebrity endorser merupakan seseorang

yang diketahui oleh masyarakat luas dan menggunakan kepopulerannya untuk

mengiklankan suatu produk berkaitan dengan tujuan pemasaran dan periklanan

suatu perusahaan. Celebrity endorser menyampaikan pesan kepada konsumen

mengenai informasi dan merek produk. Celebrity endorser memiliki peran

yang cukup besar bagi suatu produk, karena celebrity endorser merupakan

seseorang yang berperan untuk memberikan informasi kepada konsumen

sekaligus sebagai pelaku persuasi. Perusahaan harus memilih celebrity

endorser yang cocok atau sesuai untuk menyampaikan pesan iklan kepada

target audience sehingga pesan tersebut dapat diterima dengan baik oleh

konsumen. McCracken (1989) menambahkan bahwa melalui pesan yang

suatu opini dan kemudian akan meneruskan opini tersebut sesuai persepsinya,

dengan demikian diharapkan konsumen akan memperoleh kesadaran terhadap

produk.

Shimp (2003) menyatakan bahwa penjualan produk meningkat akibat

penggunaan selebritis sebagai bintang iklan (celebrity endorser), sikap dan

persepsi konsumen bertambah ketika selebriti mendukung produk tersebut.

Selebriti lebih disukai daripada orang biasa dalam menyampaikan pesan iklan

(Kamins, 1989). Selebritis dinilai memiliki citra spesifik yang dapat

membedakannya dari orang biasa. Hal ini mengakibatkan banyak orang yang

memberikan respek dan sering kali mengadopsi penampilan dan gaya hidup

selebriti yang dikaguminya. Oleh karena itu, iklan yang menggunakan selebriti

sebagai pembawa pesan mudah diterima oleh para penggemar dan pengagum

sang selebriti itu sendiri.

Beberapa peneliti sebelumnya menyatakan bahwa jenis iklan celebrity

endorser memiliki hubungan yang signifikan terhadap minat dan niat membeli

konsumen, namun belum terdapat satupun penelitian terdahulu yang meneliti

tentang jenis iklan tersebut dengan pembelian impulsif. Berdasarkan hal

tersebut, penulis tertarik untuk meneliti apakah iklan televisi yang

menggunakan celebrity endorser dapat berpengaruh secara signifikan terhadap