• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelayanan kesehatan adalah upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan mengobati penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, kelompok ataupun masyarakat (Azwar, 2010). Menurut UU RI No.44 tahun 2009 tentang rumah sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) RI Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu kegiatan di rumah sakit yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu. Pembangunan di bidang pelayanan farmasi bertujuan untuk meningkatkan mutu dan efisiensi pelayanan kesehatan.

Pelayanan farmasi merupakan pelayanan penunjang dan sekaligus revenue center utama karena hampir 90% pelayanan kesehatan di rumah sakit menggunakan perbekalan farmasi (obat-obatan, bahan kimia, bahan radiologi,

bahan alat kesehatan, alat kedokteran dan gas medik) dan 50% dari seluruh pemasukan rumah sakit berasal dari pengelolaan perbekalan farmasi. Aspek terpenting dari pelayanan farmasi adalah mengoptimalkan penggunaan obat, ini harus termasuk perencanaan untuk menjamin ketersediaan, keamanan dan keefektifan penggunaan obat (Suciati, 2006).

Selain itu, salah satu sasaran hasil dari Program Kefarmasian dan Alat Kesehatan berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 021/Menkes/SK/I/2011 tentang Rencana Strategis Kemenkes Tahun 2010-2014 adalah meningkatnya sediaan farmasi dan alat kesehatan yang memenuhi standar dan terjangkau oleh masyarakat dengan indikator ketersediaan sebesar 100% di tahun 2014. Mengingat besarnya kontribusi perbekalan farmasi sebagai sumber pelayanan penunjang di rumah sakit untuk menjamin kelancaran pelayanan kesehatan, maka dibutuhkan pengelolaan secara tepat dan penuh tanggung jawab.

Menurut UU RI No.44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, instalasi farmasi adalah bagian dari Rumah Sakit yang bertugas menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan farmasi serta melaksanakan pembinaan teknis kefarmasian di Rumah Sakit. Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah suatu bagian/unit/divisi atau fasilitas di rumah sakit, tempat penyelenggaraan semua kegiatan pekerjaan kefarmasian yang ditunjukan untuk keperluan rumah sakit itu sendiri (Siregar, 2003).

Rumah Sakit Islam Asshobirin merupakan rumah sakit yang memiliki visi menjadi Rumah Sakit yang efektif, efisien dan mandiri yang berazaskan Islam. RS Islam Asshobirin didukung oleh unit farmasi yang bertanggung jawab mengelola dan menyelenggarakan kegiatan yang mendukung ketersediaan obat dan alat kesehatan di RS Islam Asshobirin. unit farmasi, khususnya gudang farmasi yang bertanggung jawab melaksanakan fungsi-fungsi logistik. Bagian gudang farmasi mempunyai prinsip 8 P, yaitu: perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, persiapan, pendokumentasian, penghapusan serta pengawasan/pengendalian obat dan alat kesehatan.

Setiap fungsi tersebut saling berhubungan satu sama lain agar dapat memenuhi kebutuhan obat untuk unit pengguna dalam jumlah dan mutu yang sesuai serta waktu yang tepat. Sebelumnya belum pernah dilakukan penelitian mengenai pengendalian persediaan obat generik di Gudang Farmasi RS Islam Asshobirin, sehingga peneliti tertarik untuk melaksanakan penelitian di rumah sakit ini.

Menurut informan, pengawasan/pengendalian yang dilakukan oleh Gudang Farmasi RS Islam Asshobirin adalah melalui stock opname yang dilakukan 2 kali setahun untuk mencocokan sisa stok secara fisik dengan pendataan harian melalui komputer (kartu stok). Selain itu pencatatan menggunakan buku defekta yang berisi jumlah permintaan persediaan apotek, jumlah yang dikirim ke apotek

dan sisa stok yang ada di gudang farmasi. Berdasarkan pencatatan sisa stok tersebut diketahui kebutuhan persediaan yang harus dipesan.

Selain melalui sisa stok, dasar petugas gudang farmasi dalam melakukan pemesanan adalah buffer stock. Menurut Bowersox (1995), buffer stock adalah stok penyangga/pengaman yang disediakan sebagai proteksi terhadap dua jenis ketidakpastian, yaitu; peningkatan permintaan dan keterlambatan pengiriman. Namun menurut informan, belum pernah dilakukan perhitungan buffer stock/safety stock untuk persediaan obat sehingga penentuan buffer stock dilakukan berdasarkan perkiraan saja. Untuk obat fast moving harus dengan buffer stock yang lebih banyak dibandingkan obat slow moving.

Berdasarkan wawancara dengan informan, kendala yang dialami oleh gudang farmasi mengenai persediaan obat adalah pemesanan obat yang kerap kali dilakukan secara cito, artinya pemesanan dilakukan insidental dan harus segera dikirim saat itu juga. Terkadang ketika melakukan pemesanan secara cito, obat yang dibutuhkan juga sedang tidak tersedia pada distributor, sehingga petugas gudang mengusahakan untuk membeli ke apotik luar.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) RS Islam Asshobirin, terdapat 137 jenis obat yang pernah dibeli ke apotik luar pada tahun 2012. Artinya, 137 jenis obat tersebut belum dapat disediakan dalam jumlah yang diminta pada waktu dibutuhkan oleh unit sehingga harus dibeli secara cito ke apotik luar RS Islam Asshobirin. Paling sedikit ada 11 jenis

obat dalam satu bulan yang dibeli cito ke apotik luar RS Islam Asshobirin pada tahun 2012. Terdapat beberapa jenis obat yang hampir setiap bulan dibeli cito di luar apotik karena stok obat tidak cukup untuk memenuhi permintaan pasien, seperti; obat Curcuma Tab dibeli cito di apotik luar RS yaitu sebanyak 25 kali pembelian. Berdasarkan pencatatan dalam sistem informasi RS obat tersebut telah dibeli sebanyak 2.050 tablet selama tahun 2012.

Menurut informan pemesanan cito dapat terjadi karena persediaan di Gudang Farmasi RS Islam Asshobirin sedang kosong/stock out atau tidak cukup untuk memenuhi permintaan obat di unit sehingga menyebabkan adanya permintaan yang tidak terlayani dan harus dipesan secara cito. Tentunya dengan membeli cito ke apotik luar, obat dibeli dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan membeli ke distributor sehingga dapat mempengaruhi keuangan rumah sakit. Hal ini berisiko tidak tercapainya tujuan manajemen logistik. Menurut Bowersox (1995), tujuan manajemen logistik adalah menyampaikan barang jadi dan bermacam-macam material dalam jumlah yang tepat pada waktu yang dibutuhkan dan dengan total biaya yang terendah.

Kekosongan stok di rumah sakit juga terjadi di negara lain, seperti Amerika, menurut American Hospital Association (2011), 99,5% rumah sakit di negara tersebut mengalami satu atau lebih kekurangan obat dalam enam bulan terakhir (Januari-Juni 2011). Diantara rumah sakit yang mengalami kekurangan obat tersebut, hampir setengahnya mengalami kekurangan sebanyak 21 atau lebih

obat. 82% dari RS menunda perawatan pasien akibat kekurangan obat dan lebih dari setengahnya tidak mampu menyediakan obat sesuai dengan resep yang diberikan. Selain itu sebagian besar rumah sakit tersebut melaporkan biaya obat meningkat sebagai akibat dari kekurangan obat.

Selain itu sebuah penelitian di negara berkembang India oleh Devnani (2010), mengungkapkan bahwa di rumah sakit India, tidak hanya jumlah obat-obatan yang diterima saja yang kurang tetapi juga ketersediaan obat yang tidak menentu. Bahkan untuk obat-obatan yang umum digunakan terjadi stock out dalam waktu yang cukup lama.

RS Islam Asshobirin yang memiliki misi untuk mengelola RS secara efektif, efisien dan mandiri yang berorientasi kepada kepuasan pasien, tentunya berupaya mengoptimalkan pelayanan farmasi dengan menyediakan obat dengan jumlah yang tepat pada waktu yang dibutukan serta dengan harga yang serendah-rendahnya. Untuk mengatasi kendala tersebut diperlukan metode pengendalian persediaan yang bertujuan untuk menyeimbangkan antara permintaan dan persediaan. Sebagaimana tujuan pengendalian menurut Direktorat Jenderal Binakefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI (2010) adalah agar tidak terjadi kelebihan dan kekosongan perbekalan farmasi di unit-unit pelayanan.

Obat-obatan di RS Islam Asshobirin terdiri dari obat generik dan obat paten. Berdasarkan Permenkes RI Nomor HK.02/02/Menkes/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Pemerintah, obat generik merupakan obat dengan nama resmi International Nonpropoetary Names (INN) yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Obat generik ini disarankan penggunaannya oleh pemerintah. Selain jauh lebih murah, kualitas dan khasiatnya sama seperti obat bernama dagang. Dengan mengutamakan pelayanan kepada masyarakat menengah ke bawah yang mempunyai kartu jaminan kesehatan, tentunya penggunaan obat generik di RS Islam Asshobirin menjadi sangat tinggi sehingga persediaan obat generik harus diperhatikan dengan baik. Untuk itu penelitian ini difokuskan pada persediaan obat generik.

Menurut John dan Harding (2001) untuk memastikan bahwa pengendalian persediaan efektif, maka tiga pertanyaan dasar yang harus dijawab adalah apa yang akan dikendalikan, berapa banyak yang hendak dipesan dan kapan memesan kembali. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, digunakan metode Analisis ABC untuk menjawab apa yang akan dikendalikan dengan mengetahui prioritas obat generik yang dikelompokan berdasarkan nilai pemakaian obat dan nilai investasi. Selanjutnya obat generik yang tergolong kelompok A akan dihitung Economic Order Quantity (EOQ)-nya untuk dapat menjawab berapa banyak yang hendak dipesan (jumlah optimum) agar dapat mengefisiensikan biaya persediaan obat. Kemudian, dihitung Reorder Point (ROP) obat yang tergolong kelompok A untuk mengetahui kapan memesan kembali dengan mengetahui titik pemesanan kembali sehingga dapat mengatasi kekurangan stok.

Menurut Heizer dan Render (2010) analisis ABC mengarahkan pengembangan kebijakan mengenai prediksi yang lebih baik, kontrol fisik, keandalan pemasok dan persediaan pegaman (safety stock) yang lebih efektif.

Nadia (2012) menyarankan dalam penelitian skripsinya agar RS tersebut menerapkan analisis ABC untuk memberikan perhatian berbeda terhadap jenis persediaan antibiotik dan menerapkan perhitungan EOQ untuk menentukan jumlah pemesanan untuk mendapatkan efisiensi pemesanan.

Valerie (2011) menyimpulkan bahwa dengan penerapan EOQ untuk manajemen persediaan di perusahaan yang ditelitinya, dapat mengefisiensikan total biaya persediaan karena lebih terkontrol. Selain memiliki safety stock, perusahaan dapat mengetahui banyak bahan baku yang harus dipesan untuk menghindari biaya karena persediaan yang over stock dan perusahaan dapat mengetahui kapan seharusnya melakukan pemesanan/Reorder Point (ROP).

Mulyardewi (2010), menyarankan dalam penelitiannya untuk menggunaan metode ABC Indeks Kritis dalam menetapkan perencanaan obat, serta mengendalikan persediaan obat yang termasuk kelompok A dengan menggunakan model EOQ dan ROP agar tidak lagi terjadi kekosongan persediaan, pembelian cito,

dan resep yang dibeli pasien diluar apotek rumah sakit. Menurut Wahjuni dan Suryawati (1998), metode EOQ yang diterapkan terhadap klasifikasi obat pada analisis ABC di Instalasi Farmasi yang mereka teliti, dapat menurunkan total nilai persediaan obat dan memudahkan pengaturan frekuensi pengadaan obat.

Diharapkan dengan penerapan metode pengendalian tersebut menjadi suatu solusi untuk meningkatkan pengendalian persediaan sehingga obat dapat disediakan dengan jumlah dan waktu yang tepat, penggunaan anggaran yang rendah dan menghindari pemesanan cito dan pembelian ke apotik luar.

Dokumen terkait