• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERANGKA BERPIKIR DAN DEFINISI ISTILAH

C. Metode Pengendalian Persediaan

Konsep yang ideal dari persediaan terdiri dari pengadaan suatu produk yang sesuai dengan spesifikasi pelanggan. Sistem yang demikian tidak akan membutuhkan penumpukan bahan mentah atau bahan jadi untuk mengantisipasi penjualan di masa depan (Bowersox, 1995). Menurut Aditama, (2007) bahan/barang yang dibutuhkan untuk kegiatan operasional instansi harus tersedia dalam jumlah, kualitas, dan pada waktu yang tepat (sesuai kebutuhan) dengan harga serendah mungkin.

Menurut Dirjend Binakefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI (2010), menentukan kebutuhan perbekalan farmasi merupakan tantangan yang

berat yang harus dihadapi oleh tenaga farmasi di rumah sakit karena masalah kekosongan atau kelebihan dapat terjadi. Di Gudang Farmasi RS Islam Asshobirin, pelayanan penyediaan obat untuk apotek sering tidak sesuai dengan kebutuhan/permintaan. Berdasarkan buku defekta pengiriman obat dari gudang farmasi ke apotek sering tidak sesuai dengan jumlah permintaan oleh apotek. Hal ini dapat terjadi karena stok obat yang tidak cukup (stock out) untuk memenuhi permintaan tersebut. Kekosongan obat menyebabkan dilakukannya pembelian obat ke apotek luar atau RS lain secara cito. Pembelian cito tersebut tentunya menggunakan anggaran yang lebih tinggi karena harga obat di apotek/RS lain merupakan harga jual di apotek/RS tersebut.

Menurut Dirjend Binakefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI (2010), dengan koordinasi dan proses perencanaan untuk pengadaan perbekalan farmasi secara terpadu diharapkan perbekalan farmasi yang direncanakan dapat tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan tersedia pada saat dibutuhkan. Perencanaan/penentuan kebutuhan dapat dilakukan dengan 3 metode, yaitu: metode konsumsi (data konsumsi perbekalan farmasi periode yang lalu); metode epidemiologi (berdasarkan pola penyakit); dan kombinasi (kombinasi antara metode konsumsi dan epidemiologi disesuaikan dengan anggaran yang ada).

Dalam SOP Unit Farmasi RS Islam Asshobirin, penentuan kebutuhan didasarkan kepada data kebutuhan 3 bulan, data prediksi penyakit, jumlah persediaan barang di gudang, usulan masing-masing unit, perhitungan pareto (fast moving, moderate dan slow moving) dan obat essensial. Artinya penentuan

kebutuhan menggunakan metode kombinasi, yaitu metode konsumsi berdasarkan data kebutuhan 3 bulan dan perhitungan pareto (fast moving, moderate dan slow moving), metode epidemiologi (prediksi penyakit) dengan memperhatikan sisa stok di gudang farmasi. Dalam menentukan obat yang tergolong fast moving atau slow moving-pun petugas gudang farmasi tidak melakukan menggunakan perhitungan, melainkan berdasarkan pengalaman pemesanan/penggunaan obat oleh apotek. Obat yang sering/banyak diminta tergolong fast moving dan yang tidak sering/banyak diminta tergolong slow moving.

Untuk itu, gudang farmasi memerlukan suatu perhitungan sesuai dengan kebutuhan pelanggan (pasien) mengenai jumlah pemesanan dan waktu pemesanan yang tepat agar obat dapat tersedia dalam jumlah yang tepat dan pada waktu yang dibutuhkan serta diperoleh dengan harga yang serendah mungkin. Namun sebelum menentukan jumlah dan waktu pemesanan, perlu diketahui obat mana saja yang harus diprioritaskan untuk meningkatkan efisiensi persediaan.

Sebagaimana menurut Johns dan Harding (2001) dan Ahyari (1987), untuk memastikan bahwa suatu sistem pengendalian sediaan efektif, maka tiga pertanyaan dasar yang harus dijawab adalah apa yang akan dikendalikan, berapa banyak yang hendak di pesan dan kapan memesan kembali.

1. Analisis ABC

Ciri logistik/persediaan rumah sakit menurut Sabarguna (2005), yaitu: spesifik (obat alkes, film, rontgen, dan lain-lain); harga yang variatif; dan

jumlah item yang sangat banyak. Begitu juga dengan perbekalan farmasi di RS Islam Asshobirin memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain, baik dari jenis obat-obatan, alat kesehatan dan reagen. Setiap perbekalan farmasi tersebut berbeda dari segi jumlah kebutuhan per item maupun harga per item. RS Islam Assobirin fokus pada pelayanan kepada masyarakat menengah ke bawah dengan program khusus Jamkesmas dan Jampersal, sehingga obat-obat yang sering digunakan adalah obat generik yang penggunaannya disarankan oleh pemerintah.

Sebagaimana diatur dalam Permenkes RI Nomor HK.02/02/Menkes/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, obat generik merupakan obat dengan nama resmi International Nonpropoetary Names (INN) yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Selain jauh lebih murah, kualitas dan khasiatnya sama seperti obat bernama dagang (bermerek).

Berdasarkan daftar obat generik yang terdapat dalam Kepmenkes RI Nomor 092/Menkes/SK/II/2012 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Generik, obat generik yang digunakan di RS Islam Asshobirin adalah sebanyak 143 jenis obat dari 498 jenis obat yang terdaftar dalam Permenkes tersebut. Setiap jenis obat tersebut memiliki karakteristik yang berbeda baik dari jumlah pemakaian maupun harga, yang keduanya menentukan nilai investasi obat.

Menurut Ahyari (1987), dalam kenyataannnnya akan terdapat bahan baku yang dipergunakan dalam jumlah unit yang besar namun nilai rupiah yang kecil, sebaliknya akan terdapat sejumlah bahan baku dalam nilai rupiah yang tinggi walaupun jumlah unit fisiknya tidak berapa besar. Berdasarkan hasil perhitungan mengenai jumlah pemakaian dan nilai investasi berdasarkan kemasan obat generik di gudang farmasi tahun 2012, terlihat bahwa obat generik dengan kemasan tablet adalah yang paling banyak digunakan baik dari jenis obat maupun jumlah pemakaian, yaitu sebanyak 84 jenis obat dengan jumlah pemakaian sebanyak 146.871 tablet. Namun bukan berarti obat dengan satuan/kemasan tersebut memiliki nilai investasi yang paling tinggi. Nilai investasi tertinggi adalah obat dengan satuan/kemasan vial. Obat tersebut bernilai Rp. 78.714.918,00 walaupun hanya 6 jenis obat dengan jumlah pemakaian sebanyak 8.696 vial.

Sehingga, diperlukan perlakukan yang berbeda terhadap setiap jenis baik berdasarkan jumlah pemakaian maupun nilai investasi. Menurut Ahyari (1987) apabila bahan diperlakukan sama rata, maka tindakan tersebut kadang-kadang akan merugikan perusahaan, karena terdapat perbedaan nilai rupiah dari bahan yang dipergunakan. Untuk menentukan prioritas persediaan cara yang paling umum digunakan adalah dengan klasifikasi/analisis ABC.

Menurut Dirjend Binfar dan Alat Kesehatan Kemenkes RI tahun 2010, pemilihan kebutuhan obat di rumah sakit merujuk kepada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) sesuai dengan kelas rumah sakit masing-masing,

formularium RS, Formulariun Jaminan Kesehatan, Daftar Palfon Harga Obat (DPHO) dan Jamsostek. Namun, selama ini, jenis persediaan obat di RS Islam Asshobirin ditentukan berdasarkan permintaan apotek atau permintaan dokter karena RS belum memiliki formularium sebagai dasar penyusunan kebutuhan obat.

Formularium adalah dokumen yang berisi daftar obat yang digunakan oleh profesional kesehatan di rumah sakit disusun bersama oleh para pengguna di bawah koordinasi KFT masing-masing rumah sakit. KFT (Komite Farmasi dan Terapi) adalah unit fungsional yang ditetapkan oleh pimpinan RS yang bertugas memberikan rekomendasi kepada pimpinan RS mengenai rumusan kebijkan dan prosedur evaluasi, pemilihan dan penggunaan obat (Dirjend Binfar dan Alat Kesehatan Kemenkes RI, 2010). Menurut informan formularium tidak berjalan karena RS tidak ada KFT (Komite Farmasi dan Terapi) sehingga obat yang dipesan disesuaikan dengan permintaan dokter. Untuk itu, perlu kiranya dibentuk KFT di RS Islam Asshobirin agar formularium dapat tersusun, sehingga dapat dijadikan dasar dalam penyusunan kebutuhan obat.

Dalam SOP penentuan jenis obat dalam penentuan kebutuhan di RS Islam Asshobirin menggunakan prinsip pareto. Namun dalam pelaksanaannya, untuk menentukan obat yang tergolong fast moving (A), moderate (B) dan slow moving (C) tidak ditentukan menggunakan perhitungan pareto (Analisis ABC). Selama ini pareto hanya berdasarkan pengalaman petugas saja. Obat

yang lancar/cepat habis maka dikatakan fast moving dan yang pelan dikatakan slow moving.

Berikut adalah pengelompokan obat generik menggunakan analisis ABC pemakaian dan investasi:

a. Nilai Pemakaian Obat Generik

Hasil analisis ABC pemakaian yang disajikan pada tabel 5.3, bahwa obat generik yang termasuk kelompok A (fast moving) hanya 19,58% dari seluruh jenis obat generik yang diminta oleh apotek, namun obat ini paling banyak diminta oleh apotek untuk memenuhi kebutuhan obat pasien yaitu sebesar 69,64% dari total pemakaian. Sebagaimana menurut Seto (2004) Kelompok A merupakan obat yang cepat laku. Meskipun hanya ada sedikit kelompok A dalam persediaan apotek, tetapi karena kelompok tersebut sangat tinggi permintaannya, merupakan obat yang berputar dengan cepat.

Merurut Seto (2004), kelompok B mempunyai penjualan rata-rata dan perputaran inventaris. Di Gudang Farmasi RS Islam Asshobirin, obat yang termasuk kelompok B (moderate) merupakan jenis obat yang sedang (agak lambat perputarannya, yaitu 20,98% dari seluruh jenis obat generik yang diminta apotek dan pemakaian yang sedang juga yaitu sebesar 20,10% dari total pemakaian.

Sedangkan obat yang termasuk kelompok C (slow moving) merupakan obat generik yang paling banyak jenisnya, yaitu 59,44% dari

seluruh jenis obat generik yang diminta oleh apotek namun dengan pemakaian yang paling sedikit/jarang digunakan yaitu hanya 10,35% dari total pemakaian. Sebagaimana menurut Seto (2004), Kelompok C adalah obat yang paling lambat lakunya, obat produk yang paling kurang diminta.

Oleh karena itu pengendalian yang dapat dilakukan untuk masing-masing kelompok adalah:

1) Kelompok A

Dengan memperhatikan persediaan 28 jenis obat yang tergolong kelompok A, gudang farmasi akan dapat memenuhi ketersediaan obat sebanyak 69,64%. Artinya, ketersediaan obat tersebut sangat penting diperhatikan dan harus selalu tersedia di gudang farmasi karena memiliki nilai pemakaian yang paling tinggi/sering diminta oleh apotek. Selain itu pengawasan dan pematauan fisik persediaan harus lebih teliti dan ketat.

2) Kelompok B

Dengan memperhatikan 30 jenis obat yang tergolong kelompok B, gudang farmasi akan dapat memenuhi ketersediaan obat atau permintaan apotek sebanyak 20,10%. Ketersediaan obat ini cukup penting diperhatikan setelah obat kelompok A.

Menurut Seto (2004), karena kelompok B merupakan jumlah yang jauh lebih besar dan merupakan proporsi penjualan yang lebih kecil, tidak perlu dan tidak efisien untuk memonitor obat-obat tersebut seketat

kelompok A. Biasanya dapat cukup dikendalikan dengan menggunakan kartu stok gudang dan kartu stok di ruang peracikan dan penjualan eceran.

3) Kelompok C

Dengan memperhatikan 85 jenis obat yang tergolong kelompok C dapat memenuhi ketersediaan obat atau permintaan obat oleh apotek sebanyak 10,35%. Penggunaan/permintaan obat ini sedikit namun dengan jenis yang paling banyak banyak yaitu 59,44% dari seluruh obat generik yang ada.

Sama seperti kelompok B, menurut Seto (2004), karena kelompok C merupakan jumlah yang jauh lebih besar dan merupakan proporsi penjualan yang lebih kecil, tidak perlu dan tidak efisien untuk memonitor obat-obat tersebut seketat kelompok A. Biasanya dapat cukup dikendalikan dengan menggunakan kartu stok gudang dan kartu stok di ruang peracikan dan penjualan eceran.

Menurut Seto (2004), bahwa pengelola secara periodik seharusnya memonitor kelompok C untuk menentukan apakah obat tersebut semestinya disingkirkan dari persediaan. Menyingkirkan kelompok C yang lambat lakunya merupakan metode praktis mengurangi jumlah obat dan investasi dalam persediaan, tapi memberikan pengaruh yang kecil pada penjualan dan biaya kehabisan persediaan.

Oleh karena itu, selain menggunakan kartu stok, diperlukan perhatian khusus terhadap obat yang tidak berjalan. Perlu diperhatikan jenis persediaan dengan mengurangi variasi merk obat yang berbeda namun memiliki kandungan yang sama.

b. Nilai Investasi Obat Generik

Hasil analisis ABC investasi yang disajikan pada tabel 5.4, bahwa obat generik yang termasuk kelompok A hanya 9,09% dari seluruh jenis obat generik yang diminta oleh apotek, namun obat ini menyerap anggaran rumah sakit paling banyak dibandingkan obat generik lainnya, yaitu sebesar 69,44% dari total penggunaan anggaran obat generik. Sedangkan obat yang termasuk kelompok C merupakan jenis obat yang paling banyak, yaitu 73,43% dari seluruh jenis obat generik yang diminta oleh apotek, namun menyerap anggaran paling sedikit, yaitu hanya 10,37% dari total penggunaan anggaran untuk obat generik.

Gagasan analisis ABC adalah untuk membuat kebijkan-kebijakan persediaan yang memfokuskan persediaan pada bagian-bagian persediaan yang kritis namun sedikit bukan pada yang banyak namun spele. Tidaklah realistis jika memantau barang yang tidak mahal dengan intensitas yang sama dengan barang yang sangat mahal (Heizer dan Render, 2010). Penggunaan analisis ini memungkinkan teridentifikasinya barang yang benar-benar berpengaruh pada kinerja sediaan, sehingga manajemen yang

efektif dapat berkonsentrasi pada barang yang itemnya sedikit tersebut tanpa mengabaikan yang lain (Johns dan Harding, 2001).

Oleh karena itu pengendalian yang dapat dilakukan untuk masing-masing kelompok adalah:

1) Kelompok A

Kelompok A merupakan barang dengan jumlah unit fisik kecil atau rendah namun jumlah rupiahnya tinggi (Ahyari, 1987). Pada persediaan obat generik di RS Islam Asshobirin, dengan memperhatikan ketersediaan 13 jenis obat generik yang tergolong A dapat mengoptimalkan persediaan dan pemakaian anggaran sebesar 69,44%. Sehingga menurut Heizer dan Render (2010), obat tersebut harus memiliki kontrol persediaan yang lebih ketat, akurasi pencatatan yang lebih sering diverifikasi. Pengawasan fisik dapat dilakukan lebih ketat dan secara periodik setiap bulan.

Menurut Seto (2004), kelompok A seharusnya dimonitor dengan hati-hati, angka pemesanan ulang dan EOQ-nya seharunya dihitung. Sehingga dalam penelitian ini obat yang termasuk kelompok A dihitung EOQ (Economic Order Quantity) untuk menentukan jumlah pemesanan yang ideal dan ROP (Reorder Point) untuk menentukan waktu yang tepat untuk dilakukan pemesanan kembali.

2) Kelompok B

Kelompok B merupakan barang dengan jumlah fisik dan jumlah rupiah yang sedang (Ahyari, 1987). Pada persediaan obat generik di RS Islam Asshobirin, dengan memperhatikan 25 jenis obat yang tergolong kelompok B dapat mengoptimalkan persediaan dan pemakaian anggaran sebesar 20,19%. Sehingga obat yang tergolong kelompok B memerlukan perhatian yang cukup penting setelah kelompok A. Perlu adanya pengawasan fisik yang dilakukan secara periodik. Menurut Heizer dan Render (2010), persediaan yang tergolong kelompok B dapat dihitung setiap 3 bulan sekali.

3) Kelompok C

Kelompok C merupakan barang dengan jumlah fisik yang besar atau tinggi namun nilai rupiah yang rendah/kecil (Ahyari, 1987). Pada persediaan obat generik di RS Islam Asshobirin, dengan memperhatikan 105 jenis obat yang tergolong kelompok C, dapat mengoptimalkan persediaan dan pemakaian anggaran sebesar 10,37%.

Perlu memperhatikan obat yang tidak berjalan untuk dikurangi variasi obatnya. Karena obat tersebut memberikan pengaruh kecil terhadap penjualan dan biaya kehabisan persediaan. Sejalan dengan pendapat Seto (2004), bahwa pengelola secara periodik seharusnya memonitor kelompok C untuk menentukan apakah obat tersebut semestinya disingkirkan dari persediaan. Menyingkirkan kelompok C

yang lambat lakunya merupakan metode praktis mengurangi jumlah obat dan investasi dalam persediaan, tapi memberikan pengaruh yang kecil pada penjualan dan biaya kehabisan persediaan.

Sehingga obat yang tergolong kelompok C tidak memerlukan pengendalian ketat seperti kelompok A dan B. Pengendalian dan pemantauan tidak ketat, cukup sederhana di dalam RS tersebut. Namun RS belum mempunyai perhitungan, sehingga cukup menentukan safety stock/buffer stock sebagai jumlah minimum stok di gudang farmasi. Pengawasan juga tidak seperti kelompok A dan B cukup mengikuti pengawasan yang sudah dilaksanakan di gudang farmasi selama ini yaitu setiap 6 bulan sekali. Menurut Heizer dan Render (2010), persediaan yang tergolong kelompok C dapat dihitung setiap 6 bulan sekali.

2. Economic Order Quantity (EOQ)

Dalam persediaan, biaya yang mempengaruhinya adalah biaya pemesanan dan biaya penyimpanan. Pemesanan dengan jumlah yang banyak akan mengurangi biaya pemesanan karena dengan pemesanan dengan jumlah yang banyak tentunya frekuensi pemesanan akan lebih sedikit. Namun hal ini akan meningkatkan biaya penyimpanan karena pemesanan dengan jumlah yang banyak persediaan yang akan disimpan juga lebih banyak. Sebaliknya, pemesanan dengan jumlah yang sedikit akan mengurangi biaya penyimpanan

karena persediaan yang disimpan di gudang lebih sedikit, namun akan meningkatkan biaya pemesanan karena frekuensi pemesanan akan meningkat. Untuk itu jumlah pemesanan harus dapat meminimalkan biaya pemesanan dan biaya penyimpanan. Sebagaimana menurut Heizer dan Render (2010), Bowersox (2010), Sabarguna (2004) dan Johns dan Harding (2001), bahwa seiring dengan meningkatnya kuantitas yang dipesan, jumlah pemesanan pertahunnya akan menurun namun biaya penyimpanan akan meningkat karena jumlah persediaan yang harus diurus lebih banyak. Sehingga menurut Seto (2004) untuk menentukan jumlah pemesanan yang ekonomis, harus diusahakan untuk memperkecil biaya-biaya pemesanan dan biaya-biaya penyimpanan.

Dalam pelaksanaan pemesanan obat di Instalasi Farmasi RS Islam Asshobirin, tidak ada perhitungan khusus mengenai jumlah pemesanan. Jumlah pemesanan tergantung pada jumlah permintaan dari apotek. Hal ini berisiko meningkatnya biaya pemesanan jika pemesanan dilakukan dalam jumlah yang sedikit atau meningkatnya biaya penyimpanan jika jumlah pemesanan terlalu banyak.

Untuk menentukan jumlah pemesanan yang tepat dalam setiap pemesanan, dapat menggunakan perhitungan EOQ (Economic Order Quantity). Menurut Jogiyanto (1985) dalam Sabarguna (2004), Economic Order Quantity (EOQ) adalah sejumlah persediaan barang yang dapat dipesan pada suatu periode untuk tujuan meminimalkan biaya dari persediaan barang

tersebut. Perhitungan EOQ dalam penelitian ini digunakan untuk menghitung jumlah pemesanan optimum obat generik yang tergolong kelompok A karena obat ini adalah obat yang paling berpengaruh terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan obat di RS Islam Asshobirin.

Dengan menerapkan metode EOQ untuk menghitung jumlah pemesanan yang optimum akan membantu manajemen untuk mengambil keputusan jumlah pemesanan agar tidak terjadi investasi berlebihan yang tertanam dalam persediaan dan tidak mengalami kekurangan persediaan yang menyebabkan pelayanan terhenti.

Pada lampiran 9 diketahui jumlah pemesanan optimum untuk masing-masing obat generik. Sebagai contoh obat Ceftriaxone 1gr inj, berdasarkan perhitungan, jumlah pemesanan yang paling ekonomis untuk obat ini adalah sebanyak 81 vial setiap kali pemesanan. Jumlah ini akan menggunakan biaya pemesanan dan biaya penyimpanan yang paling sedikit. Jika jumlah pemesanan ditingkatkan, maka akan meningkatkan biaya penyimpanan karena jumlah persediaan yang banyak. Jika jumlah pemesanan diturunkan, maka akan meningkatkan biaya pemesanan karena pemesanan dengan jumlah yang sedikit frekuensi pemesanan akan lebih meningkat sehingga meningkatkan biaya pemesanan.

Oleh karena itu pemesanan 81 vial untuk obat Ceftriaxone 1gr inj adalah jumlah yang paling ekonomis dalam setiap kali melakukan pemesanan.

Menurut Velerie (2011), metode EOQ dapat membantu perusahaan untuk menjaga agar proses produksi dapat berjalan dengan lancar sehingga perusahaan dapat menjaga kesinambungan usahanya. Apabila kesinambungan perusahaan terjaga, tentunya efektivitas produksi dapat tercapai, mengingat salah satu tujuan produksi untuk menjaga kesinambungan usaha perusahaan. Untuk kualitas produk, perusahaan harus memilih supplier yang menyediakan bahan baku yang baik dan bisa menyediakan bahan baku tersebut tepat waktu karena selain menghambat proses produksi, keterlambatan bahan baku juga berpengaruh terhadap kualitas produk.

Selama ini pengiriman obat oleh distributor ke gudang farmasi selalu tepat waktu, tidak lebih dari lead time yang ditentukan. Untuk mendapatkan EOQ tentunya harus didukung oleh sistem informasi yang dapat mengetahui jumlah pemakaian setiap obat setiap tahun. Sistem informasi di RS Islam Asshobirin belum bisa memberikan informasi mengenai jumlah pemakaian setiap obat tersebut. Hal ini juga menjadi kendala oleh gudang farmasi selama ini, sehingga jumlah pemesanan diperkirakan sesuai pengalaman permintaan dari apotek.

3. Reorder Point (ROP)

Dalam menentukan waktu pemesanan kembali setiap obat di RS Islam Asshobirin tidak menggunakan perhitungan khusus. Obat akan dipesan ketika obat tersebut mendekati jumlah stok 0. Untuk obat yang stoknya sudah mencapai 0, maka pemesanan dilakukan secara cito. Sehingga tidak jarang

permintaan apotek tidak dapat terpenuhi dalam jumlah yang tepat karena persediaan yang tidak cukup untuk memenuhi permintaan.

Demi keberlanjutan pelayanan pada pasien, perlu dijaga keseimbangan antara persediaan dan permintaan. Obat harus selalu tersedia setiap saat dibutuhkan. Terputusnya kemampuan pelayanan terjadi karena persediaan sudah habis. Oleh karena itu sebelum persediaan habis maka pemesanan barang harus dilakukan. Menurut Anief (2001) perlu dicari waktu yang tepat, pada saat dimana pembeliaan harus dilakukan sehingga terjadi keseimbangan antara beban pekerjaan dan kemampuan memenuhi permintaan sehingga pelayanan tidak terputus, tetapi persediaan masih dalam batas-batas yang ekonomis.

Untuk mencari waktu yang tepat tersebut dapat dilakukan dengan perhitungan Reorder Point (ROP). Apabila terjadi lead time (masa tenggang) maka kita harus menentukan tingkat persediaan minimal sehingga apabila tingkat ini sudah dicapai, kita harus mengajukan pesanan baru untuk menjaga jangan sampai terjadi kekosongan dalam stok (Siagian, 1987). Waktu pemesanan kembali ditetapkan agar persediaan dapat menutupi kebutuhan persediaan selama masa tenggang/menunggu pesanan tiba. Menurut Dirjend Binakefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI (2010), lead time adalah waktu tunggu yang diperlukan mulai pemesanan sampai obat diterima.

Fungsi persediaan menurut Heizer dan Render (2010), salah satunya adalah melakukan decouple perusahaan dari fluktuasi permintaan dan

menyediakan persediaan barang-barang yang akan memberikan pilihan bagi pelanggan. Menurut Johns dan Harding (2001), untuk mengatasi hal stock out perlu persediaan penyangga/pengaman (safety stock) untuk mengatasi ketidakpastian permintaan. Menurut Siagian (1987) cadangan penyangga (buffer stock) bertindak sebagai penyangga terhadap kenaikan yang tidak diharapkan dalam kebutuhan masa tenggang (lead time).

Persediaan pengaman itu merupakan proteksi terhadap 2 jenis ketidakpastian. Pertama, ketidakpastian mengenai penjualan yang melebihi ramalan selama periode pengisian kembali. Kedua, adalah ketidakpastian mengenai keterlambatan (delays) dalam penerimaan pesanan, pengolahan pesanan, atau keterlambatan transportasi selama pengisian kembali (Bowersox, 1995).

Oleh karena itu waktu pemesanan kembali yang ideal adalah ketika stok obat mencapai kebutuhan selama waktu tunggu atau permintaan harian rata-rata dikalikan dengan waktu tunggu. Namun permintaan obat di Gudang Farmasi RS Islam Asshobirin berfluktuatif setiap harinya. Sehingga apabila perhitungan ROP tidak mempertimbangkan safety stock yang berfungsi sebagai proteksi terhadap kemungkinan peningkatan kebutuhan/permintaan obat, berisiko terjadinya kekurangan stok (stock out).

Berdasarkan perhitungan pada lampiran 10, safety stock obat Ceftriaxone 1 gr inj adalah 32 vial dan Reorder Point-nya adalah 51 vial.

Artinya, pemesanan obat ceftriaxone 1 gr inj akan dilakukakan jika stok obat tersebut mencapai 51 vial.

Jumlah tersebut merupakan titik/jumlah ideal dilakukannya pemesanan ulang agar terhidar dari kekurangan stok karena stock out dan terhindar dari

Dokumen terkait