• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI

B. Bentuk-bentuk Penanganan

Handoyo (2003) mengemukakan beberapa penanganan yang perlu dilakukan pada penyandang autisme, berupa penanganan dalam bentuk terapi seperti terapi perilaku (terapi wicara, terapi okupasi dan menghilangkan perilaku asosial), terapi biomedik, (obat, vitamin, mineral, food supplements), terapi jarum suntik, terapi snoezelen, terapi remedial, terapi sensory integrasi, terapi musik, terapi bermain, terapi medikatonik. Terapi-terapi tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode penanganan seperti metode ABA / Lovaas, metode Kaufman, metode Son Rise dan metode Discrete Trial Training (DTT). Selain itu penanganan lain dapat dilakukan dalam bentuk program inklusi yaitu memasukkan anak dan sosialisasi ke sekolah regular dan sekolah (pendidikan) khusus.

1. Bentuk-bentuk Terapi a. Terapi Perilaku

Berbagai jenis perilaku telah dikembangkan untuk mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus, termasuk penyandang autisme, mengurangi perilaku yang tidak lazim dan menggantikannya dengan perilaku yang bisa diterima dalam masyarakat. Bukan saja gurunya yang harus menerapkan terapi perilaku pada saat belajar, namun setiap anggota keluarga di rumah harus bersikap sama dan konsisten dalam menghadapi anak-anak dengan kebutuhan khusus ini. Terapi perilaku terdiri dari terapi wicara, terapi okupasi, dan menghilangkan perilaku yang asosial.

1) Terapi Okupasi

Sebagian penyandang kelainan perilaku, terutama autisme, juga mempunyai perkembangan motorik yang kurang baik. Gerak-geriknya kasar dan kurang luwes bila dibanding dengan anak-anak seumurnya. Pada anak-anak ini perlu diberi bantuan terapi okupasi untuk membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi dan ketrampilan otot jari tangannya, seperti menunjuk, bersalaman, memegang raket, memetik gitar, main piano dan sebagainya.

Para terapi okupasi juga seringkali memakai Sensory Integration (SI) untuk menerapi kelainan sensoris pada anak anak autis. Namun dari banyak penelitian yang telah dilakukan, terbukti bahwa SI saja tidak dapat meningkatkan perilaku anak, bahkan sering mengakibatkan kemunduran perilaku, dan tidak berhasil menghilangkan ataupun mengurangi perilaku-perilaku aneh dari anak.

2) Terapi wicara

Bagi anak dengan speech delay, maka terapi wicara merupakan pilihan utama. Untuk memperoleh hasil yang optimal, materi speech therapy sebaiknya dilaksanakan dengan metoda ABA. Bagi penyandang autisme yang mempunyai keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa, speech therapy juga suatu keharusan, tetapi pelaksanaannya harus dengan metoda Applied Behavior Analysis (ABA). Metode ABA dikenal juga dengan metode

Lovaas karena metode ini digunakan oleh Prof. DR. Ivar Lovaas dari Universitas Los Angeles Amerika Serikat.

Menerapkan terapi wicara pada penyandang autisme berbeda dengan pada anak lain. Terapis harus berbekal diri dengan pengetahuan yang cukup mendalam tentang gejala dan gangguan bicara yang khas bagi penyandang autisme. Mereka juga harus memahami langkah-langkah metoda Lovaas sebagai kunci masuk bagi materi yang akan diajarkan.

Banyak speech therapist yang mencoba menterapi anak, terutama yang autisme, tanpa metoda ABA. Mereka seringkali mengalami kegagalan dan frustrasi. Jadi sekalipun mencoba terapi wicara pada anak autisma, penting sekali menggabungkannya dengan metoda Lovaas, agar hasilnya terlihat nyata.

3) Sosialisasi dengan menghilangkan perilaku yang tidak wajar

Menghilangkan perilaku yang tidak dapat diterima oleh umum, perlu dimulai dari kepatuhan dan kontak mata. Kemudian diberikan pengenalan konsep atau kognitif melalui bahasa reseptif dan ekspresif. Setelah itu barulah anak dapat diajarkan hal-hal yang bersangkutan dengan tatakrama, dan sebagainya. Agar perilaku asosial itu dapat ditekan, maka penting sekali diperhatikan bahwa anak jangan dibiarkan sendirian, tetapi harus selalu ditemani secara interaktif. Seluruh waktu pada saat anak bangun, perlu diisi dengan kegiatan interaktif, baik yang bersangkutan dengan akademik, bina

diri, keterampilan motorik, sosialisasi, dan sebagainya. Selain itu anak perlu diberikan imbalan yang efektif.

b. Terapi Biomedik (Obat, mineral, food supplements)

Terapi biomedik adalah terapi yang bertujuan untuk memperbaiki metabolisme tubuh anak, membersihkan tubuh anak dari bahan-bahan yang mengganggu metabolisme dan kerja sistem saraf. Terapi ini bisa melalui makanan dan minuman atau obat-obatan tetapi sifatnya sangat individual dan perlu berhati-hati. Dosis dan jenisnya sebaiknya diserahkan kepada dokter spesialis yang memahami dan mempelajari autisme. Baik obat maupun vitamin hendaknya diberikan secara sangat berhati-hati, karena baik obat maupun vitamin dapat memberikan efek yang tidak dikehendaki. Vitamin banyak dicampurkan pada nutrisi khusus, karena itu perlu selektif sebelum membeli dan memberikannya kepada penyandang autisme.

Jenis obat, food supplement dan vitamin yang sering dipakai saat ini untuk anak autis adalah risperidone (risperdal), Ritalin, haloperidol, pyridoksin (vit. B6), DMG (vit. B15), TMG, magnesium, omega 3, omega 6, dan sebagainya. Obat efek samping perlu diberikan apabila obat-obat tersebut membawa efek samping yang menonjol. Sebaiknya tiap obat dan vitamin diberikan kepada penyandang autisme dengan tujuan efek yang sudah diketahui. Jangan sekali-kali memberikan obat/vitamin secara ikut-ikutan karena anak lain mendapat manfaat yang baik, oleh karena dosis maupun khasiat obat terhadap

anak autisme sangat individual. Efek sampingnya perlu secara cermat diamati, sehingga diperoleh manfaat yang optimal.

Terapi Biomedis dibagi dalam 4 tahap yaitu tahap gencatan senjata, tahap problem dan mencari persamaan, tahap membangun kembali secara aktif/rekontruksi dan tahap intervensi tambahan.

c. Terapi Medikatonis

Terapi medikatonis adalah terapi yang dilaksanakan dengan memberikan obat-obatan yang dapat membantu perkembangan anak. Pemberian obat-obatan pada anak autis harus didasarkan pada diagnosis yang tepat, indikasi yang kuat, pemakaian obat yang seperlunya, pemantauan yang ketat gejala efek samping, penyesuaian dosis obat berdasarkan kebutuhan dan penggunaan obat yang tepat (Danuatmaja, 2003).

d. Terapi Bermain

Danuatmaja (2003) menjelaskan bahwa terapi bermain merupakan usaha penyembuhan untuk mencapai perkembangan fisik, intelektual, emosi dan sosial. Maksud dari mengobati dan menyembuhkan fisik adalah mengembangkan kekuatan motorik, otot, meningkatkan ketahanan organ tubuh (jantung, paru-paru), mencegah dan memperbaiki sikap tubuh kurang baik (otot-otot, organ tubuh dan motorik). Maksud dari mengobati atau menyembuhkan aspek rohani adalah melepaskan anak dari hal-hal yang merugikan, menimbulkan perasaan lega, bebas, berarti, menimbulkan dan mengembalikan rasa percaya diri, mengartikan peraturan, menentukan siasat, mengembangkan rasa rela, menunggu

giliran dan jujur. Ruang lingkup terapi bermain anak autis dirumuskan berdasarkan karakteristik anak, tujuan, maupun sasarannya. Secara umum ruang lingkup terapi bermain terdiri dari ruang lingkup bermain yang berkaitan dengan latihan sensorik motor dan bermain untuk mengembangkan imajinasi, kreasi, ekspresi, memupuk kekuatan obat, melatih memecahkan masalah dan menimbulkan rasa percaya diri. Pelaksanaan terapi bermain perlu memperhatikan keadaan anak, terapis atau pembimbing, tempat, alat dan bahan bermain, pendekatan, suasana dan waktu bermain serta evaluasi. Adapun ragam latihan terapi bermain yaitu sensorik motor yang meliputi: berjalan pada tali, menendang bola, melempar bola, membuat menara dari balok, mendorong bola, membentuk, menempel, merangkai benda-benda, latihan pendengaran dan memasukkan balok-balok ke kotak. Ragam pengembangan otot, latihan berpikir, pengembangan kreasi dan ekspresi meliputi: permainan mendaki, naik dan turun tangga, memasang dan membongkar puzzle sederhana, melukis dengan jari dan pengembangan komunikasi dan sosialisasi.

e. Terapi Sensori Integrasi

Terapi sensori integrasi merupakan terapi yang dilakukan untuk membantu proses biologis pada otak untuk mengolah serta menggunakan berbagai informasi secara baik dan sesuai. Anak autis sering mengalami masalah dengan daya sensoriknya karena alat-alat indra, serabut saraf mengalami gangguan sehingga penyampaian informasi ke otak tidak sempurna.

f. Terapi Snoezelen

Terapi snoezelen merupakan aktivitas yang dirancang untuk mempengaruhi sistem saraf pusat (SSP) melalui pemberian rangsangan yang cukup pada sistem sensori primer anak, seperti penglihatan, pendengaran, peraba, perasa lidah, pembau dan sistem sensoris internal. Snozelen mengarahkan anak untuk rileks dan mengeksplorasi serta mengekspresikan dirinya di dalam atmosfer yang terbuka pada faktor kepercayaan dan kesenangan (Danuatmaja, 2003). Adapun stimuli yang dipakai yaitu stimuli penglihatan, pendengaran dan penciuman.

g. Terapi Musik.

Menurut Ewalt (dalam danuatmaja, 2003) menjelaskan bahwa terapi musik efektif dalam kegiatan komunikasi dengan anak yang sangat pendiam, penyendiri dan terbelakang yang merupakan karakteristik anak autis. Tujuan terapi musik bagi anak autis tidak terlepas dari tujuan terapinya secara keseluruhan yaitu mengembangkan kemampuan emosi, dan mengembangkan kemampuan sosialisasi. Pada umumnya ruang lingkup terapi musik tidak terlepas dari ruang lingkup pendidikan musik yaitu 1) menggerakkan tubuh sesuai musik, bunyi atau suara, 2) mendengarkan musik atau suara, 3) menggunakan alat-alat instrumen, baik alat yang dibuat sendiri maupun instrumen musik modern, membunyikan alat-alat bersama-sama, menyanyi dan bergerak atau bermain sesuai musik atau nyanyian. Pelaksanaan terapi musik perlu memperhatikan kondisi anak, bahasa yang digunakan, tenaga terapis, tempat dan alat terapi,

strategi pendekatan dan penilaian. Sedangkan ragam latihan terapi musik terdiri dari latihan motorik halus, latihan motorik kasar, kemampuan persepsi, latihan konsentrasi, latihan menyanyi lagu anak-anak, latihan menggunakan alat musik sederhana, melakukan gerak dan latihan improvisasi.

h. Terapi Remedial

Terapi yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan belajar, karena anak mengalami gangguan menyimpan, memproses atau memproduksi informasi. Kondisi ini menyebabkan anak mengalami keterlambatan dalam proses belajarnya dan membutuhkan terapi remedial.

Terapi remedial diberikan bagi anak yang mengalami kesulitan belajar atau specific learning disability sehingga terapis harus memberikan remediasi atau pengulangan kembali konsep-konsep atau materi yang diberikan sekolah mulai dari awal secara satu guru satu murid (one-one).

i. Terapi Suntik Jarum Super

Terapi yang dirintis secara sederhana dan praktis yang merupakan terapi dengan perpaduan fitur pengetahuan pengobatan barat dengan timur yang diformulakan ke dalam bentuk dan sistem pengobatan oriental. Terapi ini dapat mengatasi sintom tantrum, hiperaktif, stimulasi diri, sampai pada tingkat masalah verbalisasi (Wijayakusuma, 2002 ; 2004 ; 2005).

j. Terapi Kelasi

Terapi kelasi ditujukan untuk membantu tubuh anak mengeluarkan racun dan ampas buangan proses kimiawi tubuh. Dalam tubuh seseorang terdapat tiga

titik yang berhubungan dengan meridian Yin dan Yang tubuh yaitu baihui di kepala, huiyin di antara anus dan kemaluan dan yongquan di telapak kaki. Titik Yongquan yang terdapat di telapak kaki merupakan meridian Yin, kaki ginjal yang bersinergi dengan organ ginjal. Secara fisiologis ginjal merupakan organ tempat pencucian darah yang melakukan penyaringan antara darah dengan ampas kimiawi, racun dan zat-zat berbahaya lainnya. Pemberian terapi kelasi bagi anak autisme membuat racun dan sisa kimiawi yang ada dikaki terserap ke luar tubuh begitu pula dengan racun yang ada di ginjal sehingga tubuh anak akan bersih dari racun sehingga mendukung efektivitas perbaikan tubuh (Wijayakusuma, 2002; 2004;2005).

k. Terapi Air / Water Therapy

Terapi ini mensinergiskan saraf simpatis dan saraf parasimpatis yang berpusat pada otak tepatnya di bagian thalamus dan hipotalamus. Otak mengatur semua organ vital dalam tubuh seperti proses pencernaan, sirkulasi darah, metabolisme, detoksifikasi (Wijayakusuma, 2002; 2004;2005).

Berbagai terapi di atas dapat dilakukan dengan berbagai metode, seperti metode Lovaas, metode Kaufman, Son-Rise. Metode Lovaas adalah metode modifikasi tingkah laku yang disebut dengan Applied Behavioral Analysis (ABA). Metode ini dapat digunakan untuk pengembangan ketrampilan anak, intervensi untuk berbagai kelainan, intervensi untuk tingkah laku patologis (mabuk-mabukan, pecandu narkotika) selain terhadap anak autis. Metode Lovaas menuntut kepatuhan anak. Metode Kaufman adalah metode yang berlawanan dengan metode Lovaas.

Metode kaufman adalah orangtua, guru atau pendamping mengamati, menolong, membantu dan menunjang anak mengembangkan dirinya. Kondisi ini menunjukkan terapi apa yang dilakukan.

Metode Son-Rise merupakan suatu program yang membantu anak keluar dari keterbatasannya dengan menunjukkan sikap mencintai dan menerima, tidak menghakimi, memiliki sikap penuh semangat, antusias, memiliki asumsi yang kurang mendukung / negatif thinking, berpikir dan bersikap saat ini, memberikan penghargaan dan menciptakan kegembiraan dan kebahagiaan (Danuatmaja, 2003). 2. Bentuk Penanganan Lain

a. Program Inklusi / Sosialisasi ke sekolah reguler

Anak dengan kelainan perilaku, terutama penyandang autisme, yang telah mampu bersosialisasi dan berkomunikasi dengan baik, dicoba untuk memasuki sekolah normal sesuai dengan umurnya.

Namun perlu diingat bahwa terapi perilakunya jangan ditinggalkan karena sangat besar kemungkinan terjadi regresi yaitu perkembangan perilaku anak yang mundur kembali. Sebaiknya diikutsertakan di sekolah normal tetapi dibarengi dengan penanganan perilaku yang tetap terus dikembangkan dan dipelihara. Perlu diingat bahwa bagi anak autisme yang masuk sekolah normal harus dipantau terus (oleh shadower atau helper). Bila terjadi kesulitan komunikasi, anak dapat segera dijembatani dengan instruksi yang dimengerti anak.

Di lingkungan sekolah normal, anak-anak ini dapat dilatih untuk berkomunikasi dan bersosialisasi dengan anak-anak sebayanya. Sedangkan materi akademiknya bila terjadi kesulitan, tetap dapat diajarkan secara one-one (satu guru mendampingi satu anak pada saat yang sama).

b. Sekolah (Pendidikan) Khusus

Di dalam pendidikan khusus biasanya telah diramu terapi perilaku, terapi wicara dan terapi okupasi. Bila perlu dapat ditambah dengan terapi obat-obatan, vitamin dan nutrisi yang memadai serta terapi lainnya. Ramuan tersebut merupakan kelompok-kelompok materi dan aktivitas yang diberikan dengan metoda Lovaas. Pendidikan anak dengan kebutuhan khusus tidak dapat disamakan dengan pendidikan normal. Kalau di pendidikan normal seorang guru dapat menangani beberapa anak sekaligus, maka untuk anak dengan kebutuhan khusus, biasanya seorang terapis hanya mampu menangani seorang anak pada saat yang sama (one-one). Bagi autis pemula, perlu ditangani oleh 2 terapis sekaligus (yang seorang bertugas sebagai terapis dan yang lain sebagai co-terapist yang tugasnya membantu terapis).

Semua jenis penanganan perilaku ini hanya efektif apabila gejala autisme tidak disertai penyulit lain, seperti keracunan logam berat, pemakaian zat aditif yang berlebihan, sulit mencernakan protein susu anak, dan adanya Sensory Interpretation Errors ataupun adanya handicaped lain seperti retardasi mental dan lain-lain. Apabila memang dijumpai penyulit-penyulit tersebut di atas, maka dengan sendirinya tiap penyulit harus ditangani sampai tuntas. Dengan demikian

maka terapi perilaku yang ditangani dengan baik akan memberikan hasil yang optimal.

Dokumen terkait