• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil pegumpulan data, ternyata orangtua yang mempunyai anak autis infantil mengalami masalah internal pribadi yang berkaitan dengan aspek kognitif, afektif, spiritual atau religius dan masalah eksternal yang berkaitan dengan lingkungan keluarga serta lingkungan sekolah dan lembaga terkait dalam rentang frekuensi mulai dari “sangat sering”, “sering”, “kadang-kadang” sampai “tidak mengalami”. Tabulasi data penelitian dan pengelompokan aspek masalah hasil penelitian dapat dilihat pada lampiran 6 halaman 119.

Dalam laporan hasil penelitian ini, peneliti lebih memfokuskan perhatian pada frekuensi (sangat sering dan sering) item-item masalah yang dialami oleh orangtua anak autis infantil.

1. Aspek Internal a. Kognitif

Terdapat 3 komponen yang diukur dalam aspek kognitif, yaitu (a) gangguan bicara/komunikasi, interaksi sosial, emosi dan penanganan

anak autis infantil, (b) masa depan anak autis infantil dan (c) lingkungan keluarga dan pihak terkait yang membantu perkembangan anak autis infantil. Komponen-komponen tersebut dipaparkan pada tabel-tabel berikut:

Masalah a/Tabel 6

Frekuensi Masalah Orangtua yang mempunyai Anak Autis Infantil tentang Gangguan Bicara/Komunikasi, Interaksi Sosial,

Emosi dan Penanganan anaknya serta Jumlah Responden

Frekuensi No Masalah Sangat Sering Sering Kadang Kadang Tidak Meng- alami 1 Saya beranggapan bahwa

terbatasnya kosa kata yang dimiliki anak saya bukan merupakan penyebab ketidakmampuan berbicara anak saya

- 11 18 3

2 Saya berpikir bahwa sia-sialah melatih anak saya dalam mengungkapkan perasaannya

2 9 8 13

3 Saya berpandangan bahwa anak saya semakin sulit bahkan tidak dapat mengartikan kata-kata yang diucapkan oleh orang lain

3 13 10 6

4 Saya berpandangan bahwa kemampuan berbicara anak saya akan berubah begitu saja tanpa perlu dilatih

1 13 9 9

5 Saya berpandangan bahwa anak saya tidak berkembang menjadi lebih baik apabila bergaul dengan teman sebayanya yang normal

8 13 8 3

6 Saya berpendapat bahwa tidak ada gunanya menanggapi perilaku-perilaku emosional anak saya

2 8 14 8

Total 15 67 67 42

Jumlah Rata-Rata 2.5 11.16 11.16 7

Tabel di atas menunjukkan frekuensi setiap kategori masalah yang dialami oleh orangtua. Item yang berbunyi “Saya beranggapan bahwa terbatasnya kosa kata yang dimiliki anak saya bukan merupakan penyebab

ketidakmampuan berbicara anak saya”, tidak sangat sering dialami oleh orangtua. Ini menunjukkan bahwa orangtua yang mempunyai anak autis berpandangan bahwa terbatasnya kosa kata yang dimiliki anaknya memang bukan merupakan penyebab ketidakmampuan berbicara anaknya. Namun demikian terungkap 11 orangtua sering mengalaminya. Item yang berbunyi “Saya berpikir bahwa sia-sialah melatih anak saya dalam mengungkapkan perasaannya” sangat sering dialami 2 orang dan 9 orang lainnya sering mengalaminya. Item yang berbunyi “Saya berpandangan bahwa anak saya semakin sulit bahkan tidak dapat mengartikan kata-kata yang diucapkan oleh orang lain”, sangat sering dialami oleh 3 orang dan sering dialami oleh 13 orang lainnya. Item yang berbunyi “Saya berpandangan bahwa kemampuan berbicara anak saya akan berubah begitu saja tanpa perlu dilatih”, sangat sering dialami oleh 1 orang dan“sering dialami oleh 13 orang lainnya. Item yang berbunyi “Saya berpandangan bahwa anak saya tidak berkembang menjadi lebih baik apabila bergaul dengan teman sebayanya”, sangat sering dialami oleh 8 orang dan sering dialami oleh 13 orang lainnya. Item yang berbunyi “Saya berpandangan bahwa tidak ada gunanya menanggapi perilaku-perilaku emosional anak saya”, sangat sering dialami oleh 2 orang dan sering dialami oleh 8 orang lainnya.

Secara keseluruhan (dalam semua item) tampak dengan jelas bahwa pilihan “sering” mendapat ranking tinggi (67).

Masalah b/Tabel 7:

Frekuensi Masalah Orangtua yang mempunyai Anak Autis Infantil tentang Masa Depan Anaknya serta Jumlah Responden

Frekuensi No Masalah Sangat Sering Se- ring Kadang Kadang Tidak Meng- alami 1 Saya berpandangan bahwa anak saya

telah kehilangan masa depannya

1 18 9 4

2 Saya berpikir bahwa kebahagiaan anak saya pupuslah sudah

2 9 7 10

3 Saya berpandangan bahwa lingkungan sosial mengabaikan kehidupan masa depan anak saya

3 7 13 9

Total 6 34 29 23

Jumlah Rata-Rata 7 11.3 9.6 3.8

Tabel di atas menunjukkan frekuensi setiap kategori masalah yang dialami oleh orangtua. Item yang berbunyi “Saya berpandangan bahwa anak saya telah kehilangan masa depannya” : sangat sering dialami oleh 1 orang dan sering dialami oleh 18 orang lainnya. Item yang berbunyi “Saya berpikir bahwa kebahagiaan anak saya pupuslah sudah”, sangat sering dialami oleh 2 orang dan sering dialami oleh 9 orang lainnya. Item yang berbunyi “Saya berpandangan bahwa lingkungan sosial mengabaikan kehidupan masa depan anak saya” : sangat sering dialami oleh 3 orang dan sering dialami oleh 7 orang lainnya.

Secara keseluruhan (dalam semua item) tampak dengan jelas bahwa pilihan “sering” mendapat ranking tinggi (34).

Masalah C/Tabel 8

Frekuensi Masalah Orangtua yang mempunyai Anak Autis Infantil tentang Lingkungan Keluarga dan Pihak Terkait yang Membantu

Perkembangan Anaknya serta Jumlah Responden

Frekuensi No Masalah Sangat Sering Sering Kadang Kadang Tidak Meng- alami 1 Saya berpikir bahwa sekolah

Umum bukanlah tempat yang tepat melatih kemampuan sosialisasi anak saya

2 17 8 5

2 Saya berpikir hanya dukungan keluarga sajalah yang paling menentukan baik-buruknya perkembangan anak saya

6 17 4 5

3 Saya pikir saya tidak perlu secara langsung mendampingi anak saya karena sudah ditangani terapis

2 18 3 9

Total 10 52 15 19

Jumlah Rata-Rata 3.3 17.3 5 6.3

Tabel di atas menunjukkan frekuensi setiap kategori masalah yang dialami oleh orangtua. Item yang berbunyi “Saya berpikir bahwa sekolah umum bukanlah tempat yang tepat melatih kemampuan sosialisasi anak saya” : sangat sering dialami oleh 2 orang dan sering dialami oleh 17 orang lainnya. Item yang berbunyi “Saya berpikir hanya dukungan keluarga sajalah yang paling menentukan baik-buruknya perkembangan anak sya” , sangat sering dialami oleh 6 orang dan sering dialami oleh 17 orang lainnya. Item yang berbunyi “Saya berpikir saya tidak perlu secara langsung mendampingi anak

saya karena sudah ditangani terapis”, sangat sering dialami oleh 2 orang dan sering dialami oleh 18 orang lainnya.

Secara keseluruhan (dalam semua item) tampak dengan jelas bahwa pilihan “sering” mendapat ranking tinggi (52).

b. Aspek Afektif

Terdapat komponen reaksi-reaksi perasaan yang diukur dalam aspek afektif, yang dipaparkan pada tabel berikut:

Tabel 9

Frekuensi Masalah Orangtua yang mempunyai Anak Autis Infantil tentang Reaksi Perasaan terhadap Gangguan Perkembangan Anaknya

Serta Jumlah Responden

Frekuensi No Masalah Sangat Sering Se ring Kadang Kadang Tidak Meng alami 1 Saya bosan menginformasikan perkembangan

anak saya kepada orang lain yang tinggal serumah dengan saya (reaksi perasaan jengkel dan marah)

3 8 15 9

2 Saya malu mengakui keberadaan anak saya (reaksi perasaan malu dan bersalah)

5 22 8 5

3 Saya bingung melakukan upaya-upaya penyembuhan bagi anak saya (reaksi perasaan bingung dan putus asa)

7 12 3 2

4 Saya cemas terhadap masa depan anak saya (reaksi perasaan takut dan cemas)

11 18 2 1

Total 26 60 28 17

Jumlah Rata-Rata 6.5 15 7 4.2

Tabel di atas menunjukkan frekuensi setiap kategori masalah yang dialami oleh orangtua. Item yang berbunyi “Saya bosan menginformasikan perkembangan anak saya kepada orang lain yang tinggal serumah dengan saya”

sangat sering dialami oleh 3 orang dan sering dialami oleh 8 orang lainnya. Item yang berbunyi “Saya malu mengakui keberadaan anak saya” , sangat sering dialami oleh 5 orang dan sering dialami oleh 22 orang lainnya. Item yang berbunyi “Saya bingung melakukan upaya-upaya penyembuhan bagi anak saya”, sangat sering dialami oleh 7 orang dan sering dialami oleh 12 orang lainnya. Item yang berbunyi “Saya cemas terhadap masa depan anak saya” sangat sering dialami oleh 11 orang dan sering dialami oleh 18 orang lainnya. Secara keseluruhan (dalam semua item) tampak dengan jelas bahwa pilihan “sering” mendapat ranking tinggi (60).

c. Aspek Spiritual atau Religius

Terdapat masalah yang diukur dalam aspek spiritual atau religius seperti yang tertera pada tabel berikut:

Tabel 10

Frekuensi Masalah Orangtua yang mempunyai Anak Autis Infantil Aspek kehidupan Spiritual atau Religius

serta Jumlah Responden

Frekuensi No Masalah Sangat Sering Sering Kadang Kadang Tidak Meng alami

1 Setiap kali berdoa untuk anak saya, saya

menginginkan agar Tuhan segera mengabulkan permohonan saya

9 12 10 1

2 Saya merasa sendirian menanggung beban ini 1 17 7 7

3 Saya mengingkari pertolongan Tuhan terhadap anak

saya

7 10 8 7

4 Saya memilih terus bekerja untuk mendapatkan uang

dari pada mengikuti kegiatan rohani

1 10 7 14

Total 18 49 32 29

Tabel di atas menunjukkan freuensi setiap kategori masalah yang dialami oleh orangtua. Item yang berbunyi “Setiap kali berdoa untuk anak saya, saya menginginkan Tuhan segera mengabulkan permohonan saya”, sangat sering dialami oleh 9 orang dan sering dialami oleh 12 orang lainnya. Item yang berbunyi “Saya merasa sendirian menanggung beban ini”, sangat sering dialami oleh 1 orang dan sering dialami oleh 17 orang lainnya. Item yang berbunyi “Saya mengingkari pertolongan Tuhan terhadap anak saya”, sangat sering dialami oleh 7 orang dan sering dialami oleh 10 orang lainnya. Item yang berbunyi “Saya memilih terus bekerja untuk mendapatkan uang dari pada mengikuti kegiatan rohani”, sangat sering dialami oleh 1 orang dan sering dialami oleh 10 orang lainnya.

Secara keseluruhan (dalam semua item) tampak dengan jelas bahwa pilihan “sering” mendapat ranking tinggi (49).

2. Aspek Eksternal

Aspek eksternal mencakup dua aspek yaitu aspek lingkungan keluarga dan embaga-lembaga terkait.

Terdapat komponen masalah yang diukur dalam aspek lingkungan keluarga serta lingkungan sekolah dan lembaga-lembaga terkait, seperti yang tertera pada tabel berikut:

Tabel 11

Frekuensi Masalah Orangtua yang mempunyai Anak Autis Infantil tentang Lingkungan Keluarga dan Sosial

serta Jumlah Responden

Frekuensi No Masalah Sangat Sering Sering Kadang Kadang Tidak Mengal ami 1 Saya sulit mempercayakan orang

untuk menangani anak saya meskipun mereka tinggal serumah dengan saya

4 16 7 5

2 Saya mempertahankan pendapat saya tentang penanganan anak saya walaupun pendapat saya keliru

4 20 6 2

3 Saya mengabaikan peraturan yang yang ditetapkan di SLB Autis Cipta Mulia Mandiri

14 7 11

Total 8 50 21 18

Jumlah Rata-Rata 2.6 16.6 7 6

Tabel di atas menunjukkan frekuensi setiap kategori masalah yang dialami oleh orangtua. Item yang berbunyi “Saya sulit mempercayakan orang untuk menangani anak saya meskipun mereka tinggal serumah”, sangat sering dialami oleh 4 orang dan sering dialami oleh 16 orang lainnya. Item yang berbunyi “Saya mempertahankan pendapat saya tentang penanganan anak saya walaupun pendapat saya keliru”, sangat sering dialami oleh 4 orang dan sering dialami oleh 20 orang lainnya. Item yang berbunyi “Saya mengabaikan peraturan yang ditetapkan di SLB Autis Cipta Mulia Mandiri”, sering dialami oleh 14 orang.

Secara keseluruhan (dalam semua item) tampak dengan jelas bahwa pilihan “sering” mendapat ranking tinggi (50).

Berdasarkan tabel-tabel dan uraian masalah di atas, maka masalah yang frekuan dialami oleh orangtua yang mempunyai anak autis infantil di Sekolah Luar Biasa Autis Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta dapat diringkas (direkapitulasikan) per aspeknya dalam tabel berikut:

Tabel 12

Aspek- Aspek Masalah Orangtua yang mempunyai Anak Autis Infantil di Sekolah Luar Biasa Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta

dan Frekuensi Frekuensi Aspek Sangat Sering Sering Kadang Kadang Tidak Mengalam i Kognitif 31 153 111 84 Afektif 26 60 28 17 Spiritual/ Religius 18 49 32 29 Intern al Jumlah 85 262 171 130 LIngkungan keluarga & Lembaga terkait 8 50 21 18 Masalah yang dialami oleh orangtua yang anaknya meng alami gangguan autisme infantil Eks- ternal Jumlah 8 50 21 18 Total 83 312 192 148

Tabel di atas menunjukkan bahwa frekuensi “sering” sangat dominan muncul pada orangtua yang mempunyai anak autis infantil di SLB Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta dengan total skor 312. Sedangkan frekuensi “kadang-kadang” mencapai ranking kedua (skor 192), “tidak mengalami” berada pada ranking ketiga (skor 148) dan

“sangat sering” menempati ranking keempat (skor 83). Hal ini menunjukkan bahwa frekuensi masalah yang dialami orangtua pada setiap aspek (internal dan eksternal) berbeda.

B. Pembahasan

1. Aspek Internal a. Aspek kognitif.

Menurut Burn dalam Safaria (2005) setiap peristiwa yang dihadapi manusia adalah netral namun setelah diolah dalam pikiran maka akan menimbulkan berbagai pandangan. Pandangan bisa negatif dan bisa positif. Faktor yang dapat menimbulkan cara pandang negatif atau positif adalah cara seseorang dalam melakukan penilaian atau interpretasi terhadap suatu peristiwa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa orangtua yang mempunyai anak autis infantil sering mengalami masalah dalam aspek ini.

1) Pandangan tentang gangguan perkembangan (bicara/komunikasi, interaksi sosial/perilaku, emosi) dalam diri anak autis dan penanganan yang membantu perkembangannya.

Data hasil penelitian, komponen ini menunjukkan bahwa orangtua yang mempunyai anak autis di SLB Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta mengalami masalah dan berada pada kategori frekuensi “sering” mengalami masalah dengan skor 67. Kelengkapan data dapat dilihat pada masalah a/tabel 6, halaman 70.

Berdasarkan indikasi masalahnya, hal yang menyebabkan orangtua bermasalah mungkin karena kurang memahami secara menyeluruh gangguan perkembangan anak autis dalam hal bicara, komunikasi, interaksi sosial, perilaku, emosi, imajinasi anak dan pemahaman menyeluruh mengenai perkembangan anak-anak normal. Selain itu kemungkinan orangtua kurang memahami sikap-sikap mana yang perlu diambil dalam menangani anak autis dan bagaimana menghadapinya, bentuk-bentuk penanganan seperti apa yang cocok bagi anaknya dan yang perlu diberikan kepada anaknya, siapa dan hal-hal apa saja yang kiranya dapat membantu proses penanganan anaknya.

2) Pandangan tentang masa depan anak autis

Data dari hasil penelitian, komponen ini menunjukkan bahwa orangtua yang mempunyai anak autis di SLB Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta mengalami masalah dan berada pada kategori “sering” mengalami masalah dengan skor 34. Kelengkapan data dapat dilihat pada masalah b/tabel 7, halaman 72.

Berdasarkan indikasi masalahnya, hal yang menyebabkan orangtua bermasalah mungkin karena kurang memahami manajemen masa depan anak autis, dampak positif dari penanganan intensif dan berkesinambungan terhadap anak autis dari orangtua/keluarga dengan lembaga-lembaga terapi, mungkin orangtua kurang memahami realita dari anak autis yang tidak bisa menghasilkan sesuatu karena ketrampilan yang dimiliki sangat terbatas

sementara realita dunia saat ini sangat menantang orang untuk berjuang mempertahankan hidup saat ini maupun masa yang akan datang, mungkin orangtua kurang memahami keunikan dari anak dengan gangguan autisme dalam hal merasa bahagia/gembira di masa yang akan datang, pentingnya melatih ketrampilan-ketrampilan yang dimiliki anaknya demi menunjang kebahagiaan kelak. Handojo (2003) mengatakan bahwa banyak orangtua dari anak dengan gangguan autisme hanya menyerahkan penanganan anaknya pada institut, lembaga khusus autisme atau pusat-pusat terapi. Mereka tidak mau tahu lagi dengan urusan perkembangan anaknya. Di satu sisi orangtua terlalu mencampuri proses terapi yang tengah berlangsung dan kurangnya kerjasama antara orangtua dengan sekolah atau lembaga autisme.

Kisah nyata ibu Sry Sudaryati, Dosen UGM Jogyakarta, yang terungkap melalui wawancara pribadi dengan peneliti pada tanggal 25 Agustus 2005 menggambarkan bahwa ketika anaknya didiagnosis autisme, ia berpandangan bahwa anaknya kurang merasa bahagia/gembira karena setiap kali ada cerita lucu ataupun suasana yang gembira dalam rumah, anaknya kurang merespon dan bahkan sedih. Selain itu ia berpandangan bahwa anaknya akan menderita karena anaknya tidak bisa melakukan sesuatu ataupun menghasilkan sesuatu seperti anaknya yang normal. Baginya gangguan yang dialami anaknya sangat berpengaruh terhadap masa depannya. Namun setelah melewati proses penanganan yang panjang,

ternyata Osi anaknya ternyata memiliki kebahagiaan tersendiri dengan apa yang ia kerjakan. Osi memiliki minat/bakat tulis menulis, menggambar, dan memasak. Osi tidak memiliki minat pada air. Atau hal yang berhubungan dengan air. Osi tidak pernah menggambar pelabuhan, ferry mogok ataupun berenang. Setiap kali melakukan apa yang diminati, terpancar dari wajahnya sedang meraih kebahagiaan dan kegembiraan. Kadang nampak tersenyum sendiri atau bersikap tenang. Hasil karya Osi sudah banyak mendapatkan pemasukan finansial bagi osi dan keluarganya dan sedang dipasarkan ke berbagai daerah.

3) Pandangan tentang kondisi lingkungan keluarga dan pihak terkait yang membantu demi perkembangan anak.

Data dari hasil penelitian, komponen ini menunjukkan bahwa orangtua yang mempunyai anak autis di SLB Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta mengalami masalah dan berada pada kategori “sering” mengalami masalah dengan skor 52 Kelengkapan data dapat dilihat pada masalah c/tabel 8, halaman 73.

Berdasarkan indikasi masalahnya, hal yang menyebabkan orangtua bermasalah mungkin karena kurangnya keyakinan terhadap penanganan lembaga/sekolah, kurang memahami manfaat sosialisasi ke sekolah umum dalam hal kemampuan berkomunikasi, sosialisasi dengan teman-teman sebayanya dan materi akademik. Selain itu kemungkinan orangtua menganggap anaknya akan dilecehkan dan takut kalau-kalau anaknya justru

akan mengalami kemunduran setelah berada bersama teman-teman normal, mungkin orangtua terpengaruh oleh pengalaman penanganan sebelumnya dari pihak lain terhadap anaknya atau orangtua meragukan bantuan psikolog, psikiater, ahli gizi, lingkungan sosial masyarakat, dan lembaga-lembaga autis atas terapi yang diberikan sehingga kurang terbuka untuk menerima hal-hal baru.

Danuatmaja (2003) mengemukakan bahwa pada dasarnya latihan-latihan untuk meningkatkan kemampuan sosialisasi anak dapat dilakukan di sekolah umum karena kondisi sekolah umum sangat membantu anak dengan gangguan autisme apalagi terhadap anak yang sudah dapat mengendalikan perilakunya. Selain itu dikemukakan juga bahwa anak autis yang telah diterapi dengan baik mampu berkomunikasi dengan normal serta mempunyai wawasan akademik yang baik. Anak sebaiknya mulai diperkenalkan untuk masuk ke dalam kelompok anak-anak normal ((www. Dikdasmen.Depdiknat.go.id). Namun dalam kenyataan Danuatmadja (2003) mengatakan bahwa orangtua tidak berbicara atau berkomunikasi dengan guru di sekolah umum, tidak berdialog bersama, apakah diijinkan seorang terapi untuk mendampingi anak dan sebagainya. Berdasarkan kemungkinan tersebut Handoko (2003) menjelaskan bahwa orang yang banyak mengalami kegagalan dan kekecewaan di masa lalu pada umumnya akan menjadi orang yang kurang percaya diri dan meragukan orang lain.

b. Aspek Afektif

Safaria (2005) menjelaskan bahwa kebanyakan orangtua mengalami berbagai reaksi perasaan marah / jengkel, sedih, malu dan merasa bersalah, bingung, putus asa, takut dan cemas sejak mendengar diagnosis bahwa anaknya mengalami gangguan autisme sampai dalam proses menangani anaknya. Seorang ibu dengan anak yang menderita autisme pernah membagikan pengalamannya sebagai berikut: bertahun-tahun aku dan keluarga hidup dalam tekanan batin dan berbagai perasaan bercampur baur setiap waktu (Safaria: 2005). Pada umumnya orangtua yang mempunyai anak yang terdiagnosis gangguan autisme berusaha untuk menangani namun sering muncul pertanyaan kenapa saya dan selalu disertai dengan rasa perasaan marah, geram, kecewa, sedih dan akhirnya pasrah atau bingung tidak tahu harus berbuat apa (Puspita, 2004).

Data dari hasil penelitian, aspek ini menunjukkan bahwa orangtua yang mempunyai anak autis di SLB Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta mengalami masalah dan dominan berada pada kategori “sering” mengalami masalah dengan skor 60. Kelengkapan data dapat dilihat pada tabel 9, halaman 74.

1) Reaksi perasaan marah dan jengkel

Orangtua mengalami reaksi perasaan marah dan jengkel. Hal ini terekam dalam jawaban bahwa mereka bosan menginformasikan perkembangan anaknya kepada terapis, jengkel terhadap masyarakat karena menurut mereka masyarakat tidak peduli terhadap penanganan

anaknya. Menurut peneliti, kemarahan dan kejengkelan ini kemungkinan disebabkan tidak tercapainya harapan dan cita-cita mereka terhadap perkembangan anaknya juga penanganan dari para terapis, para dokter dan pihak-pihak terkait lainnya; kurangnya pemahaman tentang kerjasama dalam menangani anak dengan gangguan autisme antara orangtua, dan pihak sekolah/lembaga serta tenaga-tenaga medis seperti para dokter, ahli gizi dan tenaga psikolog/psikiater; adanya sikap penolakkan terhadap kehadiran anak dengan gangguan autisme sehingga berpengaruh terhadap sikap dan perilakunya yaitu bosan menginformasikan perkembangan anaknya dan mengharapkan pertolongan dari pihak luar. Safaria (2005) menjelaskan bahwa sering kali kemarahan orangtua berlanjut sehingga membuat perasaan menjadi sensitif . Setiap kejadian yang kecil bisa menimbulkan kemarahan. Kemarahan ini dapat ditunjukkan kepada pihak sekolah, lembaga, terapis, dokter dan bahkan pihak lain seperti masyarakat sekitar melalui sikap hidup mereka.

2) Reaksi perasaan malu dan bersalah

Orangtua mempunyai perasaan malu dan bersalah. Hal ini terekam dalam jawaban bahwa mereka malu menghadapi keberadaan anaknya dan malu menghadapi perilaku menyimpang anaknya di depan umum. Menurut peneliti, faktor yang menyebabkan mereka mengalami demikian mungkin karena kurangnya pemahaman mereka tentang autisme dan

gangguannya, gejala dan penyebab autisme sehingga mereka cenderung mempersalahkan diri bahwa merekalah satu-satunya penyebab anaknya mengalami gangguan. Selain itu kemungkinan orangtua berpandangan bahwa orang lain akan menolak keberadaannya apabila ia mengakui keberadaan anaknya secara terbuka dan jujur, orangtua yang mempunyai anak dengan gangguan autisme akan dipermalukan di tempat umum atau kemungkinan orangtua merasa orang lain lebih sukses darinya dalam hal mendidik anak karena memiliki anak normal sedangkan dirinya tidak. Handoko (2003), menjelaskan bahwa orang merasa malu karena ia berbeda dengan orang lain atau yang diharapkan oleh orang lain. Dan rasa malu biasanya dimulai dengan peristiwa yang sangat memalukan atau karena dipermalukan oleh orang lain. Safaria (2004) menjelaskan bahwa perasaan malu muncul ketika orangtua berhadapan dengan lingkungan sosial, merasa minder karena memiliki anak yang mengalami gangguan autisme. Seorang ibu menuturkan,” kadang saya merasa dan berpikir semua orang mencemooh saya, memandang aneh anak saya, saya jadi ragu-ragu untuk keluar rumah, menceritakan kepada orang lain dan saya seperti menjadi orangtua yang tidak berharga, karena tidak mampu melahirkan anak yang normal (Safaria, 2004)”.

3) Reaksi perasaan bingung dan putus asa

Orangtua mempunyai reaksi perasaan bingung dan putus asa. Hal ini terekam dalam jawaban mereka bahwa mereka bingung melakukan

upaya-upaya penyembuhan bagi anaknya dan merasa tak berdaya apabila menyaksikan anaknya yang selalu diam saja atau hiperaktif. Menurut peneliti, hal yang menyebabkan mereka mengalami demikian mungkin

Dokumen terkait