• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI

C. Permasalahan Orangtua yang mempunyai Anak Autis

Orangtua merupakan bagian dari keluarga inti. Mereka tinggal bersama dan di dalamnya terjadi proses menjadi ayah, dan ibu, membesarkan anak, perawatan fisik dan emosi, cinta dan afeksi, mempertahankan harga diri dan mentransfer nilai-nilai budaya serta nilai-nilai-nilai-nilai iman dan kepercayaan. Orangtua yang mempunyai anak autis merupakan wadah untuk berperan sebagai ayah dan ibu, berproses mengembangkan kognisi, afeksi, spiritual atau religius dan hubungan sosialnya, baik anaknya maupun diri mereka sendiri. Namun dalam kenyataan mereka mengalami permasalahan baik dalam aspek sikap internal pribadi maupun aspek eksternal.

Permasalahan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Aspek Internal Pribadi Orangtua

a. Aspek Kognitif

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1988), arti kognitif/kognisi adalah proses pengenalan dan penafsiran lingkungan; kegiatan memperoleh pengetahuan atau usaha mengenali sesuatu melalui pengalaman sendiri. Dalam hal ini berpikir merupakan aspek penting dalam suatu kognisi. Salah satu konsep mendasar yang perlu dipahami oleh setiap individu adalah bahwa pikiran merupakan sumber dari munculnya perasaan atau emosi. Setiap peristiwa yang dialami tidak terlepas dari penafsiran seseorang

terhadap peristiwa tersebut. Burns (dalam Safaria, 2005) menjelaskan bahwa pada dasarnya setiap peristiwa yang dialami manusia adalah netral namun setelah diolah dalam pikiran maka akan menimbulkan berbagai macam penafsiran. Salah satu faktor yang dapat menimbulkan ekses negatif adalah cara-cara dalam melakukan penilaian terhadap suatu peristiwa. Distorsi kognitif terjadi secara otomatis ketika manusia berhadapan dengan suatu permasalahan. Gambaran di atas menunjukkan bahwa proses kognitif sangat berkaitan erat dengan persepsi.

Menurut Solso (dalam Satiadarma, 2001), persepsi adalah deteksi dan interpretasi stimulus yang ditangkap oleh penginderaan. Jadi hal-hal yang ditangkap melalui penginderaan kemudian ditransformasikan susunan saraf pusat di otak, kemudian diinterpretasikan sehingga mengandung arti tertentu bagi seseorang. Berkaitan dengan persepsi, faktor harapan sangat berpengaruh dalam proses interpretasi. Setiap orangtua mengharapkan anaknya berkembang secara baik. Orangtua akan merasa kagum ketika menyaksikan proses perkembangan anaknya. Namun adakalanya, harapan dalam bentuk set (suatu bentuk ide yang telah dipersiapkan terlebih dahulu sebelum munculnya stimulus) demikian besar pengaruhnya sehingga pandangan orangtuapun mengalami bias.

Marijani dkk (2003) menjelaskan bahwa orangtua yang mempunyai anak autis seringkali mengalami kekacauan dalam berpikir. Ketika anaknya divonis/didiagnosa autis, bahkan selama penanganannya, kebanyakan

orangtua beranggapan bahwa mereka tidak mampu berbuat apa-apa; mereka tidak dapat menjaga anak secara baik; mereka menganggap nasibnya sial dan tidak berguna; mereka menyalahkan diri, khususnya istri; menganggap dirinya tidak bisa melahirkan anak yang normal; tidak bisa membahagiakan suami; begitupun sebaliknya, ayah menganggap sebagai penyebab anak autis, ayah tidak bisa memberikan keturunan. Orangtua menganggap Tuhan menghukumnya karena telah memberikan anak autis (Puspita, 2004).

Orangtua yang mempunyai anak autis seringkali dikacaukan oleh pikiran-pikiran negatif tentang masa depan anaknya, apakah mereka dapat mencari sumber penghidupan sendiri, apakah mungkin mereka menikah (Handoyo, 2004). Pikiran ini menyebabkan banyak orangtua yang tetap sulit menerima kenyataan atau menolak, salah satu faktor misalnya karena besarnya harapan terhadap diri si anak. Kalau tahap penolakannya berlangsung pendek, tak begitu menimbulkan masalah. Namun kalau penolakan terjadi terus menerus, otomatis intervensi terhadap anaknya pun jadi tak benar. Orangtua baik suami maupun istri sering memiliki perbedaan persepsi tentang autisme, pengetahuan orangtua tentang autisme kurang, orangtua kurang mamahami penderitaan atau kebutuhan penyandang autisme, orangtua kerap kali bingung dalam mengatasi anak, antar suami atau istri saling menyalakan, orangtua bingung dalam memilih dokter/sekolah/terapi dan pendidikan terapis autis sangat mahal, kurang mengetahui cara-cara penanggulangan. Perbedaan pandangan antara bapak

dan ibu (orangtua) yang anaknya autis menimbulkan kandala lain dalam dirinya, yaitu ketidakpedulian serta kekacauan orangtua kepada anaknya membuat mereka kurang memperhatikan secara cermat perkembangan dan perubahan yang terjadi pada anak, ketidakdisiplinan orangtua dalam mengetatkan diet anak, berlebihan dalam mencurahkan kasih sayang, kurangnya ketekunan yang mengakibatkan memutuskan masa terapi yang harus dijalankan oleh anak secara gegabah, kurangnya kesabaran dari orangtua, kurangnya keyakinan akan sembuh yang mempengaruhi semangat juang mereka, terbatasnya dana penanganan bagi anaknya, buruknya stimulasi lingkungan, kecerobohan dan sikap kurang cermat dari orangtua, kurang sehatnya gaya hidup orangtua (Safaria, 2004).

b. Aspek Afektif

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988), arti kata afeksi adalah kasih sayang; perasaan-perasaan dan emosi. Perasaan adalah reaksi internal terhadap aneka pengalaman, yang disertai perubahan-perubahan fisiologis tertentu seperti denyut jantung yang meningkat, meneteskan air mata karena haru bahagia atau sedih. Reaksi-reaksi internal ini kadang membawa dampak negatif dan sulit dikendalikan oleh setiap orang (Safaria, 2005). Kesulitan ini disebabkan oleh kurangnya kemampuan untuk mengelola perasaan secara baik. Goleman (dalam Safaria, 2004), menjelaskan bahwa kemampuan mengelola emosi adalah kemampuan individu untuk mengelola dan menyeimbangkan emosi-emosi yang dialaminya. Individu yang mampu

mengelola emosi-emosi negatif akan membuat individu tidak terbawa dan terpengaruh berpikir irasional.

Orangtua yang mempunyai anak autis sering mengalami emosi-emosi negatif. Handojo (2003) menjelaskan bahwa kebanyakan orangtua anak autis selalu mempertanyakan bagaimana kemungkinan sembuh bagi anaknya. Mereka seringkali sangat mencemaskan masa depan anaknya. Marijani (2003) dan Puspita (2004) mengemukakan bahwa banyak kasus yang ditemukan dalam diri orangtua anak autis, seperti: perasaan galau ketika anaknya dinyatakan oleh dokter menderita autisme, kurang menerima alias adanya penolakkan terhadap anaknya, orangtua merasa sedih, putus asa, merasa lelah dan tak berdaya, bingung bila anaknya sedang marah dan mengamuk, bingung mengambil langkah-langkah yang pasti karena kurang memiliki wawasan yang luas bagaimana seharusnya berperan atau menanganinya.

Budhiman dkk (2002) mengungkapkan bahwa reaksi-reaksi yang timbul pada diri orangtua ketika mengetahui anaknya positif penyandang autis sangat beragam. Ada yang kaget, shock dan pingsan, kurang menerima, merasa sedih, pesimis terhadap masa depan anaknya, kecewa, sulit menerima kenyataan. Permasalahan seputar orangtua yang mempunyai anak autis dapat terlihat pada gejala sebagai berikut: shock, merasa kecewa dan tak percaya. Orangtua mengalami suatu proses panjang untuk menerimanya. Orangtua tidak jarang mengalami kesedihan yang berlarut-larut. Kurangnya kesiapan

emosional ini menyebabkan anak kurang ditangani dengan baik dan menimbulkan frustrasi dan tidak lagi mengembangkan dirinya seoptimal mungkin. Orangtua juga kehilangan semangat hidup ketika mereka terpaksa kehabisan dana atau materi lainnya. Selain itu orangtua pada umumnya malu mempunyai anak autis, bingung dalam mengatasi anak, bingung dalam memilih sekolah/terapi (Sudaryati, 2005).

Di dalam suatu wawancara peneliti dengan M. Yasin Pimpinan Sekolah Luar Biasa Autisme Yogyakarta, masalah yang dialami oleh orangtua yang mempunyai anak autis adalah orangtua merasa cemas, takut/khawatir akan perkembangan dan kehidupan anaknya di masa yang akan datang.

c. Aspek Spiritual atau Religius

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesi (1988), arti kata spiritual adalah kejiwaan; rohani; batin; mental dan moral. Jadi aspek spiritual dari orangtua yang mempunyai anak autis adalah aspek kejiwaan, kerohanian, batiniah, mental dan moral dari orangtua itu sendiri.

Clinebell (dalam Safaria, 2004) menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan dasar spiritual yang harus dipenuhinya. Kebutuhan dasar spiritual ini jika dipenuhi akan memunculkan perasaan aman, damai dan tentram serta membebaskan manusia dari perasaan cemas, takut, sedih, dan marah. Begitu pula yang terjadi pada orangtua yang mempunyai anak autis membutuhkan pemenuhan akan kebutuhan dasar spiritual tersebut. Seperti

telah dijelaskan sebelumnya, orangtua yang mempunyai anak autis mendapatkan suatu beban yang berat bagi mereka. Mereka perlu memiliki kemampuan untuk mengatasi konfliknya. Salah satu sumber kemampuan spiritual adalah religiositas. Glock dan Stark (dalam Safaria, 2004) menjelaskan ada lima dimensi atau aspek dari religiositas.

1) Dimensi Ideologis (religious belief)

Dimensi yang menunjukkan tingkat keyakinan seseorang terhadap kebenaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang fundamental. Orangtua yang mempunyai anak autis perlu memahami kembali ajaran-ajaran agama yang diyakini, memperdalamnya, dan menguatkan kembali imannya terhadap ajaran agama yang dianutnya.

2) Dimensi Ritualistik (religious practice)

Dimensi yang menunjukkan tingkat kepatuhan seseorang dalam menjalankan kegiatan-kegiatan ritual yang dianjurkan agamanya. Kepatuhan ini dapat ditunjukkan dengan konsistensi seseorang dalam melaksanakan ibadah, doa dan pengembangan rohani. Orangtua yang mempunyai anak autis perlu memiliki komitmen yang besar untuk melaksanakan kewajibannya.

3) Dimensi Eksperiensial (religious feeling atau experiential dimention) Dimensi yang menunjukkan seberapa jauh tingkat kepekaan seseorang dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan atau pengalaman-pengalaman religiusnya, misalnya seberapa besar seseorang merasakan

kedekatan dengan orang lain, kedamaian, keyakinan akan doanya terkabul, atau keyakinannya bahwa Tuhan akan memberikan pertolongan 4) Dimensi intelektual (religious knowledge)

Dimensi yang menunjukkan tingkat pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap ajaran-ajaran agamanya terutama yang termuat dalam kitab suci atau pedoman pokok agamanya. Misalnya apakah individu memahami bagaimana melakukan ibadat, sholat atau kebaktian rohani lainnya.

5) Dimensi Konsekuensial (religious effect)

Dimensi yang menunjukkan tingkatan seseorang dalam berperilaku yang dimotivasi oleh ajaran agamanya atau seberapa jauh seseorang mampu menerapkan ajaran agamanya dalam berperilaku sehari-hari. Misalnya menahan diri untuk melakukan hal-hal yang dilarang oleh agamanya. Aspek spiritual sangat berpengaruh pada pemecahan suatu masalah hidup. Safaria dan Puspita (2005) menjelaskan bahwa kendala yang dihadapi orangtua yang mempunyai anak autis adalah mereka merasa bahwa dirinya berdosa. Hal ini ditunjukkan dengan menghukum diri, menyesali dan bahkan berhenti dari aktivitas kereligiusan serta aktivitas lainnya. Mereka menganggap Tuhan tidak adil. Selain itu mereka semakin berontak dan semakin marah kepada Tuhan karena bertubi-tubi cobaan yang dialami. Suasana batin mereka menjadi kacau dan kurangnya kehendak untuk beramal.

2. Aspek Eksternal

a. Lingkungan keluarga

Safaria (2005) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang menentukan orangtua berhasil dan sukses menghadapi tantangan memiliki anak dengan gangguan autisme adalah hubungan harmonis dengan pasangannya, antara ayah dan ibu, antara anak dan keluarga lain. Hubungan yang harmonis dapat ditunjukkan dalam bentuk membina kebersamaan, menjadi positif dan produktif, menghargai tanpa syarat, bersedia meminta maaf dan memaafkan, menciptakan sebuah komitmen, memberi teladan yang baik terhadap anak-anak, menjelaskan autisme terhadap saudara kandung, memberitahukan keadaan/kondisi anak dengan gangguan autis kepada orangtua dan sanak keluarga/kerabat lainnya, melatih dan mengembangkan respon-respon positif terhadap komentar yang kurang tepat dan mengembangkan kecerdasan sosial. Harapan-harapan tersebut kadang tidak berjalan sebagaimana mestinya oleh orangtua yang mempunyai anak autis. Hal ini disebabkan oleh berbagai hambatan yang akan dijelaskan berikut ini.

Menurut Handoyo (2003), hambatan yang dialami orangtua yang mempunyai anak autis, misalnya kurangnya dukungan dari keluarga atau orang serumah. Beberapa permasalahan seputar orangtua yang memiliki anak dengan gangguan autis yaitu suami dan istri berbeda pemahaman tentang autisme dan penanganannya dan salah satu dari pasangan tersebut belum bisa menerima kondisi anak dengan gangguan autisme. Padahal dalam menangani

anak autis perlu dukungan dari kedua pasangan, selain dukungan emosional dari pihak keluarga yang paling dekat.

Hambatan-hambatan tersebut sangat berdampak negatif bagi orangtua yang memiliki anak dengan gangguan autisme. Mereka semakin yakin bahwa kehadiran anak dengan gangguan autisme tidak memberikan kebahagiaan bagi orang sekitar; orangtua mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, merasa sungkan untuk berada di lingkungan baru.

Selain relasi antara pasangan (suami dan istri), adapun faktor lain dalam lingkungan keluarga adalah peranan saudara sekandung dan orang serumah. Sering terjadi bahwa saudara sekandung memiliki pilkiran negatif terhadap anak dengan gangguan autisme. Hal ini mengakibatkan perilaku tidak wajar terhadap anak dengan gangguan autisme. Perlakuan seperti ini secara langsung atau tidak langsung menambah beban mental orangtua (http://puterakembara.org/Leny.htm).

Menurut peneliti, lingkungan keluarga yang kondusif sangat mendukung anak autis untuk berkembang menjadi lebih baik. Namun sebaliknya saudara sekandung, dan anggota keluarga lainnya termasuk kakek atau nenek penyandang autisme dapat menjadi penyebab orangtua bermasalah karena pandangan-pandangan yang keliru terhadap gangguan autisme dan perilaku-perilaku yang tidak mendukung.

b. Lingkungan Sekolah dan Lembaga Terkait

Handojo (2003) menjelaskan bahwa banyak kandala yang dihadapi di luar diri orangtua berkaitan dengan kodisi anak dengan gangguan autisme dan upaya penyembuhan. Kandala yang dimaksud adalah biaya terapi yang tinggi. Dengan kondisi biaya yang tinggi, lambat laun orangtua memilih jenis terapi yang murah tetapi tidak mempercepat penyembuhan anak dan mencari terapis di sekolah yang biayanya murah tetapi sulit dipertanggungjawabkan. Selain itu pengadaan terapis yang professional masih sulit. Hal ini disebabkan belum adanya akademi terapi perilaku anak berkebutuhan khusus.

Di sisi lain penerimaan sosial terhadap anak dengan gangguan autisme masih sedikit. Hal ini menambah beban mental orangtua yang memiliki anak dengan gangguan autisme (Kompas, 31 Maret 2005).

Selain itu orangtua dan dokter kurang komunikasi dan orangtua kurang selektif memasukkan anaknya ke sekolah reguler, sulit bekerjasama dengan lembaga atau sekolah atau pusat terapi anak autisme, orangtua mengalami hambatan dalam hal ikatan kerja/dinas begitu pun sebaliknya. Hambatan ini terlihat dari kebingungan mereka dalam mengambil keputusan, apakah melanjutkan bekerja atau berhenti bekerja sementara mereka dihadapkan pada berbagai peraturan yang baku, keluarga yang tinggal serumah dengannya mengalami kesulitan dalam penyesuaian waktu untuk menangani anaknya (Marijani, 2003), kurangnya penerimaan sosial dari anggota

keluarga dan masyarakat yang disebabkan oleh mereka adanya konsep bahwa gangguan autisme pada anak tidak akan bisa sembuh, kurang memahami peranannya/sumbangannya bagi anak dengan gangguan autisme (Kompas, 16 April 2005).

Vrugteveen dan Hanafi (2005) menjelaskan bahwa orangtua perlu memiliki kemampuan sosial yang tinggi. Orangtua yang mempunyai anak autis perlu melatih dan mengolah diri serta memiliki ketrampilan berelasi dengan orang lain. Hal ini akan mendukungnya dalam menangani anaknya secara khusus perkembangan dan masa depan anaknya. Kemampuan ini memungkinkan bagi orangtua menjalin kerjasama yang handal untuk memanusiakan anaknya yang mengalami gangguan autisme. Dengan demikian seluruh permasalahan yang dialami oleh orangtua yang mempunyai anak autis dapat teratasi dengan baik.

Safaria (2004) menjelaskan bahwa kebanyakan orangtua yang mempunyai anak autis mengalami kesulitan dalam berelasi sosial, yaitu kurang memahami bagaimana cara menciptakan dan menjalin hubungan sosial yang efektif, mengisolasi diri dari pergaulan sosial karena kenyataan bahwa mereka mempunyai anak autis.

Berdasarkan wawancara dengan M. Yasin, pimpinan Sekolah Luar Biasa Autisme Yoyakarta, dan beberapa orangtua yang mempunyai anak autis, dikatakan bahwa orangtua yang mempunyai anak autis kurang menerima perlakuan dari orang lain baginya dan akhirnya mendiamkan dan

menghindar dari konflik, misalnya mereka tidak lagi bekerja sama sebagai suatu tim dalam kegiatan-kegiatan tertentu di mana mereka hidup, selalu mengkritik pendapat orang lain dan layanan yang diberikan bagi anaknya di sekolah atau lembaga autisme demi kepuasan sendiri. Selain itu antara orangtua tidak saling memotivasi, tidak memiliki sikap empati dan kurang bisa mendengarkan sesama orangtua dan para pendamping atau terapis. 3. Dampak Permasalahan Orangtua pada Aspek Psikomotorik/Perilaku.

Pandangan seseorang sangat melandasi bagaimana orang bersikap atau berperilaku. Perilaku adalah semua tindakan atau tingkah laku seseorang, baik kecil maupun besar, yang dapat dilihat, didengar dan dirasakan (oleh indra perasa di kulit, dan bukan yang dirasakan di hati) oleh orang lain atau diri sendiri. Jadi perilaku meliputi bicara atau suara, gerakan-gerakan atau aksi-aksi baik berupa gerakan yang beraturan atau tidak beraturan, tertuju ataupun tidak tertuju, sengaja ataupun tidak sengaja, berguna ataupun tidak berguna. Semua perilaku individu pasti didahului oleh suatu penyebab atau antecedent, baik eksternal maupun internal. Penyebab eksternal dapat diperoleh dari individu lain ataupun lingkungan sekitarnya. Penyebab internal dapat berasal dari sikap atau attitude dan emosi yang didasari oleh watak dan kepribadian seseorang. Setiap perilaku juga akan memberikan suatu akibat atau consequence, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, baik bagi individu itu sendiri, orang lain atau lingkungannya (Handojo, 2003)

Satiadarma (2001) menjelaskan bahwa bila seseorang mempersepsikan atau memiliki pandangan bahwa seseorang itu baik, maka ia akan bersikap baik kepada orang tersebut. Bila seseorang memiliki sikap baik kepada orang tersebut, maka perilakunyapun akan baik pula.

Aspek-aspek permasalahan yang dialami oleh orangtua yang mempunyai anak autis seperti yang digambarkan sebelumnya mempengaruhi bagaimana orangtua bersikap atau berperilaku. Orangtua membiarkan pikirannya diliputi oleh gangguan perkembangan anaknya. Kekacauan berpikir ini menimbulkan reaksi-reaksi perasaan/emosi negatif dalam diri orangtua. Safaria (2005) menjelaskan bahwa gejolak emosi yang dialami oleh orangtua yang mempunyai anak autis dapat berpengaruh negatif pada fungsi kognitif, afeksi dan spiritualnya dan berdampak negatif pada perilaku orangtua anak autis termasuk fisik dan psikisnya, seperti gejala depresi, kecemasan, somatis dan stres. Gejala-gejala ini diakibatkan tekanan psikis dan ketidakmampuan mengimbangkan perasaan, kehidupan spiritualnya serta mengontrol sikap dan perilakunya selama proses membimbing dan mendidik anaknya yang mengalami gangguan autisme dan ketidakmampuan orangtua dalam menjalin relasi sosial. Ketidakseimbangan tersebut berdampak pada perilaku yang dapat terlihat dalam berbagai gejala sebagai berikut:

1. Depresi

Safaria (2004) menjelaskan bahwa realita gangguan autisme pada anak menyebabkan orangtua yang mempunyai anak autis mengalami depresi.

Gejala-gejala yang menjadi karakteristik dari depresi ini adalah terdapat mood depresif seperti sedih, murung, kehilangan semangat, jatuh dalam kesedihan, dan rasa rendah diri, hilang minat, menarik diri dari pergaulan sosial, tidak mampu menanggapi pujian dengan perasaan senang, merasa gelisah, memikirkan secara berulang-ulang tentang kematian atau bunuh diri, bersikap pesimistis terhadap masa depan, menyesali peristiwa masa lampau bahkan rasa senang berlebih-lebihan dalam seluruh aktivitas yang biasanya dilakukan dalam waktu senggang (Marijani & Wijayakusuma, 2003 ; 2004). 2. Kecemasan

Orangtua yang mempunyai anak autis mengalami ketegangan-ketegangan mental (Puspita, 2004). Kebanyakan orangtua merasa tidak aman yang ditandai dengan perubahan-perubahan fisik seperti gemetar, keluar keringat dingin, jantung berdebar-debar. Secara psikologis perasaan cemas ini akan menimbulkan gejala panik, tegang, bingung, tidak bisa konsentrasi, risau bila memikirkan anaknya, sulit tidur karena memikirkan perilaku anaknya dan penerimaan sosial, merasa mengalami kesulitan hidup yang tidak dapat diselesaikan dan ketakutan tanpa sebab yang jelas Gejala tersebut muncul ketika melihat anaknya yang mengalami penyimpangan perilaku yang tidak menentu, selama penanganan dan ketika memikirkan masa depan anaknya (Wijayakusuma & Sarasvati & Safaria, 2004 ; 2005).

3. Gejala Somatisasi

Marijani dkk (2003) menjelaskan bahwa orangtua yang mempunyai anak autis sering mengalami gangguan somatis seperti badan terasa lemas dan tak berdaya ketika anaknya dikatakan oleh dokter bahwa positif penyandang autisme. Selain itu orangtua memiliki nafsu makan berkurang, pusing-pusing tanpa sebab yang jelas, badan sering lemas, keringat dingin, sering berpikir jangan-jangan terserang penyakit, tangan dan kaki sering pegal, sulit tidur, denyut jantungnya mengencang (Puspita & Sarasvati, 2004).

4. Stres

Safaria (2005) menjelaskan bahwa gejala-gejala yang dialami oleh orangtua yang mempunyai anak autis, yang tergolong dalam gejala stress adalah orangtua mengalami beberapa gejala sebagai berikut:

a. Gejala fisiologis, berupa keluhan sakit kepala, sembelit, diare, sakit pinggang, urat tegang pada tengkuk, tekanan darah tinggi, kelelahan, sakit perut, maag, berubah selera makan, susah tidur dan kehilangan semangat.

b. Gejala emosional berupa keluhan seperti gelisah, cemas, mudah marah, gugup, takut, mudah tersinggung, sedih, depresi.

c. Gejala kognitif berupa keluhan seperti susah berkonsentrasi, sulit membuat keputusan, mudah lupa, melamun secara berlebihan, dan pikiran kacau.

d. Gejala interpersonal berupa sikap acuh tak acuh pada lingkungan sosial, apatis, minder, kehilangan kepercayaan pada orang lain, dan mudah mempersalahkan orang lain.

e. Gejala organisasional berupa meningkatnya keabsenan dalam kerja, menurunnya produktivitas, ketegangan dengan rekan kerja, ketidakpuasan kerja, dan menurunnya dorongan untuk berprestasi.

BAB III

Dokumen terkait