• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI

A. Gangguan Perkembangan Anak Autis

1. Pengertian autisme

Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Istilah autisme baru diperkenalkan pada tahun 1934 oleh Leo Kenner ( Handojo, 2003). Lukas Adi Prasetyo dalam karangannya berjudul ”Penyandang Autisme perlu Penerimaan Masyarakat”, menjelaskan bahwa autisme ialah anak yang mengalami gangguan berkomunikasi dan berinteraksi sosial serta mengalami gangguan sensoris, pola bermain dan emosi (Kompas, 31 Maret 2005). Keadaan ini menyebabkan penyandang autis seakan hidup di dunianya sendiri (Handojo, 2003). Menurut Danuatmaja (2003), autisme merupakan suatu kumpulan sindrom akibat kerusakan saraf. Penyakit ini mengganggu perkembangan anak. Autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial, emosi, perilaku dan aktivitas imjinasi.

Selain pengertian di atas, World Health Organization (WHO, 1987) dan Diagnostical Statistic Manual (DSM) yang dikembangkan oleh American

Psychiatric association (APA, 1994) mendefinisikan bahwa penyandang autisme adalah mereka yang mengalami gangguan kualitatif dalam hal interaksi sosial, komunikasi, pola minat perilaku (Peters, 2004). Kartono dan Gulo (2000) menjelaskan bahwa autisme adalah kecenderungan pikiran-pikiran dan persepsi-persepsi seseorang yang dipengaruhi oleh hasrat dan keinginannya dalam fantasi dan khayalan-khayalan, dimana kenyataan obyektif tidak terlihat karena adanya kecenderungan melihat dunia secara subjektif.

Gangguan perkembangan tersebut juga ditandai oleh sifat suka menyendiri secara total (baik dalam tahap usia anak atau menunjukkan kekanak-kanakan dan dini sifatnya) yang merupakan suatu dunia batin yang terkurung dan menolak segala macam usaha pendekatan yang disebut dengan autis infantil (Kartono & Gulo, 2000).

2. Karakteristik Autistik

Handojo (2003) menjelaskan bahwa penyandang autisme mempunyai karakteristik antara lain:

a. Selektif yang berlebihan terhadap rangsang.

b. Kurangnya motivasi untuk menjelajahi lingkungan baru. c. Respon stimulasi diri sehingga mengganggu integrasi sosial.

d. Respon unik terhadap imbalan (reinforcement) khususnya imbalan dari stimulasi diri. Anak merasa mendapat imbalan berupa hasil penginderaan terhadap perilaku stimulasi dirinya, baik berupa gerakan maupun berupa suara. Hal ini menyebabkan ia selalu mengulang perilakunya secara khas.

e. Bahasa/komunikasi: ekspresi wajah yang datar, tidak menggunakan bahasa/isyarat tubuh, jarang memulai berkomunikasi, tidak meniru aksi atau suara, bicara sedikit atau tak ada, atau mungkin cukup verbal, mengulangi atau membeo kata-kata, kalimat-kalimat atau nyanyian, intonasi/ritme vokal yang aneh, tampak tidak mengerti arti kata, menggunakan kata secara terbatas dan harafiah.

f. Hubungan dengan orang lain kurang responsif, tak ada senyum sosial, kontak mata terbatas, tampak asyik bila dibiarkan sendiri, tidak melakukan permainan giliran, menggunakan tangan orang dewasa sebagai alat.

g. Hubungan dengan lingkungan: bermain repetitif (diulang-ulang), marah atau tidak mengehendaki perubahan-perubahan, berkembangnya ritunitas yang kaku dan memperlihatkan ketertarikan yang fleksibel.

h. Sangat hiperaktif, membentur kepala, menggigit pergelangan, melompat-lompat atau mengepak-ngepakkan tangan, tahan atau merespon aneh terhadap nyeri.

i. Mengalami kesenjangan perilaku: kemampuan mungkin sangat baik atau terlambat, mempelajari ketrampilan di luar urutan normal, misalnya: membaca tetapi tidak mengerti arti, menggambar secara rinci, tidak dapat mengancing baju, pintar mengerjakan puzzle, amat sukar mengikuti perintah, berjalan pada usia normal tetapi tidak berkomunikasi secara lancar, membeo dan sulit berbicara dari diri sendiri (kurangnya inisiatif dalam berkomunikasi).

Supratiknya (1995) menjelaskan bahwa gangguan autisme memiliki ciri-ciri sebagai berikut: penderita senang menyendiri dan bersikap lebih dingin sejak kecil/bayi, tidak mau atau sangat sedikit berbicara, tidak menyukai stimulasi pendengaran, senang melakukan stimulasi diri, memukul mukul kepala, atau gerakan aneh lainya, memanipulasi objek, sulit menangkap atau memahami makna, sangat tertarik dan mengembangkan ikatan yang sangat kuat dengan objek-objek yang lazim.

Anak autis mempunyai masalah/gangguan dalam bidang komunikasi, interaksi sosial, gangguan sensoris, pola bermain, perilaku dan emosi (www. Dikdasmen. Depdiknat.go.id) Hal ini sangat terlihat pada karakteristik sebagai berikut:

a. Komunikasi

1) Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada.

2) Anak tampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara tetapi kemudian sirna.

3) Kata-kata yang digunakan kadang-kadang tidak sesuai artinya.

4) Mengoceh tanpa arti secara berulang-ulang dengan bahasa yang tak dapat dimengerti orang lain.

5) Senang meniru atau membeo (echolalia).

6) Bila senang meniru, dapat menghafal kata-kata atau nyanyian tersebut tanpa mengerti artinya.

7) Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia inginkan, misalnya bila ingin meminta sesuatu.

b. Interaksi sosial

1) Penyandang autis lebih suka menyendiri.

2) Tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar untuk bertatapan. 3) Tidak tertarik untuk bermain bersama teman.

4) Bila diajak bermain ia tidak mau dan menjauh. c. Gangguan sensoris

1) Sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk. 2) Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga. 3) Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda. 4) Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut.

d. Pola bermain

1) Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya. 2) Tidak suka bermain dengan anak sebayanya. 3) Tidak kreatif dan tidak imajinatif.

4) Tidak bermain sesuai fungsi mainan, misalnya sepeda dibalik lalu rodanya diputar-putar.

5) Senang akan benda-benda yang berputar, seperti kipas angin, roda sepeda.

6) Dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang terus dan dibawa ke mana-mana.

e. Perilaku

1) Dapat berperilaku berlebihan (hiperaktif) atau kekurangan (hipoaktif). 2) Memperlihatkan perilaku stimulasi diri seperti bergoyang-goyang,

mengepakkan tangan seperti burung, berputar-putar mendekatkan mata ke pesawat TV, lari/berjalan bolak-balik, melakukan gerakan yang diulang-ulang.

3) Tidak suka pada perubahan.

4) Dapat duduk bengong dengan tatapan kosong. f. Emosi

1) Sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa dan menangis tanpa alasan.

2) Temperamen tantrum (mengamuk tanpa terkendali) jika dilarang atau tidak diberikan keinginannya.

3) Kadang suka menyerang dan merusak.

4) Kadang-kadang anak berperilaku yang menyakiti dirinya sendiri. 5) Tidak mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan orang lain. Puspita (2005) menjelaskan bahwa anak autis memiliki karakteristik dalam memproses informasi.

a. Visual thinking

Anak lebih mudah memahami hal konkret (dapat dilihat dan dipegang) dari pada hal abstrak. Biasanya ingatan atas berbagai konsep tersimpan dalam bentuk video atau file gambar. Proses berpikir yang

menggunakan gambar/film seperti ini, jelas lebih lambat dari pada proses berpikir verbal; akibatnya mereka perlu jeda beberapa saat sebelum bisa memberikan jawaban atas pertanyaan tertentu. Individu dengan gaya berpikir seperti ini, juga lebih menggunakan asosiasi dari pada berpikir secara logis menggunakan logika.

b. Processing problem

Anak autis mengalami kesulitan memproses data. Mereka cenderung terbatas dalam memahami common sense atau menggunakan akal sehat/nalar. Mereka sulit merangkai informasi verbal yang panjang (rangkai intruksi), sulit diminta mengingat sesuatu sambil mengerjakan hal lain, dan sulit memahami bahasa verbal/lisan. Hal-hal tersebut di atas tampak konsisten dengan kecenderungan autis yang lebih mudah berpikir secara visual.

c. Sensory sensitivities

Perkembangan yang kurang optimal pada sistem neurobiologis individu autis juga mempengaruhi perkembangan indra mereka sehingga terjadi salah satu atau semua pada sebagian anak autis:

1) sound sensitivity: anak sangat takut pada suara keras/bising. Ketakutan yang berlebihan ini membuat mereka bingung, merasa cemas atau terganggu, yang sering termanifestasi dalam bentuk perilaku buruk. Pola kepekaan akan suara keras/bising ini tidak sama, dan frekuensi setiap individu juga berbeda-beda.

2) Touch sensitivity: anak memiliki kepekaan terhadap sentuhan ringan atau sebaliknya terhadap sentuhan keras. Masalah kepekaan yang berlebihan ini biasanya terwujud dalam bentuk masalah perilaku (termasuk masalah makanan dan pakaian). Bila anak peka terhadap sentuhan dan terganggu dengan sentuhan kita, maka pelukan kita justru dapat diartikan sebagai hukuman yang menyakitkan.

3) Rhytm difficulties: anak sulit mempersepsi irama yang tertampil dalam bentuk lagu, bicara, jeda dan saat untuk masuk percakapan. Hal itu menyebabkan banyak individu autis terus-menerus berbicara, atau menyerobot masuk saat percakapan sedang berlangsung, yang sering kali dianggap oleh lingkungan sebagai anak yang tidak sopan.

d. Communications frustration

Gangguan perkembangan bahasa yang terjadi pada individu autis membuat mereka sering frustrasi karena masalah komunikasi. Mereka bisa mengerti orang lain, apabila orang lain berbicara langsung kepada mereka. Hal ini menyebabkan mereka seolah tidak mendengar bila orang lain bercakap-cakap. Mereka merasa percakapan itu tidak ditujukan kepada mereka. Individu autis juga sulit mengungkapkan diri, sehingga selalu berteriak atau berperilaku negatif agar mendapatkan apa yang mereka inginkan.

e. Social and emotional issues

Ciri lain yang sangat dominan adalah fiksasi atau keterpakuan akan sesuatu yang membuat individu autis cenderung berpikir kaku. Akibatnya, individu autis sulit beradaptasi atau memahami perubahan yang terjadi di lingkungan sehari-hari. Pada umumnya individu autis tidak pernah membayangkan bahwa orang lain juga bisa mempersepsi sesuatu dari sudut pandang yang berbeda-beda, karena hal ini adalah sesuatu yang sangat abstrak sehingga banyak yang sulit berempati bila tidak dilatih melalui pengalaman dan pengarahan. Perbedaan manifestasi gangguan-gangguan tersebut menjadikan setiap individu sangat unik. Tidak ada dua individu autis yang sama persis, bahkan yang kembar sekalipun, sehingga penanganan juga tidak bisa disamakan. Paham individual differences sangat ditekankan sehingga orangtua atau pembimbing tidak memberikan penanganan seragam bagi sekelompok anak.

3. Faktor-faktor Penyebab Autisme a. Gangguan susunan saraf pusat

Handoyo (2003) menjelaskan bahwa otak anak autis mempunyai suatu kelainan. Ada tiga lokasi di otak yang ternyata mengalami kelainan neuro-anatomis. Penelitian yang dilakukan oleh para pakar dari banyak negara, menemukan beberapa fakta yaitu adanya kelainan anatomis pada lobus patietalis, cerebellum dan sistem limbiknya. Empat puluh tiga persen

(43%) penyandang autisme mempunyai kelainan pada lobus patietalis otaknya yang menyebabkan anak acuh tak acuh terhadap lingkungannya. Kelainan juga ditemukan pada otak kecil (cerebellum), terutama pada lobus ke VI dan ke VII. Otak kecil bertanggung jawab atas proses sensoris, daya ingat, berpikir, belajar berbahasa dan proses atensi (perhatian) juga didapatkan sel purkinje di otak kecil yang sangat sedikit, sehingga terjadi gangguan keseimbangan serotonin dan dopamine. Akibatnya terjadi gangguan atau kekacauan lalu-lalang impuls di otaknya.

Ditemukan pula kelainan yang khas di daerah sistem limbik yang disebut hippocampus dan amigdala. Akibatnya terjadi gangguan fungsi kontrol terhadap agresi dan emosi, anak kurang dapat mengendalikan emosinya, seringkali berperilaku agresif atau sangat pasif. Amigdala juga bertanggungjawab terhadap berbagai rangsang sensoris seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, rasa dan takut. Hippocampus bertanggung jawab terhadap fungsi belajar dan daya ingat, maka terjadilah kesulitan menyimpan informasi baru, perilaku yang diulang-ulang, dan aneh. Hiperaktif juga disebabkan gangguan hippocampus.

Danuatmaja (2004) menjelaskan bahwa pada bagian otak anak autis ditemukan kelainan neuroanatomi (anatomi susunan saraf pusat) pada beberapa tempat di dalam otak anak autis. Banyak anak autis mengalami pengecilan otak kecil, terutama pada lobus VII. Seharusnya di lobus VI-VII banyak terdapat sel purkinje, namun, pada anak autis jumlah sel purkinje

(kecemerlangan warna-warna) sangat kurang. Akibat produksi serotonin (suatu neurotransmitter yang terdapat dalam sistem saraf sentral) berkurang menyebabkan kacaunya proses penyaluran informasi antar otak. Selain itu, ditemukan kelainan struktur pada pusat emosi di dalam otak sehingga emosi anak autis sering terganggu.

b. Gangguan sistem pencernaan

Hal ini terlihat dari seorang pasien autis, Parker Beck, mengeluhkan gangguan pencernaan yang sangat buruk. Setelah mendapat suntikan sekretin, Beck sembuh dan mengalami kemajuan luar biasa. Kasus ini memicu penelitian-penelitian yang mengarah pada gangguan metabolisme pencernaan (www.dikdasmen.depdiknat.go.id)

c. Peradangan dinding usus

Berdasarkan pemeriksaan endoskopi atau peneropongan usus pada sejumlah anak autis yang memiliki pencernaan buruk ditemukan adanya peradangan usus pada sebagian besar anak. Dr. Andrew Wakefield ahli pencernaan (gastro enterolog-yang berkenaan dengan lambung dan usus-usus) asal Inggris menduga peradangan tersebut disebabkan virus campak (Danuatmaja, 2003).

d. Keracunan logam berat

Berdasarkan tes laboratorium yang dilakukan pada rambut dan darah ditemukan kandungan logam berat yang beracun pada banyak anak autis. Diduga kemampuan sekresi logam berat dari tubuh terganggu secara genetik.

Penelitian selanjutnya menemukan bahwa logam berat seperti arsenik (As), antimony (Sb), kadmium (Cd), air raksa (Hg), dan timbal (Pb) adalah racun otak yang sangat kuat.

Sallie Bernard (Danuatmaja, 2003) ibu dari anak autis, menunjukkan penelitiannya pada tahun 2002 bahwa gejala yang diperlihatkan anak-anak autis sama dengan keracunan merkuri. Dugaan ini diperkuat dengan membaiknya gejala autis setelah anak-anak melakukan terapi kelasi (merkuri dikeluarkan dari otak dan tubuh mereka).

e. Gangguan Nutrisi pada Anak Autis

Handoyo (2003) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan anak mengalami gangguan autis adalah gangguan nutrisi dalam diri anak. Pengaturan pola makan yang baik pun terbukti dapat membantu mengurangi gejala autisme.

Anak autisme sebaiknya menghindari mengkonsumsi jenis-jenis protein yang tidak bisa diserap dengan sempurna yang memungkinkan terjadinya peptida seperti kasein yang terdapat di dalam susu hewan dan glutein yang terdapat pada makanan seperti terigu, oat, barley, cereal serta hasil olahannya.

Berikut ini digambarkan golongan makanan yang diperbolehkan dan yang dihindarkan.

N o Golongan Makanan Makanan yang diperbolehkan

Makanan yang dihindarkan

1 Sumber karbohidrat

Beras, beras ketan, singkong, ubi, tepung beras, tapioca, sagu, dan hasil olahannya: bihun, soun, dll

Makanan yang mengandung glutein, gandum, oat/havermaut, barley, terigu dan semua hasil olahannya: roti, kue, mie, spagethi, macaroni, pizza, biscuit.

2 Sumber protein hewan

Daging: sapi, babi, kambing, burung, ayam, hati, ikan, kepiting, cumi, telur, udang, hati

Makanan sumber casein: susu dan hasil olahannya: keju, yoghurt, cream, daging, ikan yang diawetkan dan diolah seperti: sosis, cornet, daging asap, ikan asap, sarden

3 Sumber protein nabati

Tahu, tempe, kacang hijau, kacang kedelai, kacang merah, kacang tanah, kacang kapri

Kecap, tauco

4 Sumber lemak

Minyak goreng, minyak zaitun, minyak jagung, minyak kacang, santan kelapa

Mentega, cream

5 Sayuran Semua sayur segar, wortel, labu kuning,

tomat, brokoli, kangkung, bayam, labu

siam, sawi, timun

Saos: tomat, cabai, tomat, sayuran yang diawetkan dan diasinkan

6 Buah-buahan

Semua buah segar: anggur, apel, pisang, jeruk, jambu, mangga, semangka, melon

Buah yang diawetkan: buah dalam kaleng

7 Minuman Teh, sari buah murni tanpa pengawet, susu kedelai

Minuman botol ringan, sari buah dengan pengawet

8 Lain-lain Bumbu dapur; salam, laos, sereh, kunyit, jahe, kencur, bawang, lada, ketumbar, agar

Makanan yang diawetkan dengan bahan pengawet: permen, permen coklat, lada, bubuk sering dicampur terigu, ragi pengembang roti

4. Perkembangan Dini Pada Anak Autis

a. Bahasa dan Komunikasi Usia

Dalam Bulan

Karakteristik 6 Tangisan sulit dipahami

8 Ocehan yang terbatas atau tidak normal (misalnya menjerit atau berciut) Tidak ada peniruan bunyi, bahasa tubuh, ekspresi

12 Kata-kata pertama mungkin muncul, tapi seringkali tidak bermakna Sering menangis keras-keras; tetap sulit untuk dipahami

24 Biasanya kurang dari 15 kata Kata-kata muncul kemudian hilang

Bahasa tubuh tidak berkembang; sedikit menunjuk pada benda 36 Kombinasi kata-kata jarang

Mungkin ada kalimaat-kalimat yang bersifaat echo, tapi tidak ada penggunaan bahasa yang kreatif

Ritme, tekanan atau penekanan suara yang aneh

Artikulasi yang sangat rendah separuh dari anak-anak normal Separuhnya atau lebih tanpa ucapan-ucapan yang bemakna Menarik tangan orangtua dan membawanya ke suatu obyek

Pergi ke tempat yang sudah biasa dan menunggu untuk mendapatkan sesuatu 48 Sebagian kecil bisa mengkombinasikan dua atau tiga kata secara kreatif

Echolalia masih ada; mungkin digunakan secara komunikatif Meniru iklan TV Membuat permintaan b. Interaksi Sosial Usia Dalam Bulan Interaksi Sosial

6 Kurang aktif dan menuntut daripada bayi normal Sebagian kecil cepat marah

Sedikit sekali kontak mata

Tidak ada respon antisipasi secara sosial 8 Sulit reda ketika marah

Sekitar sepertiga diantaranya sangat menarik diri dan mungkin secara aktif menolak interaksi

Sekitar sepertiga diantaranya menerima perhatian tapi sangat sedikit memulai interaksi

12 Sosiabilitas seringkali menurun ketika anak mulai belajar berjalan, merangkak Tidak ada kesulitan pemisahan

24 Biasanya membedakan orangtua dari orang lain, tapi sangat sedikit afeksi yang diekspresikan

Mungkin memeluk dan mencium sebagai gerakan tubuh yang otomatis ketika diminta

Tidak acuh terhadap orang dewasa selain orangtua Mungkin mengembangkan ketakutan yang besar Lebih suka menyendiri

36 Tidak bisa menerima anak-anak yang lain Sensitivitas yang berlebihan

Tidak bisa memahami makna hukuman

48 Tidak dapat memahami aturan dalam permainan dengan teman sebaya 60 Lebih berorientasi pada orang dewasa daripada teman sebaya

Sering menjadi lebih bisa bergaul, tapi interaksi tetap aneh dan satu sisi/sepihak.

c. Imajinasi Anak Normal Dan Anak-anak Penyandang Autisme Usia

Dalam Bulan2

Perkembangan Normal Perkembangan Dengan Gejala Autisme

6 Perilakunya tidak berbeda terhadap sebuah benda pada saat yang sama 8 Perilaku dibedakan berdasarkan

karakteristik benda. Menggunakan dua buah benda dalam kombinasi (tidak tepat digunakan secara sosial)

Pengulangan gerakan motorik mungkin mendominasi kegiatan sadar

12 Perilaku terhadap benda sesuai secara sosial (kegunaan benda). Dua benda atau lebih dihubungkan secara tepat.

Agak penasaran/eksplorasi terhadap lingkungan.

Penggunaan mainan yang tidak biasa seperti memutar, menjentik, dan membariskan benda.

18 Sering berperilaku simbolik (pura-pura minum, berbicara di telepon, dan lain-ain)

24 Sering menerapkan permainan pura-pura dengan boneka, mainan binatang (misalnya memberi makan boneka).

Perilaku pura-pura tidak terbatas pada kegiatan sehari-hari (misalnya pura-pura menyetrika). Rangkaian perilaku pura-pura berkembang (memberi makan boneka, menimang dan membaringkannya di tempat tidur). Berpura-pura main tembak-tembakan dengan benda yang ada. 36 Permainan simbolik yang sudah

direncanakan lebih dulu memberitahukan maksudnya dan mencari benda yang dibutuhkan untuk itu. Mencari benda pengganti (misalnya menggunakan kotak sebagai pengganti mobil).

Benda diperlakukan sebagai alat yang dapat melakukan kegiatan bebas (misalnya: boneka dibuat agar dapat mengangkat gelas sendiri.

Terus-menerus menjilati benda. Tidak ada permainan simbolik.

Terus menerus melakukan gerak repetitif seperti mematung, memutar, berjingkat, dan lain-lain.

Kekaguman visual terhadap benda, manatap cahaya lampu dan lain-lain. Menunjukan banyak kekuatan yang berhubungan dalam manipulasi visual/motorik, misalnya puzzle.

48 Permainan sosiodramatis-pura-pura bermain dengan dua anak lain atau lebih. Menggunakan pantomim untuk mewakili benda yang diperlukan (misalnya pura pura menuangkan air karena tidak ada teko). Kehidupan nyata dan khayal dapat membantu peranan untuk waktu yang lama.

Penggunaan fungsional terhadap benda-benda. Beberapa aksi langsung terhadap boneka atau orang lain: kebanyakan melibatkan anak-anak sebagai perantara.

Permainan simbolik, jika ada, terbatas dan sederhana serta di ulang-ulang. Selama permainan, ketrampilan yang lebih sulit berkembang, tetap membutuhkan banyak waktu dibanding yang kegiatan lebih mudah.

Beberapa diantaranya tidak mengkombinasikan alat permainan dalam bermain.

60 Bahasa berperan penting dalam menciptakan tema, menegosiasikan peran dan bermain drama.

Tidak dapat berpantomim. Tidak bermain sosiodrama.

Dari Watson, L., dan Marcus, L., Diagnosa dan penilaian terhadap anak-anak prasekolah. Dalam Schopler, E., dan Mesibov, G. (eds) Diagnosis and assessment in autism. London, Plenum Press, 1988 (dalam Peeters, 2004).

Dokumen terkait