• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi masalah-masalah yang frekuen dialami oleh orangtua yang mempunyai anak autis infantil di SLB Autis Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Deskripsi masalah-masalah yang frekuen dialami oleh orangtua yang mempunyai anak autis infantil di SLB Autis Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta - USD Repository"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

DESKRIPSI MASALAH-MASALAH YANG FREKUEN DIALAMI OLEH ORANGTUA YANG MEMPUNYAI ANAK AUTIS INFANTIL

DI SLB AUTIS CIPTA MULIA MANDIRI YOGYAKARTA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh:

MARIA MAGDALENA NIM: 011114002

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2006

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

DESKRIPSI MASALAH – MASALAH YANG FREKUEN DIALAMI OLEH ORANGTUA YANG MEMPUNYAI ANAK AUTIS INFANTIL

DI SLB AUTIS CIPTA MULIA MANDIRI YOGYAKARTA

MARIA MAGDALENA

Universitas Sanata Dharma 2006

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran masalah-masalah yang frekuen dialami oleh orangtua yang mempunyai anak autis infantil. Subjek penelitian ini adalah 32 orangtua yang mempunyai anak autis infantil di SLB Autis Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta.

Jenis penelitian yang digunakan untuk menjawab semua permasalahan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Metode pengumpulan data yang dipakai adalah survei. Alat pengumpulan data adalah kuesioner yang disusun oleh peneliti sendiri dalam bentuk skala Likert dengan kategori “sangat sering”, “sering”, “kadang-kadang” dan “tidak mengalami”. Aspek yang diukur untuk memperoleh gambaran masalah adalah sikap internal yang berkaitan dengan aspek kognitif, afektif dan spiritual atau religius dan aspek eksternal yang berkaitan dengan lingkungan keluarga, sekolah dan lembaga-lembaga terkait lainnya. Teknik pengolahan data adalah perhitungan frekuensi untuk kategori “sangat sering”, “sering”, “kadang-kadang” dan “tidak mengalami”.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada aspek internal, khususnya aspek kognitif: Pertama, orangtua sering berpikir bahwa gangguan perkembangan bicara, emosi/perasaan, perilaku, interaksi sosial yang dialami anaknya akan berubah begitu saja sehingga tidak perlu dilatih apalagi sampai ditangani terapis. Kedua, orangtua sering berpikir bahwa lingkungan sosial pasti mengabaikan kehidupan anaknya; anaknya pasti akan kehilangan masa depan. Ketiga, orangtua sering berpikir bahwa kemampuan sosialisasi anak tidak perlu dilatih melalui pergaulan dengan teman sebaya dan sosialisasi ke sekolah umum karena anaknya pasti tidak berkembang. Pada aspek afektif, orangtua sering memiliki reaksi-reaksi perasaan, seperti bosan menginformasikan perkembangan anaknya kepada orang serumah, malu mengakui keberadaan anaknya, bingung melakukan upaya-upaya penyembuhan bagi anaknya, cemas dan takut terhadap masa depan anaknya. Pada aspek spiritual atau religius,

orangtua sering menginginkan Tuhan segera mengabulkan permohonannya setiap kali berdoa, sering merasa sendiri dalam menanggung beban ini, sering mengingkari pertolongan Tuhan terhadap anaknya, lebih sering memilih bekerja untuk mendapatkan uang daripada mengikuti kegiatan rohani.

Sedangkan pada aspek eksternal, orang tua sering sulit mempercayakan orang serumah untuk menangani anaknya, orang tua sering mempertahankan pendapat yang keliru dalam menangani anaknya, dan orang tua sering mengabaikan peraturan yang ditetapkan di SLB Autis Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta.

(6)

ABSTRACT

A DESCRIPTION OF FREQUENT PROBLEMS FACED BY PARENTS WITH INFANTILE AUTISTIC CHILDREN IN CIPTA MULIA MANDIRI

AUTISTIC HANDICAP SCHOOL YOGYAKARTA

MARIA MAGDALENA

Sanata Dharma University Yogyakarta 2006

This research was aimed to describe the frequent problems faced by parents with infantile autistic children. The subjects of this study were 32 parents with infantile autistic children in Cipta Mulia Mandiri Autistic Handicap School Yogyakarta.

This was a quantitative study, employed to answer all the problems in this research. Survey method was employed in the data gathering. The data gathering instrument employed was a questionnaire developed by the writer in a Likert- scale; categorized into “very often”, “often”, “sometimes”, and “never”. The aspects measured to get the description were internal attitude relating to cognitive, affective, and spiritual aspect, and external aspects from family, school, and other corresponding institutions. The study’s analysis technique was a frequency calculation for categories of “very often”, “often”, “sometimes”, and “never”.

The result showed that in internal aspects, especially in cognitive aspect: first, parents often thought that the children’s development deficiency in speaking, emotion/feeling, attitude, and social interaction would be reduced in a sudden without any training or a therapist’s treatments; second, parents often thought that their social environment had abandoned their children’s lives and surely the children would lose their future; and third, parents often thought that the children’s skill to socialize needed no guidance through peer relations and socialization in normal school because the children surely wouldn’t developed. In affective aspects, parents often became sensitive e.g. get bored to inform the children’s development to their relatives, being ashamed to recognize the children’s existence, being confused in the rehabilitation attempts and being worried and afraid of the children’s future. In spiritual or religious aspects, parents often demanded God to grand their wishes every time they pray; parents often felt lonely in bearing the burden; they often ignored God’s helps for the children; and they were more often to choose to work to get money rather than joining religious activities.

Furthermore in external aspects, parents often could not trust their relatives to take care of the children; they often hold their misinterpretations in taking care of children; and they often transgressed the rules used in Cipta Mulia Mandiri Autistic Handicap School Yogyakarta.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah yang Maha Kasih. Kasih yang mendasari seluruh kehidupan penulis secara khusus sepanjang penulisan skripsi. Allah telah membuka hati dan budi penulis untuk memahami dan mencintai kehidupan manusia termasuk orangtua yang mempunyai anak autis, anak autis itu sendiri dan siapa saja yang turut ambil bagian dalam kehidupan mereka. Penulis menyadari bahwa mengalami kasih Allah yang Agung dan penuh misteri ini tidak terlepas dari campur tangan dan bantuan dari berbagai pihak, baik berupa materi, dukungan, masukan, kritikan dan doa. Segala bantuan tersebut membuat penulis menjadi semakin dekat dengan Allah, semakin setia dalam menjalankan tugas apa saja dan peka akan rencana Allah. Oleh karena itu pantaslah penulis haturkan limpah terima kasih kepada:

1. Drs. Tarsisius Sarkim, M.Ed., Ph. D., selaku Dekan FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah berkenan mengesahkan skripsi ini.

2. Dr. M. M. Sri Hastuti, M. Si., selaku Kaprodi Bimbingan dan Konseling sekaligus sebagai pembimbing pertama yang telah membimbing penulis selama penulisan ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.

3. Drs. Y.B. Adimassana, M.A., selaku pembimbing kedua yang telah membimbing, memberikan semangat baru bagi penulis sehingga penulisan ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Bapak M. Yasin, selaku Pimpinan SLB Autis Bina Anggita Yogyakarta yang telah memberikan ijin uji coba alat penelitian skripsi ini.

(8)

5. Ibu Eny Winarti, S.Pd., selaku Pimpinan SLB Autisme Cipta Mulia Mandiri yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengadakan penelitian. 6. Drs. Gendon Barus, yang telah membimbing, memberikan semangat serta

masukan-masukan yang berarti bagi penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

7. Suster M. Madeleine Y. PBHK selaku Provinsial PBHK Provinsi Indonesia dan Dewannya yang telah mendukung penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

8. Sr. M. Christien S. PBHK selaku Supda PBHK Daerah Jawa dan Dewannya yang telah mendukung penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

9. Sr. M. Immaculae S. PBHK yang selalu mengorbankan waktu dan tenaganya untuk membimbing, mendukung penulis dalam doa dan dukungan lainnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. 10.Sr. M. Gaudentia PBHK dan Para Suster PBHK Komunitas Deresan

Yogyakarta yang mendukung penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, tetapi penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi orangtua yang mempunyai anak autis, lembaga-lembaga terkait yang menangani anak autis, dunia bimbingan dan konseling, para pemerhati orang-orang yang memiliki beban hidup, yang miskin dan menderita serta siapa saja yang menaruh minat terhadap anak-anak yang berkebutuhan khusus.

Penulis

(9)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ………..………...i

Halaman Persetujuan Pembimbing………..……….ii

Halaman Pengesahan…. ……….…….…………...iii

Halaman Motto dan Persembahan ………..………iv

Halaman Pernyataan Keaslian Karya ……….………..v

Abstrak ………..……….vi

Abstract ………..………..…..vii

Kata Pengantar ………..viii

Daftar Isi ………...x

Daftar Lampiran ………...xiii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………..………1

B. Perumusan Masalah ………....8

C. Tujuan Penelitian ………...8

D. Manfaat Penelitian ………..9

E. Definisi Operasional ………..……10

BAB II : LANDASAN TEORI A. Gangguan Perkembangan Anak Autis 1. Pengertian Autisme ………...…………11

2. Karakteristik Autistik ………..….12

3. Faktor Penyebab Autisme ………..……..19

4. Perkembangan Dini Anak Autis ………..24

B. Bentuk-Bentuk Penanganan Anak Autis 1. Bentuk-bentuk Terapi ………..27

a. Terapi Perilaku (Okupasi, Wicara, Sosialisasi dengan menghilangkan Perilaku yang tidak wajar………...….27

b. Terapi Biomedik ……….……….30

(10)

c. Terapi Medikatonis ……….……31

d. Terapi Bermain……….………31

e. Terapi Sensori Integrasi………..……..32

f. Terapi Terapi Snoezelen………...33

2. Bentuk Penanganan Lain ……….…………....…36

a. Program Inklusi……….………...36

b. Sekolah/Pendidikan Khusus……….……37

C. Permasalahan Orangtua yang mempunyai Anak Autis Infantil 1. Aspek Internal ……….………38

a. Aspek Kognitif ………..………..…...38

b. Aspek Afektif ………..…...41

c. Aspek Spiritual atau Religius……... ………..………43

2. Aspek Eksternal…………..………..…....46

a. Lingkungan Keluarga ………..……...46

b. Lembaga Terkait ………..………..……....48

3. Dampak Permasalahan Orangtua pada Aspek Psikomotorik atau Perilaku……….50

a. Depresi ………..……….51

b. Kecemasan ………..………...52

c. Gejala Somatis ………..….53

d. Stress ………..……53

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ………..………...55

B. Subjek Penelitian ……….…55

C. Alat Pengumpul Data ………..….56

D. Prosedur Pengumpulan Data ………..……..64

E. Teknik Analisis Data ………..……..68

(11)

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian 1. Aspek Internal

a. Aspek Kognitif ………...…69

b. Aspek Afektif ………..…….74

c. Aspek Spiritual atau Religius ………...………..……..75

2. Aspek Eksternal Aspek Lingkungan Keluarga dan Lembaga Terkait ..…………..……76

B. Pembahasan 1. Aspek Internal a. Aspek Kognitif ………..………79

b. Aspek Afektif ………..……….84

c. Aspek Spiritual atau Religius…... ………..…………88

2. Aspek Eksternal………...………..…………91

a. Lingkungan Keluarga ………..…………...…91

b. Lembaga Terkait ………. ………..…….….…..93

BAB V : PENUTUP A. Ringkasan Hasil Penelitian ………..……….94

B. Kesimpulan…….………..…..………96

C. Saran ………..………..…..96

DAFTAR PUSTAKA ………..………...……103

LAMPIRAN ………...………..…106-124

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Ijin Uji Coba Alat dan Surat Keterangan telah Uji Coba Alat

Lampiran 2 : Ijin Penelitian dan Surat Keterangan telah Meneliti Lampiran 3 : Analisis Kesahihan Butir

Lampiran 4 : Hasil Penghitungan Uji Reliabilitas Alat Ukur Lampiran 5 : Kuesioner Penelitian

Lampiran 6 : Tabulasi Data Penelitian dan Pengelompokkan Aspek Masalah Hasil Penelitian

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Saat ini gangguan autis menjadi fenomena karena makin banyak anak-anak yang mengalaminya. Kalau dulu pada tahun 1970-an anak-anak yang mengalami gangguan autis hanya 1: 10.000 kelahiran, kini tercatat 1:150 kelahiran. Sebuah peningkatan yang sangat mencolok (Kompas, Sabtu 16 April 2005).

Badan Pusat Statistik mencatat pada tahun 2005, sekitar 1,5 juta anak Indonesia menderita autisme. Namun kerena terbatasnya sarana pendidikan luar biasa, baru sekitar 50.000 anak autis yang mengenyam pendidikan khusus. Oleh karena itu pemerintah menggalakkan model pendidikan inklusif, dimana sekolah umum bisa memberikan layanan pendidikan terhadap anak berkebutuhan khusus, bersama dengan siswa pada umumnya (Kompas, 2 Maret 2005).

(14)

terapi), Sumatera (11 pusat terapi), Kalimantan (2 pusat terapi), Sulawesi (1 pusat terapi). Lembaga-lembaga ini, ada yang bergerak di bidang terapi perilaku, ada yang telah sampai pada pengelolaan sekolah khusus autis. Di setiap lembaga mempunyai jumlah penyandang autisme yang tidak sama.

Menurut Yasin, Pimpinan Lembaga Bimbingan Autisme Bina Anggita Yogyakarta (Kompas, 31 Maret 2005), di D.I. Yogyakarta, ada ratusan anak penyandang autisme. Namun, baru sekitar 45 persen (45%) saja yang tertampung dalam lembaga yang khusus menangani autisme. Demikian pula jumlah profesional yang mendalami bidang autisme tidak sebanding dengan peningkatan jumlah penyandang autisme, dan lembaga yang menanganinya. Realita ini menuntut orangtua mampu menghadapi anak-anaknya, yang terlahir dengan gangguan pertumbuhan kompleks. Berbagai mass media, menjelaskan bahwa autisme adalah gangguan yang dialami oleh anak dalam hal berinteraksi, berkomunikasi dengan orang lain, dan gangguan imajinasi. Gangguan tersebut disebut autisme. Mengenai istilah autisme itu sendiri baru diperkenalkan sejak tahun 1934 oleh Leo Kener (Handoyo, 2003).

(15)

tampak tidak mengerti arti kata, tak ada hubungan dengan orang lain, tidak ada kontak mata, tampak asyik bila dibiarkan sendiri, permainan diulang-ulang, marah/tak menghendaki perubahan-perubahan, kadang seperti tuli, panik terhadap suara-suara tertentu, bermain-main dengan cahaya/pantulan, memainkan jari-jari di depan mata, menarik diri ketika disentuh, sangat tidak suka terhadap pakaian/makanan, sangat hiperaktif, berputar-putar, membentur-bentur kepala, menggigit pergelangan, melompat-lompat, mengepak-ngepakkan tangan, dan lain-lain.

(16)

Gangguan autisme pada anak ternyata bisa hilang dan dapat sembuh bahkan setelah dewasa mereka mampu berfungsi layaknya orang dewasa normal, padahal mereka hampir tidak menerima intervensi atau dukungan terarah dan khusus bagi mereka. Indikasi ini dapat terlihat dari penelitian awal Kenner tahun 1943 bahwa sekitar 11-12 persen (11-12%) anak menunjukkan indikasi tersebut. Temuan ini membesarkan harapan, bahwa dengan intervensi dan edukasi khusus, jumlah penyandang autisme yang mampu berfungsi normal di dalam masyarakat dapat terus bertambah jumlahnya. Penelitian sebelum tahun 1980-an di AS mengungkapkan, bahwa separuh dari mereka yang terdiagnosis autis pada masa kecilnya harus melewatkan hidupnya di rumah sakit, sebagian kecil tetap dirawat di rumahnya masing-maing, dan hanya sekitar lima persen (5%) yang mampu memperoleh pekerjaan yang layak. Sebaliknya penelitian-penelitian setelah tahun 1980 di AS membeberkan hasil yang jauh lebih optimis. Penyandang autisme yang harus melewatkan hidupnya di rumah sakit turun sampai sekitar 5 persen (5%). Sedangkan mereka yang memperoleh pekerjaan, naik sampai sekitar 20 persen (20%). Sisanya yang merupakan jumlah mayoritas memperoleh perawatan di rumah masing-masing. Indikasi ini terlihat dalam contoh sebuah kisah nyata Kolby, seorang penyandang autisme dinyatakan sembuh setelah menjalani serangkaian terapi intensif (Majalah Nakita “ menangani anak autis, edisi Februari 2002).

(17)

adalah mereka yang skor IQ-nya berada dalam rentang normal. Selain itu kemampuan komunikasi sederhana yang ditunjukkan saat berusia 5-6 tahun, juga sangat membantu anak dalam proses perkembangan di tahap-tahap berikutnya. Anak autis yang memiliki ketrampilan atau minat khusus yang secara sosial bisa diterima, misalnya ketrampilan matematika dan musik, umumnya juga memiliki kesempatan lebih besar bisa berfungsi secara lebih baik dalam lingkungannya (Majalah Nakita”menangani anak autis”, edisi Februari 2002). Kompas, Sabtu, 16 April 2005, mengisahkan bahwa Oscar Yura Dompas seorang penyandang autisme yang berdomisili di Pondok Pinang, Jakarta Selatan ini bisa berhasil. Ia dapat menemukan nilai-nilai dalam hidupnya, mengembangkan bakat yang ia miliki dan mengasah ketrampilan yang ia miliki entah motorik, intelektual dan spiritualnya. Jadi menjadi autis tidak berarti menjadi bukan manusia. Anak autis juga menemukan nilai-nilai dan makna hidupnya seperti biasanya anak normal.

Mengingat semakin meningkatnya jumlah anak-anak yang terkena autis maka peranan orangtua dan keluarga serta pihak-pihak terkait sangat penting dalam menangani anak-anaknya. Pengalaman beberapa ahli autis di Jakarta, orangtua yang ikut melaksanakan terapi secara intensif terhadap anaknya, akan memperoleh hasil yang memuaskan. Anak-anak menunjukkan kemajuan sangat pesat. Hal ini berarti gangguan autis pada anak bisa sembuh apabila ditangani secara intensif dari berbagai pihak terutama dari pihak orangtua dan dokter yang khusus menangani anak autis.

(18)

menjelaskan bahwa kebanyakan orangtua anak autis selalu mempertanyakan bagaimana kemungkinan sembuh bagi anaknya, masa depan anaknya, apakah mungkin mereka dapat mencari sumber penghidupannya sendiri, apakah mungkin mereka menikah. Selain itu orangtua mengalami kandala masalah-masalah sehubungan dengan penanganan terhadap gangguan autisme pada anak dan kurangnya dukungan dari keluarga atau orang serumah.

(19)

Sudaryati dalam seminar sehari tentang pemahaman dan penerimaan orangtua terhadap penyandang autis, Juni 2005, menjelaskan bahwa penyandang autis dan orangtuanya sering kali mengalami masalah penerimaan dan pemahaman sosial baik dari pihak masyarakat umum, guru, sekolah/pusat terapi dan pemerintah. Kompas, 16 April 2005 memaparkan bahwa pihak sosial kurang memahami peranannya/sumbangannya bagi anak penyandang autis dan orangtuanya. Hambatan lain yang dialami oleh orangtua yang anaknya autis adalah biaya terapi yang tinggi, sulit ditemukan terapis yang profesional, antara orangtua dan dokter kurang komunikasi, orangtua kurang selektif memasukan anaknya ke sekolah reguler, dan orangtua sulit mengajarkan anak-anaknya untuk dapat menerima dirinya (Handoyo, 2003).

(20)

menyeimbangkan keluarga dan lingkungan sosial, bagaimana spiritualitas mencerahkan kehidupan orangtua, bagaimana memelihara kesehatan fisik, bagaimana membimbing anak dengan gangguan autis dan bagaimana orangtua hidup secara bermakna. Pendampingan tersebut dapat dilaksanakan oleh sekolah atau lembaga autisme yang membimbing anak dengan gangguan autisme dalam hal ini SLB Autis Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta. Bentuk-bentuk penanganan/bantuan dapat bersumber dari masukan-masukan atau rekomendasi dari hasil penelitian tentang masalah yang dialami oleh orangtua yang bersangkutan.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti terdorong untuk mengetahui masalah-masalah yang secara frekuen dialami oleh orangtua yang mempunyai anak autis infantil di SLB Autis Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta.

B. Perumusan Masalah

Peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:

Masalah-masalah manakah yang secara frekuen dialami oleh orangtua yang mempunyai anak autis infantil di SLB Autis Cipta Mulia Mandiri Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

(21)

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Subjek: hasil penelitian ini memotivasi subjek dalam mengembangkan kepribadian sebagai seorang konselor yang profesional dalam menghadapi segala situasi, mencintai semua makluk ciptaan Tuhan, anak-anak yang mengalami keterbelakangan mental termasuk anak-anak autis, mengerti dan memahami orang lain termasuk orangtua yang mempunyai anak autis, semakin memahami dunia autisme dan membangun sikap hati yang peka terhadap orang yang memiliki beban hidup, yang miskin dan menderita.

2. Bagi kongregasi: menjadi sumbangan bagi kongregasi PBHK dalam meningkatkan pemahamannya tentang masalah-masalah yang dialami oleh orangtua yang anaknya autis, peranan orangtua dan seluk beluk autisme, bentuk-bentuk bimbingan dan pendampingan yang relevan, memotivasi setiap suster untuk meningkatkan kemampuan berempati dan melakukan sesuatu yang berarti terhadap orang-orang yang memiliki beban hidup, menyikapi tanda-tanda jaman yang nyata dalam peristiwa/kejadian di luar tembok biara sebagai wujud dari penghayatan spiritualitas tarekat.

3. Bagi orangtua anak autis: hasil penelitian ini menjadi sumbangan untuk mengatasi hambatan dari dalam diri dan dari luar dirinya.

(22)

untuk mengetahui kebutuhan-kebutuhan orangtua dan anak yang perlu mendapat perhatian khusus.

E. Definisi Operasional

1. Autisme adalah suatu paham/aliran tentang individu yang tertarik pada dunianya sendiri. Ketertarikan pada dirinya sendiri berupa kecenderungan pikiran-pikiran dan persepsi seseorang terhadap obyek yang tidak nyata karena objek tersebut berada di alam fantasi dan khayalan individu tersebut.

2. Autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial, emosi, perilaku dan aktivitas imjinasi.

3. Autis infantil adalah suatu gangguan komunikasi, interaksi sosial, perilaku, emosi pada kanak-kanak, yang ditandai oleh sifat suka menyendiri secara total (menyeluruh dan dini sifatnya).

4. Tingkat frekuensi adalah tingkat keseringan dengan gradasi mulai dari sangat sering, sering, kadang-kadang dan tidak mengalami.

(23)

BAB II

LANDASAN TEORI

Terdapat pokok-pokok yang perlu diuraikan sebagai dasar berpijak pembicaraan objek penelitian. Pokok-pokok tersebut adalah autisme dan gangguan perkembangan anak autis, penanganan dan permasalahan orangtua yang mempunyai anak autis infantil.

A. Gangguan Perkembangan Anak Autis

1. Pengertian autisme

Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Istilah autisme baru diperkenalkan pada tahun 1934 oleh Leo Kenner ( Handojo, 2003). Lukas Adi Prasetyo dalam karangannya berjudul ”Penyandang Autisme perlu Penerimaan Masyarakat”, menjelaskan bahwa autisme ialah anak yang mengalami gangguan berkomunikasi dan berinteraksi sosial serta mengalami gangguan sensoris, pola bermain dan emosi (Kompas, 31 Maret 2005). Keadaan ini menyebabkan penyandang autis seakan hidup di dunianya sendiri (Handojo, 2003). Menurut Danuatmaja (2003), autisme merupakan suatu kumpulan sindrom akibat kerusakan saraf. Penyakit ini mengganggu perkembangan anak. Autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial, emosi, perilaku dan aktivitas imjinasi.

(24)

Psychiatric association (APA, 1994) mendefinisikan bahwa penyandang autisme adalah mereka yang mengalami gangguan kualitatif dalam hal interaksi sosial, komunikasi, pola minat perilaku (Peters, 2004). Kartono dan Gulo (2000) menjelaskan bahwa autisme adalah kecenderungan pikiran-pikiran dan persepsi-persepsi seseorang yang dipengaruhi oleh hasrat dan keinginannya dalam fantasi dan khayalan-khayalan, dimana kenyataan obyektif tidak terlihat karena adanya kecenderungan melihat dunia secara subjektif.

Gangguan perkembangan tersebut juga ditandai oleh sifat suka menyendiri secara total (baik dalam tahap usia anak atau menunjukkan kekanak-kanakan dan dini sifatnya) yang merupakan suatu dunia batin yang terkurung dan menolak segala macam usaha pendekatan yang disebut dengan autis infantil (Kartono & Gulo, 2000).

2. Karakteristik Autistik

Handojo (2003) menjelaskan bahwa penyandang autisme mempunyai karakteristik antara lain:

a. Selektif yang berlebihan terhadap rangsang.

b. Kurangnya motivasi untuk menjelajahi lingkungan baru. c. Respon stimulasi diri sehingga mengganggu integrasi sosial.

(25)

e. Bahasa/komunikasi: ekspresi wajah yang datar, tidak menggunakan bahasa/isyarat tubuh, jarang memulai berkomunikasi, tidak meniru aksi atau suara, bicara sedikit atau tak ada, atau mungkin cukup verbal, mengulangi atau membeo kata-kata, kalimat-kalimat atau nyanyian, intonasi/ritme vokal yang aneh, tampak tidak mengerti arti kata, menggunakan kata secara terbatas dan harafiah.

f. Hubungan dengan orang lain kurang responsif, tak ada senyum sosial, kontak mata terbatas, tampak asyik bila dibiarkan sendiri, tidak melakukan permainan giliran, menggunakan tangan orang dewasa sebagai alat.

g. Hubungan dengan lingkungan: bermain repetitif (diulang-ulang), marah atau tidak mengehendaki perubahan-perubahan, berkembangnya ritunitas yang kaku dan memperlihatkan ketertarikan yang fleksibel.

h. Sangat hiperaktif, membentur kepala, menggigit pergelangan, melompat-lompat atau mengepak-ngepakkan tangan, tahan atau merespon aneh terhadap nyeri.

(26)

Supratiknya (1995) menjelaskan bahwa gangguan autisme memiliki ciri-ciri sebagai berikut: penderita senang menyendiri dan bersikap lebih dingin sejak kecil/bayi, tidak mau atau sangat sedikit berbicara, tidak menyukai stimulasi pendengaran, senang melakukan stimulasi diri, memukul mukul kepala, atau gerakan aneh lainya, memanipulasi objek, sulit menangkap atau memahami makna, sangat tertarik dan mengembangkan ikatan yang sangat kuat dengan objek-objek yang lazim.

Anak autis mempunyai masalah/gangguan dalam bidang komunikasi, interaksi sosial, gangguan sensoris, pola bermain, perilaku dan emosi (www. Dikdasmen. Depdiknat.go.id) Hal ini sangat terlihat pada karakteristik sebagai berikut:

a. Komunikasi

1) Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada.

2) Anak tampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara tetapi kemudian sirna.

3) Kata-kata yang digunakan kadang-kadang tidak sesuai artinya.

4) Mengoceh tanpa arti secara berulang-ulang dengan bahasa yang tak dapat dimengerti orang lain.

5) Senang meniru atau membeo (echolalia).

(27)

7) Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia inginkan, misalnya bila ingin meminta sesuatu.

b. Interaksi sosial

1) Penyandang autis lebih suka menyendiri.

2) Tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar untuk bertatapan. 3) Tidak tertarik untuk bermain bersama teman.

4) Bila diajak bermain ia tidak mau dan menjauh. c. Gangguan sensoris

1) Sangat sensitif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk. 2) Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga. 3) Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda. 4) Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut.

d. Pola bermain

1) Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya. 2) Tidak suka bermain dengan anak sebayanya. 3) Tidak kreatif dan tidak imajinatif.

4) Tidak bermain sesuai fungsi mainan, misalnya sepeda dibalik lalu rodanya diputar-putar.

5) Senang akan benda-benda yang berputar, seperti kipas angin, roda sepeda.

(28)

e. Perilaku

1) Dapat berperilaku berlebihan (hiperaktif) atau kekurangan (hipoaktif). 2) Memperlihatkan perilaku stimulasi diri seperti bergoyang-goyang,

mengepakkan tangan seperti burung, berputar-putar mendekatkan mata ke pesawat TV, lari/berjalan bolak-balik, melakukan gerakan yang diulang-ulang.

3) Tidak suka pada perubahan.

4) Dapat duduk bengong dengan tatapan kosong. f. Emosi

1) Sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa dan menangis tanpa alasan.

2) Temperamen tantrum (mengamuk tanpa terkendali) jika dilarang atau tidak diberikan keinginannya.

3) Kadang suka menyerang dan merusak.

4) Kadang-kadang anak berperilaku yang menyakiti dirinya sendiri. 5) Tidak mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan orang lain. Puspita (2005) menjelaskan bahwa anak autis memiliki karakteristik dalam memproses informasi.

a. Visual thinking

(29)

menggunakan gambar/film seperti ini, jelas lebih lambat dari pada proses berpikir verbal; akibatnya mereka perlu jeda beberapa saat sebelum bisa memberikan jawaban atas pertanyaan tertentu. Individu dengan gaya berpikir seperti ini, juga lebih menggunakan asosiasi dari pada berpikir secara logis menggunakan logika.

b. Processing problem

Anak autis mengalami kesulitan memproses data. Mereka cenderung terbatas dalam memahami common sense atau menggunakan akal sehat/nalar. Mereka sulit merangkai informasi verbal yang panjang (rangkai intruksi), sulit diminta mengingat sesuatu sambil mengerjakan hal lain, dan sulit memahami bahasa verbal/lisan. Hal-hal tersebut di atas tampak konsisten dengan kecenderungan autis yang lebih mudah berpikir secara visual.

c. Sensory sensitivities

Perkembangan yang kurang optimal pada sistem neurobiologis individu autis juga mempengaruhi perkembangan indra mereka sehingga terjadi salah satu atau semua pada sebagian anak autis:

(30)

2) Touch sensitivity: anak memiliki kepekaan terhadap sentuhan ringan atau sebaliknya terhadap sentuhan keras. Masalah kepekaan yang berlebihan ini biasanya terwujud dalam bentuk masalah perilaku (termasuk masalah makanan dan pakaian). Bila anak peka terhadap sentuhan dan terganggu dengan sentuhan kita, maka pelukan kita justru dapat diartikan sebagai hukuman yang menyakitkan.

3) Rhytm difficulties: anak sulit mempersepsi irama yang tertampil dalam bentuk lagu, bicara, jeda dan saat untuk masuk percakapan. Hal itu menyebabkan banyak individu autis terus-menerus berbicara, atau menyerobot masuk saat percakapan sedang berlangsung, yang sering kali dianggap oleh lingkungan sebagai anak yang tidak sopan.

d. Communications frustration

(31)

e. Social and emotional issues

Ciri lain yang sangat dominan adalah fiksasi atau keterpakuan akan sesuatu yang membuat individu autis cenderung berpikir kaku. Akibatnya, individu autis sulit beradaptasi atau memahami perubahan yang terjadi di lingkungan sehari-hari. Pada umumnya individu autis tidak pernah membayangkan bahwa orang lain juga bisa mempersepsi sesuatu dari sudut pandang yang berbeda-beda, karena hal ini adalah sesuatu yang sangat abstrak sehingga banyak yang sulit berempati bila tidak dilatih melalui pengalaman dan pengarahan. Perbedaan manifestasi gangguan-gangguan tersebut menjadikan setiap individu sangat unik. Tidak ada dua individu autis yang sama persis, bahkan yang kembar sekalipun, sehingga penanganan juga tidak bisa disamakan. Paham individual differences sangat ditekankan sehingga orangtua atau pembimbing tidak memberikan penanganan seragam bagi sekelompok anak.

3. Faktor-faktor Penyebab Autisme a. Gangguan susunan saraf pusat

(32)

(43%) penyandang autisme mempunyai kelainan pada lobus patietalis otaknya yang menyebabkan anak acuh tak acuh terhadap lingkungannya. Kelainan juga ditemukan pada otak kecil (cerebellum), terutama pada lobus ke VI dan ke VII. Otak kecil bertanggung jawab atas proses sensoris, daya ingat, berpikir, belajar berbahasa dan proses atensi (perhatian) juga didapatkan sel purkinje di otak kecil yang sangat sedikit, sehingga terjadi gangguan keseimbangan serotonin dan dopamine. Akibatnya terjadi gangguan atau kekacauan lalu-lalang impuls di otaknya.

Ditemukan pula kelainan yang khas di daerah sistem limbik yang disebut hippocampus dan amigdala. Akibatnya terjadi gangguan fungsi kontrol terhadap agresi dan emosi, anak kurang dapat mengendalikan emosinya, seringkali berperilaku agresif atau sangat pasif. Amigdala juga bertanggungjawab terhadap berbagai rangsang sensoris seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, rasa dan takut. Hippocampus bertanggung jawab terhadap fungsi belajar dan daya ingat, maka terjadilah kesulitan menyimpan informasi baru, perilaku yang diulang-ulang, dan aneh. Hiperaktif juga disebabkan gangguan hippocampus.

(33)

(kecemerlangan warna-warna) sangat kurang. Akibat produksi serotonin (suatu neurotransmitter yang terdapat dalam sistem saraf sentral) berkurang menyebabkan kacaunya proses penyaluran informasi antar otak. Selain itu, ditemukan kelainan struktur pada pusat emosi di dalam otak sehingga emosi anak autis sering terganggu.

b. Gangguan sistem pencernaan

Hal ini terlihat dari seorang pasien autis, Parker Beck, mengeluhkan gangguan pencernaan yang sangat buruk. Setelah mendapat suntikan sekretin, Beck sembuh dan mengalami kemajuan luar biasa. Kasus ini memicu penelitian-penelitian yang mengarah pada gangguan metabolisme pencernaan (www.dikdasmen.depdiknat.go.id)

c. Peradangan dinding usus

Berdasarkan pemeriksaan endoskopi atau peneropongan usus pada sejumlah anak autis yang memiliki pencernaan buruk ditemukan adanya peradangan usus pada sebagian besar anak. Dr. Andrew Wakefield ahli pencernaan (gastro enterolog-yang berkenaan dengan lambung dan usus-usus) asal Inggris menduga peradangan tersebut disebabkan virus campak (Danuatmaja, 2003).

d. Keracunan logam berat

(34)

Penelitian selanjutnya menemukan bahwa logam berat seperti arsenik (As), antimony (Sb), kadmium (Cd), air raksa (Hg), dan timbal (Pb) adalah racun otak yang sangat kuat.

Sallie Bernard (Danuatmaja, 2003) ibu dari anak autis, menunjukkan penelitiannya pada tahun 2002 bahwa gejala yang diperlihatkan anak-anak autis sama dengan keracunan merkuri. Dugaan ini diperkuat dengan membaiknya gejala autis setelah anak-anak melakukan terapi kelasi (merkuri dikeluarkan dari otak dan tubuh mereka).

e. Gangguan Nutrisi pada Anak Autis

Handoyo (2003) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan anak mengalami gangguan autis adalah gangguan nutrisi dalam diri anak. Pengaturan pola makan yang baik pun terbukti dapat membantu mengurangi gejala autisme.

Anak autisme sebaiknya menghindari mengkonsumsi jenis-jenis protein yang tidak bisa diserap dengan sempurna yang memungkinkan terjadinya peptida seperti kasein yang terdapat di dalam susu hewan dan glutein yang terdapat pada makanan seperti terigu, oat, barley, cereal serta hasil olahannya.

(35)

N beras, tapioca, sagu, dan hasil olahannya: bihun, soun, dll

Makanan yang mengandung glutein, gandum, oat/havermaut, barley, terigu dan semua hasil olahannya: roti, kue, mie, spagethi, macaroni, pizza, biscuit. cumi, telur, udang, hati

Makanan sumber casein: susu dan hasil olahannya: keju, yoghurt, cream, daging, ikan yang diawetkan dan diolah seperti: sosis, cornet, daging asap, ikan asap, sarden

3 Sumber

Saos: tomat, cabai, tomat, sayuran yang diawetkan dan diasinkan

Buah yang diawetkan: buah dalam kaleng

7 Minuman Teh, sari buah murni tanpa pengawet, susu kedelai

Minuman botol ringan, sari buah dengan pengawet

8 Lain-lain Bumbu dapur; salam, laos, sereh, kunyit, jahe, kencur, bawang, lada, ketumbar, agar

(36)

4. Perkembangan Dini Pada Anak Autis

a. Bahasa dan Komunikasi

Usia Dalam

Bulan

Karakteristik

6 Tangisan sulit dipahami

8 Ocehan yang terbatas atau tidak normal (misalnya menjerit atau berciut) Tidak ada peniruan bunyi, bahasa tubuh, ekspresi

12 Kata-kata pertama mungkin muncul, tapi seringkali tidak bermakna Sering menangis keras-keras; tetap sulit untuk dipahami

24 Biasanya kurang dari 15 kata Kata-kata muncul kemudian hilang

Bahasa tubuh tidak berkembang; sedikit menunjuk pada benda

36 Kombinasi kata-kata jarang

Mungkin ada kalimaat-kalimat yang bersifaat echo, tapi tidak ada penggunaan bahasa yang kreatif

Ritme, tekanan atau penekanan suara yang aneh

Artikulasi yang sangat rendah separuh dari anak-anak normal Separuhnya atau lebih tanpa ucapan-ucapan yang bemakna Menarik tangan orangtua dan membawanya ke suatu obyek

Pergi ke tempat yang sudah biasa dan menunggu untuk mendapatkan sesuatu

48 Sebagian kecil bisa mengkombinasikan dua atau tiga kata secara kreatif

Echolalia masih ada; mungkin digunakan secara komunikatif Meniru iklan TV

Membuat permintaan

b. Interaksi Sosial

Usia Dalam

Bulan

Interaksi Sosial

6 Kurang aktif dan menuntut daripada bayi normal Sebagian kecil cepat marah

Sedikit sekali kontak mata

Tidak ada respon antisipasi secara sosial

8 Sulit reda ketika marah

Sekitar sepertiga diantaranya sangat menarik diri dan mungkin secara aktif menolak interaksi

(37)

12 Sosiabilitas seringkali menurun ketika anak mulai belajar berjalan, merangkak Tidak ada kesulitan pemisahan

24 Biasanya membedakan orangtua dari orang lain, tapi sangat sedikit afeksi yang diekspresikan

Mungkin memeluk dan mencium sebagai gerakan tubuh yang otomatis ketika diminta

Tidak acuh terhadap orang dewasa selain orangtua Mungkin mengembangkan ketakutan yang besar Lebih suka menyendiri

36 Tidak bisa menerima anak-anak yang lain Sensitivitas yang berlebihan

Tidak bisa memahami makna hukuman

48 Tidak dapat memahami aturan dalam permainan dengan teman sebaya

60 Lebih berorientasi pada orang dewasa daripada teman sebaya

Sering menjadi lebih bisa bergaul, tapi interaksi tetap aneh dan satu sisi/sepihak.

c. Imajinasi Anak Normal Dan Anak-anak Penyandang Autisme

Usia Dalam Bulan2

Perkembangan Normal Perkembangan Dengan Gejala Autisme

6 Perilakunya tidak berbeda terhadap sebuah benda pada saat yang sama

8 Perilaku dibedakan berdasarkan karakteristik benda. Menggunakan dua buah benda dalam kombinasi (tidak tepat digunakan secara sosial)

Pengulangan gerakan motorik mungkin mendominasi kegiatan sadar

12 Perilaku terhadap benda sesuai secara sosial (kegunaan benda). Dua benda atau lebih dihubungkan secara tepat.

Agak penasaran/eksplorasi terhadap lingkungan.

Penggunaan mainan yang tidak biasa seperti memutar, menjentik, dan membariskan benda.

18 Sering berperilaku simbolik (pura-pura minum, berbicara di telepon, dan lain-ain)

(38)

Perilaku pura-pura tidak terbatas pada kegiatan sehari-hari (misalnya pura-pura menyetrika). Rangkaian perilaku pura-pura berkembang (memberi makan boneka, menimang dan membaringkannya di tempat tidur). Berpura-pura main tembak-tembakan dengan benda yang ada.

36 Permainan simbolik yang sudah direncanakan lebih dulu memberitahukan maksudnya dan mencari benda yang dibutuhkan untuk itu. Mencari benda pengganti (misalnya menggunakan kotak sebagai pengganti mobil).

Benda diperlakukan sebagai alat yang dapat melakukan kegiatan bebas (misalnya: boneka dibuat agar dapat mengangkat gelas sendiri.

Terus-menerus menjilati benda. Tidak ada permainan simbolik.

Terus menerus melakukan gerak repetitif seperti mematung, memutar, berjingkat, dan lain-lain.

Kekaguman visual terhadap benda, manatap cahaya lampu dan lain-lain. Menunjukan banyak kekuatan yang berhubungan dalam manipulasi visual/motorik, misalnya puzzle.

48 Permainan sosiodramatis-pura-pura bermain dengan dua anak lain atau lebih. Menggunakan pantomim untuk mewakili benda yang diperlukan (misalnya pura pura menuangkan air karena tidak ada teko). Kehidupan nyata dan khayal dapat membantu peranan untuk waktu yang lama.

Penggunaan fungsional terhadap benda-benda. Beberapa aksi langsung terhadap boneka atau orang lain: kebanyakan melibatkan anak-anak sebagai perantara.

Permainan simbolik, jika ada, terbatas dan sederhana serta di ulang-ulang. Selama permainan, ketrampilan yang lebih sulit berkembang, tetap membutuhkan banyak waktu dibanding yang kegiatan lebih mudah.

Beberapa diantaranya tidak mengkombinasikan alat permainan dalam bermain.

60 Bahasa berperan penting dalam menciptakan tema, menegosiasikan peran dan bermain drama.

Tidak dapat berpantomim. Tidak bermain sosiodrama.

(39)

B. Bentuk-bentuk Penanganan

Handoyo (2003) mengemukakan beberapa penanganan yang perlu dilakukan pada penyandang autisme, berupa penanganan dalam bentuk terapi seperti terapi perilaku (terapi wicara, terapi okupasi dan menghilangkan perilaku asosial), terapi biomedik, (obat, vitamin, mineral, food supplements), terapi jarum suntik, terapi snoezelen, terapi remedial, terapi sensory integrasi, terapi musik, terapi bermain, terapi medikatonik. Terapi-terapi tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode penanganan seperti metode ABA / Lovaas, metode Kaufman, metode Son Rise dan metode Discrete Trial Training (DTT). Selain itu penanganan lain dapat dilakukan dalam bentuk program inklusi yaitu memasukkan anak dan sosialisasi ke sekolah regular dan sekolah (pendidikan) khusus.

1. Bentuk-bentuk Terapi a. Terapi Perilaku

(40)

1) Terapi Okupasi

Sebagian penyandang kelainan perilaku, terutama autisme, juga mempunyai perkembangan motorik yang kurang baik. Gerak-geriknya kasar dan kurang luwes bila dibanding dengan anak-anak seumurnya. Pada anak-anak ini perlu diberi bantuan terapi okupasi untuk membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi dan ketrampilan otot jari tangannya, seperti menunjuk, bersalaman, memegang raket, memetik gitar, main piano dan sebagainya.

Para terapi okupasi juga seringkali memakai Sensory Integration (SI) untuk menerapi kelainan sensoris pada anak anak autis. Namun dari banyak penelitian yang telah dilakukan, terbukti bahwa SI saja tidak dapat meningkatkan perilaku anak, bahkan sering mengakibatkan kemunduran perilaku, dan tidak berhasil menghilangkan ataupun mengurangi perilaku-perilaku aneh dari anak.

2) Terapi wicara

(41)

Lovaas karena metode ini digunakan oleh Prof. DR. Ivar Lovaas dari Universitas Los Angeles Amerika Serikat.

Menerapkan terapi wicara pada penyandang autisme berbeda dengan pada anak lain. Terapis harus berbekal diri dengan pengetahuan yang cukup mendalam tentang gejala dan gangguan bicara yang khas bagi penyandang autisme. Mereka juga harus memahami langkah-langkah metoda Lovaas sebagai kunci masuk bagi materi yang akan diajarkan.

Banyak speech therapist yang mencoba menterapi anak, terutama yang autisme, tanpa metoda ABA. Mereka seringkali mengalami kegagalan dan frustrasi. Jadi sekalipun mencoba terapi wicara pada anak autisma, penting sekali menggabungkannya dengan metoda Lovaas, agar hasilnya terlihat nyata.

3) Sosialisasi dengan menghilangkan perilaku yang tidak wajar

(42)

diri, keterampilan motorik, sosialisasi, dan sebagainya. Selain itu anak perlu diberikan imbalan yang efektif.

b. Terapi Biomedik (Obat, mineral, food supplements)

Terapi biomedik adalah terapi yang bertujuan untuk memperbaiki metabolisme tubuh anak, membersihkan tubuh anak dari bahan-bahan yang mengganggu metabolisme dan kerja sistem saraf. Terapi ini bisa melalui makanan dan minuman atau obat-obatan tetapi sifatnya sangat individual dan perlu berhati-hati. Dosis dan jenisnya sebaiknya diserahkan kepada dokter spesialis yang memahami dan mempelajari autisme. Baik obat maupun vitamin hendaknya diberikan secara sangat berhati-hati, karena baik obat maupun vitamin dapat memberikan efek yang tidak dikehendaki. Vitamin banyak dicampurkan pada nutrisi khusus, karena itu perlu selektif sebelum membeli dan memberikannya kepada penyandang autisme.

(43)

anak autisme sangat individual. Efek sampingnya perlu secara cermat diamati, sehingga diperoleh manfaat yang optimal.

Terapi Biomedis dibagi dalam 4 tahap yaitu tahap gencatan senjata, tahap problem dan mencari persamaan, tahap membangun kembali secara aktif/rekontruksi dan tahap intervensi tambahan.

c. Terapi Medikatonis

Terapi medikatonis adalah terapi yang dilaksanakan dengan memberikan obat-obatan yang dapat membantu perkembangan anak. Pemberian obat-obatan pada anak autis harus didasarkan pada diagnosis yang tepat, indikasi yang kuat, pemakaian obat yang seperlunya, pemantauan yang ketat gejala efek samping, penyesuaian dosis obat berdasarkan kebutuhan dan penggunaan obat yang tepat (Danuatmaja, 2003).

d. Terapi Bermain

(44)

giliran dan jujur. Ruang lingkup terapi bermain anak autis dirumuskan berdasarkan karakteristik anak, tujuan, maupun sasarannya. Secara umum ruang lingkup terapi bermain terdiri dari ruang lingkup bermain yang berkaitan dengan latihan sensorik motor dan bermain untuk mengembangkan imajinasi, kreasi, ekspresi, memupuk kekuatan obat, melatih memecahkan masalah dan menimbulkan rasa percaya diri. Pelaksanaan terapi bermain perlu memperhatikan keadaan anak, terapis atau pembimbing, tempat, alat dan bahan bermain, pendekatan, suasana dan waktu bermain serta evaluasi. Adapun ragam latihan terapi bermain yaitu sensorik motor yang meliputi: berjalan pada tali, menendang bola, melempar bola, membuat menara dari balok, mendorong bola, membentuk, menempel, merangkai benda-benda, latihan pendengaran dan memasukkan balok-balok ke kotak. Ragam pengembangan otot, latihan berpikir, pengembangan kreasi dan ekspresi meliputi: permainan mendaki, naik dan turun tangga, memasang dan membongkar puzzle sederhana, melukis dengan jari dan pengembangan komunikasi dan sosialisasi.

e. Terapi Sensori Integrasi

(45)

f. Terapi Snoezelen

Terapi snoezelen merupakan aktivitas yang dirancang untuk mempengaruhi sistem saraf pusat (SSP) melalui pemberian rangsangan yang cukup pada sistem sensori primer anak, seperti penglihatan, pendengaran, peraba, perasa lidah, pembau dan sistem sensoris internal. Snozelen mengarahkan anak untuk rileks dan mengeksplorasi serta mengekspresikan dirinya di dalam atmosfer yang terbuka pada faktor kepercayaan dan kesenangan (Danuatmaja, 2003). Adapun stimuli yang dipakai yaitu stimuli penglihatan, pendengaran dan penciuman.

g. Terapi Musik.

(46)

strategi pendekatan dan penilaian. Sedangkan ragam latihan terapi musik terdiri dari latihan motorik halus, latihan motorik kasar, kemampuan persepsi, latihan konsentrasi, latihan menyanyi lagu anak-anak, latihan menggunakan alat musik sederhana, melakukan gerak dan latihan improvisasi.

h. Terapi Remedial

Terapi yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan belajar, karena anak mengalami gangguan menyimpan, memproses atau memproduksi informasi. Kondisi ini menyebabkan anak mengalami keterlambatan dalam proses belajarnya dan membutuhkan terapi remedial.

Terapi remedial diberikan bagi anak yang mengalami kesulitan belajar atau specific learning disability sehingga terapis harus memberikan remediasi atau pengulangan kembali konsep-konsep atau materi yang diberikan sekolah mulai dari awal secara satu guru satu murid (one-one).

i. Terapi Suntik Jarum Super

Terapi yang dirintis secara sederhana dan praktis yang merupakan terapi dengan perpaduan fitur pengetahuan pengobatan barat dengan timur yang diformulakan ke dalam bentuk dan sistem pengobatan oriental. Terapi ini dapat mengatasi sintom tantrum, hiperaktif, stimulasi diri, sampai pada tingkat masalah verbalisasi (Wijayakusuma, 2002 ; 2004 ; 2005).

j. Terapi Kelasi

(47)

titik yang berhubungan dengan meridian Yin dan Yang tubuh yaitu baihui di kepala, huiyin di antara anus dan kemaluan dan yongquan di telapak kaki. Titik Yongquan yang terdapat di telapak kaki merupakan meridian Yin, kaki ginjal yang bersinergi dengan organ ginjal. Secara fisiologis ginjal merupakan organ tempat pencucian darah yang melakukan penyaringan antara darah dengan ampas kimiawi, racun dan zat-zat berbahaya lainnya. Pemberian terapi kelasi bagi anak autisme membuat racun dan sisa kimiawi yang ada dikaki terserap ke luar tubuh begitu pula dengan racun yang ada di ginjal sehingga tubuh anak akan bersih dari racun sehingga mendukung efektivitas perbaikan tubuh (Wijayakusuma, 2002; 2004;2005).

k. Terapi Air / Water Therapy

Terapi ini mensinergiskan saraf simpatis dan saraf parasimpatis yang berpusat pada otak tepatnya di bagian thalamus dan hipotalamus. Otak mengatur semua organ vital dalam tubuh seperti proses pencernaan, sirkulasi darah, metabolisme, detoksifikasi (Wijayakusuma, 2002; 2004;2005).

(48)

Metode kaufman adalah orangtua, guru atau pendamping mengamati, menolong, membantu dan menunjang anak mengembangkan dirinya. Kondisi ini menunjukkan terapi apa yang dilakukan.

Metode Son-Rise merupakan suatu program yang membantu anak keluar dari keterbatasannya dengan menunjukkan sikap mencintai dan menerima, tidak menghakimi, memiliki sikap penuh semangat, antusias, memiliki asumsi yang kurang mendukung / negatif thinking, berpikir dan bersikap saat ini, memberikan penghargaan dan menciptakan kegembiraan dan kebahagiaan (Danuatmaja, 2003). 2. Bentuk Penanganan Lain

a. Program Inklusi / Sosialisasi ke sekolah reguler

Anak dengan kelainan perilaku, terutama penyandang autisme, yang telah mampu bersosialisasi dan berkomunikasi dengan baik, dicoba untuk memasuki sekolah normal sesuai dengan umurnya.

(49)

Di lingkungan sekolah normal, anak-anak ini dapat dilatih untuk berkomunikasi dan bersosialisasi dengan anak-anak sebayanya. Sedangkan materi akademiknya bila terjadi kesulitan, tetap dapat diajarkan secara one-one (satu guru mendampingi satu anak pada saat yang sama).

b. Sekolah (Pendidikan) Khusus

Di dalam pendidikan khusus biasanya telah diramu terapi perilaku, terapi wicara dan terapi okupasi. Bila perlu dapat ditambah dengan terapi obat-obatan, vitamin dan nutrisi yang memadai serta terapi lainnya. Ramuan tersebut merupakan kelompok-kelompok materi dan aktivitas yang diberikan dengan metoda Lovaas. Pendidikan anak dengan kebutuhan khusus tidak dapat disamakan dengan pendidikan normal. Kalau di pendidikan normal seorang guru dapat menangani beberapa anak sekaligus, maka untuk anak dengan kebutuhan khusus, biasanya seorang terapis hanya mampu menangani seorang anak pada saat yang sama (one-one). Bagi autis pemula, perlu ditangani oleh 2 terapis sekaligus (yang seorang bertugas sebagai terapis dan yang lain sebagai co-terapist yang tugasnya membantu terapis).

(50)

maka terapi perilaku yang ditangani dengan baik akan memberikan hasil yang optimal.

C. Permasalahan Orangtua yang mempunyai Anak Autis.

Orangtua merupakan bagian dari keluarga inti. Mereka tinggal bersama dan di dalamnya terjadi proses menjadi ayah, dan ibu, membesarkan anak, perawatan fisik dan emosi, cinta dan afeksi, mempertahankan harga diri dan mentransfer nilai-nilai budaya serta nilai-nilai-nilai-nilai iman dan kepercayaan. Orangtua yang mempunyai anak autis merupakan wadah untuk berperan sebagai ayah dan ibu, berproses mengembangkan kognisi, afeksi, spiritual atau religius dan hubungan sosialnya, baik anaknya maupun diri mereka sendiri. Namun dalam kenyataan mereka mengalami permasalahan baik dalam aspek sikap internal pribadi maupun aspek eksternal.

Permasalahan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Aspek Internal Pribadi Orangtua

a. Aspek Kognitif

(51)

terhadap peristiwa tersebut. Burns (dalam Safaria, 2005) menjelaskan bahwa pada dasarnya setiap peristiwa yang dialami manusia adalah netral namun setelah diolah dalam pikiran maka akan menimbulkan berbagai macam penafsiran. Salah satu faktor yang dapat menimbulkan ekses negatif adalah cara-cara dalam melakukan penilaian terhadap suatu peristiwa. Distorsi kognitif terjadi secara otomatis ketika manusia berhadapan dengan suatu permasalahan. Gambaran di atas menunjukkan bahwa proses kognitif sangat berkaitan erat dengan persepsi.

Menurut Solso (dalam Satiadarma, 2001), persepsi adalah deteksi dan interpretasi stimulus yang ditangkap oleh penginderaan. Jadi hal-hal yang ditangkap melalui penginderaan kemudian ditransformasikan susunan saraf pusat di otak, kemudian diinterpretasikan sehingga mengandung arti tertentu bagi seseorang. Berkaitan dengan persepsi, faktor harapan sangat berpengaruh dalam proses interpretasi. Setiap orangtua mengharapkan anaknya berkembang secara baik. Orangtua akan merasa kagum ketika menyaksikan proses perkembangan anaknya. Namun adakalanya, harapan dalam bentuk set (suatu bentuk ide yang telah dipersiapkan terlebih dahulu sebelum munculnya stimulus) demikian besar pengaruhnya sehingga pandangan orangtuapun mengalami bias.

(52)

orangtua beranggapan bahwa mereka tidak mampu berbuat apa-apa; mereka tidak dapat menjaga anak secara baik; mereka menganggap nasibnya sial dan tidak berguna; mereka menyalahkan diri, khususnya istri; menganggap dirinya tidak bisa melahirkan anak yang normal; tidak bisa membahagiakan suami; begitupun sebaliknya, ayah menganggap sebagai penyebab anak autis, ayah tidak bisa memberikan keturunan. Orangtua menganggap Tuhan menghukumnya karena telah memberikan anak autis (Puspita, 2004).

(53)

dan ibu (orangtua) yang anaknya autis menimbulkan kandala lain dalam dirinya, yaitu ketidakpedulian serta kekacauan orangtua kepada anaknya membuat mereka kurang memperhatikan secara cermat perkembangan dan perubahan yang terjadi pada anak, ketidakdisiplinan orangtua dalam mengetatkan diet anak, berlebihan dalam mencurahkan kasih sayang, kurangnya ketekunan yang mengakibatkan memutuskan masa terapi yang harus dijalankan oleh anak secara gegabah, kurangnya kesabaran dari orangtua, kurangnya keyakinan akan sembuh yang mempengaruhi semangat juang mereka, terbatasnya dana penanganan bagi anaknya, buruknya stimulasi lingkungan, kecerobohan dan sikap kurang cermat dari orangtua, kurang sehatnya gaya hidup orangtua (Safaria, 2004).

b. Aspek Afektif

(54)

mengelola emosi-emosi negatif akan membuat individu tidak terbawa dan terpengaruh berpikir irasional.

Orangtua yang mempunyai anak autis sering mengalami emosi-emosi negatif. Handojo (2003) menjelaskan bahwa kebanyakan orangtua anak autis selalu mempertanyakan bagaimana kemungkinan sembuh bagi anaknya. Mereka seringkali sangat mencemaskan masa depan anaknya. Marijani (2003) dan Puspita (2004) mengemukakan bahwa banyak kasus yang ditemukan dalam diri orangtua anak autis, seperti: perasaan galau ketika anaknya dinyatakan oleh dokter menderita autisme, kurang menerima alias adanya penolakkan terhadap anaknya, orangtua merasa sedih, putus asa, merasa lelah dan tak berdaya, bingung bila anaknya sedang marah dan mengamuk, bingung mengambil langkah-langkah yang pasti karena kurang memiliki wawasan yang luas bagaimana seharusnya berperan atau menanganinya.

(55)

emosional ini menyebabkan anak kurang ditangani dengan baik dan menimbulkan frustrasi dan tidak lagi mengembangkan dirinya seoptimal mungkin. Orangtua juga kehilangan semangat hidup ketika mereka terpaksa kehabisan dana atau materi lainnya. Selain itu orangtua pada umumnya malu mempunyai anak autis, bingung dalam mengatasi anak, bingung dalam memilih sekolah/terapi (Sudaryati, 2005).

Di dalam suatu wawancara peneliti dengan M. Yasin Pimpinan Sekolah Luar Biasa Autisme Yogyakarta, masalah yang dialami oleh orangtua yang mempunyai anak autis adalah orangtua merasa cemas, takut/khawatir akan perkembangan dan kehidupan anaknya di masa yang akan datang.

c. Aspek Spiritual atau Religius

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesi (1988), arti kata spiritual adalah kejiwaan; rohani; batin; mental dan moral. Jadi aspek spiritual dari orangtua yang mempunyai anak autis adalah aspek kejiwaan, kerohanian, batiniah, mental dan moral dari orangtua itu sendiri.

(56)

telah dijelaskan sebelumnya, orangtua yang mempunyai anak autis mendapatkan suatu beban yang berat bagi mereka. Mereka perlu memiliki kemampuan untuk mengatasi konfliknya. Salah satu sumber kemampuan spiritual adalah religiositas. Glock dan Stark (dalam Safaria, 2004) menjelaskan ada lima dimensi atau aspek dari religiositas.

1) Dimensi Ideologis (religious belief)

Dimensi yang menunjukkan tingkat keyakinan seseorang terhadap kebenaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang fundamental. Orangtua yang mempunyai anak autis perlu memahami kembali ajaran-ajaran agama yang diyakini, memperdalamnya, dan menguatkan kembali imannya terhadap ajaran agama yang dianutnya.

2) Dimensi Ritualistik (religious practice)

Dimensi yang menunjukkan tingkat kepatuhan seseorang dalam menjalankan kegiatan-kegiatan ritual yang dianjurkan agamanya. Kepatuhan ini dapat ditunjukkan dengan konsistensi seseorang dalam melaksanakan ibadah, doa dan pengembangan rohani. Orangtua yang mempunyai anak autis perlu memiliki komitmen yang besar untuk melaksanakan kewajibannya.

(57)

kedekatan dengan orang lain, kedamaian, keyakinan akan doanya terkabul, atau keyakinannya bahwa Tuhan akan memberikan pertolongan 4) Dimensi intelektual (religious knowledge)

Dimensi yang menunjukkan tingkat pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap ajaran-ajaran agamanya terutama yang termuat dalam kitab suci atau pedoman pokok agamanya. Misalnya apakah individu memahami bagaimana melakukan ibadat, sholat atau kebaktian rohani lainnya.

5) Dimensi Konsekuensial (religious effect)

(58)

2. Aspek Eksternal

a. Lingkungan keluarga

Safaria (2005) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang menentukan orangtua berhasil dan sukses menghadapi tantangan memiliki anak dengan gangguan autisme adalah hubungan harmonis dengan pasangannya, antara ayah dan ibu, antara anak dan keluarga lain. Hubungan yang harmonis dapat ditunjukkan dalam bentuk membina kebersamaan, menjadi positif dan produktif, menghargai tanpa syarat, bersedia meminta maaf dan memaafkan, menciptakan sebuah komitmen, memberi teladan yang baik terhadap anak-anak, menjelaskan autisme terhadap saudara kandung, memberitahukan keadaan/kondisi anak dengan gangguan autis kepada orangtua dan sanak keluarga/kerabat lainnya, melatih dan mengembangkan respon-respon positif terhadap komentar yang kurang tepat dan mengembangkan kecerdasan sosial. Harapan-harapan tersebut kadang tidak berjalan sebagaimana mestinya oleh orangtua yang mempunyai anak autis. Hal ini disebabkan oleh berbagai hambatan yang akan dijelaskan berikut ini.

(59)

anak autis perlu dukungan dari kedua pasangan, selain dukungan emosional dari pihak keluarga yang paling dekat.

Hambatan-hambatan tersebut sangat berdampak negatif bagi orangtua yang memiliki anak dengan gangguan autisme. Mereka semakin yakin bahwa kehadiran anak dengan gangguan autisme tidak memberikan kebahagiaan bagi orang sekitar; orangtua mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, merasa sungkan untuk berada di lingkungan baru.

Selain relasi antara pasangan (suami dan istri), adapun faktor lain dalam lingkungan keluarga adalah peranan saudara sekandung dan orang serumah. Sering terjadi bahwa saudara sekandung memiliki pilkiran negatif terhadap anak dengan gangguan autisme. Hal ini mengakibatkan perilaku tidak wajar terhadap anak dengan gangguan autisme. Perlakuan seperti ini secara langsung atau tidak langsung menambah beban mental orangtua (http://puterakembara.org/Leny.htm).

(60)

b. Lingkungan Sekolah dan Lembaga Terkait

Handojo (2003) menjelaskan bahwa banyak kandala yang dihadapi di luar diri orangtua berkaitan dengan kodisi anak dengan gangguan autisme dan upaya penyembuhan. Kandala yang dimaksud adalah biaya terapi yang tinggi. Dengan kondisi biaya yang tinggi, lambat laun orangtua memilih jenis terapi yang murah tetapi tidak mempercepat penyembuhan anak dan mencari terapis di sekolah yang biayanya murah tetapi sulit dipertanggungjawabkan. Selain itu pengadaan terapis yang professional masih sulit. Hal ini disebabkan belum adanya akademi terapi perilaku anak berkebutuhan khusus.

Di sisi lain penerimaan sosial terhadap anak dengan gangguan autisme masih sedikit. Hal ini menambah beban mental orangtua yang memiliki anak dengan gangguan autisme (Kompas, 31 Maret 2005).

(61)

keluarga dan masyarakat yang disebabkan oleh mereka adanya konsep bahwa gangguan autisme pada anak tidak akan bisa sembuh, kurang memahami peranannya/sumbangannya bagi anak dengan gangguan autisme (Kompas, 16 April 2005).

Vrugteveen dan Hanafi (2005) menjelaskan bahwa orangtua perlu memiliki kemampuan sosial yang tinggi. Orangtua yang mempunyai anak autis perlu melatih dan mengolah diri serta memiliki ketrampilan berelasi dengan orang lain. Hal ini akan mendukungnya dalam menangani anaknya secara khusus perkembangan dan masa depan anaknya. Kemampuan ini memungkinkan bagi orangtua menjalin kerjasama yang handal untuk memanusiakan anaknya yang mengalami gangguan autisme. Dengan demikian seluruh permasalahan yang dialami oleh orangtua yang mempunyai anak autis dapat teratasi dengan baik.

Safaria (2004) menjelaskan bahwa kebanyakan orangtua yang mempunyai anak autis mengalami kesulitan dalam berelasi sosial, yaitu kurang memahami bagaimana cara menciptakan dan menjalin hubungan sosial yang efektif, mengisolasi diri dari pergaulan sosial karena kenyataan bahwa mereka mempunyai anak autis.

(62)

menghindar dari konflik, misalnya mereka tidak lagi bekerja sama sebagai suatu tim dalam kegiatan-kegiatan tertentu di mana mereka hidup, selalu mengkritik pendapat orang lain dan layanan yang diberikan bagi anaknya di sekolah atau lembaga autisme demi kepuasan sendiri. Selain itu antara orangtua tidak saling memotivasi, tidak memiliki sikap empati dan kurang bisa mendengarkan sesama orangtua dan para pendamping atau terapis. 3. Dampak Permasalahan Orangtua pada Aspek Psikomotorik/Perilaku.

(63)

Satiadarma (2001) menjelaskan bahwa bila seseorang mempersepsikan atau memiliki pandangan bahwa seseorang itu baik, maka ia akan bersikap baik kepada orang tersebut. Bila seseorang memiliki sikap baik kepada orang tersebut, maka perilakunyapun akan baik pula.

Aspek-aspek permasalahan yang dialami oleh orangtua yang mempunyai anak autis seperti yang digambarkan sebelumnya mempengaruhi bagaimana orangtua bersikap atau berperilaku. Orangtua membiarkan pikirannya diliputi oleh gangguan perkembangan anaknya. Kekacauan berpikir ini menimbulkan reaksi-reaksi perasaan/emosi negatif dalam diri orangtua. Safaria (2005) menjelaskan bahwa gejolak emosi yang dialami oleh orangtua yang mempunyai anak autis dapat berpengaruh negatif pada fungsi kognitif, afeksi dan spiritualnya dan berdampak negatif pada perilaku orangtua anak autis termasuk fisik dan psikisnya, seperti gejala depresi, kecemasan, somatis dan stres. Gejala-gejala ini diakibatkan tekanan psikis dan ketidakmampuan mengimbangkan perasaan, kehidupan spiritualnya serta mengontrol sikap dan perilakunya selama proses membimbing dan mendidik anaknya yang mengalami gangguan autisme dan ketidakmampuan orangtua dalam menjalin relasi sosial. Ketidakseimbangan tersebut berdampak pada perilaku yang dapat terlihat dalam berbagai gejala sebagai berikut:

1. Depresi

(64)

Gejala-gejala yang menjadi karakteristik dari depresi ini adalah terdapat mood depresif seperti sedih, murung, kehilangan semangat, jatuh dalam kesedihan, dan rasa rendah diri, hilang minat, menarik diri dari pergaulan sosial, tidak mampu menanggapi pujian dengan perasaan senang, merasa gelisah, memikirkan secara berulang-ulang tentang kematian atau bunuh diri, bersikap pesimistis terhadap masa depan, menyesali peristiwa masa lampau bahkan rasa senang berlebih-lebihan dalam seluruh aktivitas yang biasanya dilakukan dalam waktu senggang (Marijani & Wijayakusuma, 2003 ; 2004). 2. Kecemasan

(65)

3. Gejala Somatisasi

Marijani dkk (2003) menjelaskan bahwa orangtua yang mempunyai anak autis sering mengalami gangguan somatis seperti badan terasa lemas dan tak berdaya ketika anaknya dikatakan oleh dokter bahwa positif penyandang autisme. Selain itu orangtua memiliki nafsu makan berkurang, pusing-pusing tanpa sebab yang jelas, badan sering lemas, keringat dingin, sering berpikir jangan-jangan terserang penyakit, tangan dan kaki sering pegal, sulit tidur, denyut jantungnya mengencang (Puspita & Sarasvati, 2004).

4. Stres

Safaria (2005) menjelaskan bahwa gejala-gejala yang dialami oleh orangtua yang mempunyai anak autis, yang tergolong dalam gejala stress adalah orangtua mengalami beberapa gejala sebagai berikut:

a. Gejala fisiologis, berupa keluhan sakit kepala, sembelit, diare, sakit pinggang, urat tegang pada tengkuk, tekanan darah tinggi, kelelahan, sakit perut, maag, berubah selera makan, susah tidur dan kehilangan semangat.

b. Gejala emosional berupa keluhan seperti gelisah, cemas, mudah marah, gugup, takut, mudah tersinggung, sedih, depresi.

(66)

d. Gejala interpersonal berupa sikap acuh tak acuh pada lingkungan sosial, apatis, minder, kehilangan kepercayaan pada orang lain, dan mudah mempersalahkan orang lain.

(67)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini akan menguraikan jenis penelitian, subjek penelitian, alat pengumpul data, prosedur pengumpulan data dan teknik analisis data.

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif dengan metode survei, yaitu penelitian yang dirancang untuk memperoleh informasi tentang status gejala saat penelitian dilakukan (Furchan, 1982). Variabel yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah deskripsi masalah-masalah yang frekuen dialami oleh orangtua yang mempunyai anak autis infantil.

B. Subjek Penelitian

(68)

C. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang disusun oleh peneliti sendiri. Kuesioner ini disusun dalam bentuk skala Likert yang memuat pernyataan-pernyataan mengenai masalah-masalah yang dialami oleh orangtua yang mempunyai anak autis infantil, yaitu pernyataan tentang masing-masing aspek masalah yang dirumuskan secara favourable dan unfavourable. Pernyataan favourable adalah pernyataan yang menggambarkan masalah-masalah orangtua yang mempunyai anak autis infantil dan pernyataan unfavourable yang tidak menggambarkan adanya masalah pada orangtua yang mempunyai anak autis infantil. Skala Likert yang dipilih adalah sangat sering (SS), sering (S), kadang-kadang (KK) dan tidak mengalami (TM).

Di bawah ini diuraikan beberapa hal yang berkaitan dengan alat pengumpul data. 1. Penentuan skor

Penentuan skor dilakukan sebagai berikut:

a. Untuk pernyataan favourable: skor untuk jawaban “sangat sering” adalah 4 (empat), skor untuk jawaban “sering” adalah 3 (tiga), skor untuk jawaban “kadang-kadang” adalah 2 (dua) dan skor untuk jawaban “tidak mengalami” adalah 1 (satu).

(69)

2. Aspek-aspek masalah yang diukur

Di bawah ini diuraikan aspek-aspek masalah yang diungkap oleh alat pengumpul data. Masing-masing aspek yang dimaksud adalah:

a. Aspek Internal

1) Aspek kognitif, yaitu yang berkenaan dengan (1) pandangan dari orangtua terhadap autisme secara umum dan gangguan perkembangan pada anaknya yang menyandang autis, (2) pandangan dari orangtua terhadap masa depan anaknya, (3) pandangan dari orangtua terhadap respon sosial dan pihak terkait yang menangani anaknya.

2) Aspek afektif, yaitu yang berkenaan dengan reaksi-reaksi perasaan yang dialami oleh orangtua yang mempunyai anak autis, seperti perasaan (1) shock,menolak atau tidak menerima (2) sedih dan dukacita, (3) takut dan cemas, (4) marah dan jengkel, (5) malu dan bersalah, (6) iri dan benci, (7) reaksi perasaan bingung dan putus asa.

(70)

b. Aspek eksternal

Aspek eksternal berkaitan dengan 1) Lingkungan keluarga dan 2) Lingkungan sekolah dan Lembaga terkait. Rekapitulasi butir-butir kuesioner yang mengungkapkan aspek-aspek masalah di atas, disajikan dalam tabel 1.

Tabel 1

Kisi-kisi Uji Coba Masalah Orangtua yang mempunyai Anak Autis Infantil di Lembaga Bimbingan Autisme “Bina Anggita”

Yogyakarta - Reaksi perasaan sedih

dan dukacita

- Reaksi perasaan takut dan Cemas

- Reaksi perasaan marah dan jengkel

- Reaksi perasaan malu dan bersalah

- Reaksi perasaan iri dan benci

- Reaksi perasaan bingung dan putus asa

(71)

Spiritual atau Religius

dan Lembaga terkait

44, 73

3. Uji coba Instrumen Penelitian a. Validitas

Gambar

Tabel 1
Tabel 4
Tabel di atas menunjukkan frekuensi setiap kategori masalah yang
Tabel di atas menunjukkan frekuensi setiap kategori masalah yang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mewujudkan masyarakat yang mampu, penatagunaan ruang dan lingkungan hidup yang seimbang, pemerataan pembangunan, pemerataan kesempatan kerja dan peluang

Gambar 4.138 Rancangan Layar Halaman Laporan Pelanggan / Partner Baru

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1). Pengaruh secara simultan atribut daya tarik iklan yaitu informasi, bentuk iklan, dan bintang iklan terhadap minat beli

yang berarti bahwa nilai tukar tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap return saham secara parsial dalam penelitian

Akibatnya, banyak pelaku UKM yang enggan melakukan penerapan akuntansi, pengelolaan kas tidak dilakukan dengan baik, dan keputusan bisnis yang diambil seringkali dilakukan

Tabel 4 menunjukkan bahwa pemberian kompos kulit buah kakao 125 g/polybag meningkatkan luas daun bibit kakao secara nyata dibandingkan tanpa kompos namun tidak nyata dengan

Data pengamatan penambahan panjang akar (cm) (tranformasi

Berdasarkan uraian di atas tentang penegakan hukum terhadap anak yang berprilaku jahat dalam KUHP dan di luar KUHP, jelaslah bahwa anak yang berprilaku jahat atau anak