• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ASPEK HUKUM KEWAJIBAN PENGEMBALIAN UANG TIKET

C. Bentuk Ganti Rugi yang diberikan oleh Pihak Maskapai Penerbangan

Peranan pengangkutan terhadap kelancaran arus lalu lintas barang dan penumpang disaat pandemi Covid-19 menjadi sangat penting. Kesepakatan antara pihak pengangkut dan pihak penumpang atau pengirim selalu menjadi hal pertama yang harus dilakukan dalam kegiatan pengangkutan. Perjanjian pengangkutan ialah persetujuan yang membuat pihak pengangkut untuk mengikatkan diri dalam menyelenggarakan pengangkutan penumpang dan/atau barang dari suatu tempat ke tujuan yang telah ditentukan dengan selamat dan penumpang atau pemilik barang mengikatkan diri untuk membayar besarnya biaya pengangkutan yang telah ditentukan.145

Jika melihat lebih lanjut pada Permenhub No. 185 Tahun 2015 Tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri, terjadinya suatu force majeure dalam aktivitas penerbangan, berdampak pada pembatalan tiket. Karena adanya force majeure secara langsung

145 Ainaya Nadine dan Zulfa Zahara Imtiyaz, Op.Cit, hlm 288

tentu akan menggagalkan pengangkutan sesuai dengan jadwal yang ditentukan.

Atas kondisi ini, berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Permenhub No. 185 Tahun 2015 telah ditegaskan bahwa maskapai wajib mengembalikan biaya jasa angkutan udara yang telah dibayarkan oleh calon penumpang. Ayat (3) Pasal ini mengatur bahwa jumlah Refund yang harus diberikan, dengan ketentuan. Untuk penerbangan dengan kelompok pelayanan full service, dilakukan pemotongan biaya administrasi sebesar 20% (dua puluh persen). Untuk penerbangan dengan kelompok pelayanan medium service, dilakukan pemotongan biaya administrasi sebesar 15% (lima belas persen) dan Untuk penerbangan dengan kelompok pelayanan no-frills, dilakukan pemotongan biaya administrasi sebesar 10%

(sepuluh persen).” Selain Refund atas biaya jasa angkutan, Refund juga harus diberikan atas Passenger Service Charge (PSC). Mengenai jadwal pengembalian, selanjutnya ditemukan dalam Pasal 10 ayat (5) Permenhub No. 185 Tahun 2015, selambat-lambatnya yaitu : 146

a) 15 hari kerja sejak pengajuan dalam hal tiket dibeli secara tunai

b) 30 hari kerja sejak pengajuan dalam hal pembelian dengan kartu kredit.

Pihak maskapai penerbangan akan mengembalikan biaya yang sudah dikeluarkan oleh penumpang sesuai dengan bagaimana penumpang memberikan pembayaran sesuai dengan tiket yang dipilih kepada pihak maskapai penerbangan.

Hal tersebut diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) Permenhub No. 89 Tahun 2015.147

Refund merupakan hal yang tidak bisa dihindari dari kegiatan jual-beli barang dan jasa. Refund merupakan pengembalian dana yang diberikan oleh

146 Mulyana Raifa Nasution, Loc.Cit.

147 Vermonita Dwi Caturjayanti, Op.Cit, hlm 232

penjual kepada pembeli dengan syarat -syarat tertentu yang harus dipenuhi.

Refund bisa kita temui dalam transaksi pembelian pakaian, ataupun pembelian tiket transportasi baik itu transportasi darat, laut, dan udara.148

Penerapan refund ternyata sangat beragam umumnya bergantung pada klausul yang dibuat oleh penjual atau pemberi layanan. Misalnya, dalam pembelian tiket pesawat, terdapat kondisi-kondisi tertentu refund tersebut dapat terjadi dengan pengembalian dana 100% (seratus persen). Tapi, terdapat kondisi tertentu lainnya juga refund tersebut diberikan tidak penuh kepada konsumen.

Ada juga penjual yang secara terang-terangan tidak memberlakukan refund pada barang dan jasa yang dijualnya. Tidak hanya itu, dari sisi waktu pengembalian ke konsumen, penerapan refund juga sangat beragam mulai dari tiga hari, 60 hari hingga 90 hari. Lantas seperti apa aturan main refund tersebut karena beragamnya penerapan refund tentunya menjadi pertanyaan bagi publik sebagai konsumen.

Publik juga sering tidak memahami hak-haknya dalam ketentuan refund tersebut sehingga cenderung diam. refund termasuk dalam kategori ganti rugi akibat tidak dijalankannya suatu prestasi atau wanprestasi. Setidaknya terdapat tiga persyaratan terjadinya wanprestasi yaitu tidak melakukan sesuatu yang disanggupi untuk dilakukan, melakukan perjanjian tidak sesuai yang diperjanjikan dan melakukan perjanjian tapi terlambat.149

Pada masa pandemi seperti sekarang ini, muncul gagasan refund tiket pesawat dengan cara memberikan voucher penerbangan yang nominalnya sama dengan harga tiket penerbangan yang dibatalkan oleh pihak maskapai ataupun

148 Mochammad Januar Rizki (1). (2020, Mei 19). Seluk-Beluk Refund dalam Aspek

Hukum Jual-Beli. [Halaman Web]. Diakses dari

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5ec3766410fbb/seluk-beluk-refund-dalam-aspek-hukum-jual-beli?page=all/ pada tanggal 3 Januari 2021, Pukul 19.09 Wib

149 Ibid.

yang dibatalkan oleh pihak penumpang akibat sebab-sebab tertentu. Voucher tersebut bisa digunakan lagi oleh pihak penumpang untuk melakukan penerbangan ke destinasi yang dikehendakinya di kemudian hari dengan masa berlaku voucher 1 (satu) tahun setelah diterbitkannya voucher tersebut. Bentuk ganti rugi lain ialah dengan adanya pengaturan kembali jadwal penerbangan, pihak penumpang bisa melakukan pengaturan kembali jadwal penerbangan ini sebanyak 1 (satu) sampai 2 (dua) kali tergantung kebijakan maskapai penerbangan yang dipilih, hal ini tentu saja tanpa adanya biaya tambahan. Pemerintah mengatakan bahwa bentuk ganti rugi dengan cara ini memang tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang ada. Tidak ada peraturan yang mengatur tentang bentuk ganti rugi yang diberikan pelaku usaha jika terjadi kondisi mendesak seperti ini. Jika melihat lebih jelas pasal 10 ayat (1) Permenhub No.

185 tahun 2015, jika ada pembatalan tiket yang dikarenakan oleh force majeure ataupun bukan, Pihak maskapai wajib untuk mengembalikan biaya jasa angkutan udara yang telah dibayarkan oleh konsumen.150

Hal serupa ternyata juga dijelaskan pada Permenhub No. 25 Tahun 2020, walaupun peraturan ini hanya mengatur tentang larangan mudik sepanjang tahun 2020, tetapi terlihat jelas di undang-undang tersebut pengembalian dana seperti yang dijelaskan pada penjelasan diatas tetap diperbolehkan, lebih tepatnya dalam pasal 24 yang menjelaskan bahwa badan usaha angkutan udara dalam mengembalikan biaya tiket angkutan udara dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :151

150 Mulyana Raifa Nasution, Loc.Cit.

151 Indonesia (Permenhub Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah dalam rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019), Peraturan Menteri Perhubungan Tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa

a. melakukan penjadwalan ulang (re-schedule) bagi calon penumpang yang telah memiliki tiket dengan tanpa dikenakan biaya

b. melakukan perubahan rute penerbangan (re-route) bagi calon penumpang yang telah memiliki tiket tanpa dikenakan biaya dalam hal rute pada tiket tidak bertujuan keluar dan/atau masuk wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

c. mengkompensasikan besaran nilai biaya jasa angkutan udara menjadi perolehan poin dalam keanggotaan badan usaha angkutan udara yang dapat digunakan untuk membeli produk yang ditawarkan oleh badan usaha angkutan udara

d. memberikan kupon tiket (voucher ticket) sebesar nilai biaya jasa angkutan udara (tiket) yang dibeli oleh penumpang dapat digunakan untuk membeli kembali tiket untuk penerbangan lainnya dan berlaku paling singkat 1 (satu) tahun serta dapat diperpanjang paling banyak 1 (satu) kali

D. Faktor-Faktor Penyebab Keterlambatan dalam Proses Pengembalian Dana Tiket Pesawat Konsumen oleh Pihak Maskapai Penerbangan dan Pihak Travel Agent baik Online maupun Offline pada Masa Pandemi Covid-19

Penumpang merupakan kunci utama dalam terlaksananya penerbangan komersil, jika tidak ada penumpang maka penerbangan tidak bisa berjalan sesuai yang diharapkan oleh pihak maskapai. Penumpang bisa dikatakan sebagai asset utama maskapai penerbangan dalam menjalankan usahanya dalam pelaksanaan Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah dalam rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), Permenhub No. 25 Tahun 2020, BN No. 405 Tahun 2020, Pasal 24

penerbangan untuk mendapatkan keuntungan. Dalam tugasnya untuk mengangkut penumpang, maskapai penerbangan mengikat para penumpang dengan membuat perjanjian kepada penumpang, yang dimaksud dengan perjanjian disini ialah dituangkan dalam bentuk tiket. Dalam Pasal 1 angka 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menjelaskan bahwa tiket ialah alat bukti perjanjian angkutan udara antara penumpang dan pengangkut berbentuk dokumen cetak, tiket elektronik atau bentuk lain yang memuat hak penumpang untuk menggunakan pesawat udara atau diangkut dengan pesawat udara.152

Tiket pada umumnya dicetak oleh pihak maskapai ketika dalam proses check in penerbangan atau biasa disebut dengan boarding pass yang merupakan dokumen yang dipakai oleh penumpang ketika ingin masuk ke dalam pesawat yang akan digunakan olehnya. Dalam industri penerbangan ini seorang penyedia jasa atau maskapai penerbangan memiliki posisi tawar yang tidak dapat ditawar oleh penumpang selaku pengguna jasa. Dari posisi tersebut maka penting bagi penumpang untuk mengetahui akan hak-hak yang dimilikinya selaku pemakai jasa sehingga ketika terjadi pelanggaran ataupun tindakan semena-mena oleh pihak maskapai penerbagan, penumpang mengetahui bahwa ia berhak menuntut kepada pihak maskapai agar haknya sebagai penumpang dipenuhi. Sekarang ini, pihak maskapai penerbangan sering sekali tidak memenuhi kewajiban secara baik dan benar dalam kegiatan pengangkutan udara. Secara umum memang hal ini bisa dikatakan sebagai wanprestasi yang diantaranya ialah pembatalan penerbangan, keterlambatan penerbangan, dan human error lainnya yang dibuat oleh pihak maskapai penerbangan. Dalam industri penerbangan Indonesia sampai saat ini,

152 Budimah, “Pembatalan Tiket Oleh Calon Penumpang Maskapai Penerbangan Di Indonesia”, Artikel Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palu, 2016, hlm 26

masih banyak penumpang yang merasa kurang puas akan pelayanan yang diberi oleh maskapai penerbangan.153

Dalam hal jika terjadi pembatalan penerbangan yang dilakukan oleh pihak maskapai ataupun pihak penumpang yang membatalkan sendiri penerbangan tersebut, diatur dalam Pasal 10 Permenhub No. 185 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri yang menjelaskan bahwa : 154

1) Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri wajib mengembalikan biaya jasa angkutan udara yang telah dibayarkan oleh calon penumpang (refund ticket) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d apabila penumpang membatalkan penerbangannya.

2) Pengembalian biaya jasa angkutan udara yang telah dibayarkan oleh calon penumpang (refund ticket) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:

a) Pengembalian diatas 72 (tujuh puluh dua) jam oleh penumpang sebelum jadwal keberangkatan mendapatkan pengembalian paling sedikit sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari tarif dasar.

b) Pengembalian dibawah 72 (tujuh puluh dua jam) sampai dengan 48 (empat puluh delapan) jam oleh penumpang sebelum jadwal keberangkatan mendapat pengembalian paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari tarif dasar.

c) Pengembalian di bawah 48 (empat puluh delapan jam) sampai dengan 24 (dua puluh empat jam) jam oleh penumpang sebelum

153 Weny Ridiyan, “Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Jasa Penerbangan Atas Keterlambatan Angkutan Penerbangan”, Notarius, Volume 13 Nomor 1 (2020), hlm 279

154 Indonesia (Permenhub SPPKE), Op.Cit., Pasal 10

jadwal keberangkatan Pengembalian dibawah 48 (empat puluh delapan jam) sampai dengan 24 (dua puluh empat jam) jam oleh penumpang sebelum jadwal keberangkatan mendapat pengembalian paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari tarif dasar

d) Pengembalian dibawah 24 (dua puluh empat) jam sampai dengan 12 (dua belas) jam oleh penumpang sebelum jadwal keberangkatan mendapat pengembalian paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari tarif dasar

e) Pengembalian dibawah 12 (dua belas) jam sampai dengan 4 (empat) jam oleh penumpang sebelum jadwal keberangkatan mendapat pengembalian paling sedikit sebesar 20% (dua puluh persen) dari tarif dasar

f) Pengembalian dibawah 4 (empat) jam oleh penumpang sebelum jadwal keberangkatan mendapat pengembalian paling sedikit sebesar 10% (sepuluh persen) dari tarif dasar dan atau sesuai dengan kebijakan badan usaha angkutan niaga berjadwal.

3) Penumpang dapat meminta pengembalian biaya jasa angkutan udara (refund ticket) dalam hal terjadi force mejeur sebesar harga tiket yang dibeli oleh penumpang dengan ketentuan:

a) Untuk penerbangan dengan kelompok pelayanan full service, dilakukan dengan pemotongan biaya administrasi sebesar 20% (dua puluh perseratus)

b) Untuk penerbangan dengan kelompok pelayanan medium service, di lakukan pemotongan biaya administrasi sebesar 15% (lima belas perseratus)

c) Untuk penerbangan dengan kelompok pelayanan non-frills, dilakukan pemotongan biaya administrasi sebesar 10% (sepuluh perseratus)

4) Passenger Service Charge (PSC) bagi penumpang yang melakukan pengembalian biaya jasa angkutan udara (refund ticket) yang belum menikmati jasa kebandaraudaraan wajib dikembalikan kepada penumpang yang sudah menikmati jasa kebandarudaraan disetorkan kepada pengelolaan Bandar Udara

5) Prosedur pembatalan tiket dan jangka waktu pengembalian uang tiket (refund ticket) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:

a) Pengembalian uang tiket kepada kepada penumpang dari pembelian tiket secara tunai wajib dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari kerja sejak pengajuan dan

b) Pengembalian uang tiket kepada penumpang dari pembelian tiket dengan kartu kredit atau debet wajib dilakukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak pengajuan.

Adanya pandemi Covid-19 mendatangkan malapetaka baru dalam proses pengembalian dana tiket penumpang (refund) yang banyak dipertanyakan oleh

lapisan masyarakat.155 Maskapai penerbangan tidak memberikan ganti rugi terhadap konsumen yang dirugikan secara tepat waktu, hal ini menimbulkan adanya wanprestasi yang bisa di tuntut oleh salah satu pihak dengan cara dibawa ke jalur hukum, hal ini tentu saja berdasarkan ketentuan yang ada pada UUPK.

Melihat kembali pada pasal 45 UUPK yang menjelaskan jika ada konsumen yang merasa dirugikan, mereka dapat menggugat pihak maskapai penerbangan sebagai pelaku usaha melalui Lembaga yang memiliki wewenang dalam menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha yang merasa haknya tidak dipenuhi oleh pelaku usaha tersebut, dari isi pasal tersebut bisa dilihat bahwa negara memberikan perlindungan terhadap warganya yang merasa dirugikan atas suatu kejadian.156

Bukan saja pihak penumpang yang merasa dirugikan karena adanya pandemi ini, pihak maskapai juga merasakan dampak yang sama akan adanya pandemi Covid-19 ini. Permintaan refund melonjak sampai 10 kali lipat lebih banyak dari pada biasanya. Ada banyak permasalahan yang di alami oleh maskapai penerbangan saat pandemi Covid-19 seperti sekarang ini antara lain Menumpuknya permintaan akan refund, cara agar refund dikembalikan dalam bentuk uang ke pada penumpang. Maskapai juga merasa tertekan karena mereka juga harus tetap beroperasi walau jumlah penumpang sangat sedikit. Dengan keuntungan yang sangat sedikit tersebut tentu mereka bingung dengan nasib perusahaan mereka ke depannya. Dengan adanya alasan-alasan tersebut tentu

155 Nicholas Ryan Aditya. (2020, Juni 19). Seberapa Besar Kasus Refund Tiket Penerbangan pada Masa Pandemi?. [Halaman Web]. Diakses dari

https://travel.kompas.com/read/2020/06/19/194000427/seberapa-besar-kasus-refund-tiket-penerbangan-pada-masa-pandemi?page=all pada tanggal 22 Desember 2020, Pukul 17.01 Wib

156 Shidarta, Op.Citsyanti, hlm 11

operator setiap maskapai kewalahan akan permintaan refund para penumpang dan terjadi keterlambatan refund. Polemik tidak dikembalikannya refund dengan uang, melainkan voucher membuat banyaknya konsumen yang mengeluh, tetapi jika dikembalikan dalam bentuk uang ujung-ujungnya maskapai bisa bangkrut.157

Pihak lain yang juga merasakan kerugian ini ialah travel agent online, dalam hal ini sebagai contoh ialah pegi-pegi. Pihak travel agent tersebut mendapatkan banyak komplain dari para pelanggan yang sudah membeli tiket dari aplikasi mereka. Di syarat & ketentuan mereka mengatakan bahwa refund maksimal dilakukan dalam kurun waktu 30 hari tapi nyatanya ada yang mencapai waktu 3 bulan. Hal ini dikarenakan maraknya refund yang dilakukan oleh para penumpang, pihak pegi-pegi yang merupakan travel agent menyatakan mereka kesulitan mengembalikan dana dalam bentuk uang karena tidak dapat mencairkan uang pihak mereka yang tertanam didalam saldo para maskapai yang bekerja sama dengan mereka. Biasanya pihak pegi-pegi bisa mengganti dalam bentuk uang karena terbantu dengan penjualan bentuk lain seperti voucher hotel, tetapi di saat pandemi Covid-19 seperti sekarang ini pemesanan hotel pun juga sepi. Pihak maskapai dalam masa sekarang ini juga kebanyakan tidak memberi refund ke pihak travel agent dalam bentuk uang, tetapi sudah dalam bentuk voucher yang bisa dipakai kembali di aplikasi pegi-pegi.158

157 Syanti Mustika, (2020, Juni 18). Kenapa Proses Refund Tiket Pesawat Lama di Tengah Pandemi?. [Halaman Web]. Diakses dari https://travel.detik.com/travel-news/d-5059347/kenapa-proses-refund-tiket-pesawat-lama-di-tengah-pandemi pada tanggal 22 Desember 2020, Pukul 22.19 Wib

158 Luthfia Ayu Azanella, (2020, Juli 2020). Menyoal Proses Refund Tiket Pesawat via Pegi-Pegi di Masa Pandemi Corona. [Halaman Web]. Diakses dari https://www.kompas.com/tren/read/2020/07/25/100500365/menyoal-proses-refund-tiket-pesawat-via-pegipegi-di-masa-pandemi-corona?page=all. Pada tanggal 1 April 2021, Pukul 22.24 Wib

Kesimpulan yang bisa penulis ambil dari analisis bab ini ialah bahwa banyak pihak yang dirugikan dalam industri jasa penerbangan atas adanya pandemi Covid-19 ini,pihak itu antara lain konsumen sebagai penumpang, pihak maskapai penerbangan selaku pelaku usaha, pihak travel agent selaku pihak yang menjual tiket kepada masyarakat luas. Kerugian yang di alami oleh pihak konsumen antara lain gagalnya orang tersebut untuk berangkat menggunakan pesawat udara karena penerbangan dibatalkan oleh pihak maskapai ataupun dibatalkan sendiri oleh pihak penumpang karena alasan keselamatannya sendiri, Memang ada peraturan yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatur masalah pengembalian dana tiket pesawat tersebut di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini yaitu Permenhub No. 25 tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Deasease 2019 (Covid-19). Hal ini diatur dalam Pasal 24 Permenhub No. 25 Tahun 2020 dimana pemerintah memberikan jaminan kepastian hukum untuk penumpang yang gagalm terbang dengan cara pengembalian dana tiket pesawat secara penuh tanpa potongan dan memberikan keringanan hukum untuk maskapai penerbangan yang juga mengalami kerugian dengan cara maskapai memberikan voucher dengan jumlah nominal yang sama yang dikeluarkan oleh penumpang untuk membeli tiket, Hal ini tentu saja sejalan dengan tujuan UUPK dimana untuk menjamin kepastian hukum bagi penumpang selaku konsumen. Tetapi jika mengacu kepada kebijakan refund dengan cara memberikan voucher ,hal ini sebenarnya tidak selaras dengan UUPK yaitu pasal 18 ayat (1) huruf g, sebabnya ialah ketentuan batas waktu yang ditentukan oleh pihak maskapai merupakan sebuah aturan baru yang dibakukan secara sepihak oleh pihak maskapai yang

dalam tingkat ekonomi memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pada penumpang sebagai konsumen. Dengan demikian, ketentuan batas waktu penggunaan voucher yang ditentukan terlebih dahulu secara sepihak oleh maskapai penerbangan telah mencederai atau melanggar ketentuan perundang-undangan yaitu UUPKpasal 18 ayat (1) huruf g, maka sesuai UUPK pasal 18 ayat (3) bisa saja pemberian voucher sebagai bentuk kompensasi kepada konsumen dianggap batal demi hukum. Tetapi dengan adanya Covid-19, hal ini bisa dijadikan pengecualian, dikarenakan peraturan – peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pada masa pandemi COVID-19 bertujuan atau berusaha untuk menyeimbangkan kepentingan antara pelaku usaha dan konsumen karena yang terdampak akibat COVID-19 bukan hanya konsumen saja.

Tanggung jawab maskapai penerbangan dalam masa pandemi seperti sekarang ini ialah untuk menyediakan alternatif jika penumpang tidak jadi berangkat dikarenakan sebab-sebab yang memungkinkan dia untuk tidak berangkat di masa pandemi ini, contohnya seperti calon penumpang yang tiba-tiba terpapar oleh virus Covid-19 tentu saja pihak maskapai harus memberikan beberapa pilihan untuknya. Tanggung jawab ini tercantum pada syarat & ketentuan masing-masing maskapai penerbangan, seperti pada maskapai Garuda Indonesia & Lion Air yang memungkinkan penumpangnya untuk melakukan penjadwalan ulang penerbangan (re-schedule) tanpa dipungut oleh biaya apapun, untuk Garuda Indonesia hal ini boleh dilakukan 1 kali sementara Lion Air memperbolehkan penumpangnya untuk melakukan re-schedule sebanyak 2 kali. Sementara jika penumpang ingin dananya dikembalikan, bisa saja tetapi kedua maskapai tersebut sama-sama memberikan voucher dengan nilai nominal 100 % (serratus persen) sama dengan nominal awal

yang dibayarkan oleh penumpang, dan masa berlaku voucher tersebut ialah 1 tahun semenjak voucher tersebut dikeluarkan oleh pihak maskapai penerbangan.

Sebenarnya tidak banyak faktor yang memengaruhi keterlambatan dalam mengembalikan dana penumpang tersebut, faktor tersebut hanya karena melonjaknya permintaan refund di masa pandemi sehingga pihak operator setiap maskapai penerbangan dan travel agent kewalahan dan berujung dengan terjadinya keterlambatan pengembalian dana tersebut. Dalam hal tersebut terjadi, yang bisa dilakukan pihak penumpang ialah bersabar karena tidak bisa dipaksakan juga untuk melakukan refund tersebut secara cepat karena semua itu dilakukan sesuai antrian yang masuk ke sistem maskapai penerbangan dan travel agent masing-masing. Masing-masing pihak juga sudah berusaha semaksimal mungkin agar pengembalian dana tersebut tepat waktu.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang ada dalam penulisan hukum ini, maka Penulis menarik beberapa kesimpulan yakni:

1. Aspek hukum perlindungan konsumen jasa penerbangan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dimana Undang-Undang tersebut secara penuh mengatur mengenai upaya perlindungan terhadap konsumen dari keadaan yang dapat menimbulkan kerugian dari suatu produk/jasa yang diterimanya. Dalam hal ini tertuai jelas pada Pasal 4 huruf h jo. Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang memberikan jaminan perlindungan kepada konsumen dalam bentuk kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian sebelumnya. Sehingga dalam hal ini, penerbangan yang dikategorikan sebagai bentuk usaha jasa terikat dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam menjaga dan melindungi konsumen dari kerugian yang dapat diterimanya. Adapun merujuk dari UUPK, aspek hukum lain yang mengatur mengenai perlindungan konsumen dalam jasa penerbangan di Indonesia yakni Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 92 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Ketentuan Peraturan Menteri Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89

Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia, dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 24 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

2. Secara umum, klausul Force Majeure bergantung pada kontrak baku dari suatu perjanjian yang umumnya menyebutkan bencana alam sebagai salah satu faktornya. Berdasarkan hal tersebut, Pandemi Covid-19 dapat dikategorikan sebagai force majeure tergantung pada klausul yang tercantum pada kontrak bisnis masing-masing perusahaan (maskapai penerbangan dan konsumen), jadi untuk mengatakan bahwa Covid-19 merupakan force

2. Secara umum, klausul Force Majeure bergantung pada kontrak baku dari suatu perjanjian yang umumnya menyebutkan bencana alam sebagai salah satu faktornya. Berdasarkan hal tersebut, Pandemi Covid-19 dapat dikategorikan sebagai force majeure tergantung pada klausul yang tercantum pada kontrak bisnis masing-masing perusahaan (maskapai penerbangan dan konsumen), jadi untuk mengatakan bahwa Covid-19 merupakan force