• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN JASA

C. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Jasa Penerbangan

2. Hak dan Kewajiban Konsumen dalam Jasa Penerbangan

Secara garis besar tidak ada undang-undang yang berfokus kepada hak dan kewajiban konsumen didalam jasa penerbangan, tetapi ada undang-undang yang mengatur tentang hak konsumen jika penerbangan yang dipilih olehnya mengalami keterlambatan ataupun pembatalan untuk berangkat. Sebelum membahas tentang hak konsumen atas keterlambatan penerbangan, ada baiknya untuk mengetahui bahwa terdapat 6 kategori keterlambatan penerbangan yang antara lain ialah :92

90 Vermonita Dwi Caturjayanti, “Perlindungan Hukum bagi Konsumen terhadap Keterlambatan Penerbangan Akibat Kabut Asap Kebakaran” Media Iuris, Vol 3 No. 2 Tahun 2020, hlm 266

91 Muhammad Taufik Hidayat, “Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Jasa Angkutan Udara Dalam Perspektif Peraturan Perundang-Undangan Tentang Penerbangan”

Al’Adl, Volume VIII Nomor 3, September - Desember 2016, hlm 92

92 Indonesia (Permenhub PKP), Op.Cit., Pasal 3

a. Kategori 1, keterlambatan 30 menit s/d 60 menit b. Kategori 2, keterlambatan 61 menit s/d 120 menit c. Kategori 3, keterlambatan 121 menit s/d 180 menit d. Kategori 4, keterlambatan 181 menit s/d 240 menit e. Kategori 5, keterlambatan lebih dari 240 menit f. Kategori 6, pembatalan penerbangan

Atas kategori tersebut di atas, jenis pengembalian atau kompensasi ini diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 2015 Tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia yang menjelaskan :93

a. Keterlambatan kategori 1, kompensasi berupa minuman ringan

b. keterlambatan kategori 2, kompensasi berupa minuman dan makanan ringan (snack box)

c. Keterlambatan kategori 3, kompensasi berupa minuman dan makanan berat (heavy meal)

d. Keterlambatan kategori 4, kompensasi berupa minuman, makanan ringan (snack box), makanan berat (heavy meal)

e. Keterlambatan kategori 5, kompensasi berupa ganti rugi sebesar Rp.

300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah)

f. Keterlambatan kategori 6, badan usaha angkutan udara wajib mengalihkan ke penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket (refund ticket)

93 Indonesia (Permenhub PKP), Op.Cit., Pasal 9 ayat (1)

g. Keterlambatan pada kategori 2 sampai dengan. 5, penumpang dapat dialihkan ke penerbangan berikutnya atau mengembalikan seluruh biaya tiket (refund ticket),

Selain hak konsumen dalam jasa penerbangan, konsumen juga memiliki kewajiban. Secara singkat kewajiban konsumen dalam jasa penerbangan ialah untuk selalu tertib dan patuh terhadap peraturan dan larangan yang ada selama menggunakan jasa tersebut, hal-hal yang dilarang untuk dilakukan konsumen dalam jasa penerbangan diatur dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan yang menjelaskan bahwa setiap orang di dalam pesawat udara selama penerbangan dilarang melakukan:94

a. Perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan

b. Pelanggaran tata tertib dalam penerbangan

c. Pengambilan atau pengrusakan peralatan pesawat udara yang dapat membahayakan keselamatan

d. Perbuatan asusila

e. Perbuatan yang mengganggu ketentraman

f. Pengoperasian alat elektronika yang mengganggu navigasi penerbangan

Dari pemaparan penulis diatas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi dasar adanya rasa aman para konsumen di Indonesia ialah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), undang-undang ini dikeluarkan karena maraknya kelakuan produsen yang

94 Indonesia (UU Penerbangan), Op.Cit., Pasal 54

semena-mena dalam mengatur perjanjian dengan konsumennya dan konsumen yang tidak mengetahui hak-hak dasarnya sebagai orang yang membuat ikatan perjanjian dengan pihak produsen. Tujuan utama dari UUPK ini sebenarnya bisa dibilang sederhana, untuk mengatur batasan-batasan dan wewenang masing-masing pihak produsen dan konsumen. Prinsip tanggung jawab yang dipegang teguh oleh produsen didalam UUPK ini secara umum ada 5 yakni Prinsip Kesalahan (liability based on fault), Prinsip Praduga selalu bertanggungjawab (presumption of liability), Prinsip Praduga selalu tidak bertanggungjawab (presumption of non-liability), Prinsip Tanggung jawab mutlak (strict liability), Prinsip Pembatasan Tanggung Jawab (limitation of liability) dan sementara prinsip yang dipakai dalam industri penerbangan hanya prinsip Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan (liability based on fault), Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab (presumption of liability), dan Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (strict liability). Hak konsumen diatur dalam pasal 4 UUPK yang dimana konsumen berhak untuk mendapatkan hak-hak tersebut dari pihak produsenndan jika produsen tidak mau bertanggung jawab dalam memberi hak-hak konsumen tersebut, maka konsumen berhak-hak untuk melaporkan pelanggaran tersebut ke pengadilan. Kewajiban dari konsumen juga diatur dalam pasal 5 UUPK yang dimana konsumen juga harus mentaati kewajiban tersebut agar terjadi proses berkesinambungan yang berlanjut antar produsen dan konsumen.

Pola hubungan hukum yang terjadi diantara konsumen (penumpang) dan penyedia jasa (pengangkut) merupakan hubungan hukum yang terjadi melalui perjanjian yang masuk ke dalam ruang lingkup hukum perdata (privat), sehingga hubungan

hukum yang terbentuk diantara penumpang dengan perusahaan penerbangan bersifat individu ke individu.

Perkembangan industri jasa penerbangan di Indonesia di mulai dengan terbentuknya Indonesia National Air Carriers Association (INACA) karene mulai maraknya maskapai penerbangan nasional yang beredar di Indonesia. INACA membantu para pihak maskapai tersebut dalam menjalin hubungan dengan organisasi internasional dan juga pemerintah. Di era modern ini. Pada abad 21 ini Indonesia sudah memiliki banyak maskapai penerbangan nasional, baik yang di Kelola oleh swasta maupun yang dikelola oleh BUMN. Maskapai penerbangan yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia antara lain Garuda Indonesia, Citilink, Batik Air, Lion Air, Wings Air, Air Asia Indonesia, Sriwijaya Air, dan masih banyak maskapai lain.

Penyelenggaraan jasa penerbangan di Indonesia berpacu kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang penerbangan, selain itu ada juga regulasi pembantu dalam hal ini ialah Peraturan Menteri Nomor 7 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Udara, dan Peraturan Menteri Nomor 89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) pada Badan Usaha Angkutan Niaga Berjadwal di Indonesia.

Pemerintah sebagai regulator penerbangan di Indonesia seharusnya lebih tegas dalam menindak lanjuti kelalaian yang dilakukan oleh pihak maskapai penerbangan karena pihak maskapai penerbangan Indonesia sangat sering melakukan pelanggaran hak terhadap konsumen seperti delay yang membuat penerbangan telat sampai berjam-jam, bahkan sampai yang paling fatal ialah pembatalan penerbangan tanpa adanya alasan yang jelas. Padahal sudah ada

regulasi yang berjalan dan mengatur semua masalah penerbangan tetapi pihak maskapai masih saja melakukan pelanggaran, hal ini bisa di dasarkan karena pihak penumpang merasa lemah dan menerima saja keputusan maskapai penerbangan karena tidak mau repot dalam mengurus masalah pembatalan dan keterlambatan ini.

BAB III

ASPEK HUKUM KONTRAK BAKU DALAM INDUSTRI JASA PENERBANGAN

A. Perkembangan Penggunaan Kontrak Baku dalam Dunia Usaha

Perjanjian Baku sudah dikenal sejak zaman Yunani Kuno. Plato (423-347 SM), pernah mencotohkan tentang praktik penjualan makanan yang harga dari makanan tersebut telah ditentukan pihak penjual tanpa mempertimbangkan kualitas dari makanan itu sendiri. Sejalan dengan berjalannya waktu, penetapan harga secara sepihak oleh penjual bukan lagi tentang harga dari barang tersebut, tetapi sudah mencakup syarat lain yang lebih luas lagi. Laporan dari Harvard Law Review pada tahun 1971 mengatakan bahwa ada 99% (sembilan puluh sembilan persen) perjanjian baku yang dilaksanakan di Amerika Serikat. Perjanjian baku di Indonesia khususnya sektor properti masih dianggap kontroversial secara yuridis, sebagai contoh adanya sistem pembelian satuan rumah susun (strata title), secara indent dalam bentuk perjanjian baku.95

Kontrak baku merupakan perjanjian yang dibuat secara tertulis tanpa menjelaskan lebih lanjut tentang isinya, dan biasanya dimasukkan ke dalam perjanjian tidak terbatas yang sifatnya memiliki bentuk tertentu. Sementara Perjanjian Baku merupakan perjanjian yang dibakukan dan dimasukkan dalam bentuk formular.96 Dalam eksistensinya di dunia bisnis, adanya perjanjian baku tidak dapat dihindari dan merupakan aspek yang dominan agar terciptanya kedayagunaan kerja pelaku usaha dalam perkembangan transaksi bisnis yang

95 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit, hlm. 138

96 Salim, Perkembangan Hukum Kontrak diluar Hukum Perdata, (Jakarta: Raja Garafindo Persada, 2006), hlm. 107

pertumbuhannya pesat dan modern seperti zaman sekarang ini.97Aktifitas bisnis dalam era modern seperti sat ini sering kali dibingkai oleh kontrak (salah satunya perjanjian baku), hal ini melahirkan perikatan dan membuat kontrak tersebut dipandang sebagai fasilitas yang mumpuni dalam menjalankan aktifitas bisnis tersebut.98

Kontrak baku sangat krusial sebab dapat mengakibatkan munculnya klausula yang cenderung lebih menguntungkan pihak tertentu. Kontrak baku memang lebih cocok jika dimanfaatkan dalam dunia usaha, Praktiknya sangat mudah karena dapat ditandatangani oleh pihak yang melakukan perjanjian secara langsung. Kontak baku pada hakikatnya tidak menjadi permasalahan hukum karena kontrak baku tersebut merupakan kebutuhan pokok dalam dunia usaha.

Walaupun demikian, sebenarnya ketika membuat perjanjan baku / kontrak baku jika menilite lebih dalam, tidak ada sama sekali unsur kebebasan berkontrak di dalamnya, adanya pembatasan-pembatasan dari asas kebebasan berkontrak membuat kontrak baku tersebut dapat berlaku. Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan kontrak baku dalam dunia usaha disebabkan oleh adanya masalah-masalah hukum yang menyenggol eksistensi dan ruang lingkup asas kebebasan berkontrak.99

97 Bambang Sugeng A.S. “Keberadaan Perjanjian Baku Menurut UUPK”. Yuridika Vol.21 No.1, Januari-Februari. 2006, hlm. 61.

98 Moch. Isnaeni, Hukum Perikatan Dalam Era Perdagangan Bebas, Pelatihan Hukum Perikatan Bagi Dosen dan Praktisi, Fakultas Hukum Unair, Surabya, 6 s/d 7 September 2006

99 M. Roesli, Sarbini, “Kedudukan Perjanjian Baku Dalam Kaitannya Dengan Asas Kebebasan Berkontrak,” DiH: Jurnal Ilmu Hukum Volume 15 Nomor 1 Februari 2019 – Juli 2019, hlm 2

B. Pengaturan Hukum Terhadap Kontrak Baku di Indonesia

Perjanjian baku memiliki keuntungan jika dilihat dari segi efisiensi waktu, tenaga, dan biaya karena bisa meminimalisir hal-hal tersebut. Pelaku usaha memasukkan isi dari perjanjian baku itu sendiri secara sepihak dan dibuat dalam bentuk formular dalam jumlah yang banyak supaya bisa dipakai kembali jika ingin menawarkan produknya kepada konsumen. Secara ekonomis, dalam menentukan isi dari perjanjian secara sepihak memang bagus untuk dilakukan oleh pelaku usaha sehingga konsumen tidak perlu memberikan penawaran.

Permasalahan dari perjanjian baku muncul ketika pelaku usaha sebagai pihak yang membuat perjanjian baku mencantumkan klausula yang merugikan konsumen. Memang penggunaan klausula baku di dalam dunia usaha tak terelakkan, sehingga hampir semua produk yang ditawarkan oleh pelaku usaha sering kita jumpai adanya klausula perjanjian yang dibakukan atau dalam UUPK disebut Klausula Baku.100

Kebanyakan konsumen tidak mau membaca klausula baku yang dicantumkan oleh pihak pelaku usaha dan langsung saja menandatangani isi perjanjian yang ada karena dia tidak memiliki wewenang untuk mengubah isi dari perjanjian tersebut sesuai dengan kehendaknya. Jika tertuju pada tujuan yang diinginkan oleh para pihak dalam sebuah perjanjian baku, bisa dikatakan bahwa perjanjian tersebut dibuat untuk mendapatkan kata sepakat dan sebagai dasar hukum perjanjian tersebut. Isi dari perjanjian yang telah dibuat tersebut menjadi

100 Ibid, hlm 6

nilai dasar para pihak dalam mencapai kepentingan pihak yang membuat perjanjian.101

Di dalam penerapan kontrak baku, dikenal 4 (empat) cara atau metode dalam memberlakukan syarat-syarat baku dalam suatu kontrak baku, antara lain:

102

1. Penandatangan perjanjian kontrak dokumen perjanjian kontrak baku.

Memuat secara lengkap dan rinci syarat-syarat perjanjian kontrak baku.

Ketika membuat kontrak baku, dokumen tersebut diberikan kepada konsumen untuk dibaca dan ditandatangani. Dengan penandatangan itu, maka konsumen menjadi terikat pada syarat- syarat baku yang terdapat pada perjanjian kontrak baku tersebut.

2. Pemberitahuan melalui dokumen perjanjian menurut kebiasaan yang berlaku, syarat-syarat baku dicetak diatas dokumen perjanjian yang tidak ditandatangani oleh konsumen, misalnya surat penerimaan, surat pesanan dan nota pembelian. Syarat-syarat baku tersebut diberitahukan melalui dokumen perjanjian.

3. Penunjukan dalam dokumen perjanjian dokumen perjanjian dalam hal ini tidak memuat atau menuliskan mengenai syarat-syarat baku melainkan hanya menunjuk kepada syaratsyarat baku, misalnya dalam dokumen jual beli perdagangan ditunjuk suatu syarat penyerahan barang secara free on board berarti syarat baku mengenai penyerahan tersebut berlaku dalam perjanjian tersebut.

101 Muhamad Hasan Muaziz, Op.Cit, hlm 79

102 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990), hlm 24-26

4. Pemberitahuan melalui papan pengumuman syarat-syarat baku dapat dijadikan bagian dari isi perjanjian dengan cara pemberitahuan melalui papan pengumuman. Dalam hal ini papan pengumuman harus dipasang ditempat yang jelas, mudah dibaca sebelum perjanjian dibuat. Jika dilihat dari keempat metode diatas bahwa ketika konsumen melakukan penandatanganan atas kontrak baku yang ditawarkan kepadanya maka itu berarti konsumen tersebut menyetujui ketentuan-ketentuan perjanjian yang ada didalam kontrak baku tersebut.

Di dalan UUPK, pasal yang mengatur tentang pembatasan pembuatan sebuah perjanjian atau kontrak dengan pencantuman klausula baku ialah Pasal 18 ayat (1) yang melarang pelaku usaha untuk mencantumkan klausula baku pada setiap perjanjian dan dokumen apabila :103

a) Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.

b) Menyatakab bahwa pelaku usaha berhak menolak menyerahkan kembali barang yang dibeli konsumen.

c) Manyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen d) Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik

secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibelikan oleh konsumen secara angsuran.

e) Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.

103 Indonesia (UUPK), Op.Cit., Pasal 18 ayat (1)

f) Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.

g) Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.

h) Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Selain itu, dalam aturan yang terdapat di dalam Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 ayat (2) menyebutkan bahwa:104

“Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti”.

Sedangkan pada ayat (3) lebih lanjut disebutkan bahwa:105

“Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum”.

Jika mengacu kepada pembuatan syarat dan ketentuan oleh maskapai penerbangan, maka tentu saja Pasal 18 ayat (1) UUPK ini dapat dijadikan acuan dalam membuat konrak tersebut, oleh karena itu pihak konsumen harus lebih memperhatikan klausula baku yang ada pada syarat dan ketentuan tiap maskapai,

104 Ibid, ayat (2)

105 Ibid, ayat (3)

apakah klausula baku yang terdapat syarat dan ketentuan tersebut merugikan pihak konsumen atau tidak.

Setiap orang berhak untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun yang ingin membuat perjanjian dengannya. Perjanjian antara dua pihak atau lebih bersifat privat yang berarti hanya mengikat yang melakukan perjanjian saja. Maka dari itu, pihak yang tidak mempunyai kepentingan untuk ikut campur dalam perjanjian tersebut tidak memiliki hak apapun terhadap perjanjian tersebut.

Sementara negara hanya memiliki wewenang melakukan intervensi dalam perjanjian tersebut apabila salah satu pihak yang melakukan perjanjian tersebut berada pada posisi tidak berdaya dalam perjanjian tersebut, negara memiliki kewajiban untuk melindungi pihak yang tidak berdaya tersebut agar memiliki posisi yang mumpuni dan tidak dominan kesatu pihak saja (Misbuk van Omstandinghede).106

C. Klausula Force Majeure dalam Kontrak Baku Industri Jasa Penerbangan Dalam pengaturannya di Indonesia, Force Majeure secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), tetapi tidak ada definisi yang mendetail tentang keadaan memaksa tetapi hanya menentukan batasan. Jika diartikan ke Bahasa Indonesia bisa dikatakan Force Majeure ialah

“keadaan memaksa” yang merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak dapat diduga pada saat dibuatnya suatu kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak

106 M. Roji Iskandar, “Pengaturan Klausula Baku Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Dan Hukum Perjanjian Syariah, Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah”, Vol.

1 No.2 (Juli, 2017), hlm 208-209

dapat dipertanggung jawabkan kepada debitur, padahal debitur tersebut dalam keadaan tidak ingin melakukan itikad buruk.107

Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang sering dijadikan acuan dalam pembahasan force majeure ialah pasal 1244 dan pasal 1245. Isi dari pasal-pasal tersebut antara lain :108

Pasal 1244 :

“Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.”

Pasal 1245 :

“Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.”

Kondisi force majeure di dasarkan pada beberapa hal, yang antara lain :109 1. Menurut KUHPerdata, kausa-kausa force majeure antara lain, (1) force

majeure karena sebab yang tak terduga, (2) force majeure karena keadaan memaksa, (3)force majeure karena masing-masing perbuatan tersebut dilarang.

107 Handri Raharjo, Hukum Perusahaan, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hlm 25

108 Indonesia (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU No. 1 Tahun 1946, LN No. 23 Tahun 1847, Pasal 1244-1245

109 Hero Pandi, “Penyelesaian Ganti Rugi Karena Force Mejeure Dalam Kasus Jasa Pengangkutan”, Fakultas Hukum Universitas Islam Malang, 2013, hlm 4-5

2. Menurut penafsiran umum, force majeure ialah keadaan memaksa yang pada umumnya telah dijelaskan pada setiap perjanjian yang bisa dilihat secara subjektif dan objektif dalam perjanjian tersebut.

3. Menurut pelaksanaan prestasi dalam kontrak, force majeure dapat dikategorikan ke dalam force majeure absolut dan force majeure relatif.

Force majeure absolut ialah keadaan yang terjadi jika kewajiban sama sekali tidak bisa dilaksanakan, misalnya ketika objek yang diperjanjikan hancur karena bencana alam. Dalam hal ini pemenuhan prestasi tidak mungkin dilaksanakan oleh siapapun.110 Sedangkan force majeure relatif ialah keadaan ketika perjanjian masih mungkin untuk dilaksanakan namun dengan pengorbanan atau biaya yang sangat besar dari pihak debitur,111 4. Menurut jangka waktu berlaku yang menyebabkan terjadinya force

majeure, dapat diklasifikasikan menjadi force majeure permanen dan force majeure temporer. Force majeure yang bersifat permanen bisa diartikan sebagai suatu prestasi yang disetujui dalam kontrak yang sampai kapanpun tidak akan bisa untuk dilaksanakan Kembali. Misalnya seperti barang yang merupakan objek dalam sebuah kontrak telah musnah dan alasan musnahnya diluar kesalahan debitur.112 Force majeure temporer merupakan keadaan dimana dalam pemenuhan prestasi dari suatu kontrak tidak mungkin dilaksanakan untuk sementara waktu, tetapi Ketika

110 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III: Hukum Perikatan dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 1996) hlm 37

111 Ibid

112 Agri Chairunisa Isradjuningtias, “Force Majeure (Overmacht) Dalam Hukum Kontrak (Perjanjian) Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum Unpar, Vol.1 No.1, Juni 2015, hlm 150

peristiwa yang menyebabkan tidak terlaksananya prestasi tersebut sudah berhenti, maka prestasi tersebut dapat dipenuhi Kembali.113

Pada dasarnya sebelum membahas lebih lanjut tentang force majeure, perlu diketahui bahwa kedudukan force majeure berada di hukum kontrak.

Hukum kontrak merupakan pembagian dari hukum perdata yang mengatur kewajiban melaksanakan kewajiban pembuat kontrak itu sendiri (self imposed obligation). Hukum kontrak disebutkan sebagai bagian dari hukum perdata karena jika terjadi pelanggaran kewajiban para pihak maka permasalahan itu murni menjadi urusan masing-masing pihak yang berkontrak.114

Klausula force majeure, ini hampir selalu ada dalam perjanjian yang dibuat. Sedangkan perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian harus memenuhi 4 (empat) syarat agar dapat memiliki kekuatan hukum dan mengikat para pihak yang membuatnya, yaitu: 115

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri, 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, 3. Mengenai suatu hal tertentu, dan

4. Suatu sebab yang halal.

Menurut Mochtar Kusumaarmadja, force majeure dapat dikatakan sebagai alasan untuk tidak memeuni pelaksanaan kewajiban yang dikarenakan hilangnya objek atau tujuan yang menjadi inti dari suatu perjanjian. Keadaan tersebut

113 Ibid

114 M. Muhtarom, “Asas-Asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan Dalam Pembuatan Kontrak”, Jurnal Suhuf, Vol. 26, No. 1, Mei 2014, hlm. 50

115 Indonesia (KUH Perdata), Op.Cit., Pasal 1320

menyinggung pelaksanaan perjanjian secara fisik dan hukum, tidak dikarenakan kesulitan dalam melaksanakan kewajiban di perjanjian tersebut. Pandangan tersebut hampir sama dengan apa yang di kemukakan Mieke Komar Kantaatmadja yang antara lain :116

1. Perubahan suatu keadaan tidak terdapat pada waktu pembentukan perjanjian.

2. Perubahan tersebut perihal suatu keadaan yang fundamental bagi perjanjian tersebut.

3. Perubahan tersebut tidak dapat diperkirakan sebelumnya oleh para pihak.

4. Akibat perubahan tersebut haruslah radikal, sehingga mengubah luas lingkup kewajiban yang harus dilakukan menurut perjanjian itu.

5. Penggunaan asas tersebut tidak dapat diterapkan pada perjanjian perbatasan dan juga terjadinya perubahan keadaan akibat pelanggaran yang dilakukan oleh pihak yang mengajukan tuntutan

Dalam industri jasa penerbangan, Klausula force majeure ditetapkan dalam Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Penerbangan dalam Keadaan Kahar (force majeure). Dalam kontrak baku jasa penerbangan yang memiliki perjanjian dengan konsumen ialah pihak maskapai, dan hal yang harus dilakukan pihak maskapai jika terjadi kondisi kahar (force majeure) antara lain : 117

1. Mengutamakan keamanan dan keselamatan penerbangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

116 Harry Purwanto, “Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus Dalam Perjanjian Internasional”, Jurnal Mimbar Hukum Edisi Khusus, November 2011, hlm. 115

117 Indonesia (SE Menhub PPDKK), Surat Edaran Menteri Perhubungan Tentang Pelaksanaan Penerbangan dalam Keadaan Kahar (force majeure), SE No.15 Tahun 2019, Angka (1) Poin (a)

2. Menyusun dan melaksanakan prosedur rencana kontigensi (contingency

2. Menyusun dan melaksanakan prosedur rencana kontigensi (contingency