• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III ASPEK HUKUM KONTRAK BAKU DALAM INDUSTRI JASA

C. Klausula Force Majeure dalam Kontrak Baku Industri Jasa

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), tetapi tidak ada definisi yang mendetail tentang keadaan memaksa tetapi hanya menentukan batasan. Jika diartikan ke Bahasa Indonesia bisa dikatakan Force Majeure ialah

“keadaan memaksa” yang merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak dapat diduga pada saat dibuatnya suatu kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak

106 M. Roji Iskandar, “Pengaturan Klausula Baku Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Dan Hukum Perjanjian Syariah, Jurnal Ekonomi dan Keuangan Syariah”, Vol.

1 No.2 (Juli, 2017), hlm 208-209

dapat dipertanggung jawabkan kepada debitur, padahal debitur tersebut dalam keadaan tidak ingin melakukan itikad buruk.107

Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang sering dijadikan acuan dalam pembahasan force majeure ialah pasal 1244 dan pasal 1245. Isi dari pasal-pasal tersebut antara lain :108

Pasal 1244 :

“Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.”

Pasal 1245 :

“Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.”

Kondisi force majeure di dasarkan pada beberapa hal, yang antara lain :109 1. Menurut KUHPerdata, kausa-kausa force majeure antara lain, (1) force

majeure karena sebab yang tak terduga, (2) force majeure karena keadaan memaksa, (3)force majeure karena masing-masing perbuatan tersebut dilarang.

107 Handri Raharjo, Hukum Perusahaan, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hlm 25

108 Indonesia (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU No. 1 Tahun 1946, LN No. 23 Tahun 1847, Pasal 1244-1245

109 Hero Pandi, “Penyelesaian Ganti Rugi Karena Force Mejeure Dalam Kasus Jasa Pengangkutan”, Fakultas Hukum Universitas Islam Malang, 2013, hlm 4-5

2. Menurut penafsiran umum, force majeure ialah keadaan memaksa yang pada umumnya telah dijelaskan pada setiap perjanjian yang bisa dilihat secara subjektif dan objektif dalam perjanjian tersebut.

3. Menurut pelaksanaan prestasi dalam kontrak, force majeure dapat dikategorikan ke dalam force majeure absolut dan force majeure relatif.

Force majeure absolut ialah keadaan yang terjadi jika kewajiban sama sekali tidak bisa dilaksanakan, misalnya ketika objek yang diperjanjikan hancur karena bencana alam. Dalam hal ini pemenuhan prestasi tidak mungkin dilaksanakan oleh siapapun.110 Sedangkan force majeure relatif ialah keadaan ketika perjanjian masih mungkin untuk dilaksanakan namun dengan pengorbanan atau biaya yang sangat besar dari pihak debitur,111 4. Menurut jangka waktu berlaku yang menyebabkan terjadinya force

majeure, dapat diklasifikasikan menjadi force majeure permanen dan force majeure temporer. Force majeure yang bersifat permanen bisa diartikan sebagai suatu prestasi yang disetujui dalam kontrak yang sampai kapanpun tidak akan bisa untuk dilaksanakan Kembali. Misalnya seperti barang yang merupakan objek dalam sebuah kontrak telah musnah dan alasan musnahnya diluar kesalahan debitur.112 Force majeure temporer merupakan keadaan dimana dalam pemenuhan prestasi dari suatu kontrak tidak mungkin dilaksanakan untuk sementara waktu, tetapi Ketika

110 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III: Hukum Perikatan dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 1996) hlm 37

111 Ibid

112 Agri Chairunisa Isradjuningtias, “Force Majeure (Overmacht) Dalam Hukum Kontrak (Perjanjian) Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum Unpar, Vol.1 No.1, Juni 2015, hlm 150

peristiwa yang menyebabkan tidak terlaksananya prestasi tersebut sudah berhenti, maka prestasi tersebut dapat dipenuhi Kembali.113

Pada dasarnya sebelum membahas lebih lanjut tentang force majeure, perlu diketahui bahwa kedudukan force majeure berada di hukum kontrak.

Hukum kontrak merupakan pembagian dari hukum perdata yang mengatur kewajiban melaksanakan kewajiban pembuat kontrak itu sendiri (self imposed obligation). Hukum kontrak disebutkan sebagai bagian dari hukum perdata karena jika terjadi pelanggaran kewajiban para pihak maka permasalahan itu murni menjadi urusan masing-masing pihak yang berkontrak.114

Klausula force majeure, ini hampir selalu ada dalam perjanjian yang dibuat. Sedangkan perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian harus memenuhi 4 (empat) syarat agar dapat memiliki kekuatan hukum dan mengikat para pihak yang membuatnya, yaitu: 115

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri, 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, 3. Mengenai suatu hal tertentu, dan

4. Suatu sebab yang halal.

Menurut Mochtar Kusumaarmadja, force majeure dapat dikatakan sebagai alasan untuk tidak memeuni pelaksanaan kewajiban yang dikarenakan hilangnya objek atau tujuan yang menjadi inti dari suatu perjanjian. Keadaan tersebut

113 Ibid

114 M. Muhtarom, “Asas-Asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan Dalam Pembuatan Kontrak”, Jurnal Suhuf, Vol. 26, No. 1, Mei 2014, hlm. 50

115 Indonesia (KUH Perdata), Op.Cit., Pasal 1320

menyinggung pelaksanaan perjanjian secara fisik dan hukum, tidak dikarenakan kesulitan dalam melaksanakan kewajiban di perjanjian tersebut. Pandangan tersebut hampir sama dengan apa yang di kemukakan Mieke Komar Kantaatmadja yang antara lain :116

1. Perubahan suatu keadaan tidak terdapat pada waktu pembentukan perjanjian.

2. Perubahan tersebut perihal suatu keadaan yang fundamental bagi perjanjian tersebut.

3. Perubahan tersebut tidak dapat diperkirakan sebelumnya oleh para pihak.

4. Akibat perubahan tersebut haruslah radikal, sehingga mengubah luas lingkup kewajiban yang harus dilakukan menurut perjanjian itu.

5. Penggunaan asas tersebut tidak dapat diterapkan pada perjanjian perbatasan dan juga terjadinya perubahan keadaan akibat pelanggaran yang dilakukan oleh pihak yang mengajukan tuntutan

Dalam industri jasa penerbangan, Klausula force majeure ditetapkan dalam Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Penerbangan dalam Keadaan Kahar (force majeure). Dalam kontrak baku jasa penerbangan yang memiliki perjanjian dengan konsumen ialah pihak maskapai, dan hal yang harus dilakukan pihak maskapai jika terjadi kondisi kahar (force majeure) antara lain : 117

1. Mengutamakan keamanan dan keselamatan penerbangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

116 Harry Purwanto, “Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus Dalam Perjanjian Internasional”, Jurnal Mimbar Hukum Edisi Khusus, November 2011, hlm. 115

117 Indonesia (SE Menhub PPDKK), Surat Edaran Menteri Perhubungan Tentang Pelaksanaan Penerbangan dalam Keadaan Kahar (force majeure), SE No.15 Tahun 2019, Angka (1) Poin (a)

2. Menyusun dan melaksanakan prosedur rencana kontigensi (contingency plan) penerbangan dan pelayanan penumpang dalam kondisi keadaan kahar (force majeure), yang sekurang-kurangnya memuat :

a. Ketentuan yang memudahkan penumpang untuk Menyusun ulang rencana perjalanan diantaranya reschedule, reroute, atau pemindahan ke penerbangan badan usaha angkutan udara lainnya b. Ketentuan yang memudahkan pengembalian uang tiket (refund)

sesuai peraturan perundang-undangan

c. Koordinasi dengan penyelenggara bandar udara dalam hal penyediaan sarana dan fasilitas yang dibutuhkan untuk meningkatkan pelayanan kepada penumpang angkutan udara d. Penyampaian informasi kepada penumpang angkutan udara yang

benar dan jelas mengenai alasan keterlambatan penerbangan, perubahan jadwal penerbangan, pembatalan penerbangan, dan kepastian keberangkatan melalui media informasi

3. Meningkatkan koordinasi dengan penyelenggara bandar udara dan penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan terkait dengan penerbitan alokasi ketersediaan waktu terbang (slot time)

4. Meningkatkan koordinasi dengan Direktorat Angkutan Udara, Kantor Otoritas Bandar Udara, dalam rangka percepatan penerbitan persetujuan terbang (flight approval) sesuai kebutuhan operasional seperti :

a. Perubahan rute penerbangan b. Perubahan nomor penerbangan

c. Perubahan rute yang telah ditetapkan (reroute) akibat divert, menuju bandar udara tujuan yang berbeda dengan izin yang diberikan

d. Perubahan penggunaan tipe dan seri pesawat udara yang lebih besar pada angkutan udara niaga berjadwal luar negeri

e. Perubahan jadwal penerbangan yang menyebabkan pelaksanaan penerbangan dilakukan pada hari yang berbeda (00.00 UTC) lebih dari 3 (tiga) jam

5. Melaporkan pelaksanaan operasional penerbangan selama keadaan kahar (force majeure) kepada Direktur Angkutan Udara

D. Tanggung Jawab Hukum Penyedia Jasa Penerbangan dalam Hal