• Tidak ada hasil yang ditemukan

S K R I P S I. Disusun dan Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "S K R I P S I. Disusun dan Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Oleh"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM KEWAJIBAN PENGEMBALIAN UANG TIKET PESAWAT OLEH MASKAPAI PENERBANGAN AKIBAT PANDEMI COVID-19 (Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen)

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

RIFQI MUDA PANJAITAN 170200463

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

2 0 2 1

(2)
(3)

ABSTRAK

TINJAUAN HUKUM KEWAJIBAN PENGEMBALIAN UANG TIKET PESAWAT OLEH MASKAPAI PENERBANGAN AKIBAT PANDEMI COVID-19 (Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen)

Pandemi COVID-19 memberikan implikasi nyata terhadap keadaan kehidupan manusia. Salah satunya yakni terkait transaksi bisnis dalam hal pembelian jasa penerbangan. Banyaknya restriksi penerbangan (travel ban) yang dilakukan baik dari dalam maupun luar negeri mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan penerbangan. Akibatnya, banyak penerbangan yang dibatalkan sehingga pemberian kompensasi, ganti rugi dan ataupun penggantian harus dilaksanakan. Secara praktik maskapai harus melakukan penggantian dalam bentuk dana, namun nyatanya hal tersebut tidak dilaksanakan. Hal ini menyebabkan kerugian kepada konsumen karena pelaksanaan dan penerapannya tidak sesuai dengan hak konsumen terhadap kompensasi, ganti rugi dan ataupun penggantian berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 (UU Perlindungan Konsumen). Penulisan hukum ini ditujukan untuk mengetahui dan menganalisis penerapan yang dilaksanakan oleh maskapai penerbangan mengenai pelaksanaan perlindungan konsumen terkait pemberian ganti rugi terhadap tiket pesawat selama masa Pandemi COVID-19 berdasarkan UU Perlindungan Konsumen. Penulisan hukum ini dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis untuk menjelaskan pelaksanaan pengembalian uang tiket pesawat oleh pihak maskapai selama masa pandemi COVID-19 dengan menguraikan ketentuan UU Perindungan Konsumen yang didukung dengan peraturan perundang-undangan lain dan data sekunder terkait. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsumen memiliki hak untuk menerima kompensasi, ganti rugi dan ataupun penggantian berdasarkan Pasal 4 huruf h, Pasal 7 huruf f dan g, serta Pasal 19 ayat (1) dan (2) UU Perlinkos yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 89 Tahun 2015 Tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (delay management) Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia (Permen 89/2015) yang menjelaskan bahwasannya pengembalian uang (refund) harus dilakukan dalam bentuk tunai.

Penulisan hukum ini merekomendasikan agar dilakukannya amandemen UU Perlindungan Konsumen khususnya mengenai penyelesaian sengketa konsumen serta memperjelas aturan terhadap pengembalian uang oleh jasa penerbangan dalam masa Pandemi COVID-19 dalam suatu Peraturan Pemerintah.

Kata Kunci: Pengembalian Uang, Tiket Pesawat, Maskapai, COVID-19, UU Perlindungan Konsumen

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa yang telah melimpahkan kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul TINJAUAN HUKUM KEWAJIBAN PENGEMBALIAN UANG TIKET PESAWAT OLEH MASKAPAI PENERBANGAN AKIBAT PANDEMI COVID-19( Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen )

Adapun maksud dari penyusunan skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh ujian sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini penulis tidak mungkin dapat selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak, baik dukungan moral maupun materil. Untuk itu penulis mengucapakan terima kasih banyak kepada semua pihak yang terlibat:

1. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si. selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. OK. Saidin SH, M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Jelly Leviza S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

6. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution S.H., M.H, selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan juga selaku Dosen pembimbing I yang telah memberikan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

7. Ibu Tri Murti Lubis, S.H., M.H, Selaku Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Ibu Dr. Detania Sukarja, S.H., L.L.M., selaku Dosen Pembimbing II, yang telah banyak memberikan saran dan bimbingan untuk menyelesaikan skripsi.

9. Seluruh dosen dan staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

10. Kedua orang tua saya Heri Ani dan Alm. Rudi Muda Panjaitan yang telah dengan sabar dan penuh kasih sayang memberikan yang terbaik selama masa hidup saya dan doa-doa yang sangat berguna.

11. Abang saya Ryan Muda Panjaitan yang selalu membantu saya dalam segala masalah apapun di rumah.

12. Ibu Arvia Batubara yang dengan penuh kasih sayang menjaga saya sejak saya balita sampai sudah dewasa seperti sekarang ini.

13. Nurul Audie, yang selalu mendengarkan keluh kesah penulis selama menyelesaikan skripsi ini dan memberi semangat serta dukungan selama penyusunan skripsi.

14. Resty Sutrainy Ayu, yang sudah meluangkan waktunya untuk selalu membantu penulis dan memberi masukan dalam masa pengerjaan skripsi ini.

15. M. Rafiq Akbar dan Rura Yoga yang selalu menemani dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini

(6)

16. Teman-teman saya di Manusia Serigala yang tidak bisa saya sebutkan Namanya satu per satu, terima kasih atas semua pertolongan yang diberikan kepada penulis semasa perkuliahan

17. Rekan-rekan saya dalam kepengurusan Ikatan Mahasiswa Ekonomi (IMAHMI) departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Tahun Kepengurusan 2020/2021 yang selalu maju Bersama saya dalam melaksanakan Program Kerja semasa masa kepengurusan.

18. Semua teman-teman Stambuk 2017 yang dengan caranya tersendiri telah membantu penulis dalam masa perkuliahan.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan atas semua bantuan yang diberikan, penulis menyadari skripsi ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk skripsi ini dimasa yang akan datang. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat menambah dan memperluas pengetahuan kita semua, terima kasih.

Medan, Desember 2020 Penulis

Rifqi Muda Panjaitan NIM. 170200463

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Pustaka ... 10

F. Metode Penelitian ... 13

G. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN JASA PENERBANGAN DI INDONESIA A. Perlindungan Konsumen di Indonesia 1. Keberlakuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 ... 19

2. Tujuan Perlindungan Konsumen ... 22

3. Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen ... 23

4. Hak dan Kewajiban Konsumen ... 26

5. Pola Hubungan Hukum antara Konsumen dan Penyedia Jasa ... 29

B. Tinjauan Umum Terhadap Penyedia Jasa Penerbangan 1. Perkembangan Industri Penyedia Jasa Penerbangan di Indonesia ... 31

(8)

2. Konvensi Montreal dan Industri Jasa Penerbangan Indonesia

... 38

3. Pengaturan Hukum Jasa Penerbangan di Indonesia ... 41

4. Hak dan Kewajiban Penyedia Jasa Penerbangan ... 43

5. Regulator Industri Jasa Penerbangan ... 48

C. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Jasa Penerbangan 1. Kerangka Regulasi Perlindungan Konsumen Jasa Penerbangan ... 50

2. Hak dan Kewajiban Konsumen dalam Jasa Penerbangan .... 52

BAB III ASPEK HUKUM KONTRAK BAKU DALAM INDUSTRI JASA PENERBANGAN A. Perkembangan Penggunaan Kontrak Baku dalam Dunia Usaha 57 B. Pengaturan Hukum Terhadap Kontrak Baku di Indonesia... 59

C. Klausula Force Majeure dalam Kontrak Baku Industri Jasa Penerbangan ... 63

D. Tanggung Jawab Hukum Penyedia Jasa Penerbangan dalam Hal Terjadinya Kondisi Kahar ... 69

BAB IV ASPEK HUKUM KEWAJIBAN PENGEMBALIAN UANG TIKET OLEH PENYEDIA JASA PERNERBANGAN AKIBAT PANDEMI COVID-19 A. Kerugian Konsumen Jasa Penerbangan akibat Pandemi Covid-19 ... 77

B. Tanggung Jawab Penyedia Jasa Penerbangan terhadap Kerugian Konsumen akibat Pandemi Covid-19 ... 79

C. Bentuk Ganti Rugi yang diberikan oleh Pihak Maskapai Penerbangan Bagi Konsumen akibat Pandemi Covid-19 ... 86

(9)

D. Faktor-Faktor Penyebab Keterlambatan dalam Proses Pengembalian Dana Tiket Pesawat Konsumen oleh Pihak Maskapai Penerbangan dan Pihak Travel Agent baik Online maupun Offline Pada Masa Pandemi Covid-19 ... 90 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 100 B. Saran ... 103 DAFTAR PUSTAKA ... 105

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat ketika menjalankan kehidupan sehari-hari memerlukan alat yang bisa memindahkan dirinya ke satu tempat ke tempat yang lain, baik jaraknya jauh ataupun dekat. Alat itu dinamakan transportasi, transportasi merupakan alat yang digunakan untuk memindahkan manusia atau barang dengan memanfaatkan alat angkut yang dapat digerakkan oleh kekuatan manusia ataupun hasil kinerja mesin.1

Dalam memenuhi kebutuhan akan transportasi ini, masyarakat yang mampu untuk memenuhi kebutuhannya akan transportasi mungkin bisa membeli kendaraan bermotor seperti mobil dan motor. Akan tetapi pemerintah masih memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan akan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Oleh sebab itu, maka pemerintah menyediakan transportasi umum. transportasi umum ialah alat transportasi bermesin yang disediakan oleh pemerintah ataupun pihak swasta untuk masyarakat luas, maksud dari masyarakat luas ini ialah transportasi umum ini difasilitasi untuk masyarakat dengan memikirkan kepentingan masyarakat, dan masyarakat juga harus menurut kepada peraturan, arah, tujuan, dan jadwal yang sudah dibuat oleh pihak yang bersangkutan demi berjalannya program transportasi umum yang tentram dan tertib.2

1 Andriansyah, Manajemen Transportasi Dalan Kajian dan Teori, (Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Prof. Dr. Moestopo Beragama, 2015), hlm 1

2 Ibid, hlm 8

(11)

Moda transportasi umum terdiri dari Transportasi Darat, Transportasi Laut, dan Transportasi Udara, semua moda transportasi ini penting dalam menjalankan roda kehidupan maupun roda perekonomian. Pada abad ke-21 ini Seluruh dunia dihebohkan dengan mewabahnya Corona Virus Disease 19 (Covid-19) yang mewabah ke seluruh dunia, Indonesia tentu saja juga terkena dampak yang besar dari adanya wabah ini. Moda transportasi terkena dampak yang signifikan diawal mewabahnya virus ini, Semua sarana transportasi umum mengalami penurunan dalam dipakai untuk kehidupan sehari-hari.3

Salah satu bisnis transportasi umum yang mungkin mendapatkan efek buruk dari wabah Covid-19 ini ialah bisnis transportasi udara, bisnis penerbangan di dalam negeri menjadi mati suri karena wabah ini. Bukan hanya maskapai penerbangan yang menjadi korban disini, pihak pengelola bandara juga merasakan dampak dari wabah ini. Penerbangan ke luar negeri juga sampai ditutup karena banyak negara mengadakan lockdown negaranya karena adanya wabah ini, dalam satu bulan mewabahnya virus ini ke Indonesia, jumlah korban yang meninggal mencapai 157 jiwa.4

Covid-19 ditetapkan pemerintah sebagai Bencana Nasional pada tanggal 14 Maret 2020, pengumuman yang disampaikan oleh Kepala Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB) tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.Pada tahap awal masuknya Covid-

3 Ainaya Nadine dan Zulfa Zahara Imtiyaz, “Analisis Upaya Pemerintah Dalam

Menangani Mudik Melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 Pada Masa Covid-19”, Media Iuris” Vol. 3 No. 3, Oktober 2020, hlm 278

4 Tauratiya, “Overmacht: Analisis Yuridis Penundaan Pelaksanaan Prestasi Akibat Pandemi Covid-19”, Mizani: 1 | Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan” Volume 7, No. 1, 2020, hlm 1-2

(12)

19 ke Indonesia, pemerintah Indonesia juga mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 10 Tahun 2020 tentang Larangan Sementara Impor Binatang Hidup dari Tiongkok. Masyarakat bisa dengan mudah terpapar oleh virus Covid- 19 ini, sehingga pemerintah mewajibkan masyarakat untuk melakukan lockdown atau social distancing. Kata lockdown dan social distancing marak digunakan di masa pandemi seperti saat ini, tetapi di dalam regulasi peraturan Indonesia tidak ada yang mengatur tentang lockdown maupun social distancing, lebih tepatnya undang-undang mengatur tentang karantina Kesehatan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Karena adanya anjuran pemerintah untuk melakukan karantina diawal menyebarnya Covid-19 di Indonesia, kegiatan masyarakat yang pada umumnya dilakukan diluar rumah seperti bekerja dan bersekolah dianjurkan dilaksanakan melalui media online, istilahnya disebut work from home (kerja dari rumah).5

Pandemi Covid-19 ini merupakan suatu keadaan yang tidak dapat diperkirakan oleh pihak manapun, di dalam industri penerbangan pihak maskapai tidak mengira bahwa pandemi ini akan mengganggu perjanjian baku mereka dengan para calon penumpang. Pihak maskapai mau tidak mau harus melakukan renegosiasi kontrak dikarenakan pada dasarnya tidak ada hal yang mengatur tentang pandemi Covid-19 di kontrak baku yang mereka buat. Renegosiasi kontrak tersebut tentu saja dilakukan dengan maksud untuk merubah perjanjian

5 Ibid, hlm 2

(13)

yang tertuang di kontrak baku mereka, dan bukan untuk mengakhiri perjanjian tersebut.6

Pengembalian uang tiket pesawat (refund) akan diberikan secara penuh dan dilaksanakan secepatnya apabila ada pembatalan keberangkatan yang disebabkan oleh wabah Covid-19, hal ini disampaikan langsung oleh Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementrian Perhubungan (Kemenhub).7 Melonjaknya pembatalan penerbangan yang dilakukan oleh pihak maskapai dikarenakan wabah Covid-19 membuat pihak maskapai maupun pihak agen penjualan tiket kewalahan dan tentu saja karena permintaan refund yang tinggi membuat segala proses pengembalian dana ini menjadi lebih lama dari pada biasanya.8

Hal ini tentu saja merugikan pihak konsumen, pihak maskapai tentu saja harus menaati janjinya sebagai pihak yang bertanggung jawab atas dibatalkannya perjalanan pihak konsumen. Seharusnya konsumen diberikan jaminan untuk aman dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen tersebut, baik itu dikarenakan produsen yang lalai ataupun ingin cepat mendapat laba yang besar, tentu saja alasan-alasan ini berhubungan dengan cepatnya pertumbuhan globalisasi.9

6 Kunarso, “Eksistensi Perjanjian Ditengah Pandemi Covid-19”, Volume 1 Nomor 1, November 2020, hlm 44

7 Ahmad Efendi (2020, April 30). Cara Refund atau Pengembalian Tiket Lion Air Akibat Pandemi Corona. [Halaman Web]. Diakses dari https://tirto.id/cara-refund-atau- pengembalian-tiket-lion-air-akibat-pandemi-corona-ffSa pada tanggal 11 November 2020,

8 Dani M Dahwilani (2020, Juni 19). Badan Perlindungan Konsumen Ungkap Banyak Aduan Penolakan Refund Tiket Transportasi. [Halaman Web]. Diakses dari https://www.inews.id/finance/makro/badan-perlindungan-konsumen-ungkap-banyak- aduan-penolakan-refund-tiket-transportasi/ pada tanggal 11 November 2020, Pukul 21.19

9Wib

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), hlm 5

(14)

Konsumen sebagai warga negara memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum yang adil, dan hal ini wajib difasilitasi oleh pemerintah jika memang mendapatkan pelayanan yang membuat kerugian untuk konsumen itu sendiri. Kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal ini ialah dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).10

Hak dan kewajiban warga negara seharusnya dijamin oleh pemerintah baik itu di bidang hukum, sosial, ekonomi, politik. Mendapatkan uang kita kembali jika terjadi pembatalan oleh pihak maskapai juga termasuk dalam hak kita sebagai warga negara. Dalam UUPK hal ini diatur pada pasal 1 ayat (2) yang menegaskan bahwa konsumen merupakan setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.11 Pelaku usaha (dalam hal ini pihak maskapai) juga memiliki hak dan kewajiban, hal ini diatur dalam pasal 6 dan 7 UUPK.

Refund atas tiket pesawat yang disediakan oleh maskapai dapat dilakukan apabila ada kesalahan dari pihak maskapai yang mendatangkan kerugian untuk pihak konsumen. Tetapi, ada baiknya jika konsumen terlebih dahulu mengetahui apa yang ingin dituntut olehnya. Sebagai konsumen kita dapat melihat pada Pasal 4 ayat (8) UUPK yang menegaskan hak konsumen untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Selain

10 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana, 2016) hlm. 6

11 Indonesia (UUPK), Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, UU No.8 Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999, Pasal 1 ayat (2)

(15)

itu ada juga Pasal 19 UUPK yang mengatur tentang tanggung jawab pelaku usaha yang berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya. Dijelaskan juga bahwasannya pelaku usaha memiliki tanggung jawab untuk mengakomodir ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.12

Dalam hal pembatalan penerbangan yang terjadi karena adanya pandemi Covid-19, konsumen tidak dapat sepenuhnya menyalahkan pihak maskapai dan mengatakan bahwa mereka berhak atas refund sepenuhnya dikarenakan pihak maskapai penerbangan juga tidak tau bahwa pandemi akan mengakibatkan kerugian yang besar bagi pihak mereka, selain itu syarat dan ketentuan dalam kontrak bisnis yang tercantum dalam peraturan setiap maskapai bisa berubah-ubah dikarenakan menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Terjadinya pandemi Covid- 19 hanya bersifat menunda pemenuhan kewajiban maskapai kepada konsumen dan tidak menghapuskan sama sekali kewajiban maskapai kepada konsumen.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan judul Tinjauan Hukum Kewajiban Pengembalian Uang Tiket Pesawat oleh Maskapai Penerbangan Akibat Pandemi COVID 19 ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

12 Syarifuddin, (2020, Mei 24). Dasar Hukum Tentang Refund. [Halaman Web]. Diakses dari https://www.gresnews.com/berita/tips/118077-dasar-hukum-tentang-refund/ pada tanggal 21 November 2020, Pukul 18.43 Wib

(16)

B. Perumusan Masalah

Perumusan masalah pada suatu penelitian diperlakukan guna memberikan kemudahan bagi penulis dalam membatasi permasalahan yang akan ditelitinya, sehingga dapat mencapai tujuan dan sasaran yang jelas serta memperoleh jawaban sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan beberapa masalah yang akan dibahas dalam penelitian hukum ini, yaitu sebagai berik

1. Bagaimana aspek hukum perlindungan konsumen jasa penerbangan di Indonesia?

2. Apakah pandemi Covid-19 merupakan hal yang dapat dikategorikan sebagai force majeure dalam industri jasa penerbangan?

3. Bagaimana tanggung jawab penyedia jasa penerbangan terhadap konsumen yang dirugikan akibat pandemi Covid-19?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Suatu penelitian tentunya memiliki tujuan yang hendak dicapai oleh penulis. Tujuan ini tidak lepas dari permasalahan yang dirumuskan sebelumnya.

Tujuan penulisan sebagaimana dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui aspek hukum perlindungan konsumen jasa penerbangan di Indonesia.

2. Untuk mengetahui pandemi Covid-19 merupakan hal yang dapat dikategorikan sebagai force majeure dalam industri jasa penerbangan.

(17)

3. Untuk mengetahui tanggung jawab penyedia jasa penerbangan terhadap konsumen yang dirugikan akibat pandemi Covid-19.

Penelitian hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun pihak lain. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat teoritis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya khususnya berkaitan dengan Tinjauan Hukum Kewajiban Pengembalian Uang Tiket Pesawat oleh Maskapai Penerbangan Akibat Pandemi Covid 19 ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

2. Manfaat praktis

Untuk memberikan wawasan dan pengetahuan bagi konsumen berkaitan dengan Tinjauan Hukum Kewajiban Pengembalian Uang Tiket Pesawat oleh Maskapai Penerbangan Akibat Pandemi Covid 19 ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil penelesuran yang telah dilakukan di perpustakaan hukum Universitas Sumatera Utara dan fakultas hukum yang ada di Indonesia, baik secara fisik maupun online tidak ditemukan judul tersebut di atas, namun ada beberapa penelitian sebelumnya membahas perlindungan konsumen, antara lain:

1. N.G.N Renti Maharaini Kerti. Fakultas Hukum Universitas Trisakti (2018), judul penelitian perlindungan hukum bagi konsumen terkait pembatalan

(18)

sepihak penerbitan tiket pesawat oleh PT. Trinusa Travelindo Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Permasalahan dalam penelitian ini :

a. Perlindungan konsumen atas pembatalan sepihak tiket pesawat b. Tanggung jawab pelaku usaha (Traveloka)

2. Rizki Diah Nasrunisa. Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (2018), judul penelitian Akibat Hukum Pembatalan Penerbangan Karena Overseat Oleh Maskapai Lion Air (Studi Putusan Nomor 471 PK/Pdt/2017). Permasalahan dalam penelitian ini adalah : a. Bentuk tanggung jawab maskapai penerbangan Lion Air kepada

penumpang terhadap pembatalan penerbangan karena overseat

b. Peran pemerintah terhadap perkara pelanggaran yang dilakukan oleh maskapai penerbangan

c. Pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara tersebut

3. Yunita Larasati. Fakultas Hukum, Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al-Banjary Banjarbaru, Kalimantan Selatan (2017), judul penelitian Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Terhadap Penumpang Pesawat Akibat Pembatalan Penerbangan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Tanggung jawab maskapai penerbangan atau pembatalan tiket pesawat penumpang

b. Upaya hukum penumpang pesawat atas maskapai penerbangan yang melanggar kewajiban dan tanggung jawab pembatalan penerbangan

(19)

4. Nurhadi Purnomo, Fakultas Hukum Universitas Pasundan (2016), judul penelitian Konsekuensi Yuridis Pembatalan Keberangkatan Penerbangan oleh PT. Garuda Indonesia Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan jo. Undang-undang nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Permasalahan dalam penelitian ini :

a. Faktor-faktor pembatalan keberangkatan penumpang angkutan udara yang dilakukan oleh PT. Garuda Indonesia

b. Konsekuensi yurudis dari pembatalan penerbangan angkutan udara oleh PT. Garuda Indonesia menurut Undang-Undang nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Jo. Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Jo. Peraturan Menteri Perhubungan nomor 7 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara

c. Upaya apa yang dapat dilakukan oleh konsumen terhadap maskapai PT.

Garuda Indonesia akibat pembatalan keberangkatannya.

5. Raras Nadifah Cahyaningtyas. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan (2019), judul penelitian tanggung jawab hukum PT. Garuda indonesia terhadap keterlambatan penerbangan pesawat (studi pada PT. Garuda Indonesia Cabang Medan). Permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Aturan penanganan bila terjadi keterlambatan penerbangan pada PT.

Garuda Indonesia

b. Tanggung jawab PT. Garuda Indonesia terhadap penumpang yang mengalami keterlambatan penerbangan

c. Bentuk ganti kerugian yang diberikan oleh PT. Garuda Indonesia kepada penumpang yang mengalami keterlambatan penerbangan

(20)

E. Tinjauan Pustaka 1. Maskapai Penerbangan

Pasal 1 ayat (25), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, pengangkutan udara yaitu badan usaha angkutan udara niaga, pemegang izin kegiatan angkutan udara niaga yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan ketentuan undang-undang ini dan/atau badan usaha selain badan usaha angkutan udara niaga yang membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga. Menurut R. S. Damardjati, maskapai penerbangan adalah perusahaan milik swasta atau pemerintah yang khusus menyelenggarakan pelayanan angkutan udara untuk penumpang umum baik yang berjadwal (schedule service/regular flight) maupun yang tidak berjadwal (non schedule service). Penerbangan berjadwal menempuh rute penerbangan berdasarkan jadwal waktu, kota tujuan maupun kota – kota persinggahan yang tetap.

Sedangkan penerbangan tidak berjadwal sebaliknya, dengan waktu, rute, maupun kota – kota tujuan dan persinggahan bergantung kepada kebutuhan dan permintaan pihak penyewa.

2. Tiket Pesawat

Dalam Pasal 1 ayat (11) Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Republik Indonesia Nomor 185 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri dijelaskan bahwa tiket adalah dokumen berbentuk cetak, melalui proses elektronik, atau bentuk lainnya, yang merupakan salah satu alat bukti adanya perjanjian angkutan udara antara penumpang dan pengangkut, dan hak

(21)

penumpang untuk menggunakan pesawat udara atau diangkut dengan pesawat udara.

3. Pengembalian Dana (refund)

Menurut Pasal 4 huruf (H) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), refund ialah hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Pasal 19 ayat (2) juga mengatur tanggung jawab pelaku usaha apabila akibat mengkonsumsi barang/jasa menimbulkan kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen. Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4. Pandemi Covid 19

Corona virus merupakan keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan. Pada manusia biasanya menyebabkan penyakit infeksi saluran pernapasan, mulai flu biasa hingga penyakit yang serius seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Sindrom Pernafasan Akut Berat/ Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Coronavirus jenis baru yang ditemukan pada manusia sejak kejadian luar biasa muncul di Wuhan Cina, pada Desember 2019, kemudian diberi nama Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-COV2), dan menyebabkan penyakit Coronavirus Disease-2019 (COVID-19).13

13 Promkes Kementerian Kesehatan RI dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2020, Maret 20). Informasi Tentang Virus Corona (Novel Coronavirus). [Halaman Web].

(22)

5. Perlindungan Konsumen

Pasal 1 angka 1 UUPK menyatakan “perlindungan konsumen yaitu segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada Konsumen.” Menurut pakar hukum perlindungan konsumen Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo menyatakan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.14

Perlindungan konsumen menurut Inosentius Samsul yaitu keseluruhan peraturan perundang-undangan serta putusan hakim yang substansinya mengatur mengenai kepentingan utama konsumen.15 Kemudian perlindungan konsumen menurut Siddarta adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup.16

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan sifat penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Metode penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data

Diakses dari https://stoppneumonia.id/informasi-tentang-virus-corona-novel-coronavirus/

pada tanggal 23 November 2020 Pukul 20.00 Wib

14 Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.1

15 Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2004), hlm 34

16 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Grasindo, Gramedia Widiasarana Indonesia, 2006), hlm 21

(23)

sekunder belaka.17 Penelitian ini menggunakan metode berpikir deduktif, yakni cara berpikir dalam penarikan kesimpulan yang ditarik dari sesuatu yang sifatnya umum yang sudah dibuktikan bahwa dia benar dan kesimpulan itu ditujukan untuk sesuatu yang sifatnya khusus.18

Sifat penelitian penulisan skripsi ini adalah bersifat penelitian Deskriptif analisis yaitu penelitian yang terdiri atas satu variabel atau lebih dari satu variabel.

Analisis data yang dapat dipergunakan adalah analisis secara pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data sekunder.19 Deskriptif analisis yang mengarah penelitian hukum normatif, yaitu bentuk penulisan hukum yang berdasarkan pada karakteristik ilmu hukum yang normatif.

2. Sumber data

Penelitian hukum normatif bahan pustaka merupakan bahan dasar yang dalam ilmu penelitian umumnya disebut sumber data sekunder. 20 Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

a. Bahan hukum primer. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif yaitu autoritatif artinya mempunyai otoritas.21 Adapun bahan hukum primer dalam penelitian ini yaitu

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

17 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016), hlm.13

18 Ibid

19 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. 28

20 Ibid, hlm. 24

21 Peter Mahmud Marzuki (1), Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, Cet. 7, 2011), hlm 141

(24)

4) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan

5) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Angkutan Udara

6) Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 185 Tahun 2015 Tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri

7) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 Tahun 2015 Tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) Pada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal di Indonesia.

8) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 83 Tahun 2017 Tentang Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 139 (Civil Aviation Safety Regulation Part 139) Tentang Bandar Udara (Aerodrome),

9) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)

10) Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran Corona Virus Disease (Covid-19)

11) Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Penerbangan dalam Keadaan Kahar (Force Majeure)

b. Bahan hukum sekunder. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang bersifat membantu dan atau menunjang bahan hukum primer dalam

(25)

penelitian yang akan memperkuat penjelasannya di dalamnya.22 Data ini biasanya digunakan untuk melengkapi data primer dan memberikan petunjuk ke arah mana peneliti melangkah. Di antara bahan-bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku,, jurnal dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan judul penelitian

c. Bahan hukum Tersier Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, majalah, koran berita online, dan lain-lain.23

3. Teknik pengumpulan data

Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mempelajari peraturan perundang-undangan, buku, jurnal, hasil penelitian, surat kabar, internet, majalah ilmiah, dan statistik dari instansi/lembaga resmi dan dokumen.

4. Analisis data

Untuk melakukan analisis data dan menarik kesimpulan dari hasil penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan kemudian dianalisis dan disajikan secara deskriptif. Metode penelitian kepustakaan dilakukan dengan mengambil data dari berbagai buku, sumber bacaan yang berhubungan dengan judul pembahasan, majalah maupun media massa dan perundang-undangan.

G. Sistematika Penulisan

22 Ibid, hlm 142

23 Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayu Media Publishing, 2006). hlm. 46.

(26)

Penulisan skripsi ini terdiri dari empat bab yang disusun secara sistematis, yang mana antar bab demi bab saling terkait sehingga merupakan suatu rangkaian yang berkesinambungan. Untuk mengetahui isi dari penulisan skripsi ini, dengan demikian disusunlah sistimatis penulisan skripsi yang terdiri dari 5 (lima) bab, yaitu:

Bab I, Pendahuluan, bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian serta sistematika penulisan.

Bab II, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Jasa Penerbangan di Indonesia, bab ini berisikan Perlindungan Konsumen di Indonesia yang terdiri atas Keberlakuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Tujuan Perlindungan Konsumen. Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen. Hak dan Kewajiban Konsumen dalam Jasa Penerbangan. Pola Hubungan Hukum antara Konsumen dan Penyedia Jasa. Tinjauan Umum Terhadap Penyedia Jasa Penerbangan yang terdiri atas Perkembangan Industri Penyedia Jasa Penerbangan di Indonesia.

Konvensi Montreal dan Industri Jasa Perbangan Indonesia. Pengaturan Hukum Jasa Penerbangan di Indonesia. Hak dan Kewajiban Penyedia Jasa Penerbangan.

Regulator Industri Jasa Penerbangan. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Jasa Penerbangan yang terdiri atas Kerangka Regulasi Perlindungan Konsumen Jasa Penerbangan. Hak dan Kewajiban Konsumen dalam Jasa Penerbangan

Bab III, Pandemi Covid-19 merupakan hal yang dapat dikategorikan sebagai force majeure dalam industri penerbangan. Bab ini berisikan Perkembangan Penggunaan Kontrak Baku dalam Dunia Usaha. Pengaturan

(27)

Hukum Terhadap Kontrak Baku di Indonesia. Klausula Force Majeure dalam Kontrak Baku Industri Jasa Penerbangan. Tanggung Jawab Hukum Penyedia Jasa Penerbangan dalam Hal Terjadinya Kondisi Kahar.

Bab IV, tanggung jawab penyedia jasa penerbangan terhadap konsumen yang dirugikan akibat pandemi Covid-19. Bab ini berisikan Kerugian Konsumen Jasa Penerbangan akibat Pandemi Covid-19. Tanggung Jawab Penyedia Jasa Penerbangan terhadap Kerugian Konsumen akibat Pandemi Covid-19. Bentuk Ganti Rugi yang diberikan oleh Pihak Maskapai Penerbangan Bagi Konsumen akibat Pandemi Covid-19 dan Faktor-Faktor Penyebab Keterlambatan dalam Proses Pengembalian Dana Tiket Pesawat Konsumen oleh Pihak Maskapai Penerbangan dan Pihak Travel Agent baik Online maupun Offline pada Masa Pandemi Covid-19

Bab V, Penutup, bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan merupakan inti atas hasil penelitian dan analisa penulis terhadap obyek yang diteliti berdasarkan rumusan masalah yang diajukan. Saran berisi mengenai masukan atas masalah yang diteliti dan dianggap penting untuk menjawab persoalan yang telah dianalisa dan disimpulkan pada bagian sebelumnya.

(28)

BAB II

ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN JASA PENERBANGAN DI INDONESIA

A. Perlindungan Konsumen di Indonesia

1. Keberlakuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Sesuai dengan yang dijelaskan pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yang menjelaskan bahwasannya Indonesia merupakan negara hukum, oleh sebab itu Indonesia harus mampu dalam menjalankan asas-asas negara hukum yang telah ditetapkan dalam UUD 1945. Dalam dunia yang berkembang ini ada yang namanya asas supremacy of law (kepastian hukum), equality before the law (persamaan di hadapan hukum) dan due process the law (dijaminnya hak-hak dalam hukum). Ketiga asas tersebut merupakan asas yang dianut oleh negara hukum modern yang dipelopori oleh A.V. Dicey. Melihat ketiga asas tersebut diatas, jika dikaitkan dengan keinginan Pemerintah dalam melindungi masyarakat dalam kegiatan perekonomiannya sehari-hari, maka masyarakat yang dominan sebagai konsumen atas kegiatan ekonomi sehari-hari harus memiliki jaminan bahwa ia sebagai konsumen dilindungi oleh pemerintah jika terjadi suatu hal atau sebab yang merugikannya.

Produk hukum yang diwujudkan pemerintah dalam hal ini ialah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).24

24 Muhammad Aziz Zaelani dan Adelina Intan Permatasari, “Tinjauan Yuridis Terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Berdasarkan Pasal 28 D Ayat (1) UUD RI 1945 Sebagai Wujud Kepastian Hukum Bagi Konsumen”, Seminar Nasional, dan Call Paper UNIBA, 2017, hlm 170

(29)

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, Kinerja pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen tidak terlalu berdampak besar bagi masyarakat, hal ini dikarenakan kurang jelasnya ketentuan perlindungan akan konsumen. Dikatakan kurang jelas karena tidak ada undang-undang yang memang terfokuskan untung mengatur tentang perlindungan konsumen itu sendiri, di masa itu ketentuan tentang perlindungan konsumen tersebar diberbagai macam peraturan perundang-undangan. Contoh undang-undang yang dikatakan kurang jelas tersebut ialah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Barang, kemudian diikuti dengan berbagai undang-udang lain yang dikeluarkan oleh pemerintah.25 Undang-undang yang dulu pernah berlaku tersebut tidak memenuhi 4 (empat) alasan pokok konsumen harus dilindungi, yang intinya ialah : 26

a. Melindungi konsumen berarti melindungi rakyat Indonesia, maka dengan adanya undang-undang yang melindungi konsumen itu berarti negara sudah melindugi warga negaranya yang seyogyanya telah diamanatkan dalam tujuan pembangunan nasional menurut UUD 1945

b. Untuk membantu konsumen terhindar dari dampak buruk teknologi terhadap masyarakat

c. Menciptakan masyarakat yang memiliki jiwa dan pikiran yang sehat sebagai pelaku pembangunan nasional dan berkesinambungan

d. Demi mempertahankan sumber dana pembangunan yang bersumber dari masyarakat konsumen.

25 Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 68

26 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2010), hlm.6

(30)

Salah satu penyebab lahirnya UUPK dikarenakan banyaknya konsumen yang merasa dirugikan ataupun tidak puas akan barang, dan jasa yang dipakai oleh konsumen itu sendiri. Seperti yang dialami oleh banyak negara berkembang di dunia ini, salah satunya Indonesia, posisi antara pelaku usaha dengan konsumen terasa berat sebelah, dimana posisi pelaku usaha lebih superior daripada konsumen. Kondisi ini di perumit lagi dengan keadaan dimana konsumen tidak memiliki pengetahuan atas hak-haknya terhadap barang dan/atau jasa yang dibelinya dari pelaku usaha. Lahirnya UUPK akan menjadi jalan pembuka untuk para pelaku kegiatan ekonomi di Indonesia dalam mendapatkan kepastian hukum, terkhususnya untuk para konsumen. Dalam UUPK bagian pertimbangan dijelaskan bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi wajib mendukung tumbuhnya dunia usaha pada zaman modern ini, sehingga mampu memproduksi berbagai macam barang dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen. Dari pertimbangan diatas, dapat disimpulkan bahwa UUPK menjadi undang-undang yang bisa dipakai oleh konsumen untuk mendapatkan kepastian hukum jika mendapatkan perlakuan yang tidak adil dalam memperoleh barang dan jasa.27

Dengan adanya UUPK sebagai dasar hukum perlindungan konsumen di Indonesia, diharapkan hak-hak konsumen dapat diberikan oleh pelaku usaha secara penuh dan menyeluruh. Sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka (1) UUPK disebutkan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin

27 Muhammad Aziz Zaelani dan Adelina Intan Permatasari, Loc.Cit.

(31)

adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.28 Pertimbangan lain mengapa UUPK harus dibuat ialah dikarenakan pada era globalisasi seperti saat ini, pembangunan perekonomian nasional harus secepatnya diwujudkan agar tercapainya peningkatan perekonomian masyarakat.29

2. Tujuan Perlindungan Konsumen

Segala peraturan perundang-undangan yang dibuat dan disahkan oleh pemerintah memiliki maksud dan tujuan tertentu, dan tentu saja hal itu untuk memudahkan masyarakat.30 Tujuan dari UUPK ini tertera dalam Pasal 3 undang- undang tersebut yang berisi : 31

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

28 Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta: Visimedia, 2008), hlm 4

29 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm 98

30 Abdoel Djamali, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2006), hlm

315

Indonesia (UUPK), Op.Cit., Pasal 3

(32)

e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;

f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

3. Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen

Yang dimaksud dengan prinsip dalam hal hukum perlindungan konsumen ialah prinsip tanggung jawab. Sebelum membahas tentang prinsip tanggung jawab, ada baiknya kita mengetahui dulu tentang pertanggungjawaban, karena pertanggungjawaban ini memiliki kaitan yang kuat ketika adanya pola hubungan hukum yang terbentuk antara pihak yang akan menuntut untuk mendapat pertanggungjawaban dengan pihak yang akan dituntut untuk bertanggungjawab atas apa yang dirasa kurang memuaskan bagi pihak yang menuntut, pertanggungjawaban dapat dibedakan menjadi dua yakni:32

a. Pertanggungjawaban karena adanya kesalahan, hal-hal yang dapat terjadi dengan sebab seperti adanya wanprestasi, munculnya perbuatan melawan hukum, tindakan yang ceroboh dan merugikan.

b. Pertanggungjawaban karena munculnya risiko, yakni tanggung jawab yang secara terpaksa harus dipertanggungjawabkan sebagai risiko yang wajib dipikul oleh pengusaha atas kegiatan usaha yang dijalankan olehnya.

32 Janus Sidabalok, Op.Cit, hlm 101

(33)

Ketika sudah memahami tentang pertanggungjawaban, barulah kita mulai menggali tentang prinsip tanggung jawab yang ada didalam pertanggungjawaban tersebut. Prinsip tanggung jawab ini memiliki peran penting dalam hukum perlindungan konsumen, jika dilihat secara garis besar prinsip-prinsip tanggung jawab terdiri atas:

1. Kesalahan (liability based on fault)

Prinsip ini merupakan prinsip yang sering dipakai dalam hukum perdata ataupun hukum pidana. Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata prinsip ini dituangkan dalam Pasal 1365, Pasal 1366, dan Pasal 1367, prinsip ini bersifat mutlak. Dalam prinsip liability based on fault ini dikatakan bahwa pihak pelaku usaha hanya bisa dimintakan pertanggungjawaban secara legal jika ada unsur kesalahan yang baik secara sengaja ataupun tidak sengaja dilakukan olehnya.33 Prinsip ini bersifat subyektif yang berarti munculnya sikap tanggung jawab ini ditentukan oleh perilaku produsen itu sendiri, Sifat subyektif ini muncul pada kategori bahwa produsen yang bersifat tenang dan tidak ceroboh dapat membantu produsen itu sendiri menghindari adanya kerugian yang dialami konsumen.34 2. Praduga selalu bertanggungjawab (presumption of liability)

Prinsip ini didasari atas kepercayaan bahwa pihak pelaku usaha dianggap tidak boleh mengabaikan tanggung jawabnya dan wajib memikul beban yang ada sampai ia dapat dibuktikan tidak bersalah. Kata “dianggap” dalam prinsip ini memiliki makna yang krusial, karena bisa saja pelaku usaha lari dari tanggung jawabnya, yakni dalam kemungkinan ia dapat memberi bukti bahwa ia sudah

33 Inosentius Samsul, Op.Cit,, hlm 7

34 Shidarta, Op.Cit, hlm 11

(34)

“melakukan” segala macam tindakan yang dibutuhkan agar dapat terhindar dari adanya kerugian.35

3. Praduga selalu tidak bertanggungjawab (presumption of non-liability)

Prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip presumption of liability, prinsip ini biasanya dipakai dalam ruang lingkup transaksi konsumen yang terbatas dan diatur sesuai perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, pembatasan ini biasanya dapat dibenarkan secara.36

4. Tanggung jawab mutlak (strict liability)

Prinsip ini merupakan bentuk khusus dari tort (perbuatan yang melawan hukum), yakni prinsip pertanggung jawaban dimana adanya perbuatan yang melawan hukum yang tidak ada dasar kesalahan atas perbuatan tersebut. Prinsip ini mewajibkan pelaku usaha untuk secara langsung bertanggung jawab atas adanya kerugian yang timbul karena adanya perbuatan yang melawan hukum tersebut. Prinsip ini tidak lagi memperdebatkan siapa yang salah dan siapa yang benar, dikarenakan tidak lagi memperdebatkan siapa yang salah dan siapa yang benar maka secara langsung maka pelaku usaha dipastikan harus langsung bertanggung jawab kepada konsumen.37

5. Pembatasan Tanggung Jawab (limitation of liability)

Prinsip ini bisa dibilang menguntungkan untuk pelaku usaha karena prinsip ini mengatur pelaku usaha untuk melepas tanggung jawabnya terhadap hal-hal tertentu, misalnya dengan mencantumkan klausula yang menguntungkan pihak pelaku usaha didalam kontrak baku seperti “segala macam kerugian yang

35 E. Suherman (2), Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara dan Beberapa Masalah Lain dalam Bidang Penerbangan, (Bandung: Alumni, 1979) hlm 21

36 Shidarta, Op.Cit, hlm 77

37 Janus Sidablok, Op.Cit, hlm 101

(35)

ditimbulkan oleh kesalahgunaan produk ini merupakan tanggung jawab konsumen”. Klausula ini menyebabkan hilangnya tanggung jawab pelaku usaha (klausula eksenorasi) yang dikenal juga dengan sebutan klausula baku. Dalam UUPK, klausula baku jelas dilarang dan hal ini diatur dalam Pasal 18 UUPK tersebut, khususnya dalam Ayat (1) huruf a, b, dan c serta ayat (2), yang mengakibatkan setiap klausula baku yang dimasukkan oleh pelaku usaha untuk konsumen atau perjanjian yang dinyatakan batal demi hukum dan pelaku usaha wajib untuk menghilangkan klausula baku yang bertentangan dengan UUPK.38

Jika terfokus kepada penulisan ini, maka industri jasa penerbangan yang merupakan jasa transportasi yang menggunakan hukum pengangkutan memakai 3 (tiga) prinsip tanggung jawab dari 5 (lima) prinsip yang telah dipaparkan diatas, ketiga prinsip itu ialah :39

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan (liability based on fault)

2. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab (presumption of liability)

3. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (strict liability)

4. Hak dan Kewajiban Konsumen

Sebelum membahas lebih lanjut tentang hak dan kewajiban konsumen terkhususnya pada jasa penerbangan ada baiknya untuk terlebih dahulu mengerti

38 Sudjana dan Elisantris Gultom, Rahasia Dagang dalam Perspektif Perlindungan Konsumen, (Bandung: CV. Keni Media, 2016), hlm 164

39 E.Saefullah Wiradipradja, Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional dan Nasional, (Yogyakarta: Liberty, 1989) hlm 19

(36)

tentang empat hak dasar konsumen (the four consumer basic rights) yang meliputi hak-hak, :40

a. Hak untuk merasa aman (the right to be secured), setiap konsumen memiliki hak untuk merasa aman dan terproteksi atas barang dan jasa yang dibeli olehnya. Contohnya seperti saat kita naik pesawat, konsumen ingin merasa aman ketika dalam perjalanan, maka pilot harus membawa pesawat secara hati-hati sehingga perjalanan dirasakan konsumen aman dan tidak ada kendala. Di Amerika Serikat, hak untuk merasa aman ini ialah hak yang amat penting karena didukung oleh masyarakat.

b. Hak untuk memperoleh informasi (the right to be informed). Yang berarti konsumen memiliki ha katas akses informasi yang lengkap terhadap produk barang dan jasa yang digunakan olehnya. Informasi terhadap produk barang dan jasa yang digunakan konsumen sangat penting karena konsumen bisa mengetahui haknya atas barang dan jasa yang dikonsumsi oleh dirinya. Contoh dalam kasus jasa penerbangan ialah, ketika pesawat mengalami delay maka konsumen memiliki hak untuk mendapatkan informasi apa yang menjadi penyebab penerbangan tersebut di delay dan konsumen wajib untuk mengetahui informasi kapan pesawat itu bisa beroperasional Kembali.

c. Hak untuk memilih (the right to choose). Yang berarti konsumen memiliki hak untuk memilih produk barang dan jasa yang diinginkannya tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Konsumen tidak boleh merasa tertekan oleh pihak manapun untuk memilih sebuah produk. Konsumen bebas

40 Happy Susanto, Op.Cit, hlm. 24-25.

(37)

menentukan pilihannya terhadap barang dan jasa, maupun barang dan jasa yang dipilih konsumen tersebut memiliki cacat ataupun kondisi yang kurang layak tetapi konsumen tetap memiliki hak untuk membeli barang tersebut.

d. Hak untuk didengarkan (the right to be heard). Yang berarti konsumen memiliki hak untuk didengarkan oleh pelaku usaha jika barang dan jasa yang digunakannya menimbulkan kerugian bagi dirinya dan khalayak banyak. Contoh pada jasa penerbangan ialah ketika ada pihak maskapai yang melakukan pembatalan penerbangan secara sepihak tanpa memberitahu alasan yang spesifik, maka pihak konsumen bisa melakukan komplain kepada pihak maskapai dengan langsung melaporkan ke help desk yang ada dibandara ataupun melalui e-mail ke pihak maskapai tersebut.

Ketentuan akan hak konsumen secara umum terdapat di Pasal 4 UUPK yang isinya antara lain : 41

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

41 Indonesia (UUPK), Op.Cit., Pasal 4

(38)

e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Selain hak konsumen, ada juga kewajiban konsumen yang diatur dalam Pasal 5 UUPK yang isinya antara lain : 42

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan;

b. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patuh

5. Pola Hubungan Hukum antara Konsumen dan Penyedia Jasa

Hubungan hukum (rechtbetrekkingen) merupakan ikatan antara dua subjek hukum atau lebih atas suatu hak dan kewajiban yang dimiliki oleh satu pihak

42 Indonesia (UUPK), Op.Cit., Pasal 5

(39)

kemudian dihadapkan dengan hak dan kewajiban pihak lain yang memiliki ikatan hukum dengannya.43 Ada dua jenis hubungan hukum yang dapat terjadi yaitu hubungan hukum sesama subyek hukum dan hubungan hukum antara subyek hukum dengan benda. Hubungan antara subyek hukum dengan subyek hukum hukum lain merupakan hubungan hukum yang dapat terjadi antara orang, orang dengan badan hukum, dan sesama badan hukum. Sedangkan hubungan antara subyek hukum dengan benda berupa hak hak yang dimiliki oleh subyek hukum tatas suatu benda yang memiliki wujud mau bergerak ataupun tidak bergerak.44 Adanya dasar hukum yang berlaku dan adanya peristiwa hukum yang terjadi merupakan syarat mutlak terjadinya suatu hubungan hukum.45

Pola hubungan hukum yang terjadi diantara konsumen (penumpang) dan penyedia jasa (pengangkut) merupakan hubungan hukum yang terjadi melalui perjanjian yang masuk ke dalam ruang lingkup hukum perdata (privat), sehingga hubungan hukum yang terbentuk diantara penumpang dengan perusahaan penerbangan bersifat individu ke individu, di mana pemerintah tidak memiliki otoritas dan kewenangan untuk ikut campur didalamnya. Hal ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang dituangkan dalam hukum privat, maka pemerintah tidak boleh mengambil peran didalam hubungan antara penumpang dengan perusahaan penerbangan yang telah sepakat atas kontrak yang sudah mereka berdua setujui. Tetapi pada perjalanan hubungan hukum antara penumpang dengan perusahaan penerbangan ini, perusahaan penerbangan sering

43 R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006), hlm. 269.

44 Peter Mahmud Marzuki (2), Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prenada Media Grup,2012), hlm 254

45 R. Soeroso, Op.Cit. hlm. 271

(40)

kali lalai dan semena-mena dalam menggunakan kebebasan berkontrak sehingga sering sekali menimbulkan kerugian yang dialami oleh penumpang.46

Dalam ruang lingkup perlindungan konsumen, terdapat hubungan hukum antara dua pihak yaitu pihak pelaku usaha dan pihak konsumen. Jika perlindungan konsumen ini dikaitkan dengan penggunaan jasa penerbangan, maka yang dimaksud dengan pihak pelaku usaha disini ialah pihak perusahaan maskapai penerbangan yang menyediakan jasa transportasi udara untuk digunakan serta perusahaan e-commerce yang memperjual-belikan tiket pesawat berbasis online melalui website resmi yang diawasi sebagai pihak kedua, sedangkan yang dimaksud dengan konsumen dalam jasa penerbangan ini ialah para pengguna jasa itu sendiri atau yang biasa disebut sebagai penumpang.

B. Tinjauan Umum Terhadap Penyedia Jasa Penerbangan

1. Perkembangan Industri Penyedia Jasa Penerbangan di Indonesia

Pada awalnya, industri jasa penerbangan di Indonesia tidak terlepas dari bayang-bayang penjajahan Belanda, awal mula penerbangan komersil di Indonesia dimulai sejak abad 20. Dimulai pada tahun 1928 dengan di dirikannya KNILM (Koninklijke Nederlandsch Indische Luchtvaart Maatschappij). KNILM ini merupakan perusahaan penyedia jasa penerbangan di zaman Hindia Belanda yang sahamnya terdiri dari milik beberapa perusahaan asal eropa seperti Deli Maatschappy, Nederlandse Handel Maatschappy, KLM (Koninklijk Luchvaart

46 Baiq Setiani, “Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan Sebagai Penyedia Jasa Penerbangan Kepada Penumpang Akibat Keterlambatan Penerbangan” Vol.7 No.1 Februari 2016, hlm 8

(41)

Maatschappij), pemerintah Hindia Belanda, dan beberapa perusahaan dagang lainnya yang memiliki kepentingan di Hindia Belanda.47

Lalu setelah lewatnya masa penjajahan, industri jasa penerbangan di Indonesia mengalami vakum sementara dikarenakan Kondisi saat itu tidak memungkinkan terselenggarakannya penerbangan komersil secara regular.

Industri jasa penerbangan mulai hidup Kembali di Indonesia pada tahun 1950 dengan di dirikannya Garuda Indonesia Airways (GIA), yang merupakan perusahaan penerbangan nasional di Indonesia. GIA merupakan hasil dari proses nasionalisasi KNILM yang dilakukan dengan cara diplomasi dengan perusahaan induk Belanda (KLM) pada tahun 1954. Pada awal perjalanannya GIA tidak langsung menjadi pilihan nomor 1 masyarakat untuk melakukan penerbangan di karenakan masih banyak maskapai asing yang mendominasi di Indonesia. GIA mulai menunjukkan eksistensi sejak pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nasionalisasi tahun 1958, dengan adanya undang-undang ini pemerintah memberikan bantuan modal kepada GIA dengan cara pembelian beberapa pesawat komersil.48

Kemudian di masa tahun 1960 sampai dengan 1970-an semakin banyak maskapai penerbangan yang lahir di Indonesia, Sularto Hadisumarto yang saat itu merupakan pendiri dari Bayu Air memiliki pandangan bahwa harus adanya organisasi yang menaungi industri jasa penerbangan di Indonesia. Kemudian atas dasar itu pada tanggal 15 Oktober 1970 lahirlah Indonesia National Air Carriers

47 Wasino dkk, Sejarah Nasionalisasi Aset-Aset BUMN: Dari Perusahaan Kolonial Menuju Perusahaan Nasional, (Jakarta: Kementerian Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia, 2014), hlm. 640-641

48 Dadan Adi Kurniawan, “Melihat Angkasa Indonesia: Komersialisasi Kawasan Pangkalan Udara Adi Soemarmo Tahuvern 1974-2011”. Tesis. Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah mada, 2016, hlm 33

(42)

Association (INACA). Untuk keberlangsungan bisnis penerbangan yang berkesinambungan,dikenal dasar dan sifat Highly Regulated, Capital Intensive, High Technology Intensive. Untuk menjaga asas ini agar selalu berjalan, perlu adanya interaksi yang berkesinambungan dan hubungan yang komunikatif diantara penyedia jasa penerbangan dan pihak pemerintah serta instansi-instansi lain yang terkait didalamnya. INACA membantu pihak penyedia jasa penerbangan untuk berinteraksi dengan pihak pemerintah dan instansi-instansi terkait. INACA juga ikut menjalin komunikasi pemerintah dengan berbagai perusahaan industri penerbangan domestik dan internasional. INACA diakui oleh pemerintah sebagai satu-satunya Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Perhubungan RI Nomor: KP 5/AU.701/PHB-89 tanggal 23 November 1989.49

INACA memiliki visi bahwa potensi nasional yang berupa wilayah udara Indonesia yang memiliki hak dan kekuasaan untuk mengatur dan menentukan kebijakan secara penuh untuk negaranya sendiri atas wilayah dirgantaranya.

Konvensi Chicago tahun 1944 yang merupakan ketentuan hukum internasional memiliki pandangan yang sama terhadap visi dari INACA ini. Banyak masalah yang di hadapi Indonesia dalam rencana memperluas dan membangun industri penerbangan. Infrastruktur yang kurang memadai, kurangnya kesiapan pemerintah, serta sumber daya manusia yang belum memadai pada masanya menjadi beberapa alasan krusial mengapa susah untuk mempercepat pembangunan industri jasa penerbangan di Indonesia Masalah-masalah ini tentu saja memiliki pengaruh yang besar terhadap keamanan dan keselamatan

49 Arifin Hutabarat, Menjelang Setengah Abad Industri Penerbangan Nasional INACA (Jakarta: Indonesia National Air Carriers Association, 2019), hlm 16-17

(43)

penerbangan nasional, karena seperti yang kita ketahui dalam industri jasa penerbanga toleransi akan sebuah kesalahan itu sangat kecil..50

Pada tahun 1999 pemerintah mengeluarkan deregulasi yang mengatur tansportasi udara, deregulasi itu membuat industry penerbangan komersil di Indonesia semakin ramai dan berkembang. Salah satu deregulasi ini ialah Keputusan Menteri Nomor 81 Tahun 2004 tentang Pendirian Perusahaan Penerbangan di Indonesia. Persaingan yang cukup ketat pun terjadi dikarenakan banyaknya jumlah maskapai penerbangan yang beroperasi padahal pada saat itu harga bahan bakar naik dan membuat Indonesia kesusahan dalam mendapatkannya, Walau demikian industri jasa penerbangan nasional tetap mengalami pertumbuhan yang pesat.51

Pada era yang modern seperti saat ini, industri penerbangan di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat pesat, terhitung menurut data yang di catat oleh INACA per Juli 2019 terdapat 53 maskapai yang beroperasi di Indonesia yang terdiri dari 16 penerbangan berjadwal dan 37 penerbangan tidak berjadwal.52 Indonesia sendiri mengkategorikan pelayanan penerbangan berjadwal menjadi 3 macam, antara lain :53

1. Full Service

full service merupakan jenis penerbangan yang mengutamakan pelayanan penuh kepada penumpang, baik dari segi kenyamanan hingga keamanan, pelayanan makanan yang berkualitas, hiburan di dalam pesawat, kelebihan bagasi, serta pelayanan-pelayanan lainnya. Dengan kata lain Full service

50 Ibid

51 Ibid.

52 Ibid, hlm 151

53 Ibid, hlm 63

Referensi

Dokumen terkait

Pada Bab II akan dijelaskan mengenai surat berharga pada umumnya, serta Surat Berharga Komersial. Penjelasan akan meliputi antara lain mengenai pengertian, fungsi,

Pada unsur ini, keadaan jiwa pelaku harus dapat dibuktikan dalam keadan yang benar-benar sehat secara kejiwaan. Sebenarnya untuk keadaan jiwa seperti yang

Bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dilakukan oleh PT Angkasa Pura Logistik di Terminal Kargo Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar ialah sebagai

Praktik monopoli merupakan kegiatan yang dilarang oleh UU No.5 Tahun 1999. Dalam Putusan KPPU No.10/KPPU-I/2016, pihak KPPU berinisiatif menggugat PT.Telekomunikasi

Angkutan Udara (Pesawat) memiliki salah satu fasilitas yang dapat dipergunakan oleh penumpang untuk menyimpan barang bawaan mereka yaitu bagasi. Namun

Pasal tersebut menyatakan bahwa asuransi pada umumnya adalah suatu persetujuan dimana penanggung dengan menikmati suatu premi mengikat dirinya terhadap tertanggung

Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dngan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka 20 yang berkaitan dengan Tinjauan Yuridis

Perlindungan hukum bagi pelaku usaha kecil sesungguhnya telah diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.. Ketentuan Pasal 6 itu