• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III ASPEK HUKUM KONTRAK BAKU DALAM INDUSTRI JASA

D. Tanggung Jawab Hukum Penyedia Jasa Penerbangan dalam Hal

Pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya memiliki tanggung jawab yang harus dilaksanakan olehnya. Tanggung jawab ini memiliki istilah tanggung gugat produk (product liability). Product liability ini ialah keadaan adanya kerugian yang dialami oleh konsumen dan pihak produsen harus bertanggung jawab karna adanya kerugian yang timbul.118 Dalam perusahaan penerbangan, kemungkinan adanya kerugian terhadap penumpang merupakan hal yang sering terjadi. Risiko dalam industri jasa penerbangan antara lain kecelakaan pesawat ataupun penundaan penerbangan sampai pembatalan penerbangan. Yang

118 Muhammad Taufik Hidayat, Op.Cit, hlm 86

dialami oleh penumpang akibat risiko-risiko ini antara lain kerugian waktu yang dialami oleh penumpang, luka-luka, bahkan sampai hilangnya jiwa.119

Indonesia dalam melaksanakan dan membuat perjanjian, mengacu kepada asas kebebasan berkontrak, hal ini menjadi acuan dengan adanya pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa : 120

“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”

Mengacu pada asas kebebasan berkontrak tersebut, maka dalam pelaksanaan penerbangan di Indonesia beberapa maskapai ada yang memasukkan klausula force majeure tersebut ke dalam syarat dan ketentuan penerbangan masing -masing maskapai yang berbeda antara maskapai yang satu dengan maskapai yang lain. Syarat dan ketentuan akan force majeure tersebut tentu berbeda dengan yang ada sekarang karena mewabahnya pandemi Covid-19.

Seperti Batik Air dan Lion Air yang merupakan maskapai dari Lion Group yang menyatakan bahwa :121

“-Force Majeure (Peristiwa di Luar Kendali Semua Pihak)-

Situs web dan/atau Aplikasi dapat terganggu oleh peristiwa di luar wewenang atau kendali kami ("Force Majeure"), yang mencakup tetapi tidak terbatas pada bencana alam, cuaca ekstrem, gangguan listrik, kerusakan telekomunikasi, pelanggaran keamanan dunia maya, berjangkitnya suatu jenis

119 Retno Puspandari, “Tanggung Jawab Perusahaan Jasa Penerbangan Terhadap Kecelakaan Pada Penumpang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan,” Privat Law Vol. V No. 1 Januari-Juni 2017 95, hlm 96-97

120 Indonesia (KUH Perdata), Op.Cit., Pasal 1338

121 Lion Air (2), Ketentuan Pemakaian Kelompok Lion Air. [Halaman Web]. Diakses dari https://www.batikair.com/id/Terms#five pada tanggal 18 April 2021, Pukul 06.20 Wib

virus atau penyakit, kerusuhan, serangan teroris, perselisihan antara pemberi kerja dan pekerja, kebijakan pemerintah atau peristiwa lainnya. Anda dengan ini setuju akan membebaskan kami dari segala tuntutan dan tanggung jawab jika kami tidak dapat memfasilitasi layanan apa pun, yang mencakup untuk memenuhi instruksi yang telah anda minta melalui Situs Web dan/atau Aplikasi, baik sebagian atau seluruhnya, karena Force Majeure. Kami tidak akan memberi ganti rugi kepada anda jika kami tidak dapat memfasilitasi atau mendapatkan bagi anda layanan sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi karena Force Majeure.”

Tetapi hal tersebut hanya sebatas untuk mengatur klausula force majeure Ketika mengakses informasi yang diperlukan penumpang melalui website atau aplikasi maskapai penerbangan tersebut. Sedangkan klausula force majeure dalam hal ganti rugi yang diberikan ketika ada kondisi kahar terdapat pada bagian syarat dan ketentuan perubahan jadwal yang menjelaskan bahwa :122

“Lion Air berhak membatalkan atau mengubah rencana keberangkatan, jadwal, rute, pesawat terbang atau tempat transit penerbangan manapun yang tiketnya telah dibayarkan, kapanpun dan dari waktu ke waktu, untuk alasan apa pun, tanpa pemberitahuan kepada penumpang yang terkena dampak dari perubahan tersebut, dan oleh karena itu, perusahaan pengangkut tidak bertanggung jawab kepada Penumpang atas pembatalan atau perubahan tersebut, baik yang disebabkan oleh Force Majeure (kejadian yang berada di luar kuasa manusia), dengan syarat bahwa perusahaan pengangkut dapat dan berhak memberikan hal-hal berikut secara sepihak kepada Penumpang yang terkena

dampak pembatalan atau perubahan tersebut:

1. Mengatur ulang rute ke tempat tujuan yang tertera pada Tiket Penumpang dalam jangka waktu yang wajar dengan menggunakan jasa Perusahaan Pengangkut itu sendiri

2. Mengembalikan uang tiket ke Penumpang dengan sejumlah yang tidak lebih besar dari apa yang telah dibayar oleh Penumpang untuk penerbangan yang bersangkutan.

Jika mengacu kepada Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Penerbangan dalam Keadaan Kahar, tanggung jawab Batik Air dan Lion Air ini sudah sesuai dengan poin 2 Surat Edaran

122 Lion Air (3), Syarat dan Ketentuan Bagian Perubahan Jadwal. [Halaman Web]. Diakses dari https://www.lionair.co.id/syarat-ketentuan pada tanggal 18 April 2021, Pukul 06.37 Wib

tersebut yang menyatakan bahwa pihak maskapai harus mempermudah penumpang dalam memenuhi hak mereka jika terjadi kondisi kahar.

Seperti yang kita ketahui force majeure merupakan kejadian yang biasanya di akibatkan oleh bencana alam, perang, kerusuhan, adanya penyerangan teroris, dan lain-lain yang menyebabkan terhalangnya pihak pelaku usaha untuk menjalankan prestasinya terkait tentang suatu perjanjian. Salah satu penyebab terjadinya wanprestasi yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap suatu perjanjian disaat ini ialah dengan adanya Covid-19.123

Transportasi udara mengikatkan diri untuk melakukan perjanjian timbal balik secara lisan maupun tertulis dengan perusahaan penerbagan, penumpang, dan pengirim barang. Perusahaan penerbangan memiliki kewajiban untung mengangkut penumpang ataupun barang. Jika penumpang ataupun barang tidak sampai ke tujuan yang dituju dengan selamat, perusahaan penerbangan bertanggung jawab memberi ganti kerugian yang diderita oleh penumpang ataupun barang. Seperti saat ini di masa Covid-19, Sebagian perusahaan penerbangan gagal dalam memenuhi kewajibannya tersebut dikarenakan batalnya penerbangan.124

Pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap :125

1. Penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka;

2. Hilang atau rusaknya bagasi kabin;

3. hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat 4. hilang, musnah, atau rusaknya kargo;

123 Kunarso, Op.Cit., hlm 35

124 Ibid

125 Indonesia (Permenhub TJPU), Loc.Cit.

5. keterlambatan angkutan udara; dan 6. kerugian yang diderita oleh pihak ketiga.

Bisa dikatakan bahwa pandemi Covid-19 ini merupakan pelanggaran keterlambatan udara. Presiden Joko Widodo dalam masa pandemi ini sempat mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional. Pandemi Covid-19 dapat dimasukkan sebagai keadaan kahar tergantung dari definisi keadaan kahar apabila dicantumkan dalam kontrak . Jika pihak debitur sebagai pihak yang terdampak akan keadaan ini bisa membuktikan bahwa kondisi kahar terpenuhi, pihaknya dapat menyatakan bahwa pandemi ini merupakan keadaan kahar. Berdasarkan keadaan tersebut maka bisa dikatakan Covid-19 ialah force majeure relatif, dimana pemenuhan prestasi dari kontrak tersebut tidak mungkin dilakukan tetapi hanya untuk sementara waktu, setelah peristiwa tersebut berhenti, prestasi tersebut dapat dipenuhi kembali.

Terhalangnya kewajiban debitur tidak bersifat permanen, melainkan hanya bersifat sementara waktu saja, yaitu selama terjadinya wabah pandemi Covid-19.126

Akibat hukum yang timbul karena force majeure bersifat relatif ialah para pihak tidak bisa menyatakan bahwa pandemi merupakan alasan pembatalan kontrak. Relatif di sini memiliki maksud untuk menunda prestasi untuk sementara saja, bukan untuk membatalkan kontrak bisnis yang ada. Kontrak bisnis tetap sah dan mengikat para pihak yang berjanji. Covid-19 hanya bersifat menunda

126 Cyntia Hutagalung. (2020, Desember 15). Pandemi Covid-19 sebagai Force Majeure Dalam Kontrak Bisnis. [Halaman Web]. Diakses dari https://www.pphbi.com/pandemi-covid-19-sebagai-force-majeure-dalam-kontrak-bisnis/ pada tanggal 27 Maret 2021, Pukul 02.06 Wib

terlaksananya sebuah prestasi dan tidak menghapuskan kewajibannya. Untuk melindungi kepentingan para pihak yang melakukan kontrak bisnis, maka renegosiasi kontrak perlu dilakukan agar para pihak dapat mengatur apa saja yang perlu diubah agar kepentingan para pihak yang melakukan kontrak bisnis tetap terlindungi.127

Mahfud MD sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia memiliki pandangan berbeda, dia mengatakan bahwa Covid-19 bukanlah force majeure. Beliau beranggapan bahwa Keputusan Presiden No.12 Tahun 2020 tidak bisa dijadikan dasar untuk membatalkan kontrak keperdataan, terutama kontrak bisnis. Beliau juga beranggapan bahwa force majeure tidak bisa dijadikan alasan pembatalan kontrak, tetapi bisa dijadikan pintu untuk bernegosiasi dalam pembatalan atau mengubah isi kontrak itu sendiri. Harus dilihat dulu apakah di dalam klausul kontrak ada kesepakatan bahwa force majeure bisa dijadikan alasan pembatalan kontrak. Keppres No.12 Tahun 2020 dikeluarkan oleh negara dan tidak serta merta membuat kontrak bisnis yang berjalan di masa Covid-19 menjadi batal karena pemerintah tidak masuk ke dalam ranah tersebut.128

Kesimpulan yang bisa diambil penulis dari pemaparan di atas ialah Kontrak baku merupakan perjanjian yang dibuat secara tertulis tanpa menjelaskan lebih lanjut tentang isinya, dan biasanya dimasukkan ke dalam perjanjian tidak

127 Dona Budi Kharismai, “Pandemi Covid-19 Apakah Force Majeure?”, RechtsVinding Online 29 Juni 2020, hlm 4

128 Mochamad Januar Rizki (3). (2020, April 23). Penjelasan Prof Mahfud Soal Force Majeure Akibat Pandemi Corona. [Halaman Web]. Diakses dari

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5ea11ca6a5956/penjelasan-prof-mahfud-soal-i-force-majeure-i-akibat-pandemi-corona pada tanggal 27 Maret 2021, Pukul 02.48 Wib

terbatas yang sifatnya memiliki bentuk tertentu. Pengaturan larangan pencantuman kontrak baku di Indonesia terdapat di Pasal 18 UUPK ayat (1), (2), (3).

Force Majeure ialah “keadaan memaksa” yang merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak dapat diduga pada saat dibuatnya suatu kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada debitur, padahal debitur tersebut dalam keadaan tidak ingin melakukan itikad buruk. force majeure dapat dikatakan sebagai alasan untuk tidak memenuhi pelaksanaan kewajiban yang dikarenakan hilangnya objek atau tujuan yang menjadi inti dari suatu perjanjian. Keadaan tersebut menyinggung pelaksanaan perjanjian secara fisik dan hukum, tidak dikarenakan kesulitan dalam melaksanakan kewajiban di perjanjian tersebut. Seperti pada saat sekarang ini dengan adanya pandemi Covid-19 membuat beberapa pelaku usaha tidak dapat melaksanakan prestasinya, padahal di dalam kontrak bisnis yang telat dibuat tidak ada memuat tentang pelanggaran prestasi yang dilakukan oleh debitur jika terjadi pandem Covid-19.

Covid-19 merupakan force majeure dalam kontrak bisnis tergantung dari isi dari kontrak bisnis masing-masing perusahaan. Jika di dalam kontrak bisnis yang di buat ada menyebutkan bahwa bencana non alam ialah suatu alasan terjadinya force majeure, maka pihak pelaku usaha wajib bertanggung jawab dan force majeure tersebut ialah force majeure relatif yang berarti dapat berubah menyesuaikan kondisi yang ada. Covid-19 hanya bersifat menunda terlaksananya sebuah prestasi dan tidak menghapuskan kewajibannya Keppres No. 12 Tahun

2020 memang menetapkan bencana non alam yang diakibatkan oleh penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai bencana nasional, tetapi tidak semata-mata menjadikan alasan tersebut sebagai dasar pelaku usaha untuk tidak bisa melaksanakan prestasinya terhadap konsumen.

Klausula force majeure dalam industri jasa penerbangan dapat dilihat dalam SE No.15 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Penerbangan dalam Keadaan Kahar (force majeure). Industri jasa penerbangan memang ada memasukkan klausula force majeure dalam menjalankan perjanjian bakunya dengan pihak penumpang, tetapi hanya menyatakan jika adanya kejadian kahar seperti bencana alam. Untuk bencana non alam seperti Covid-19 ini, pihak maskapai penerbangan tidak menyatakan Covid-19 sebagai force majeure karena mereka masih bisa mempertanggung jawabkan isi dari kontrak mereka. Tetapi mereka melakukan renegosiasi terhadap kontrak mereka terkhususnys di bagian perubahan jadwal dan refund tiket, di setiap syarat dan ketentuan masing-masing maskapai penerbangan telihat jelas bahwa pihak maskapai memberikan kesempatan kepada pihak penumpang untuk melakukan pengubahan jadwal penerbangan sebanyak 1 sampai 2 kali tanpa adanya biaya tambahan, serta mengembalikan dana penumpang sebanyak 100 % (Seratus Persen) tanpa ada potongan tetapi dikembalikan dalam bentuk voucher penerbangan yang dapat digunakan kembali jika ingin terbang dalam jangka waktu satu tahun kedepan.

BAB IV

ASPEK HUKUM KEWAJIBAN PENGEMBALIAN UANG TIKET OLEH PENYEDIA JASA PERNERBANGAN AKIBAT PANDEMI

COVID-19

A. Kerugian Konsumen Jasa Penerbangan akibat Pandemi Covid-19

Perkembangan dalam bidang pengangkutan di era yang sudah modern ini telah membawa manusia ke era dimana menjadi mudah untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.129 Perkembangan ini telah memberi dampak positif yang memberi keamanan, kemudahan, dan kenyamanan bagi pengguna transportasi komersial. Salah satu perkembangan tersebut ialah dengan adanya transportasi udara yang dapat melakukan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain secara cepat, hal ini banyak diminati oleh orang Indonesia karena mobilitasnya yang bisa di handalkan.

Seperti yang kita ketahui bahwa pandemi corona yang terjadi sekarang sangat memperburuk keadaan industri jasa penerbangan, Garuda Indonesia sendiri sebagai maskapai terbesar yang ada di Indonesia mengalami kerugian sebesar Rp.15,02 Triliun per Sepember 2020. Naiknya kerugian yang di alami oleh Garuda Indonesia disebabkan oleh anjloknya jumlah penumpang yang ingin bepergian menggunakan pesawat terbang, penurunan jumlah penumpang mencapai 50,6 % (Lima Puluh koma Enam persen) dibandingkan dengan tahun lalu di bulan yang sama.130

129 Sution Usman Adji, Hukum Pengangkutan Di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, Jakarta, 2005), hlm 1

130 Rr. Ariyani Yakti Widyastuti. (2020, November 7). Garuda Indonesia Beberkan Sebab Kerugian Rp 15,2 Triliun di Kuartal III-2020. [Halaman Web]. Diakses dari

https://bisnis.tempo.co/read/1403116/garuda-indonesia-beberkan-sebab-kerugian-rp-152-triliun-di-kuartal-iii-2020/full&view=ok pada tanggal 21 Desember 2020, Pukul 19.46 Wib

Hal serupa juga terjadi kepada calon penumpang pesawat udara. Banyak penumpang yang di rugikan karena adanya pandemi ini, hal ini disebabkan oleh maskapai penerbangan yang mengganti jadwal penerbangan ataupun adanya pembatalan keberangkatan karena adanya pandemi, sementara pihak penumpang sendiri juga bisa membuat ia batal terbang, hal ini bisa disebabkan karena ia positif terpapar virus Covid-19 itu sendiri sebelum akan terbang atau karena urusan penumpang yang batal dilaksanakan karena adanya virus ini.131

Dalam masa pandemi seperti ini saat pengangkut tidak mampu menjalankan kewajiban yang didasarkan oleh perjanjian yang dikarenakan diluar kehendak ataupun kekuasaan pihaknya, hal ini sudah bisa disebut sebagai kondisi force majeure. Tetapi keadaan Covid-19 ini tidak bisa dijadikan alasan untuk membatalkan suatu perjanjian yang ada dalam kontrak bisnis karena semua itu tergantung oleh isi klausul kontrak yang sudah ada. Ini berarti harus di gali lebih dalam terlebih dahulu apakah di dalam klausul kontrak memuat tentang adanya Pandemi Covid-19 sebagai alasan terjadinya force majeure.132

Di saat maraknya penyebaran virus Covid-19 ini pemerintah melarang masyarakat untuk melakukan mudik tahun 2020. Padahal sudah banyak masyarakat yang merencanakan dan membeli tiket untuk melakukan penerbangan di masa idul fitri sebelum adanya larangan dari pemerintah. Hal ini di atur dengan keluarnya Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441

131 Muhammad Choirul Anwar. (2020, April 20). Curhat Penumpang Pesawat: Batal Terbang, Uang Pun 'Nyangkut'. [Halaman Web]. Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20200420174532-4-153199/curhat-penumpang-pesawat-batal-terbang-uang-pun-nyangkut? pada tanggal 21 Desember 2020, Pukul 20.08 Wib

132 Ainaya Nadine dan Zulfa Zahara Imtiyaz, Op.Cit, hlm 291

Hijriah dalam rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Terbitnya peraturan ini menyebabkan banyaknya pembatalan penerbangan yang dilakukan sepihak oleh maskapai penerbangan. Hal ini dilakukan demi kebaikan masyarakat itu sendiri untuk mengurangi penyebaran Covid-19 dengan cara tidak keluar rumah atau bepergian ke tempat yang jauh.

Tidak ada yang bisa menjamin bahwa pembatalan yang dilakukan ini tidak membuat penumpang tersebut merugi. Disamping dengan membuat larangan tersebut, pemerintah dalam Permenhub ini juga melengkapinya dengan kewajiban penyelenggara transportasi umum untuk melindungi hak yang harus didapatkan penumpang.133

Dalam Permenhub No. 25 Tahun 2020 dijelaskan bahwa penumpang yang terlanjur membeli tiket untuk perjalanan pada tanggal 24 April 2020 sampai dengan tanggal 31 Mei 2020 akan mendapatkan kompensasi berupa pengembalian penuh atas biaya tiket yang sudah dikeluarkan oleh penumpang, adanya penyesuaian tanggal karena peraturan ini memang khusus dibuat untuk mengatur perjalanan yang akan terjadi di masa mudik lebaran tahun 2020 saja, sehingga pihak maskapai penerbangan wajib untuk meniadakan penggunaan sarana transportasi pada rentang tanggal yang sudah ditentukan dan wajib segera mengambalikan hak para penumpang..134

133 Ibid, hlm 289

134 Ibid, hlm 289-290

B. Tanggung Jawab Penyedia Jasa Penerbangan terhadap Kerugian Konsumen akibat Pandemi Covid-19

Sebagaimana di maksud dalam Permenhub No.77 Tahun 2011 pasal 1 angka (5), badan usaha angkutan udara adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia berebntuk perseroan terbatas, yang kegiatan utamanya mengoperasikan pesawat udara untuk digunakan mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos dengan memungut pembayaran.

Jika dalam melaksanakan usahanya terdapat pelanggaran atau kesalahan yang di lakukan oleh pihak maskapai penerbangan, maka pihak maskapai penerbangan memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab. 135

Sesuai dengan apa yang di jelaskan dalam UU No.1 Tahun 2009 tentang penerbangan, jika penumpang mengalami pelanggaran hak-hak sebagai penumpang maka maskapai penerbangan wajib bertanggung jawab akan pelanggaran tersebut, baik pelanggaran yang terjadi sebelum penerbangan ataupun sesudah penerbangan.136 Kerugian yang bisa dialami penumpang sebelum masa penerbangan misalnya gagalnya pembelian tiket, penyerahan bagasi, penempatan bagasi pada rute yang salah atau tejadinya keterlambatan penerbangan. Sedangkan untuk kerugian pada saat penerbangan antara lain penumpang tidak mendapatkan pelayanan yang baik oleh pihak maskapai atau rasa aman untuk sampai ke tujuan dengan selamat. Kerugian setelah penerbangan antara lain terlambatnya penumpang sampai ke destinasinya dan hilang atau rusaknya bagasi.137

135 Baiq Setiani, Op.Cit, hlm 4-5

136 Abdul Majid, dkk, Ground Handling Manajemen Pelayanan Darat Perusahaan Penerbangan. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm 78

137 Ibid.

Tanggung jawab ini terjadi jika salah satu pihak melakukan kesalahan yang merugikan pihak lainnya. Dalam hal ini kesalahan tertundanya keberangkatan, tidak terangkutnya penumpang dengan alasan overseat dan pembatalan penerbangan merupakan kesalahan dari pihak maskapai sehingga menjadi tanggung jawabnya kepada pihak yang dirugikan yaitu penumpang.

Jika kerugian yang timbul di sebabkan oleh maskapai penerbangan, maka pihak maskapai memiliki kewajiban untuk memberikan kompensasi atau ganti rugi kepada pihak penumpang. Hal ini dijelaskan dalam Permenhub No. 77 Tahun 2011 Pasal 1 angka (18) yang menjelaskan bahwa ganti rugi ialah yang yang dibayarkan atau sebagai pengganti akan suatu kerugian. Sementara dalam KUHPerdata ganti kerugian diatur dalam Pasal 1243 yang menjelaskan bahwa ganti kerugian berupa penggantian biaya, rugi, atau bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, beru bisa diwajibkan jika yang berutang, setelah dinyatakan lalai dalam memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuat dalam senggang waktu yang telah dilampaukannya138

Pada pelaksanaannya sehari-hari, kebanyakan maskapai penerbangan hanya bertanggung jawab sebatas memberikan ganti rugi berupa minuman dan makanan ringan serta menawarkan pengembalian uang tiket, jarang terjadi situati dimana pihak maskapai mau mengalihkan penerbangan penumpang ke maskapai penerbangan lainnya. Hal tersebut bertentangan dengan Peraturan Menteri Perhubungan No KM 25 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara pada Pasal 36 yang menjelaskan bahwa penyedia jasa penerbangan bertanggung jawab untuk membantu memindahkan penumpang ke perusahaan angkutan udara

138 Baiq Setiani, Op.Cit, hlm 5

niaga berjadwal lainnya, apabila diminta oleh penumpang. Dalam kejadian ini pemerintah seharusnya memberikan sanksi kepada pihak maskapai penerbangan karena tidak menjalankan peraturan yang telah dibuat. Jika pihak maskapai penerbangan tidak melaksanakan ketentuan yang telah dibuat oleh pemerintah atas keterlambatan yang terjadi karena kesalahannya sendiri dan tidak termasuk dalam faktor pengecualian, maka pihak maskapai penerbangan dapat dikenakan sanksi administratif yang dimana sanksi administratif itu berupa pembekuan izin atau bahkan sampai pencabutan izin operasi udara seperti yang tertera dalam Permenhub No. 77 Tahun 2011, Pasal 26.139

Dalam situasi pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, kesehatan penumpang saat penerbangan merupakan tanggung jawab maskapai penerbangan sebagai pengangkut. Jika penumpang tertular ketika di dalam pesawat baik dalam perjalanan menuju destinasi tujuan ataupun turun dari pesawat, menjadi tanggung jawab maskapai penerbangan serta operator bandara, keduanya saling berbagi tanggung jawab dengan tanggung jawab masing-masing yang berbeda. Divisi hukum masing-masing operator bandara harus mengidentifikasi segala probabilitas yang mungkin terjadi. Tujuannya ialah untuk menekan kompensasi sebagai bentuk tanggung jawab (liability) yang perlu diberikan ketika terjadi kasus penularan Covid-19 kepada penumpang.140

Dengan adanya pandemi Covid-19 ini membuat munculnya stigma bahwa pandemi tersebut bisa dijadikan alasan adanya force majeure. Pandangan itu

139 Ibid, hlm 6

140 Ridha Aditya Nugraha. (2020, Mei 26). Tanggung Jawab Bandara dan Maskapai Penerbangan di Tengah Pandemi. [Halaman Web]. Diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5ecc8249d3c20/ tanggung-jawab- bandara-dan -maskapai-penerbangan-di-tengah-pandemi-oleh--ridha-aditya-nugraha/ pada tanggal 3 Januari 2021, Pukul 17.01 Wib

jelas keliru karena pandemi Covid-19 tidak selamanya membatalkan kontrak yang ada, tidak semua pelaku usaha membatalkan kontrak bisnis yang ada walaupun pandemi ini berlangsung. Pandemi Covid-19 merupakan risiko yang harus di hadapi oleh pelaku usaha mau dia bisa memenuhi tanggung jawabnya atau tidak jika terjadi bencana non-alam. Hal ini disebabkan karena ganti rugi dan bunga

jelas keliru karena pandemi Covid-19 tidak selamanya membatalkan kontrak yang ada, tidak semua pelaku usaha membatalkan kontrak bisnis yang ada walaupun pandemi ini berlangsung. Pandemi Covid-19 merupakan risiko yang harus di hadapi oleh pelaku usaha mau dia bisa memenuhi tanggung jawabnya atau tidak jika terjadi bencana non-alam. Hal ini disebabkan karena ganti rugi dan bunga