• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ASPEK HUKUM KEWAJIBAN PENGEMBALIAN UANG TIKET

B. Tanggung Jawab Penyedia Jasa Penerbangan terhadap Kerugian

Sebagaimana di maksud dalam Permenhub No.77 Tahun 2011 pasal 1 angka (5), badan usaha angkutan udara adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia berebntuk perseroan terbatas, yang kegiatan utamanya mengoperasikan pesawat udara untuk digunakan mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos dengan memungut pembayaran.

Jika dalam melaksanakan usahanya terdapat pelanggaran atau kesalahan yang di lakukan oleh pihak maskapai penerbangan, maka pihak maskapai penerbangan memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab. 135

Sesuai dengan apa yang di jelaskan dalam UU No.1 Tahun 2009 tentang penerbangan, jika penumpang mengalami pelanggaran hak-hak sebagai penumpang maka maskapai penerbangan wajib bertanggung jawab akan pelanggaran tersebut, baik pelanggaran yang terjadi sebelum penerbangan ataupun sesudah penerbangan.136 Kerugian yang bisa dialami penumpang sebelum masa penerbangan misalnya gagalnya pembelian tiket, penyerahan bagasi, penempatan bagasi pada rute yang salah atau tejadinya keterlambatan penerbangan. Sedangkan untuk kerugian pada saat penerbangan antara lain penumpang tidak mendapatkan pelayanan yang baik oleh pihak maskapai atau rasa aman untuk sampai ke tujuan dengan selamat. Kerugian setelah penerbangan antara lain terlambatnya penumpang sampai ke destinasinya dan hilang atau rusaknya bagasi.137

135 Baiq Setiani, Op.Cit, hlm 4-5

136 Abdul Majid, dkk, Ground Handling Manajemen Pelayanan Darat Perusahaan Penerbangan. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm 78

137 Ibid.

Tanggung jawab ini terjadi jika salah satu pihak melakukan kesalahan yang merugikan pihak lainnya. Dalam hal ini kesalahan tertundanya keberangkatan, tidak terangkutnya penumpang dengan alasan overseat dan pembatalan penerbangan merupakan kesalahan dari pihak maskapai sehingga menjadi tanggung jawabnya kepada pihak yang dirugikan yaitu penumpang.

Jika kerugian yang timbul di sebabkan oleh maskapai penerbangan, maka pihak maskapai memiliki kewajiban untuk memberikan kompensasi atau ganti rugi kepada pihak penumpang. Hal ini dijelaskan dalam Permenhub No. 77 Tahun 2011 Pasal 1 angka (18) yang menjelaskan bahwa ganti rugi ialah yang yang dibayarkan atau sebagai pengganti akan suatu kerugian. Sementara dalam KUHPerdata ganti kerugian diatur dalam Pasal 1243 yang menjelaskan bahwa ganti kerugian berupa penggantian biaya, rugi, atau bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, beru bisa diwajibkan jika yang berutang, setelah dinyatakan lalai dalam memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuat dalam senggang waktu yang telah dilampaukannya138

Pada pelaksanaannya sehari-hari, kebanyakan maskapai penerbangan hanya bertanggung jawab sebatas memberikan ganti rugi berupa minuman dan makanan ringan serta menawarkan pengembalian uang tiket, jarang terjadi situati dimana pihak maskapai mau mengalihkan penerbangan penumpang ke maskapai penerbangan lainnya. Hal tersebut bertentangan dengan Peraturan Menteri Perhubungan No KM 25 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara pada Pasal 36 yang menjelaskan bahwa penyedia jasa penerbangan bertanggung jawab untuk membantu memindahkan penumpang ke perusahaan angkutan udara

138 Baiq Setiani, Op.Cit, hlm 5

niaga berjadwal lainnya, apabila diminta oleh penumpang. Dalam kejadian ini pemerintah seharusnya memberikan sanksi kepada pihak maskapai penerbangan karena tidak menjalankan peraturan yang telah dibuat. Jika pihak maskapai penerbangan tidak melaksanakan ketentuan yang telah dibuat oleh pemerintah atas keterlambatan yang terjadi karena kesalahannya sendiri dan tidak termasuk dalam faktor pengecualian, maka pihak maskapai penerbangan dapat dikenakan sanksi administratif yang dimana sanksi administratif itu berupa pembekuan izin atau bahkan sampai pencabutan izin operasi udara seperti yang tertera dalam Permenhub No. 77 Tahun 2011, Pasal 26.139

Dalam situasi pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, kesehatan penumpang saat penerbangan merupakan tanggung jawab maskapai penerbangan sebagai pengangkut. Jika penumpang tertular ketika di dalam pesawat baik dalam perjalanan menuju destinasi tujuan ataupun turun dari pesawat, menjadi tanggung jawab maskapai penerbangan serta operator bandara, keduanya saling berbagi tanggung jawab dengan tanggung jawab masing-masing yang berbeda. Divisi hukum masing-masing operator bandara harus mengidentifikasi segala probabilitas yang mungkin terjadi. Tujuannya ialah untuk menekan kompensasi sebagai bentuk tanggung jawab (liability) yang perlu diberikan ketika terjadi kasus penularan Covid-19 kepada penumpang.140

Dengan adanya pandemi Covid-19 ini membuat munculnya stigma bahwa pandemi tersebut bisa dijadikan alasan adanya force majeure. Pandangan itu

139 Ibid, hlm 6

140 Ridha Aditya Nugraha. (2020, Mei 26). Tanggung Jawab Bandara dan Maskapai Penerbangan di Tengah Pandemi. [Halaman Web]. Diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5ecc8249d3c20/ tanggung-jawab- bandara-dan -maskapai-penerbangan-di-tengah-pandemi-oleh--ridha-aditya-nugraha/ pada tanggal 3 Januari 2021, Pukul 17.01 Wib

jelas keliru karena pandemi Covid-19 tidak selamanya membatalkan kontrak yang ada, tidak semua pelaku usaha membatalkan kontrak bisnis yang ada walaupun pandemi ini berlangsung. Pandemi Covid-19 merupakan risiko yang harus di hadapi oleh pelaku usaha mau dia bisa memenuhi tanggung jawabnya atau tidak jika terjadi bencana non-alam. Hal ini disebabkan karena ganti rugi dan bunga yang ada dapat dimaafkan jika ada suatu keadaan yang memaksa. Landasan hukum penerapan force majeure di Indonesia ialah pasal 1245 KUHPerdata yang dapat di terapkan walaupun klausula tersebut belum di masukkan dalam kontrak yang telah disepakati.141

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan beserta Permenhub No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara dapat dijadikan dasar hukum atas segala macam kerugian yang di alami oleh penumpang. Peraturan-Peraturan tersebut banyak mengambil contoh dari Konferensi Warsawa 1929 maupun Konferensi Montreal 1999. Pasal 141 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Penerbangan menyebutkan : 142

(1) Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara.

(2) Apabila kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) timbul karena tindakan sengaja atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang dipekerjakannya, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang

141 Mochammad Januar Rizki (2). (2021, Januari 12). Nasib Konsumen Saat Terjadi Force Majeure Terhadap Perusahaan. [Halaman Web]. Diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5ffd2f4820341/nasib-konsumen-saat-terjadi-force-majeure-terhadap-perusahaan/ pada tanggal 21 Januari 2021, Pukul 21. 51 Wib

142 Ridha Aditya Nugraha, Loc.Cit.

timbul dan tidak dapat mempergunakan ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya.

(3) Ahli waris atau korban sebagai akibat kejadian angkutan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melakukan penuntutan ke pengadilan untuk mendapatkan ganti kerugian tambahan selain ganti kerugian yang telah ditetapkan.

Jika dikaitkan dengan industri jasa penerbangan, maka bisa dilihat dalam syarat dan ketentuan masing-masing maskapai penerbangan, karena syarat dan ketentuan tersebut merupakan kontrak bisnis yang mengikat antara penumpang dan maskapai penerbangan. Penulis dalam hal ini melihat syarat dan ketentuan yang dimiliki oleh maskapai penerbangan Garuda Indonesia dan Lion Air di masa pandemi Covid-19 tentang adanya perubahan jadwal dan refund.

Dalam syarat dan ketentuan soal adanya perubahan jadwal dan refund pada Garuda Indonesia, dijelaskan bahwa :143

1. Penumpang dapat memilih untuk melakukan perubahan jadwal (reschedule) / rute penerbangan (reroute) sebanyak 1 kali tanpa dikenakan biaya perubahan (changes fee)

2. Apabila penumpang memilih untuk melakukan perubahan jadwal (reschedule) pada rute penerbangan yang sama dan pada kabin penerbangan yang sama sampai tanggal 31 Desember 2022 (di luar periode black out), maka dapat dilakukan tanpa biaya tambahan.

Sedangkan pada periode black out, dikenakan selisih harga dan pajak

3. Apabila penumpang memilih untuk melakukan perubahan rute penerbangan (reroute), dapat dilakukan tanpa biaya tambahan untuk rute yang memiliki harga yang sama atau kurang dari harga rute awal, jika terdapat kelebihan maka dikenakan selisih harga dan pajak

4. Apabila penumpang belum memiliki jadwal / rute penerbangan baru yang pasti, penumpang diperbolehkan memperpanjang masa berlaku tiket sampai 31 Desember 2022 (open ticket)

143 Garuda Indonesia (2), Kebijakan Reschedule, Reroute, Pembatalan Penerbangan serta Open Ticket, [Halaman Web]. Diakses dari

https://www.garuda-indonesia.com/id/id/news-and-events/kebijakan-operasional-terkait-covid19 pada tanggal 27 Maret 2021, Pukul 03.17 Wib

5. Refund dimungkinkan dengan travel voucher. Travel Voucher dapat ditukarkan dengan tiket Garuda Indonesia untuk perjalanan s/d 31 Desember 2022 atau produk Garuda Indonesia lainnya. Penukaran Travel Voucher dapat dilakukan sampai dengan 31 Desember 2021 di kantor penjualan Garuda Indonesia

6. No show fee akan dikenakan jika reservasi penerbangan tidak dibatalkan (melalui perubahan jadwal/rute, perpanjangan masa berlaku tiket atau refund) oleh penumpang sebelum keberangkatan.

7. Khusus penerbangan code-share dengan Airline lain, perubahan jadwal harus menggunakan class yang sama. Jika menggunakan fare-class yang berbeda, maka perbedaan harga berlaku (terdapat tambahan biaya)

Sementara dalam syarat dan ketentuan Lion Air, perubahan jadwal penerbangan dan refund meliputi :144 Refund.voucher@lionair.co.id (dengan melampirkan kode boking dan nomor tiket)

b. Pengembalian 100% dari nilai harga tiket, kedalam bentuk Voucher

c. Masa berlaku voucher adalah 1 (satu) tahun dari tanggal penerbitan

3. Perubahan jadwal dan perubahan rute :

a. Maksimum 2 kali perubahan jadwal, sebelum merubah tiket (kecuali Agent portal dan Website)

b. Dibebaskan dari biaya perubahan/ No Change fee

c. Biaya selisih dibayarkan, kecuali untuk kelas pembukuan dan rute dari Airlines yang sama

d. Reroute hanya berlaku untuk Titik asal/ keberangkatan yang sama, dengan Airlines yang sama

4. Service tambahan (Ancillaries) pada tiket yang dirubah menjadi Voucher:

a. Tiket bagasi yang belum dipergunakan, masih berlaku untuk penerbangan yang akan datang (jika)

b. Pelanggan dengan tiket kursi berbayar akan diatur ulang sesuai ketersediaan alokasi kursi.

144 Lion Air (4), Condition Of Carriage Perubahan dan Pembatalan E-Tiket, [Halaman Web].

Diakses dari https://www.lionair.co.id/docs/default-source/default-document-library/condition_of_carriage.pdf pada tanggal 27 Maret 2021, pukul 14.06 Wib

c. Semua nomor dokumen Ancillaries harus disimpan dan ditunjukkan ke Airlines (jika dibutuhkan)

Dilihat dari syarat dan ketentuan kedua maskapai tersebut perihal perubahan jadwal penerbangan dan refund, terlihat jelas bahwa pihak maskapai penerbangan masih memberi tanggung jawab dan adanya renegosiasi kontrak bisnis karena ketentuan tersebut telah diganti sesuai dengan keadaan sekarang.

Jadi bisa disimpulkan bahwa dalam industri jasa penerbangan, Covid-19 bukanlah force majeure yang membatalkan suatu kontrak bisnis antara maskapai penerbangan dengan penumpang.

C. Bentuk Ganti Rugi yang diberikan oleh Pihak Maskapai Penerbangan