• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN JASA

B. Tinjauan Umum Terhadap Penyedia Jasa Penerbangan

4. Hak dan Kewajiban Penyedia Jasa Penerbangan

Dalam hubungan yang berkesinambungan antara penyedia jasa penerbangan dan penumpang, tentu saja pihak penyedia jasa penerbangan juga memiliki hak yang menjadi miliknya sendiri. Hak itu merupakan hak untuk mendapatkan penghasilan selama jasa penerbangan itu dijalankan oleh pihaknya.

Dalam mendapatkan penghasilan tersebut, pemerintah telah menentukan tarif angkutan udara niaga terjadwal dalam negeri pada pasal 126 hingga pasal 130 UU Penerbangan. Dalam penentuan tarif ini, pemerintah hanya ikut mengatur batas harga untung tarif penumpang angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri kelas

73 Indonesia (Permenhub PKP), Peraturan Menteri Perhubungan Tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan (Delay Management) pada Badan Usaha Angkutan Niaga Berjadwal di Indonesia, Permenhub No. 89 Tahun 2015, BN No. 716 Tahun 2015

74 Indonesia (Permenhub SPPKE), Peraturan Menteri Perhubungan Tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal dalam Negeri, Permenhub No. 185 Tahun 2015, BN No.1823 Tahun 2015, Pasal 2 ayat (2)

ekonomi. Tarif untuk kelas lain selain kelas ekonomi seperti business class dikembalikan sepenuhnya kepada pihak penyedia jasa penerbangan untuk mematok harganya sendiri. Keikutsertaan pemerintah dalam penentuan tarif non-ekonomi hanya dengan meminta penyedia jasa penerbangan untuk menyediakan 40% (empat puluh persen) kapasitas tempat duduk untuk non-ekonomi, sedangkan sisanya 60% (enam puluh persen) untuk kelas ekonomi. Memang tujuan pemerintah dalam penetapan tarif angkutan udara niaga berjadwal tersebut memiliki tujuan agar seluruh lapisan masyarakat dapat membeli tiket penerbangan dengan tarif yang wajar, Di samping hal tersebut kebebasan menentukan tarif non-ekonomi yang diberikan pemerintah dimaksudkan agar penyedia jasa penerbangan dapat mendapatkan keuntungan untuk tetap menjamin kelangsungan peusahaan tersebut.75

Penumpang memiliki hak atas perlindungan hukum jika mendapat kerugian yang disebabkan oleh keterlambatan dan kelalaian pengangkut karena tanggung jawab pengangkut telah diatur secara khusus. Perlindungan hukum ini terkadang belum memberikan efek yang maksimal untuk mendapatkan hak-hak penumpang. Menurut UU Penerbangan dan Permenhub No. 77 Tahun 2011, tiket penumpang bisa dijadikan barang dalam mendapatkan perlindungan hukum.

Fungsi dari tiket penumpang ini ialah sebagai bukti adanya ikatan perjanjian yang terjadi antara penyedia jasa penerbangan dan penumpang, sehingga jika terjadi keterlambatan penerbangan, maka penyedia jasa penerbangan harus memberikan ganti rugi ataupun kompensasi. Untuk melindungi penumpang yang merasa dirugikan oleh penyedia jasa penerbangan di dalam UU Penerbangan dan

75 Emmy Latifah, Op.Cit. hlm 11

Permenhub No. 77 Tahun 2011, penumpang bisa mengambil jalur hukum jika pihak penyedia jasa penerbangan tidak memberikan ganti rugi ataupun kompensasi.76

Kewajiban kontraktual (strict contractual duty) merupakan konsekuensi dalam kewajiban pengangkut yang mengangkut penumpang dan mengirim barang untuk mencapai tujuan dengan selamat dan tentram. Jadi, pengangkut memiliki kewajiban untuk mendapatkan suatu hasil (obligation de resultant), dan bukan semata hanya untuk menjalankan kegiatan pengangkutan (obligation de movens).

Perusahaan penerbangan di era modern ini memiliki modal yang sangat besar serta didukung dengan adanya asuransi yang menanggung risiko pihak-pihak tertentu, seperti pihak penumpang. Secara individual antara pihak penyedia jasa penerbangan dengan pihak penumpang, sudah pasti posisi ekonomi penyedia jasa penerbangan lebih besar daripada pihak penumpang. Sama hubungannya pada bidang teknologi, dunia penerbangan memiliki teknologi yang bertingkat pesat dan canggih agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan selama penyedia jasa penerbangan memindahkan penumpang dari satu tempat ke tempat lain, maka dari itu tingkat keselamatan penerbangan di era ini lebih tinggi daripada ketika era ordonansi (ketika konvensi warsawa dibuat). Terjadinya pergeseran sistem pernilaian dalam masyarakat luas menjadi falsafah dan dasar pertimbangan terjadinya pergeseran pembuatan ordonansi (konvensi warsawa) yang dianggap sudah terbelakang. Dilihat dari alasan-alasan tersebut, maka wajar jika ordonansi

76 Baiq Setiani, Loc.Cit

1939 dipandang sudah kuno dan sebab oleh itu perlu adanya pembaharuan sesuai dengan perkembangan masyarakat..77

Dalam pengaturannya di Indonesia, tanggung jawab pengangkutan angkutan udara wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap :78

a. Penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka;

b. Hilang atau rusaknya bagasi kabin;

c. Hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercacat;

d. Hilang, musnah atau rusaknya kargo;

e. Keterlambatan angkutan udara; dan f. Kerugian yang diderita oleh pihak ketiga.

Dalam dunia penerbangan, pelanggaran yang paling sering terjadi ialah keterlambatan penerbangan yang memakan waktu berjam-jam bahkan sampai pembatalan penerbangan, terdapat 3 (tiga) macam keterlambatan penerbangan yang antara lain :79

a. Keterlambatan penerbangan (flight delayed)

b. Tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara (denied boarding passanger)

c. Pembatalan penerbangan (cancelation of flight)

Untuk mengatur tentang tanggung jawab penyedia jasa penerbangan pada saat terjadinya keterlambatan penerbangan yang umumnya sering terjadi, dijelaskan biaya yang perlu diganti oleh penyedia jasa penerbangan yang antara lain :80

77 Ibid, hlm 8-9

78 Indonesia (Permenhub TJPU), Op.Cit., Pasal 2

79 Ibid, Pasal 9

80 Ibid, Pasal 10

a. Keterlambatan lebih dari 4 (empat) jam diberikan ganti rugi sebesar Rp.

300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per penumpang.

b. Diberikan ganti kerugian sebesar 50% (lima puluh persen) dari ketentuan huruf (a) apabila pengangkut menawarkan tempat tujuan lain yang terdekat dengan tujuan penerbangan akhir penumpang (re-routing), dan pengangkut wajib menyediakan tiket penerbangan lanjutan atau menyediakan transportasi lain sampai ke tempat tujuan apabila tidak ada moda transportasi selain angkutan udara.

c. Dalam hal dialihkan kepada penerbangan berikutnya atau penerbangan milik Badan Usaha Niaga Berjadwal lain, penumpang dibebaskan dari biaya tambahan, termasuk peningkatan kelas pelayanan (up grading class) atau apabila terjadi penurunan kelas atau sub kelas pelayanan, maka terhadap penumpang wajib diberikan sisa uang kelebihan dari tiket yang dibeli.

Sementara untuk mengatur bagaimana cara pihak penyedia jasa penerbangan memberikan refund uang tiket pesawat jika terjadi pembatalan keberangkatan, diatur dengan cara sebagai berikut :81

1. Badan Usaha Angkutan Udara dalam melakukan pengambalian seluruh biaya tiket (refund ticket), apabila pembelian tiket dilakukan melalui transaksi tunai, maka badan usaha angkutan udara wajib mengembalikan secara tunai pada saat penumpang melaporkan diri kepada badan usaha angkutan udara.

81 Indonesia (Permenhub PKP), Op.Cit., Pasal 10

2. Badan Usaha Angkutan Udara dalam melakukan pengambalian seluruh biaya tiket (refund ticket), apabila pembelian tiket dilakukan melalui transaksi non tunai melalui kartu kredit, maka badan usaha angkutan udara wajib mengembalikan melalui transfer ke rekening kartu kredit selambat-lambatnya 30 hari kalender.