• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bentuk Pertanggungjawaban Apotek Ayah Bunda Binjai Terhadap Obat

BAB IV TANGGUNG JAWAB HUKUM PELAKU USAHA APOTEK

C. Bentuk Pertanggungjawaban Apotek Ayah Bunda Binjai Terhadap Obat

Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut: 114

a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability).

113 Ibid, hal.82.

114 Rudolf S. Mamengko, Produk liability dan Profesional Liability di Indonesia, ( Jurnal Ilmu Hukum Vol.III, Agustus 2016) hal. 2.

b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability principle).

c. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption nonliability principle)

d. Prinsip tanggung jawab mutlak ( strict liability)

e. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan ( limitation of liability principle)

Prinsip tanggung jawab mutlak dalam konteks hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk menjerat pelaku usaha, khususnya produsen yang produknya merugikan konsumen, azas tanggung jawab produk (Product Liability) ini didefenisikan bahwa produsen wajib bertangung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya. Pada prakteknya tuntutan atas dasar product liability ini dapat didasarkan pada tiga hal:115

a. Melanggar jaminan (breach of warranty), misalnya khasiat/cita rasa tidak sesuai dengan yang tertera pada kemasan produk. Pelanggaran jaminan yang berkaitan dengan jaminan dalam konteks barang yang dihasilkan atau dijual oleh produsen/pelaku usaha tidak mengandung cacat. Pengertian cacat bisa terjadi dalam konstruksi barang (construction defect), desain (design defect), dan pelebelan ( lebeling defect).

b. Ada unsur kelalaian (negligence), yaitu produsen lalai memenuhi standart pembuatan produk yang baik. Kelalaian dapat dinyatakan terjadi bila pelaku usaha / produsen yang dituntut gagal membuktikan bahwa ia telah berhati-hati dalam membuat, menyimpan, mengawasi, memperbaiki, memasang label atau mendistribusikan suatu barang.

c. Menerapkan asturan tentang tanggung jawab mutlak (strict liability).

Ada tiga hal yang berhubungan dengan tanggung jawab produsen yaitu berdaya saing tinggi, barang yang makin bermutu dan bernilai tambah yang tinggi. Ketiga hal ini berkaitan dengan masalah tanggung jawaban produsen, karena adanya kesadaran dari para produsen terhadap tanggung jawabnya secara

115 Ibid, hal. 4.

hukum akan berakibat pada adanya sikap penuhi kehati-hatian (precision), baik dalam menjaga kualitas produk, penggunaan bahan, maupun dalam kehati-hatian kerja. Tidak adanya atau kurangnya kesadaran akan tanggung jawabnya sebagai produsen akan berakibat fatal dan menghadapi resiko bagi kelangsungan hidup/kredibilitas usahanya.116

Berkenaan dengan masalah cacat/rusak (defect) dalam pengertian produk yang cacat/rusak (defective product) yang menyebabkan produsen harus bertanggung jawab, dikenal tiga macam produk yang cacat yaitu kesalahan produk, kesalah produk ini dapat dibedakan atas dua bagian, yaitu :

d. kesalahan yang meliputi kegagalan proses produksi, pemasangan produk, kegagalan pada sarana inspeksi, apakah karena kelalaian manusia atau ketidakberesan pada mesin dan yang serupa dengan itu;

e. produk-produk yang telah sesuai dengan rancangan dan spesifikasi yang dimaksud oleh pembuat, namun terbukti tidak aman dalam pemakaian.

Cacat desain. Pada cacat desain ini cacat terjadi pada tingkat persiapan produk. Hal ini terdiri dari atas, desain, komposisi, atau kontruksi, Informasi yang catat atau yang tidak memadai, informasi yang tidak memadai ini berhubungan dengan pemasaran suatu produk, dan dimana keamanan suatu produk ditentukan oleh informasi yang diberikan kepada pemakai yang berupa pemberian label produk, cara penggunaan, peringatan atas risiko tertentu atau hal lainnya sehingga produsen pembuat dan supplier dapat memberikan jaminan bahwa produk-produk mereka itu dapat dipergunakan sebagaimana dimaksud.

116 E. Saefullah, Op.cit, hal 42.

Dengan demikian produsen berkewajiban untuk memperhatikan keamanan produknya.117

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu Pasal 1504 KUH Perdata menentukan bahwa pelaku usaha/penjual selalu diharuskan untuk bertanggung jawab atas adanya cacat tersembunyi.

Pelaku usaha harus menjamin barang terhadap cacat yang tersembunyi, meskipun ia sendiri tidak mengetahui adanya cacat itu. (Pasal 1506 KUH Perdata).118

Terhadap adanya cacat-cacat yang tersembunyi pada barang yang dibeli, konsumen dapat mengajukan tuntutan atau aksi pembatalan jual beli, dengan ketentuan tersebut dimajukan dalam waktu singkat, dengan perincian sebagaimana yang ditentukan Pasal 1508 KUH Perdata :

a. Kalau cacat tersebut dari semula diketahui oleh pihak pelaku usaha, maka pelaku usaha wajib mengembalikan harga penjualan kepada konsumen dan ditambah dengan pembayaran ganti rugi yang terdiri dari ongkos, kerugian dan bunga;

b. Kalau cacat ini benar-benar memang tidak diketahui oleh pelaku usaha, maka pelaku usaha hanya berkewajiban mengembalikan harga penjualan serta biaya-biaya (ongkos) yang dikeluarkan pembeli waktu pembelian dan penyerahan barang;

c. Kalau barang yang dibeli musnah sebagai akibat yang ditimbulkan oleh cacat yang tersembunyi, maka pelaku usaha tetap wajib mengembalikan harga penjualan kepada konsumen.

117 Liya Sukma, Pertanggung Jawaban Produk ( Product liability) Sebagai Salah Satu Alternatif Perlindungan Konsumen, (Ilmu Hukum, May 2017) hal.37.

118 Subekti, Ibid, hal.16..

Hal tersebut menunjukkan bahwa menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, obat yang mengandung cacat tersembunyi merupakan tanggung jawab pelaku usaha.

Selanjutnya, dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan kewajiban pelaku usaha menyangkut tanggung jawab pelaku usaha Apotek berkaitan dengan obat yang mengandung cacat tersembunyi adalah “pelaku usaha Apotek berkewajiban memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi obat serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, kemudian pelaku usaha Apotek berkewajiban menjamin mutu obat yang diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu obat yang berlaku, serta berkewajiban memberi kompensasi, ganti rugi, dan/ atau penggantian bila obat yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai yang diperjanjikan.”

Dalam Pasal 8 ayat 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa “pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap”.

Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa “tanggung jawab pelaku usaha meliputi tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan, tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran, dan tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen”.

Berdasarkan hal ini, dengan adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini

berarti tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen. Lebih lanjut dalam Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa “ganti rugi yang diberikan dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenisnya atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan tertentu”. Waktu pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi sesuai Pasal 19 ayat 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen119.

Secara umum, lingkup tanggung jawab pembayaran ganti rugi yang dialami konsumen sebagai akibat penggunaan produk, baik yang berupa kerugan materi, fisik, maupun jiwa, dapat didasarkan pada beberapa ketentuan yang secara garis besarnya hanya dua kategori, yaitu tuntutan ganti kerugian berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian yang berdasarkan perbuatan melanggar hukum, yaitu120:

a. Tuntuan berdasarkan wanprestasi

Apabila tuntutan ganti kerugian berdasarkan wanprestasi, maka terlebih dahulu tergugat dengan penggugat terikat suatu perjanjan.

Ganti kerugian didasarkan pada tidak terpenuhinya prestasi, baik secara keseluruhan ataupun sebagian. Dalam tanggung jawab berdasarkan wanprestasi, kewajiban membayar ganti kerugian tidak lain daripada akibat penerapan klausula dalam perjanjian, yang merupakan ketentuan hukum yang oleh kedua belah pihak secara sukarela tunduk berdasarkan

119 Ahmadi Miru dan S. Yono, op.cit., hal. 126-127

120 Ibid., hal. 127-143

perjanjiannya. Dengan demikian, bukan undang-undang yang menentukan apakah harus dibayar, melainkan kedua belah pihak yang menentukan syarat-syaratnya serta besarnya ganti kerugian yang harus dibayar, dan apa yang telah diperjanjikan tersebut, mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

b. Tuntutan berdasarkan perbuatan melanggar hukum

Tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum tidak perlu didahului dengan perjanjian antara paar pihak.

Unsur-unsur yang harus dipenuhi agar dapat menuntut ganti rugi adalah:

1) Perbuatan melanggar hukum

Perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang bertentangan dengan standar perilaku dalam masyarakat.

2) Kerugian

Ganti kerugian dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen hanya meliputi pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan.

3) Hubungan sebab akibat

Hubungan sebab akibat merupakan pola barangsiapa yang melanggar hukum, bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan itu.

4) Kesalahan

Dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa setiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Kesalahan memiliki 3 (tiga) unsur, yaitu:

a) Perbuatan yang dilakukan dapat disesalkan;

b) Perbuatan tersebut dapat diduga akibatnya, dimana dalam arti objektif sebagai manusia normal dapat menduga akibatnya dan dalam arti subjektif sebagai seorang ahli dapat menduga akibatnya;

c) Dapat dipertanggungjawabkan: debitur dalam keadaan cakap.

Tanggung jawab produk cacat berbeda dengan tanggung jawab terhadap hal-hal yang sudah dikenal selama ini. Tanggung jawab produk , barang dan jasa meletakkan beban tanggung jawab pembuktian produk itu kepada pelaku usaha pembuat produk itu. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa “pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam perkara ini, menjadi beban dan tanggung jawab pelaku usaha.”121

Hukum tentang tanggung jawab produk ini termasuk dalam perbuatan melanggar hukun, tetapi diimbuhi dengan tanggung jawab mutlak (strict liability), tanpa melihat apakah ada unsur kesalahan pada pihak pelaku. Dalam kondisi demikian terlihat bahwa caveat emptor (konsumen bertanggung jawab) telah ditinggalkan dan kini berlaku caveat venditor (pelaku usaha bertanggung jawab)122.

Dalam hukum tanggung jawab produk, pihak korban/konsumen yang akan menuntut kompensasi pada dasarnya hanya perlu menunjukkan 3 (tiga) hal, yaitu123:

1) produk tersebut telah cacat pada waktu diserahkan oleh produsen;

121 Adrian Sutedi, op.cit., hal. 66

122 Az. Nasution 1, op.cit., hal 251

123 Adrian Sutedi, op.cit.,, hal. 69

2) cacat tersebut telah menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian/kecelakaan;

3) adanya kerugian.

Namun, juga diakui secara umum bahwa pihak korban/ konsumen harus menunjukkan bahwa pada waktu terjadinya kerugian, produk tersebut pada prinsipnya berada dalam keadaan seperti waktu diserahkan oleh produsen, artinya tidak ada modifikasi-modifikasi.

Ketentuan mengenai tanggung jawab produk juga ada dalam Kitab Undang-Undang Perdata, yaitu “apabila konsumen menderita kerugian dan ingin menuntut pihak produsen, maka konsumen tersebut akan menghadapi beberapa kendala yang akan menyulitkannya untuk memperoleh ganti rugi.” Kesulitan tersebut adalah “pihak konsumen harus membuktikan ada unsur kesalahan yang dilakukan oleh pihak produsen.

Jika konsumen tidak berhasil membuktikan kesalahan produsen, maka gugatan konsumen akan gagal.”124

Apotek bertanggungjawab dalam menerima keluhan konsumen mengenai obat yang mengandung cacat tersembunyi dan mengikuti perintah dari pemerintah jika ada produk obat yang dianggap mengandung cacat tersembunyi. Hal ini disampaikan oleh Sahat “apotek harus bersedia jika pemerintah telah mengeluarkan surat perintah penarikan suatu produk cacat dan menyerahkan kepada distributor untuk dikembalikan pabrik dan

124 Ibid., hal. 67

bertanggungjawab bila ada konsumen yang merasa dirugikan dan dapat membuktikan adanya kesalahan dari produk yang dijual oleh apotek.”125

Syamsul juga menyampaikan hal yang yang serupa, jika “ada suatu isu tentang produk obat tertentu dan langkah awal pemerintah akan menarik produk tersebut dari pasaran maka apotek akan bertindak sesuai arahan pemerintah. Apotek juga bertanggungjawab jika adanya konsumen yang merasa dirugikan oleh suatu obat. Dimana setiap adanya obat yang dikembalikan oleh konsumen karena adanya kesalahan karena cacat maka apotek akan bertanggungjawab dengan memberikan obat baru yang tidak cacat. Lalu obat yang mengandung cacat tersembunyi itu akan dikembalikan kedistributor untuk diganti dengan yang baru.”126

Pertanggungjawaban Apotek juga diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Apotek yang meliputi :

Pasal 31

ayat (1) “pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenakan sanksi administratif”

ayat 2 “sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. perinagatn tertulis

b. penghentian sementara kegiatan, dan c. pencabutan Surat Izin Apotek

Pasal 32

125 Hasil wawancara dengan Sahat, Pegawai Seksi Penyidikan BPOM Medan pada tanggal 27 September 2018 pukul 10.30.

126 Hasil Wawancara dengan Syamsul, Penanggungjawab Apotek Ayah Bunda Binjai pada tanggal 11 Agustus 2018.

ayat (1) “Pencabutan SIA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf c dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota berdasarkan:

a. hasil pengawasan; dan/atau b. rekomendasi Kepala Balai POM.”

ayat (2) “Pelaksanaan pencabutan SIA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah dikeluarkan teguran tertulis berturut-turut sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu masing-masing 1 (satu) bulan dengan menggunakan Formulir 8.”

Ayat (3) “Dalam hal Apotek melakukan pelanggaran berat yang membahayakan jiwa, SIA dapat dicabut tanpa peringatan terlebih dahulu.”

Ayat (4) “Keputusan Pencabutan SIA oleh pemerintah daerah kabupaten/kota disampaikan langsung kepada Apoteker dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, kepala dinas kesehatan provinsi, dan Kepala Badan dengan menggunakan Formulir 9 sebagaimana terlampir.”

Ayat (5) “Dalam hal SIA dicabut selain oleh dinas kesehatan kabupaten/kota, selain ditembuskan kepada sebagaimana dimaksud pada ayat (4), juga ditembuskan kepada dinas kabupaten/kota.”

Dalam masalah hukum konsumen, apotek hanya bertanggungjawab untuk mengikuti perintah atau arahan dari pemerintah tentang suatu produk obat yang cacat dan menerima setiap kesalahan yang disampaikan konsumen tentang suatu produk. Tetapi jika saat pemerintah telah memberikan perintah untuk menarik suatu produk obat tetapi pihak apotek tidak menyerahkan sama sekali atau menyerahkan sebagian maka hal itu menjadi hukum pidana.

Hal tersebut disampaikan oleh Pak sahat bahwa, “Apotek dapat dimintai pertanggungjawabannya jika menyimpan secara gelap suatu produk obat yang telah ditarik pemerintah dari pasaran karena sudah tidak memiliki izin edar lagi. Sesuai dengan Pasal 197 Undang-Undang no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000 dan Pasal 62 Undang Undang no 8 tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paing banyak Rp 2.000.000.000.”

Di apotek Ayah Bunda Binjai belum pernah ada masalah mengenai konsumen yang merasa dirugikan atas suatu produk obat yang mengandung cacat tersembunyi. Pada saat pemerintah memberikan arahan untuk menarik obat yang mengandung cacat tersembunyi maka Apotek Ayah Bunda Binjai akan segera menyerahkan semua produk tersebut kedistributor sesuai perintah.

Jika dilihat pada Pasal 19 ayat 3 UUPK pelaku usaha wajib memberikan pemberian ganti rugi tersebut harus dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Apabila pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan, maka konsumen yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui badan peyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Selain pertanggung jawaban pidana dan perdata yang harus di laksanakan oleh pelaku usaha ada beberapa jalur penyelesaian sengketa konsumen yang dapat ditempuh yaitu dengan cara penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dan penyelesaian sengketa konsumen melalui peradilan umum.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pengaturan mengenai pembatasan penjualan obat yang mengandung cacat tersembunyi di Indonesia telah tercantum dalam berbagai undang-undang maupun literature yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Secara umum dapat ditinjau dari :

a. Pasal 1504 – Pasal 1512 Kitab Undang-Undang Humum Perdata b. Pasal 7 dan Pasal 8 ayat 3 serta Pasal 24 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen

c. Pasal 196 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan.

d. Pasal 7 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.23.3516.

e. Pasal 31 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Apotek.

Bentuk obat yang mengandung cacat tersembunyi dapat dilihat jika kondisi obat tersebut tidak sebagaimana mestinya dan dan tidak dapat dilihat dengan kasat mata. Setiap obat yang mengandung cacat akan dites oleh BPOM dan akan ditarik dari seluruh pasar di Indonesia. Jika ada apotek yang melanggar peraturan mengenai pembatasan obat yang

mengandung cacat tersembunyi maka apotek dapat dikenai sanksi administratif yang berupa peringatan tertulis, penghentin sementara kegiatan dan pencabutan Surat Izin Apotek (SIA).

2. Bentuk cacat tersembunyi pada obat dapat dilihat dengan ciri ciri cacat tersembunyi pada obat, yaitu :

a. Obat tidak memiliki kemampuan untuk menyembuhkan, hanya sekedar vitamin.

b. Obat memiliki kandungan zat yang berlebihan dari ketentuan yang berlaku.

c. Obat mengandung komposisi yang berbeda dari yang tercantum didalam keterangan produk.

d. Obat menggunakan bahan dengan kualitas yang tidak sesuai dengan sampel yang diberikan kepada BPOM.

e. Obat tersebut mengandung cacat yang tidak mudah dilihat maupun diidentifikasi oleh konsumen ataupun dengan kasat mata.

Kerugian yang ditimbulkan dari cacat tersembunyi dapat berdampak pada konsumen dan juga bagi pelaku usaha. Bagi konsumen kerugian dapat berupa kerugian kesehatan dan keselamatan karena jika mengonsumsi obat yang cacat tidak akan mendapatkan manfaat dari obat tersebut atau bahkan dapat menimbulkan penyakit lain, selain itu juga dapat menyebabkan kerugian finansial dan ekonomi. Sedangkan bagi pelaku usaha akan menimbulkan kerugian finansial/ekonomi dimana penjual harus bertanggungjawab kepada pembeli atas penjualan barang yang mengalami cacat tersembunyi dengan cara memberikan ganti rugi terhadap biaya-biaya yang telah dikeluarkan pembeli sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

3. Bentuk pertanggungjawaban Apotek Ayah Bunda Binjai dapat terhadap obat yang termasuk dalam cacat tersembunyi yaitu :

a. Mengambil kembali obat yang mengandung cacat dan mengembalikannya kepada distributor apabila ada konsumen yang mengembalikan obat yang mengandung cacat tersembunyi.

b. Apotek juga harus memberikan seluruh persediaan obat tersebut jika ada perintah dari BPOM atau pemerintah untuk menarik produk tersebut dari pasaran

c. Jika apotek tetap menyimpan persediaan obat yang mengandung cacat dan menjualnya kepada konsumen demi keuntungan maka dapat digugat atas perbuatan melawan hukum.

d. Apotek dapat dikenai sanksi administratif berupa pemberian teguran lisan atau tertulis sampai dengan pencabutan SIA ( Surat Izin Apotek).

B. Saran

1. Pengaturan mengenai obat yang mengandung cacat belum banyak di Indonesia. Bahkan pengaturannya belum dikhususkan dan hanya dirujuk dengan pengaturan mengenai barang yang mengandung cacat tersembunyi. Seharusnya pemerintah lebih memberikan perhatian terhadap kasus mengani obat yang mengandung cacat tersembunyi dengan membuat pengaturan khusus yang mengatur menganai peredaran, penjualan, pengawasan dan setiap produk obat agar kasus mengenai cacat tersembunyi pada obat dapat diberantas dan agar produsen lebih memperhatian kualitas setiap obat yang diproduksinya.

2. Cacat tersembunyi pada obat dapat terjadi dengan berbagai faktor dan sangat susah diidentifikasi jika hanya kasat mata. Tetapi cacat tersembunyi pada obat juga dapat dilihat dari ciri-cirinya, maka

pihak konsumen harusnya lebih cermat dalam memilah produk mana yang kualitasnya sesuai dengan manfaat yang diharapkan.

3. Pertanggungjawaban Apotek Ayah Bunda Binjai diharapkan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Setiap persediaan obat dapat dilakukan dengan sistem komputer agar lebih teliti dan meminimalisir kesalahan yang mungkin terjadi.

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Anief, Moh, 2007, Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat, Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Anief, Moh, 2000, Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktik, Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Anief, Moh, 1996, Penggolongan Obat Berdasarkan Khasiat dan Penggunaan, Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Anief, Moh, 2000, Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi, Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Ashshofa, Burhan, 2010, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta. Jakarta.

Asyhadie, Zaeni, 2005, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanannya Di indonesia, PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Azwar, Sarifuddin, 1998, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Badrulzaman, Mariam Darus, 1981, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya, Alumni. Bandung.

Firmansyah, Muhammad, 2009, Tata Cara Mengurus Perizinan Usaha Farmasi Dan Kesehatan, Visimedia. Jakarta.

Fuady, Munir, 2008, Pengantar Hukum Bisnis-Menata Bisnis Modern di Era Global, PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Halim Barkatullah, Abdul, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, FH. Unlam Press. Banjarmasin.

Hamzah, Andi, 2005, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia. Bogor.

Harianto, Dedi, 2010, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Tehadap Iklan yang Menyesatkan, cet.1. Ghalia Indonesia Bogor.

Holijah, 2014, Pengintegrasian Urgensi Dan Eksistensi Tanggung Jawab Mutlak Produk Barang Cacat Tersembunyi Pelaku Usaha Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen Di Era Globalisasi, Fakultas Syariah IAIN Raden Fatah. Palembang.

Jhon, Pieres dan Widiarty, Wiwik Sri, 2007, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen, Pelangi Cendekia. Jakarta.

Khairunissa, 2008, Kedudukan, Peran dan Tanggung Jawan Hukum Direksi, Pasca Sarjana. Medan.

Mansyur, Ali, 2007 Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen Dalam Perwujudan Perlindungan Konsumen, Genta Press. Yogyakarta.

Miru, Ahmadi, 2015, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Wiraswasta Indonesia, Pimer Purba.

Jakarta Timur.

Miru, Ahmadi dan Yodo, Sutarman, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Nasution, Az., 2008, Aspek Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen ( Kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran ), Nusa Media. Bandung.

Nasution, Az, 2007, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Visimedia. Jakarta.

Nasution, Az., 2002, Konsumen: Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum Pada Perlindungan Konsumen, Diadit Media. Jakarta.

Nugroho, Susanti Adi, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Kencana. Jakarta.

Oscar, Lydianita dan Jauhar, Mohammad, 2016, Dasar-Dasar Manajemen Farmasi, Prestasi Pustakaraya. Jakarta.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Jakarta, 2008, Kamus Besar

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Jakarta, 2008, Kamus Besar