• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III RUANG LINGKUP APOTEK DAN CACAT TERSEMBUNYI

3. Pengaturan Apotek di Indonesia

Apotek sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan masyarakat diatur dalam:

a. Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan; Pengamanan Sediaan dan Alat Kesehatan, Pasal 98 ayat (1), Pasal 106 ayat (1) dan Pasal 108 ayat (1):

Pasal 98 yang berbunyi :

(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau.

(2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat.

(3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi danalat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 106 ayat (1) yang berbunyi :

“Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar”.

Pasal 108 ayat (1) yang berbunyi :

“Praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Terdapat juga dalam Pasal 196, Pasal 197 dan Pasal 198 yang mengatur mengenai pidana penjualan obat yaitu :

Pasal 196 yang mengatakan bahwa :

“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Pasal 197 yang mengatakan bahwa :

“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).”

Pasal 198 yang mengatakan bahwa :

“Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

b. Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika; Terdapat dalam Pasal 39, Pasal 40 ayat (1) dan (2), dan Pasal 43 ayat (1), (2) dan (3).

Dalam Pasal 43 ayat (1) disebutkan bahwa “ Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan oleh:

1) Apotek;

2) Rumah sakit;

3) Pusat kesehatan masyarakat;

4) Balai pengobatan;dan 5) Dokter.”

ayat (2) disebutkan bahwa “Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada:

1) Rumah sakit; masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.”

c. Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika; Terdapat dalam Pasal 12 ayat (2) mengenai penyaluran psikotropika dan Pasal 14 ayat (1), (2), (4) dan (6) mengenai penyerahan psikotropika oleh apotek.

Pasal 12 ayat (2) yang berbunyi “Penyaluran psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh :

1) Pabrik obat kepada pedagang besar farmasi, apotek, sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan.

2) Pedagang besar farmasi kepada pedagang besar farmasi lain-nya, apotek, sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan.

Pasal 14 yang berbunyi :

(1) Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 hanya dapat dilakukan oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dan dokter.

(2) Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada pengguna/pasien.

(4) Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, dan balai pengobatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan resep dokter.

(6) Psikotropika yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat diperoleh dari apotek.”

d. Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan; terdapat dalam Pasal 9 ayat (6) yang berbunyi “ Jenis tenaga kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian.

Sehingga seluruh apoteker dan tenaga teknis kefarmasian mengikuti peraturan dalam undang-undang ini.

e. Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980 tentang Perubahan atas PP No. 26 tahun 1965 mengenai Apotek; Mengatur mengenai pengertian apotek, tugas dan fungsi apotek, yang dapat mendirikan apotek, dan pengelolaan apotek.

f. Peraturan Pemerintah No 41 tahun 1990 tentang Masa Bakti dan Izin kerja Apoteker, yang disempurnakan dengan Peraturan Menteri kesehatan No.

184/MENKES/PER/II/1995. Yang terdiri atas 17 pasal yang mengatur mengenai pengertian apoteker, pelaporan, masa bakti apoteker, izin kerja, pembinaan dan pengawasan, sanksi dan ketertuan peralihan.

g. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, yang mengatur mengenai penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan sediaan, produksi sediaan, penyaluran sediaan, fasilitas pelayanan, rahasia kefarmasian dan pengentadian mutu farmasian.

h. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 9 tentang Apotek yang mengatur mengenai segala hal tentang apotek mulai dari pendirian, lokasi, bangunan, sarana prasarana dan peralatan, ketenagaan, perizinan,

penyelenggaraan, pengalihan tanggung jawab, pembinaan dan pengawasan, dan ketentuan peralihan.

i. Peraturan Menteri Kesehatan No. 695/MENKES/PER/VI/2007 tentang perubahan kedua atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 184 tahun 1995 tentang Penyempurnaan Pelaksanaan Masa Bakti dan Izin Kerja Apoteker;

j. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

889/MENKES/Per/V/2011tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian.

k. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek;

l. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.

m. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang Standar Kefarmasian di Apotek. Terdiri atas 11 pasal mengatur mengenai penyelenggaraan standar kefarmasian di Indonesia yang mencakup penyediaan farmasi, sumberdaya farmasi dan penyelenggaraan farmasi di Indonesia.

n. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah kepada setiap apotek, yang dapat dilakukan oleh Menteri

Kesehatan, kepala dinas provinsi dan kepala dinas kab/kota sesuai tugas dan fungsi masing-masing.

o. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 80 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Asisten Tenaga Kesehatan, yang mengatur mengenai jenis asisten tenaga kesehatan, penyelenggaraan pekerjaan, supervise, pembinaan, pengawasan dan ketentuan peralihan.

4. Persyaratan Perizinan Pendirian Apotek di Indonesia

Persyaratan perizinan apotek diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 tahun 2017 tentang Apotek yang diatur dalam Pasal 4 yaitu meliputi :

a. Lokasi b. Bangunan

c. Sarana, prasarana dan peralatan d. Ketenagaan

Lokasi dan tempat dimaksudkan jarak minimum antara apotek yang dipertimbangkan segi penyebaran dan pemerataan pelayanan kesehatan, jumlah penduduk, jumlah dokter, sarana pelayanan kesehatan, dan hygiene lingkungan. 61

Bangunan apotek harus mempunyai luas yang memadai, sehingga dapat menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi apotek. Luas bangunan apotek sekurang-kurangnya 50M2 ( lima puluh meter persegi) yang terdiri dari ruang tunggu, ruang peracikan, ruang pelayanan resep, ruang perbekalan farmasi, ruang administrasi, ruang apoteker pengelola apotek, ruang konseling, dan toilet.

61 Muhammad Firmansyah, Tata Cara Mengurus Perizinan Usaha Farmasi Dan Kesehatan, (Jakarta: Visimedia, 2009) hal.35.

Bangunan apotek juga harus mempunyai sistem ventilasi dan sanistasi yang baik, sumber air yang mempunyai persyaratan kesehatan, penerangan yang cukup, serta menyediakan alat pemadam kebakaran.62

Perlengkapan apotek juga harus dilengkapi dengan barang-barang sebagai berikut :63

a. Alat pembuat, pengolahan, dan peracikn seperti timbangan, mortir atau gelas ukur.

b. Perlengkapan dan alat penyimpanan, serta perbekalan farmasi, seperti lemari obat dan lemari pendingin.

c. Wadah pengemas dan pembungkus serta etiket dan plastik pengemas.

d. Tempat penyimpanan khusus narkotika, psikotropika, dan bahan beracun.

e. Buku standar farmakope Indonesia, ISO, MIMS, DPHO, serta kumpulan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan apotek.

f. Alat admistrasi, seperti blanko pesanan obat, faktur, kuitansi, salinan resep, kartu stok, buku pesanan narkotik dan nota penjualan.

Izin apotek berlaku untuk seterusnya selama apotek yang bersangkutan masih aktif melakukan kegiatan dan Apoteker Pengelola Apotek (APA) dapat melaksanakan pekerjaannya serta masih memenuhi persyaratan. Izin apotek ditempat tertentu diberikan oleh Menteri kepada APA.64

Berdasarkan PerMenKes RI No. 992/MenKes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek pada Bab IV Pasal 16, berikut syarat yang harus dipenuhi oleh suatu apotek :65

62 Ibid

63 Ibid, hal.36.

64 Ibid, hal.28.

65 Lydianita Oscar dan Mohammad Jauhar, Dasar-Dasar Manajemen Farmasi, (Jakarta:

Prestasi Pustakaraya, 2016) hal.13.

a. Untuk mendapatkan izin apotek, apoteker, baik sendiri maupun yang bekerja sama dengan Pemilik Sarana Apotek (PSA) yang telah memenuhi persyaratan harus siap dengan tempat (lokasi dan bangunan).

Perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan lainnya yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain.

b. Sarana apotek dapat didirikan dilokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan komoditi lainnya diluar sediaan farmasi.

c. Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya diluar sediaan farmasi.

KepMenKes No.1332 tahun 2002 Pasal 4 menyatakan bahwa “wewenang pemberian izin apotek dilimpahkan oleh Menteri kepada Dinas Kabupaten/Kota.”

Oleh karena itu, tata cara permohonan izin apotek tidak lagi didasarkan kepada PerMenKes No.922 tahun 1993 lagi, tetapi setelah disesuaikan dengan Pasal 7 KepMenKes No.1332 tahun 2002 tentang Perubahan atas PerMenKes No.992 tahun 1993.66

5. Tata Cara Pengelolaan Apotek

Pengelolaan apotek dapat dibedakan atas pengelolaan teknis farmasi dan pngelolaan non teknis farmasi. Berdasarkan Kepmenkes RI No.1332/Menkes/SK/X/2002 pengelolaan apotek meliputi hal-hal berikut :67

a. Pembuatan, pengelolaan, peracikan, pengubah bentuk, pencampuran, penyimpanan, serta penyerahan obat dan bahan obat.

b. Pengadaan, penyimpanan, penyaluran, dan penyerahan pembekalan farmasi lainnya

c. Pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi yang meliputi dua hal sebagai berikut :

1) Pelayanan informasi tentang obat dan perbekalan farmasi lainnya yang diberikan baik kepada dokter/tenaga kesehatan lainnya maupun kepada masyarakat

66 Satibi dan Muhammad Rifqi Rokhman dan Hardika Aditama, Manajemen Apotek:

Evolusi Kesehatan Melalui Saluran Cerna (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2016) hal.14.

67 Muhammad Firmansyah, Op.cit hal.27

2) Pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan, bahaya, serta mutu obat dan perbekalan farmasi lainnya.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengelolaan apotek, yaitu: 68 a. Apotek berkewajiban menyediakan, menyimpan serta

menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan keabsahannya terjamin dengan menggunakan sistem First In First Out (FIFO) dan First Expire First Out (FEFO).

b. Obat dan oerbekalan farmasi lainnya yang tidak dapat digunakan harus dimusnahkan dengan cara dibakar, ditanam, atau pemusnahannya ditetapkan dengan cara lain oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Sementara itu, pengelolaan non teknis farmasi meliputi semua kegiatan administrasi, keuangan, personalia dan kegiatan materil (arus barang).69

Pelayanan pada apotek memiliki beberapa cara, yaitu: 70

a. Apotik wajib dibuka untuk melayani masyarakat dari pukul 8.00-22.00.

b. Apotik wajib melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan.

Pelayanan resep sepenuhnya atas tanggung jawab apoteker pengelola apotik.

c. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi kepada kepentingan masyarakat.

Apoteker tidak dizinkan untuk mengganti obat generik yang ditulis di dalam resep dengan obat paten. Dalam hal pasien tidak mampu menulis obat yang ada di dalam resep maka apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat.

d. Apoteker wajib memberikan informasi :

1) Yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien.

2) Penggunaan obat secara tepat, aman dan rasional atas permintaan masyarakat.

e. Apabila apoteker menganggap bahwa di dalam resep ada kekeliruan atau penulisan resep yang tidak tepat, apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep. Bila dokter penulis resep tetap pada pendiriannya

68 Soerjono Seto, Manajemen Apoteker Untuk Pengelola Apotek, Farmasi Rumah Sakit, Pedagang Besar Farmasi, Industri Farmasi, (Surabaya: Airlangga University Press, 2002) hal.24.

69 Ibid.

70 Moh Anief, Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000) hal. 12.

maka dokter wajib membubuhkan tanda tangan yang lazin diatas resep atau menyatakan secara tertulis.

f. Salinan resep harus ditandatangani oleh apoteker.

g. Resep harus dirahasiakan dan disimpan diapotik dengan baik didalam jangka waktu 3 tahun. Resep atau salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter penulis resep atau yang merawat penderita, penderita yang bersangkutan, petugas kesehatan atau petugas lain yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan.

B. Tinjauan Umum Cacat Tersembunyi Pada Obat 1. Pengertian Cacat Tersembunyi

Terminologi cacat tersembunyi dapat dijumpai dalam Pasal 1504 sampai Pasal 1512 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Perkataan

“tersembunyi” ini harus diartikan bahwa “adanya cacat tersebut tidak mudah dapat dilihat oleh seseorang konsumen yang normal, bukan seorang konsumen yang terlampau teliti, sebab sangat mungkin sekali orang yang sangat teliti akan menemukan adanya cacat tersebut.”71

Pasal 1504 KUH Perdata menentukan bahwa “pelaku usaha/penjual selalu diharuskan untuk bertanggung jawab atas adanya cacat tersembunyi.” Mengenai masalah apakah pelaku usaha mengetahui atau tidak akan adanya cacat tersebut tidak menjadi persoalan. Baik dia mengetahui atau tidak, penjual/atau pelaku usaha harus menjamin atas segala cacat yang tersembunyi pada barang yang dijualnya. Yang dimaksud dengan cacat tersembunyi adalah “cacat yang

71 Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), hal. 76.

mengakibatkan kegunaan barang tidak sesuai dengan tujuan pemakaian dari yang semestinya.”72

Merujuk pada uraian diatas, dapat diketahui bahwa cacat tersembunyi adalah “suatu cacat yang terdapat pada barang yang sifatnya tidak mudah dilihat apabila tidak dicermati secara jeli dan teliti.” Menurut Yahya Harahap, “cacat tersembunyi ialah cacat yang mengakibatkan kegunaan barang tidak sesuai lagi dengan pemakaian yang semestinya.”73

Ada juga yang membagi pengertian cacat tersembunyi menjadi 2 bagian, yaitu:74

a. Cacat tersembunyi positif

Maksudnya adalah apabila barang cacat tersembunyi tersebut tidak diberitahukan oleh pihak penjual kepada pihak pembeli atau pihak pembeli sendiri tidak mengetahui dan/atau tidak melihat bahwa barang yang bersangkutan cacat, maka terhadap cacat tersebut pihak penjual berkewajiban untuk menanggungnya. Tentang cacat tersembunyi positif, lebih lanjut diatur dalam Pasal 1504 sampai Pasal 1510 KUH Perdata. Dalam hal ini, menurut Pasal 1504 KUH Perdata bila dikaitkan dengan Pasal 1506 KUH Perdata, dapat dikatakan bahwa pihak penjual harus bertanggung jawab apabila barang yang bersangkutan mengandung cacat tersembunyi, terlepas dari sepengetahuan dan/atau sepengelihatan pihak penjual kecuali jika dalam hal yang sedemikian telah meminta diperjanjikan bahwa ia tidak diwajibkan menanggung sesuatu apapun.

b. Cacat tersembunyi negatif

Apabila cacat terhadap suatu barang sebelumnyasudah diberitahukan oleh pihak penjual kepada pihak pembeli, dan dalam masalah ini pihak pembeli benar-benar sudah melihat adanya cacat terhadap barang tersebut, maka pihak pembeli sendiri yang akan menanggungnya.

Contoh obat dapat dikatakan bersifat sub-standar (mengandung cacat tersembunyi) misalnya, karena pada saat pendaftaran obat tersebut didaftarkan

72 Ibid, hal. 77.

73 Ibid, hal. 13.

74 Umbu Laiya Sobang W. K. A, “Tanggung Jawab Para Pihak dalam Perjanjian Jual Beli Meubel Antara UD. Kususma Jati Salatiga dengan Pembeli” Tesis Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro (Semarang) hal. 42) 2008.

tidak mengandung Bahan Kimia Obat (BKO), namun pada kenyataannya obat tradisional tersebut diedarkan dengan mengandung Bahan Kimia Obat (BKO), yaitu Piroxicam dan Phenilbutazol. Hal ini tentunya merupakan penyimpangan yang sifatnya tersembunyi (tidak dapat diketahui hanya dengan kasat mata belaka).75

Pada dasarnya obat tradisional bersifat terapi, bukan mengobati, namun agar obat tradisional cepat laku di pasaran dan diminati, maka ditambah Bahan Kimia Obat (BKO) tertentu supaya khasiatnya dapat dirasakan dengan cepat. Hal ini merupakan contoh obat yang mengandung cacat tersembunyi.

2. Pengertian Obat dan Penggolongan Obat a. Pengertian Obat

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 193/Kab/B.VII/71, yang dimaksud dengan obat adalah :

“suatu bahan atau campuran bahan untuk dipergunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah atau rohaniah pada manusia atau hewan, termasuk untuk memperelok tubuh atau bagian tubuh manusia.”

Obat dapat diartikan :

“sebagai suatu benda yang harus dimakan atau diminum ketika sakit atau suatu benda yang dapat menyembuhkan penyakit.76 Definisi Obat ialah suatu zat yang digunakan untuk diagnosa pengobatan, melunakkan,

75 Hasil wawancara dengan Sahat, Pegawai Seksi Penyidikan BPOM Medan pada tanggal 27 September 2018 pukul 10.30.

76 Syamsuni, Farmestika dan Hitungan Farmasi (Jakarta: EGC, 2006) hal.47.

menyembuhkan atau mencegah penyakit pada manusia atau pada hewan.”77

Selain zat yang didiagnosa, obat juga dapat diartikan sebagai “semua zat baik kimiawi, hewani, maupun nabati yang dalam dosis layak dapat menyembuhkan, meringankan atau mencegah penyakit begitu juga gejalanya.”78

Meskipun obat dianggap dapat menyembuhkan tetapi banyak kejadian bahwa seseorang menderita akibar kerecunan obat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa obat dapat bersifat sebagai obat dan dapat bersifat sebagai racun.

Obat itu akan bersifat sebagai obat apabila tepat digunakan dalam pengobatan suatu penyakit dengan dosis dan waktu yang tepat. Jadi bila digunakan salah dalam pengobatan atau dengan keliwat dosis akan menimbulkan keracunan. Bila dosisnya lebih kecil kita tidak akan memperoleh penyembuhan. 79

b. Penggolongan Obat

Ada beragam kriteria untuk membedakan penggolongan obat yang digolongkan berdasarkan khasiat dan penggunaannya, undang-undang dan juga berdasarkan jenisnya. Penggolongan obat sendiri dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusinya.

Penggolongan obat dapat ditemui dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 917 Tahun 1933, yaitu:

77 Moh Anief, Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007) hal. 3.

78 Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja, Obat-obat Penting Kasiat, Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kelompok Kompas-Gramedia, 2007) hal.

2. 79

Moh Anief, Prinsip Umum dan Dasar Farmakologi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000) hal. 3.

1) Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang dijual bebas dipasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam.

2) Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenenarnya termasuk obat keras namun masih dapat dijual bebas tanpa resep dokter dan disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah berwarna biru dengan garis tepi berwarna hitam.

3) Obat Keras dan Psikotropika

Obat keras adlah obat yang hanya dapat dibeli di apotek engan resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf k dan lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam.

4) Obat Narkotika

Obat narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis atau semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan.

Penggolongan obat berdasarkan khasiat dan penggunaannya, yaitu :80

1) Adstringen

Obat yang menciutkan selaput lendir, misalnya :

a) Pada selaput lendir usus, sebagai obat anti diarrhae.

b) Pada kulit sebagai penyembuhan luka.

2) Adsorben

Zat inert yang secara kimia mampu menyerap gas, toksin, dan bakteri.

Penyerapan tidak spesifik sehingga zat makanan, enzym dan sebagainya dapay ikut terserap.

3) Analepik

Obat yang menstimulasi terhadap susunan syaraf sentral, yang terdiri dari sumsum tulang belakang (spinal cordis)

4) Analgetik-Antipiretik

Analegitik yaitu obat yang mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran dan Antipiretik yaitu obat yang menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Jadi analgetik-antipiretik adalah obat yang mengurangi rasa nyeri dan serentak menurunkan suhu tubuh yang tinggi.

5) Analgetik-Narkotik

Obat ini termasuk golongan obat narkotik (obat bius). Memiliki daya penghalang rasa nyeri yang besar sekali dengan titik tangkap yang terletak dipusat. Menilbulkan perasaan nyaman (euforia) serta menimbulkan kantuk dan tidur (mengurangi kesadaran), serta berefek adiksi (ketagihan)

80 Moh Anief, Penggolongan Obat Berdasarkan Khasiat dan Penggunaan, (Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 1996) hal. 8.

6) Anestetik

Obat yang menyebabkan hilangnya perasaan, Anastesia, artinya hilangnya perasaan. Ada 2 macam anestesia yaitu :

a) Anestesi umum, yang membuat hilangnya kesadaran total atau segala modalitas tubuh.

b) Anestesi lokal, yang hanya mengakibatkan hilangnya sensibilitas setempat, tanpa hilangnya kesadaran

7) Antasid

Obat yang menaikkan pH cairan lambung, atau yang disebut pula zat pengikat asam untuk mengikat asam lambung yag berlebihan eperti pada peptic ulcer (luka pada lambung dan usus).

8) Anthelmintik

Obat yang membasmi atau membunuh cacing yang menjadi parasit pada lambung dan usus.

9) Antimuba

Obat yang digunakan untuk membunuh atau membasmi amuba yang menyebabkan penyakit dysentri adalah penyakit infeksi usus besar yang mengakibatkan radang usus dengan ciri mulas dan berdarah saat buang air besar.

10) Antiasma

Obat yang digunakan untuk mengobati penyakit asma.

11) Antibakteri

Obat yang membunuh bakteri yang terdiri dari bahan kimia yang dibuat secara sintesis misalnya Sulfa dan disebut pula sebagai khemoterapetik.

12) Antibiotik

Obat yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat menghambat pertumbuhan atau dapat membunuh mikroorganisme lain.

13) Antidiabetik

Obat yang digunakan untuk menurunkan kadar gula darah pada penderita diabetes.

14) Antidot

Obat yang digunakan untuk menghilangkan adanya suatu keracunan (penawar racun).

15) Antifungsi

Obat yang digunakan untuk membunuh atau menghilangkan jamur yang biasanya dapat menginfeksi kulit bagian luar, selaput lendir mulut, usu dan juga pada vagina.

16) Anti-flatulen

Obat yang digunakan untuk menghilangkan rasa gembung perut yang disebabkan pengumpulan gas didalam lambung atau usus.

17) Antiflogistik

Obat yang dapat mencegah dan melawan terjadinya peradangan atau dapat disebut sebagai anti inflamasi.

18) Antifilbrian

Obat yang digunakan untuk menghilangkan adanya gangguan pada ritma jantung serta frekuensinya. Dimana biasanya jantung berdenyut sebanyak 72 denyutan permenit.

19) Antihemoragik

Obat yang digunakan untuk mencegah dan menghentikan pendarahan atau

Obat yang digunakan untuk mencegah dan menghentikan pendarahan atau