• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengawasan Pemerintah dalam Penjualan Obat yang Mengandung

BAB IV TANGGUNG JAWAB HUKUM PELAKU USAHA APOTEK

3. Pengawasan Pemerintah dalam Penjualan Obat yang Mengandung

memberikan surat penarikan produk tersebut maka apotek akan mengikuti sesuai perintah. Obat yang disebutkan agar dikembalikan kepada distributor.”96

Jadi dengan pengawasan pemerintah dan juga sikap korperatif pihak apotek, setiap obat yang terbukti mengandung cacat tersembunyi dapat diminimalisir atau diberantas agar tidak merugikan konsumen.

3. Pengawasan Pemerintah dalam Penjualan Obat yang Mengandung Cacat tersembunyi.

Adanya pengawasan BPOM yang telah memaksimalkan agar tidak terjadinya hal hal yang merugikan konsumen obat termasuk cacat tersembunyi pada obat. Pengawasan BPOM juga dilakukan dengan melaksanakan pengujian dan penilaian mutu produk terapetik, narkotika, psikotropika zat adiktif, obat tradisional, kosmetik produk komplemen, pangan dan bahan berbahaya secara mikrobiologi dan pengawasan setempat.97

95 Hasil wawancara dengan Sahat, Pegawai Seksi Penyidikan BPOM Medan tanggal 27 September 2018 pukul 10.30 WIB.

96 Hasil wawancara dengan Syamsul, Penanggungjawab Apotek Ayah Bunda Binjai pada tanggal 11 Agustus 2018.

97 Hasil wawancara dengan Sahat, Pegawai Seksi Penyidikan BPOM Medan tanggal 27 September 2018 pukul 10.30 WIB.

Meskipun telah dilakukan pengawasan yang ketat oleh BPOM tetapi masih terjadi kasus dimana suatu produk obat mengandung bahan berbahaya ataupun bahan yang tidak sesuai dengan bahan yang tercantum. Seperti kasus Suplemen Viostin DS, Suplemen Enzim Pencernaan ( Enziplex, Enzifort dan lainnya), Vaksin dan juga kasus lainnya.98

Disampaikan oleh Sahat bahwa “kemungkinan kesalahan masih dapat terjadi, salah satu faktor hal ini terjadi karena pada saat suatu pabrik obat mendaftarkan produknya menggunakan bahan-bahan yang berkualitas baik.

Tetapi saat ditengah jalan bahan baku yang disediakan oleh pedagang besar farmasi tidak dapat memenuhi permintaan maka pabrik akan mencari bahan baku ditempat lain. Bahan baku baru inilah yang tidak didaftarkan kembali ke BPOM sehingga tidak dapat diketahui apakah bahan tersebut layak digunakan atau tidak.”99

Terkait dengan pengawasan pemerintah dalam penjulan obat yang mengandung cacat tersembunyi selain BPOM juga didukung dengan adanya lembaga-lembaga yang dibentuk pemeritah, beberapa diantaranya yaitu :

a. Kementrian Perdagangan

Berkaitan dengan pengawasan penjualan obat, Kementrian Perdagangan (Kemendag) melalui Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan

98 Hasil Wawancara dengan Sahat, Pegawai Seksi Penyidikan BPOM Medan pada tanggal 27 September 2018.

99 Hasil Wawancara dengan Sahat, Pegawai Seksi Penyidikan BPOM Medan pada tanggal 27 September 2018.

Konsumen bertugas mengkoordinasikan pelaksanaan perlindungan konsumen bersama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan, berserta Kementrian terkait lainnya berdasarkan Undang-Undang tentang perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Kemendag juga bertugas mengawasi produk non pangan, sementara BPOM mengawasi produk obat dan pangan olahan.

Tugas pembinaan dan pengawasan perlindungan konsumen dilaksanakan oleh menteri teknisi terkait, sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing dan dalam melaksanakan tugas-tugasnya tersebut menteri teknis terkait dikoordinasikan oleh menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Angka 13 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.100

Sebagai badan yang memiliki peranan yang sangat stategis dalam rangka upaya perlindungan konsumen, Departemen Perdagangan memiliki badan khusus yaitu Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen yang membawahi beberapa Sub Direktorat (SubDit) lainnya, yaitu :101

1) Subdit Bimbingan Kelembagaan 2) Subdit Bimbingan Konsumen 3) Subdit Bimbingan Pelaku Usaha 4) Subdit Pengaduan Konsumen 5) Subdit Kerjasama

Penetapan tugas masing-masing Subdit telah mengakomodasi peran dan tugas departemen perdagangan sebagai regulator, fungsi bimbingan dan advokasi

100 Dedi Harianto, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Tehadap Iklan yang Menyesatkan, cet.1,(Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) hal 147.

101 Janizar dkk v. PT Kentanik Super Internasional, Putusan M.A. No.3138/K/Pdt/1994., perkara yang sama pernah diperiksa oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur No.

237/Pdt/G/1992/PN.Jkt. Tanggal 6 April 1993 dan Pengadilan Tinggi Jakarta No.

496/Pdt/G/1993/PT.DKI. tanggal 7 Februari 1994.

konsumen, penyeimbang kedudukan/kepentingan konsumen dan pelaku usaha, fungsi kordinasi antar lembaga, sehingga fungsi pembinaan dan pengawasan dapat berjalan baik.102

b. Kementrian Kesehatan

Kementerian Kesehatan RI mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

Dalam melaksanakan tugas, Kementerian Kesehatan RI menyelenggarakan fungsi:

1) Perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis di bidang kesehatan

2) Pelaksanaan urusan pemerintahan sesuai dengan bidang tugasnya 3) Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung

jawabnya

4) Pengawasan atas pelaksanaan tugasnya

5) Penyampaian laporan hasil evaluasi, saran dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada Presiden

Kementrian kesehatan memiliki peran penting dalam pengawasan penjualan obat yang dilakukan di apotek. Salah satu wujud perlindungan konsumen yang diberikan oleh Kementrian Kesehatan terhadap penjualan obat adalah dengan adanya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Kefarmasian di Apotek. Pengawasan penjualan obat oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Kefarmasian di Apotek, yaitu “Apotek wajib mengirimkan laporan Pelayanan Kefarmasian secara berjenjang kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas

102 Ibid, hal.148.

Kesehatan Provinsi dan Kementrian Kesehatan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”

c. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 59 tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat menyebutkan bahwa

“Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah “Lembaga Non Pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.”

LPKSM merupakan lembaga perlindungan konsumen yang memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.103

Dalam rumusan Pasal 44 angka (3), dikatakan bahwa LPKSM mempunyai tugas yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:104

1) Menyebabkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/jasa.

2) Memberikan nasihat kepada konsumen yang membutuhkannya.

3) Bekerjasama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen.

4) Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen.

5) Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.

103 Gunawan Widjaja dan A. Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2000) hal. 94

104 Ibid

Contoh LPKSM yang ada di Indonesia saat ini yaitu : 1. Yayasan Konsumen Surabaya-Jawa Timur (YKS-Jatim)

2. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat SABDA NUSANTARA

3. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat AL-Badar Perjuangan

B. Hal - Hal yang Termasuk dalam Cacat Tersembunyi dan Kerugian yang Ditimbulkan Oleh Cacat Tersembunyi Pada Obat Bagi Konsumen dan Pelaku Usaha

1. Pembagian Cacat Tersembunyi

Pengertian cacat tersembunyi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) pengertian, yaitu: 105

a. Cacat tersembunyi positif yaitu apabila cacat barang itu tidak diberitahukan oleh penjual kepada pembeli atau pembeli sendiri tidak melihat atau mengetahui bahwa barang tersebut cacat, maka terhadap cacat tersebut penjual berkewajiban untuk menanggungnya. Tentang cacat tersembunyi positif, lebih lanjut diatur dalam Pasal 1504 sampai dengan Pasal 1510 KUHPerdata. Dalam hal ini menu rut Pasal 1504 KUHPerdata bila dikaitkan dengan Pasal 1506 KUHPerdata, dapat dikatakan bahwa penjual harus bertanggungjawab apabila barang tersebut mengandung cacat tersembunyi, terlepas dari penjual mengetahui adanya cacat atau tidak melihat, kecuali jika dalam hal yang sedemikian telah meminta diperjanjiakan bahwa ia tidak diwajibkan menanggung sesuatu apapun.

b. Cacat tersembunyi negatif yaitu apabila cacat terhadap suatu barang sebelumnya sudah diberitahukan oleh penjual kepada pembeli, dan dalam masalah ini pembeli benar-benar sudah melihat adanya cacat terhadap barang tersebut, maka pembeli sendiri yang akan menanggungnya.

Dikenal tiga macam produk yang cacat yaitu :

105 Ibid

a. kesalahan produk, kesalahan produk ini dapat dibedakan atas dua bagian, yaitu :

1) kesalahan yang meliputi kegagalan proses produksi, pemasangan produk, kegagalan pada sarana inspeksi, apakah karena kelalaian manusia atau ketidakberesan pada mesin dan yang serupa dengan itu;

2) produk-produk yang telah sesuai dengan rancangan dan spesifikasi yang dimaksud oleh pembuat, namun terbukti tidak aman dalam pemakaian.

b. Cacat desain. Pada cacat desain ini cacat terjadi pada tingkat persiapan produk. Hal ini terdiri dari atas, desain, komposisi, atau kontruksi c. Informasi yang catat atau yang tidak memadai, informasi yang tidak

memadai ini berhubungan dengan pemasaran suatu produk, dan dimana keamanan suatu produk ditentukan oleh informasi yang diberikan kepada pemakai yang berupa pemberian label produk, cara penggunaan, peringatan atas risiko tertentu atau hal lainnya sehingga produsen pembuat dan supplier dapat memberikan jaminan bahwa produk-produk mereka itu dapat dipergunakan sebagaimana dimaksud.

Dengan demikian produsen berkewajiban untuk memperhatikan keamanan produknya.106

Dijelaskan oleh Sahat bahwa “cacat tersembunyi ada beberapa macam.

Contoh yang sering terjadi misalnya dalam suatu obat seharusnya komposisi obat di dalam obat tersebut mengandung 500mg amoxicillin, namun jika pada

106 E. Saefullah, Tanggung Jawab Produen (Product Liability) dalam Era Perdagangan Bebas (Hukum Perlindungan Konsumen), (Bandung: Mandar Maju, 2000) hal. 42

kenyataannya hanya 400mg, maka dapat dikategorikan sebagai obat yang bersifat sub-standar (mengandung cacat tersembunyi).”107

2. Kerugian yang Ditimbulkan Cacat Tersebunyi Pada Obat

Secara umum kerugian diartikan sebagai kondisi dimana seseorang tidak mendapatkan keuntungan dari apa yang telah mereka keluarkan. Kerugian dalam lingkup hukum dapat dipisahkan menjadi dua klasifikasi, yakni “kerugian material dan kerugian immaterial.” Kerugian material, yaitu “kerugian yang diderita oleh pemohon, yaitu kerugian atas manfaat yang kemungkinan akan diterima pemohon dikemudian hari atau kerugian dari kehilangan keuntungan yang mungkin diterima oleh pemohon dikemudian hari.” Kerugian immaterial merupakan “kerugian yang tidak dapat dinilai dalam hukum yang pasti.”108

Kerugian dalam Hukum Perdata dapat bersumber dari wanprestasi dan juga perbuatan melawan hukum. Kerugian karena wanprestasi :

“adalah peristiwa dimana salah satu pihak tidak melaksanakan prestasinya dengan baik, tidak memenuhi prestasinya sama sekali, memenuhi prestasi tapi tidak sebagaimana semestinya, memenuhi prestasi tapi tidak tepat waktu, atau memenuhi prestasi tapi melakukan yang dilarang dalam perjanjian.”109

Kerugian karena perbuatan melawan hukum tercantum dalam Pasal 1365 KUHPerdata, yang mengatur bahwa “tiap perbuatan yang melanggar hukum

107 Hasil wawancara dengan Sahat, Pegawai Seksi Penyidikan BPOM Medan pada tanggal 27 September 2018.

108 Andreta Tumbelaka, Wanprestasi Dalam Jual Beli Barang Yang Mengalami Cacat Tersembunyi, (Fakultas Hukum Unsrat: Vol IV no.5 hal.7) Juni 2016.

109 Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, (Yogyakarta: Sinar Grafika, 2011) hal.181.

dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”110

a. Kerugian Bagi Konsumen

Kerugian yang timbul akibat adanya jual beli barang yang mengalami cacat tersembunyi lebih besar dirasakan oleh pembeli. Kerugian barang yang cacat ini bagi pembeli secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :111

1) Kerugian yang menimpa diri yaitu kerugian kesehatan dan keselamatan.

Kerugian yang dapat berakibat bagi kesehatan dan keselamatan, yaitu pembeli terancam atas kesehatannya akibat dari barang yang mengalami cacat, contohnya : barang mobil yang cacat saat digunakan tiba-tiba terbakar maka pembeli berakibat mendapat luka-luka bahkan nyawanya terancam akibat dari barang yang cacat tersebut. Dalam cacat tersembunyi pada obat dapat menimbulkan kerugian yang seharusnya bertujuan untuk mencegah atau menyembuhkan penyakit malah akan membahayakan kesehatan dan keselamatan konsumen jika adanya cacat tersembunyi karena memungkinkan salahnya penggunaan dan tujuan obat ataupun menjadi masuknya zat-zat berbahaya kedalam tubuh konsumen.

2) Kerugian harta benda yaitu finansial/ekonomi. Dari segi kerugian menimpa harta yaitu kerugian finansial/ekonomi, pembeli dirugikan karena telah mengeluarkan uang untuk membeli barang yang mengalami cacat yang sebenarnya dikirakan atau dimaksudkan barang tersebut akan

110 Yusuf Shofie, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal.52.

111 Ibid, hal.69.

bermanfaat bagi pembeli namun nyatanya barang tersebut tidak dapat digunakan sesuai dengan manfaat dan tujuan sebenarnya ataupun kerugian yang terjadi akibat perbaikan barang yang cacat tersebut.

Bentuk kerugian konsumen terkait obat yang sub-standar (mengandung cacat tersembunyi) juga dapat berupa pengkonsumsian atas obat tersebut bisa menyebabkan pemunculan penyakit baru yang sebelumnya tidak ada, karena obat yang mengandung cacat tersembunyi pada dasarnya tidak sesuai dengan mutu, komposisi dan mutu sebagaimana semestinya.

Disampaikan oleh Syamsul, penanggung jawab apotik bahwa bentuk kerugian konsumen atas obat yang mengandung cacat tersembunyi adalah:112

1) Bagi pasien yang memerlukan pengobatan jangka panjang, obat yang mengandung cacat tersembunyi itu bisa mengakibatkan sasaran pengobatan tidak tercapai. Misalnya saja, suatu obat dalam data statistik disebutkan bisa mengurangi serangan asma sampai 25 (dua puluh lima) persen atau mengurangi kemungkinan asma hingga 30 (tiga puluh) persen. Namun, karena adanya penggunaan obat yang mengandung cacat tersembunyi itu, persentase tersebut tidak tercapai.

2) Dalam hal antibiotik yang mengandung cacat tersembunyi, bisa mengakibatkan resistensi.

3) Obat yang mengandung cacat tersembunyi tersebut dapat pula menimbulkan penyakit lain pada pengguna, misalnya alergi.

4) Kerugian yang paling fatal dari obat yang mengandung cacat tersembunyi adalah dapat merenggut nyawa pengguna.

5) Dapat pula menyebabkan kerugian materi pada konsumen.

112 Hasil wawancara dengan Syamsul, Penanggungjawab Apotek Ayah Bunda Binjai pada tanggal 11 Agustus 2018.

b. Kerugian Bagi Pelaku Usaha

Kerugian yang dapat terjadi akibat adanya cacat tersembunyi bagi pelaku usaha ialah “kerugian finansial/ekonomi dan juga kerugian atas hilangnya kepercayaan pembeli terhadap barang yang ditawarkannya.”

Kerugian finansial/ekonomi dimana penjual harus bertanggungjawab kepada pembeli atas penjualan barang yang mengalami cacat tersembunyi dengan cara memberikan ganti rugi terhadap biaya-biaya yang telah dikeluarkan pembeli sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Kerugian atas hilangnya kepercayaan pembeli itu berdampak buruk karena akan menurunkan angka penjualan yang berarti berkurangnya pemdapatan atau keuntungan pelaku usaha.113

Sanksi yang terjadi pada pelaku usaha atas penjualan barang yang cacat tersembunyi dapat berupa sanksi pidana yaitu pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak 2 (dua) miliyar rupiah sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 6 ayat (1) UUPK.

C. Bentuk Pertanggungjawaban Apotek Ayah Bunda Binjai Terhadap Obat yang Termasuk Dalam Cacat Tersembunyi Menurut Hukum Konsumen

Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut: 114

a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability).

113 Ibid, hal.82.

114 Rudolf S. Mamengko, Produk liability dan Profesional Liability di Indonesia, ( Jurnal Ilmu Hukum Vol.III, Agustus 2016) hal. 2.

b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability principle).

c. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption nonliability principle)

d. Prinsip tanggung jawab mutlak ( strict liability)

e. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan ( limitation of liability principle)

Prinsip tanggung jawab mutlak dalam konteks hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk menjerat pelaku usaha, khususnya produsen yang produknya merugikan konsumen, azas tanggung jawab produk (Product Liability) ini didefenisikan bahwa produsen wajib bertangung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya. Pada prakteknya tuntutan atas dasar product liability ini dapat didasarkan pada tiga hal:115

a. Melanggar jaminan (breach of warranty), misalnya khasiat/cita rasa tidak sesuai dengan yang tertera pada kemasan produk. Pelanggaran jaminan yang berkaitan dengan jaminan dalam konteks barang yang dihasilkan atau dijual oleh produsen/pelaku usaha tidak mengandung cacat. Pengertian cacat bisa terjadi dalam konstruksi barang (construction defect), desain (design defect), dan pelebelan ( lebeling defect).

b. Ada unsur kelalaian (negligence), yaitu produsen lalai memenuhi standart pembuatan produk yang baik. Kelalaian dapat dinyatakan terjadi bila pelaku usaha / produsen yang dituntut gagal membuktikan bahwa ia telah berhati-hati dalam membuat, menyimpan, mengawasi, memperbaiki, memasang label atau mendistribusikan suatu barang.

c. Menerapkan asturan tentang tanggung jawab mutlak (strict liability).

Ada tiga hal yang berhubungan dengan tanggung jawab produsen yaitu berdaya saing tinggi, barang yang makin bermutu dan bernilai tambah yang tinggi. Ketiga hal ini berkaitan dengan masalah tanggung jawaban produsen, karena adanya kesadaran dari para produsen terhadap tanggung jawabnya secara

115 Ibid, hal. 4.

hukum akan berakibat pada adanya sikap penuhi kehati-hatian (precision), baik dalam menjaga kualitas produk, penggunaan bahan, maupun dalam kehati-hatian kerja. Tidak adanya atau kurangnya kesadaran akan tanggung jawabnya sebagai produsen akan berakibat fatal dan menghadapi resiko bagi kelangsungan hidup/kredibilitas usahanya.116

Berkenaan dengan masalah cacat/rusak (defect) dalam pengertian produk yang cacat/rusak (defective product) yang menyebabkan produsen harus bertanggung jawab, dikenal tiga macam produk yang cacat yaitu kesalahan produk, kesalah produk ini dapat dibedakan atas dua bagian, yaitu :

d. kesalahan yang meliputi kegagalan proses produksi, pemasangan produk, kegagalan pada sarana inspeksi, apakah karena kelalaian manusia atau ketidakberesan pada mesin dan yang serupa dengan itu;

e. produk-produk yang telah sesuai dengan rancangan dan spesifikasi yang dimaksud oleh pembuat, namun terbukti tidak aman dalam pemakaian.

Cacat desain. Pada cacat desain ini cacat terjadi pada tingkat persiapan produk. Hal ini terdiri dari atas, desain, komposisi, atau kontruksi, Informasi yang catat atau yang tidak memadai, informasi yang tidak memadai ini berhubungan dengan pemasaran suatu produk, dan dimana keamanan suatu produk ditentukan oleh informasi yang diberikan kepada pemakai yang berupa pemberian label produk, cara penggunaan, peringatan atas risiko tertentu atau hal lainnya sehingga produsen pembuat dan supplier dapat memberikan jaminan bahwa produk-produk mereka itu dapat dipergunakan sebagaimana dimaksud.

116 E. Saefullah, Op.cit, hal 42.

Dengan demikian produsen berkewajiban untuk memperhatikan keamanan produknya.117

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu Pasal 1504 KUH Perdata menentukan bahwa pelaku usaha/penjual selalu diharuskan untuk bertanggung jawab atas adanya cacat tersembunyi.

Pelaku usaha harus menjamin barang terhadap cacat yang tersembunyi, meskipun ia sendiri tidak mengetahui adanya cacat itu. (Pasal 1506 KUH Perdata).118

Terhadap adanya cacat-cacat yang tersembunyi pada barang yang dibeli, konsumen dapat mengajukan tuntutan atau aksi pembatalan jual beli, dengan ketentuan tersebut dimajukan dalam waktu singkat, dengan perincian sebagaimana yang ditentukan Pasal 1508 KUH Perdata :

a. Kalau cacat tersebut dari semula diketahui oleh pihak pelaku usaha, maka pelaku usaha wajib mengembalikan harga penjualan kepada konsumen dan ditambah dengan pembayaran ganti rugi yang terdiri dari ongkos, kerugian dan bunga;

b. Kalau cacat ini benar-benar memang tidak diketahui oleh pelaku usaha, maka pelaku usaha hanya berkewajiban mengembalikan harga penjualan serta biaya-biaya (ongkos) yang dikeluarkan pembeli waktu pembelian dan penyerahan barang;

c. Kalau barang yang dibeli musnah sebagai akibat yang ditimbulkan oleh cacat yang tersembunyi, maka pelaku usaha tetap wajib mengembalikan harga penjualan kepada konsumen.

117 Liya Sukma, Pertanggung Jawaban Produk ( Product liability) Sebagai Salah Satu Alternatif Perlindungan Konsumen, (Ilmu Hukum, May 2017) hal.37.

118 Subekti, Ibid, hal.16..

Hal tersebut menunjukkan bahwa menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, obat yang mengandung cacat tersembunyi merupakan tanggung jawab pelaku usaha.

Selanjutnya, dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan kewajiban pelaku usaha menyangkut tanggung jawab pelaku usaha Apotek berkaitan dengan obat yang mengandung cacat tersembunyi adalah “pelaku usaha Apotek berkewajiban memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi obat serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, kemudian pelaku usaha Apotek berkewajiban menjamin mutu obat yang diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu obat yang berlaku, serta berkewajiban memberi kompensasi, ganti rugi, dan/ atau penggantian bila obat yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai yang diperjanjikan.”

Dalam Pasal 8 ayat 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mengatur bahwa “pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap”.

Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa “tanggung jawab pelaku usaha meliputi tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan, tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran, dan tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen”.

Berdasarkan hal ini, dengan adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini

berarti tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen. Lebih lanjut dalam Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa “ganti rugi yang diberikan dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenisnya atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan tertentu”. Waktu pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi sesuai Pasal 19 ayat 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen119.

Secara umum, lingkup tanggung jawab pembayaran ganti rugi yang dialami konsumen sebagai akibat penggunaan produk, baik yang berupa kerugan materi, fisik, maupun jiwa, dapat didasarkan pada beberapa ketentuan yang secara garis besarnya hanya dua kategori, yaitu tuntutan ganti kerugian berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian yang berdasarkan perbuatan melanggar hukum, yaitu120:

a. Tuntuan berdasarkan wanprestasi

Apabila tuntutan ganti kerugian berdasarkan wanprestasi, maka terlebih dahulu tergugat dengan penggugat terikat suatu perjanjan.

Ganti kerugian didasarkan pada tidak terpenuhinya prestasi, baik secara keseluruhan ataupun sebagian. Dalam tanggung jawab berdasarkan wanprestasi, kewajiban membayar ganti kerugian tidak lain daripada akibat penerapan klausula dalam perjanjian, yang merupakan ketentuan hukum yang oleh kedua belah pihak secara sukarela tunduk berdasarkan

119 Ahmadi Miru dan S. Yono, op.cit., hal. 126-127

120 Ibid., hal. 127-143

perjanjiannya. Dengan demikian, bukan undang-undang yang menentukan apakah harus dibayar, melainkan kedua belah pihak yang menentukan syarat-syaratnya serta besarnya ganti kerugian yang harus

perjanjiannya. Dengan demikian, bukan undang-undang yang menentukan apakah harus dibayar, melainkan kedua belah pihak yang menentukan syarat-syaratnya serta besarnya ganti kerugian yang harus