• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berbagai Hambatan Yang Dihadapi Buruh Migran untuk Melakukan Akses Terhadap Keadilan adalah Hal Umum Terjadi

8.A Rangkuman Dari Temuan Umum

7. Berbagai Hambatan Yang Dihadapi Buruh Migran untuk Melakukan Akses Terhadap Keadilan adalah Hal Umum Terjadi

pada Seluruh Mekanisme

Menurut para ahli, terbatasnya kekuasaan buruh migran serta rendahnya tingkat pendidikan, modal, dan kepercayaan diri untuk mengangkat kasus, memungkinkan PPTKIS, perusahaan asuransi dan pihak-pihak lainnya mengambil keuntungan secara tidak adil dan menghindari tanggungjawab atas kerugian yang mereka memiliki kontribusi atasnya, atau dari kegagalan mereka untuk melindungi buruh migran secara memadai. Para buruh migran juga mendukung pandangan ini.

Pada seluruh mekanisme yang ada, studi ini menemukan bahwa sejumlah hambatan struktural utama dapat menghalangi buruh migran untuk memperoleh ganti rugi yang memadai secara efektif – jika ada:

A) Mekanisme Ganti Rugi, PPTKIS, Perusahaan Asuransi dan Instansi Pemerintah Semuanya Terpusat di Jakarta – Jauh Dari Sebagian Besar Tempat Tinggal Buruh Migran: Karena semua PPTKIS tujuan Timur Tengah, konsorsium asuransi, dan departemen pemerintah semuanya berkantor pusat di Jakarta, buruh migran harus selalu pergi ke Jakarta untuk melakukan negosiasi dengan PPTKIS maupun perusahaan asuransi atau untuk mengajukan

klaim. Pusat Krisis BNP2TKI saat ini juga terletak di Jakarta, dan meskipun parapemerintah daerah kemungkinan dapat menyelesaikan sengketa secara lebih informal, hal ini praktis tidak mungkin dilakukan jika PPTKIS tidak memiliki cabang di propinsi, sebagaimana halnya dengan PPTKIS untuk tujuan Timur Tengah. Perjalanan ke Jakarta memerlukan biaya yang mahal, menakutkan, menghabiskan banyak waktu, dan melelahkan bagi sebagian besar buruh migran.

B) Semua Mekanisme Memiliki Persyaratan Dokumentasi Yang Sulit Dipenuhi oleh Buruh Migran: Banyak buruh migran yang berada dalam posisi tidak pernah menerima seluruh kontrak standar dan dokumen lainnya yang diperlukan untuk mengajukan klaim, atau dokumen mereka dipegang oleh PPTKIS atau majikan dan dokumen tersebut tidak dikembalikan. Sulit sekali untuk mendapatkan salinan pengganti dokumen penting seperti kartu asuransi atau untuk memperoleh informasi yang diperlukan dari PPTKIS. Selain itu, para buruh migran seringkali tidak dapat memberikan bukti yang mendukung klaim mereka karena ketika mereka berada di luar negeri mereka tidak tahu persyaratan apa yang diperlukan, atau mereka tidak dapat memperoleh bukti tersebut (misalnya laporan penerimaan gaji). Bukti surat keterangan dari kedutaan sulit diperoleh ketika berada di luar negeri dan seringkali tindak mencukupi untuk mendukung klaim buruh migran.

C) Permasalahan Yang Dihadapi Buruh Migran Tidak Diperhatikan Secara Serius oleh Pemerintah, PPTKIS dan Perusahaan Asuransi: Buruh migran dan organisasi masyarakat sipil meyakini bahwa bagi banyak instansi pemerintah dan PPTKIS serta perusahaan asuransi, perlindungan buruh migran berada pada prioritas yang jauh di bawah aspek perolehan keuntungan dari buruhan migran. Para buruh migran dan perwakilan mereka seringkali meyakini bahwa pejabat pemerintah tidak akan berpihak kepada buruh migran untuk menuntut pertanggungjawaban penuh dari PPTKIS atau perusahaan asuransi atas kerugian yang dialami buruh migran. Kondisi ini membuat buruh migran enggan untuk mengajukan klaim dan untuk menentang keputusan yang mereka yakini tidak adil.

D) Kurangnya Kesadaran dan Pemahaman Buruh Migran Atas Hak-Hak Hukum Mereka dan Pilihan Mekanisme Untuk Mengakses Keadilan: Meskipun pelatihan yang komprehensif disyaratkan berdasarkan undang-undang, buruh migran yang berpartisipasi dalam penelitian ini tidak menerima atau memahami informasi tentang hak-hak mereka, atau prosedur untuk mengakses keadilan di Indonesia maupun di luar negeri selain pergi ke kedutaan. Hanya ada sedikit

sumberdaya yang tersedia secara publik yang secara jelas menetapkan hak-hak hukum buruh migran berdasarkan undang-undang dan tipikal kontrak, atau prosedur dan dokumen yang diperlukan untuk mencari ganti rugi.

E) Sektor Swasta Kurang Cukup Diatur atau Dimintai Pertanggungjawaban Terhadap Perlindungan Buruh Migran: Peserta meyakini bahwa pengawasan terhadap PPTKIS masih lemah, dan bahkan penegakan aturannya lebih lemah lagi. Undang-undang tidak mencantum sanksi yang efektif atas perilaku buruk, atau kalaupun sanksi tersebut memang ada, sangksi tersebut jarang dikenakan. Fasilitasi atau bahkan pemberian ganti rugi buruh migran tanpa halangan bukan merupakan persyaratan penerbitan lisensi bagi PPTKIS. PPTKIS hanya memiliki insentif yang kecil untuk mematuhi kewajiban hukum mereka tentang informasi dan pelatihan, untuk terlibat secara konstruktif dalam proses penyelesaian sengketa, untuk membantu buruh migran dalam mendapatkan salinan dokumen kunci yang diperlukan bagi pengajuan klaim, atau untuk memastikan bahwa perantara lokal dimana mereka berurusan dengannya melakukan kesepakatan secara jujur dan adil dengan buruh migran.

F) Kurangnya Nasehat Hukum dan Bantuan Hukum Yang Esensial Bagi Buruh Migran Untuk Mengakses Mekanisme Ganti Rugi: Para pakar hukum menekankan pentingnya pendampingan hukum bagi buruh migran pada semua negosiasi dan mediasi serta ketika pergi ke kantor polisi untuk mengajukan pengaduan. Keberadaan Lembaga Bantuan Hukum di daerah pedesaan masih sangat sedikit, padahal sebagian besar buruh migran tinggal di sana. Kondisi ini juga menyulitkan upaya untuk menggunakan jasa pengacara swasta, baik karena sulitnya akses fisik maupun kurangnya sumberdaya finansial untuk membayar jasa konsultasi ahli. Sebagian besar buruh migran, jika mereka menerima bantuan hukum, mendapatkannya melalui advokat dari OMS kecil dan mantan buruh migran yang membantu buruh migran dalam mengumpulkan dokumen mereka, melakukan negosiasi dengan aktor swasta dan publik, menghubungkan buruh migran dengan layanan lain dan layanan penting lainnya. Namun, staf OMS yang berada di luar Jakarta masih jarang yang telah mendapatkan pelatihan hukum dan mereka tidak merasa mampu untuk melakukan litigasi kasus yang kompleks di pengadilan. Sangat sulit bagi buruh migran untuk memperoleh nasehat hukum ketika berada di luar negeri karena pengacara kedutaan tidak terbiasa dengan undang-undang di negara tujuan dan UU migrasi tenaga kerja Indonesia. Pengacara bantuan hukum Indonesia tidak dapat informasi tentang undang-undang di negara tujuan.

G) Terdapat Tumpang Tindih dan Kesenjangan dalam Perlindungan Buruh Migran: Penggambaran tanggungjawab yang tidak memadai dapat menghambat buruh migran untuk mengakses mekanisme ganti rugi karena buruh migran tidak tahu siapa yang bertanggungjawab atas fungsi tertentu dan karena individu pada instansi pemerintah dan lembaga swasta tidak merasa jelas akan tanggungjawab mereka. Hal ini benar adanya untuk menggambarkan fungsi Kementerian Tenaga Kerja dan BNP2TKI yang terkait dengan buruh migran, serta masing-masing lembaga di tingkat nasional, regional dan lokal. Untuk kerugian yang terkait dengan pekerjaan, tanggungjawab semestinya ditanggung bersama oleh pihak asuransi, PPTKIS, dan perantara di Indonesia, serta oleh PPTKIS mitra di luar negeri serta pihak majikan (termasuk pemerintah negara asal dan negara tujuan) – hal ini mengakibatkan tidak ada pihak yang mau bertanggungjawab dan menjamin ganti rugi.

H) Seluruh Mekanisme Memiliki Biaya Finansial, Waktu, dan Emosi: Buruh migran masih jarang yang memiliki pilihan mekanisme ganti rugi yang tepat waktu dan dapat diakses secara fisik. Jarak geografis dan birokrasi yang berlapis membuat penyelesaian sengketa administratif dan klaim asuransi di Jakarta menghabiskan banyak waktu dan menguras sumberdaya (termasuk rasa menakutkan dan melelahkan fikiran). Hal ini menimbulkan halangan yang kuat bagi banyak buruh migran yang sangat membutuhkan ganti rugi untuk membayar hutang, biaya kesehatan, dan pengeluaran lainnya. Proses pengadilan memerlukan biaya mahal, memakan waktu lama, dan melelahkan secara emosi.

I) Mekanisme Ganti Rugi Tergantung Korupsi atau Persepsi Korupsi: Hampir semua peserta yang berada di luar instansi pemerintah menyatakan ketidakpercayaannya yang mendalam terhadap sistem yang ada. Mereka menganggap sistem yang terkait dengan buruh migran terbebani dengan adanya kolusi antara PPTKIS, perusahaan asuransi dan pejabat pemerintah yang mengacaukan prosedur peraturan atau birokrasi yang sebenarnya ditujukan untuk melindungi buruh migran. PPTKIS juga mendukung pandangan ini dengan memberikan catatan bahwa semakin banyak aturan yang diperkenalkan, semakin banyak suap yang harus mereka bayar. Selain itu, para peserta beranggapan bahwa polisi, jaksa dan pengadilan lebih mengistimewakan kalangan yang kaya dan berkuasa, sehingga membuat mereka tidak mungkin untuk meminta pertanggungjawaban PPTKIS atas tindak pidana, dan hanya mengekspos buruh migran terhadap stres, beban dan kekecewaan yang lebih besar. Terlepas dari apakah tuduhan ini benar atau tidak, rasa skeptis yang telah tersebar luas membuat buruh migran cenderung untuk tidak mencari keadilan.

8.B Rekomendasi

Berdasarkan temuan ini, dan temuan spesifik pada masing-masing mekanisme (lihat Bagian 6, di atas), penyusun mengajukan rekomendasi berikut.

1. Menetapkan Hak Untuk Mengakses Keadilan bagi Buruh Migran