• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buruh Migran Melakukan Upaya Ganti Rugi Melalui Empat Mekanisme Kelembagaan: “Mediasi,” Asuransi, Pengadilan, dan

8.A Rangkuman Dari Temuan Umum

5. Buruh Migran Melakukan Upaya Ganti Rugi Melalui Empat Mekanisme Kelembagaan: “Mediasi,” Asuransi, Pengadilan, dan

Bantuan Konsuler

Kebanyakan buruh migran menangani perselisihan mereka secara informal dengan menelepon kawan, kerabat atau organisasi lokal setempat untuk melakukan negosiasi dengan PPTKIS atau perantara, daripada menggunakan mekanisme kelembagaan. Sejumlah kecil mereka yang mengangkat kasus mereka lebih lanjut memiliki empat mekanisme yang tersedia bagi mereka.

Mekanisme Lembaga Yang Bertanggungjawab Lokasi

Penyelesaian Sengketa Administratif, termasuk “Mediasi”

Kementerian Tenaga Kerja dan/atau BNP2TKI (tidak jelas)

Umumnya di Jakarta Migrant Worker Insurance

Program

Perusahaan asuransi sektor swasta, di bawah pengawasan Kementerian Tenaga Kerja

Umumnya di Jakarta Sistem Peradilan Kementerian Kehakiman Dari

kabupaten/ kota hingga nasional. Bantuan Kedutaan/Konsuler Kementerian Luar Negeri dan

Kementerian Tenaga Kerja (melalui atase ketenagakerjaan)

Negara Tujuan

Temuan yang spesifik terhadap masing-masing mekanisme mencakup hal-hal berikut ini:

Penyelesaian Sengketa Administratif/Mediasi

• Penyelesaian sengketa administratif (PSA)—penyelesaian sengketa buruh migran dengan bantuan dari pegawai negeri sipil—mencerminkan praktek yang umum dilakukan di Indonesia untuk mengupayakan intervensi dari pejabat berwenang setempat dalam menyelesaikan perselisihan yang bersifat pribadi yaitu merupakan mekanisme yang dikenal baik oleh buruh migran, organisasi masyarakat sipil, dan para pengacara.

• Buruh migran menggunakan metode ini dalam mengatasi perselisihan dengan PPTKIS dan perusahaan asuransi setelah negosiasi secara langsung berakhir dengan kegagalan. Layanan yang tersedia mencakup bantuan kepada buruh migran untuk mengurus dokumen dari PPTKIS dan kementerian pemerintah lainnya hingga upaya untuk menghubungi para pihak seperti PPTKIS dan perusahaan asuransi yang dilakukan atas nama buruh migran untuk memperoleh kompensasi. Tahapan akhir dari PSA adalah “mediasi” dimana instansi pemerintah yang berwenang mempertemukan para pihak yang bersengketa untuk melakukan negosiasi.

• Kementerian Tenaga Kerja bertangungjawab untuk menyelesaikan sengketa yang terkait dengan buruh migran, namun dalam prakteknya tanggungjawab tersebut berpindah ke BNP2TKI di Jakarta. Hal ini terutama terjadi untuk buruh migran tujuan Timur Tengah karena PPTKIS dan perusahaan asuransi berlokasi di Jakarta yang berada di luar jangkauan dinas tenaga kerja. UU

ini tidak mengatur secara jelas tanggungjawab masing-masing Kementerian Tenaga Kerja dan BNP2TKI dalam menyelesaikan sengketa.

• Prosedur mediasi tidak diatur secara hukum, sementara Pedoman Operasional Standar Prosedur BNP2TKI hanya memberikan panduan umum kepada staf dalam melakukan mediasi. Proses mediasi dilakukan secara ad hoc dan privat oleh BNP2TKI serta dinas tenaga kerja di tingkat nasional dan daerah. Mediator tidak terlatih; mereka hanya birokrat yang mempertemukan para pihak dalam proses perundingan dan bukan menjadi mediator dari suatu penyelesaian yang adil. Tidak ada cara lain untuk naik banding atas hasil dari suatu proses mediasi, kecuali dengan membawa masalah tersebut ke pengadilan.

• PPTKIS seringkali tidak menghadiri proses mediasi. Jika ada yang hadir, mereka umumnya diwakili oleh seorang advokat. Tidak ada mekanisme yang mewajibkan kehadiran atau menyediakan buruh migran dengan pengacara untuk mengimbangi kesenjangan kekuasaan yang ada.

Hasil dari proses mediasi beragam, mulai dari perolehan informasi dan salinan dokumen hingga ganti rugi untuk cedera, upah yang tidak dibayar atau kerugian lainnya (dimana seperti yang diakui oleh perwakilan buruh migran hanya sangat kecil nilainya).

Program Asuransi TKI

• Program Asuransi TKI merupakan skema yang secara unik dikelola oleh sektor swasta dimana setiap buruh migran harus memperoleh perlindungan asuransi sebagai syarat untuk melakukan migrasi ke luar negeri. Polis asuransi standar mencakup tanggungan kerugian yang dialami selama proses migrasi. • Program ini mencatat tingkat pembayaran yang rendah dan menuai banyak kritik dari berbagai pihak. Masyarakat sipil dan profesional dari kalangan hukum meragukan kemampuan program ini untuk memastikan kompensasi bagi buruh migran dan menganggap program tersebut bersifat memeras; Bank Dunia berpendapat bahwa peraturan yang terkait dengan program tersebut tidak efektif, sementara salah satu Komisi DPR RI menyarankan pembubaran konsorsium asuransi. Pada saat laporan ini ditulis, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Indonesia telah memerintahkan konsorsium tersebut untuk berhenti menjual asuransi kepada buruh migran karena adanya penggelapan dana oleh pialang konsorsium. Selain itu, Mahkamah Agung telah menyatakan bahwa peraturan pelaksanaan sudah tidak berlaku lagi. Pada bulan Juli 2013, Kementerian Tenaga Kerja telah menetapkan 3 konsorsium baru.

• Kesadaran dan pemahaman tentang cakupan pertanggungan asuransi bagi peserta dari buruh migran yang kembali ke tanah air sangat rendah. Sebagian besar tidak tahu jika mereka terlindungi oleh asuransi, sementara yang lain mempunyai pemahaman yang terbatas tentang cara kerja skema asuransi mereka. Menurut kelompok masysarakat sipil, hanya 2 dari 48 peserta menyatakan bahwa mereka mengetahui jika mereka memiliki asuransi dan kartu asuransi-yang mencerminkan tingkat kesadaran dan pemahaman secara umum di kalangan buruh migran.

• Meskipun partisipasi dalam program bersifat wajib dan preminya rendah, proses pengajuan klaim tidak mudah diakses buruh migran yang bergaji rendah dan hanya sedikit buruhburuh migran yang berhasil memperoleh klaim mereka. Konsorsium Proteksi menerima sekitar 15.000 pengajuan klaim setiap tahun dari kalangan buruh migran yang hanya merupakan bagian kecil dari jumlah orang yang melaporkan kasus mereka ketika di luar negeri. Separuh dari klaim tersebut ditolak. Klausul-klausul pengecualian dan berbagai pembatasan yang tidak wajar, contohnya batas waktu yang singkat untuk pengajuan klaim (12 bulan dari tanggal terjadinya kerugian, meskipun TKI masih berada di luar negeri) juga menghalangi akses.

• Peserta menganggap prosedur klaim sebagai proses yang menyusahkan dan tidak adil, terutama persyaratan dokumen seperti KPA asli dimana banyak buruh migran yang tidak pernah menerimanya atau hilang, sementara buruh migran sulit untuk memberikan bukti kehilangan tersebut. Pada kenyataannya, buruh migran hanya dapat mengajukan klaim asuransi ke kantor pusat Proteksi di Jakarta (tidak di kantor daerah atau luar negeri) sehingga merupakan hambatan bagi banyak buruh migran yang tinggal jauh dari ibukota. Kelompok masyarakat sipil juga mengeluhkan tentang prosedur yang sangat tidak transparan, dan bahwa informasi tentang status dari suatu klaim sangat sulit untuk diperoleh. Proteksi tidak memberikan alasan atas penolakan suatu pengajuan klaim, dan tidak memiliki prosedur naik banding ketika merasa keberatan atas keputusan yang terkait dengan klaim asuransi. • Hasil dari pengajuan klaim merupakan sumber frustasi bagi banyak kelompok

masyarakat sipil yang merasa bahwa proses pembuatan keputusannya seringkali dilakukan semena-mena. Mereka berpendapat bahwa sistem yang ada tidak mampu memberikan ganti rugi yang semestinya untuk serangkaian kerugian yang mereka alami. Perusahaan asuransi seringkali menerapkan praktek yang kontroversial yaitu pembayaran “ex gratia” dimana pengajuan klaim dinyatakan tidak lengkap namun memberikan jumlah “derma” yang kecil (diperbolehkan oleh hukum, namun dianggap perwakilan TKI sebagai

cara untuk mengangap kasus mereka selesai dan menghindari adanya naik banding).

• Keterlibatan pihak regulator asuransi (Direktorat Asuransi) dalam program tersebut terbatas, yang terutama berada di bawah pengawasan Kementerian Tenaga Kerja.

Bantuan Perwakilan RI di Luar Negeri

• Konsulat dan kedutaan besar mengemban kewajiban yang substansial sesuai penetapan hukum terhadap buruh migran di luar negeri. Kewajiban-kewajiban ini diperkuat oleh peraturan yang disahkan pada tahun 2013 yang mengatur tentang kewajiban untuk menyediakan bantuan hukum serta memantau PPTKIS dan majikan.

• Banyak buruh migran yang mengetahui tentang adanya akses untuk menghubungi Kedutaan Besar RI serta menerima bantuan, dan Kedubes RI di Timur Tengah menyediakan tempat penampungan untuk sejumlah besar TKI sementara mereka berupaya untuk menyelesaikan masalah mereka. Kelompok masyarakat sipil dan advokat juga mengetahui tentang layanan yang tersedia di kedutaan besar dan seringkali memanfaatkannya untuk memperoleh informasi tentang buruh migran atau kasus tertentu.

• Layanan yang tersedia di kedutaan besar secara teori dapat diakses dalam hal layanan yang diberikan tanpa biaya, terbuka untuk setiap warga dan tempat penampungan tersedia untuk buruh migran yang tidak dapat kembali ke tanah air. Namun demikian, layanan tersebut hanya terpusat di ibukota atau kota besar lainnya, sehingga praktis tidak dapat diakses buruh migran yang bekerja di luar wilayah tersebut. Buruh migran juga menyatakan bahwa mereka tidak akan dilayani jika tidak mempunyai dokumen identitas diri yang diperlukan karena seringkali dokumen tersebut ditahan oleh majikan pada saat mereka melarikan diri. Buruh migran yang memilih untuk tidak mendatangi kedutaan besar mengatakan bahwa hal ini karena mereka tidak mempunyai informasi tentang lokasi kedutaan besar, adanya persepsi negatif terhadap kedutaan besar, atau lokasi perwakilan RI tersebut terlalu jauh (untuk wilayah geografis yang luas seperti di Arab Saudi, layanan konsuler Indonesia hanya ada di Jeddah dan Riyadh).

• Prosedur yang digunakan oleh atase tenaga kerja atau staf diplomatik untuk menyelesaikan pengaduan bersifat informal, dan umumnya melibatkan proses negosiasi dengan pihak majikan dengan mewakili buruh migran. Nasehat hukum tidak diberikan kepada satupun peserta kelompok terarah

dari kalangan buruh migran, meskipun layanan ini secara teori tersedia. Di sejumlah lokasi yang terbatas dimana pengacara pemerintah Indonesia bekerja di kedutaan besar, mereka sepertinya tidak fasih berkomunikasi dalam bahasa setempat atau mengerti sistem hukum setempat, dan bantuan hukum di luar negeri dianggap oleh buruh migran dan kelompok masyarakat sipil masih tidak memadai. Kebanyakan peserta non-pemerintah menggambarkan prosedur yang ada sebagai proses yang memakan waktu lama, sarat birokrasi dan tidak transparan.

• Organisasi masyarakat sipil umumnya percaya bahwa kedutaan besar cenderung menangani pengaduan secepat mungkin, tanpa melihat apakah penyelesaiannya adil – antara lain karena sesaknya tempat penampungan, staf kedutaan yang terbatas dan ketidakmampuan untuk berperan dalam sistem hukum di luar negeri. Meskipun Kementerian Luar Negeri melaporkan bahwa 90 persen dari kasus di Timur Tengah telah “diselesaikan”, kelompok masyarakat sipil menyatakan bahwa buruh migran umumnya hanya dibayarkan ongkos terbang pulang ke tanah air, dan bukannya menerima pembayaran atas upah yang tidak dibayar atau kompensasi untuk kerugian yang lebih serius.

Sistem Pengadilan untuk Kasus Pidana dan Perdata

• Pengadilan secara teori dapat dimanfaatkan oleh buruh migran dengan tiga cara: (1) Buruh migran dapat mengajukan gugatan perdata terhadap PPTKIS atas pelanggaran kontrak seperti upah yang tidak dibayar atau adanya perbedaan dalam sifat atau lokasi pekerjaan, atau terhadap perusahaan asuransi atas penolakan yang tidak wajar dari pengajuan klaim; (2) Pengadilan dapat digunakan untuk mendorong adanya pengaturan pemerintah atau tindakan lain; dan (3) Polisi dapat mengajukan gugatan pidana terhadap PPTKIS atau perantara untuk kasus serius yang melibatkan penipuan, pelecehan, perdagangan manusia atau eksploitasi buruh migran.

• Sistem pengadilan merupakan sistem yang paling sedikit dimanfaatkan dibanding semua jalur lain untuk memperoleh keadilan, dan seluruh perwakilan masyarakat sipil maupun sektor hukum yang diwawancarai percaya bahwa pengadilan bukan merupakan pilihan yang memungkinkan bagi kebanyakan buruh migran.

• Semua peserta sadar akan keberadaan pengadilan, dan untuk mengajukan suatu perkara pidana, buruh migran harus menghubungi pihak kepolisian. Kesadaran terhadap hukum perdata dan relevansinya bagi buruh migran masih rendah.

• Meskipun pengadilan dengan yurisdiksi umum dapat diakses secara geografis dalam hal pengadilan berada baik di tingkat daerah maupun propinsi, masih terdapat hambatan lainnya yang mempersulit akses. Hal ini termasuk persyaratan pembuktian yang menyusahkan; prosedur pengadilan yang berbiaya tinggi, lamban dan menghabiskan waktu (termasuk jalur banding terkait); persyaratan adanya pendampingan hukum yang terlatih; dan perlunya untuk melakukan perjalanan ke dan dari kantor polisi, jaksa penuntut, pengadilan dan lokasi lainnya. Tuntutan pada umumnya diajukan di tempat dimana pihak tergugat berada, yaitu Jakarta untuk pelaksana penempatan buruh migran tujuan Timur Tengah.

• Peserta penelitian hanya mengetahui segelintir kasus buruh migran yang dibawa ke pengadilan; dimana untuk semua kasus pihak buruh migran tidak menemukan keberhasilan. Penelitian lebih mendalam diperluan untuk menentukan berbagai alasan untuk kegagalan tersebut. Tidak banyak upaya litigasi yang dilakukan dalam bidang ini untuk menguji cakupan dan pentingnya hukum yang ada.

6. Sebagian Besar Mekanisme Kelembagaan Kurang Formal dan