• Tidak ada hasil yang ditemukan

BNP2TKI melaporkan bahwa rata-rata sekitar 14 persen buruh migran yang pulang dari bekerja di luar negeri melaporkan masalahnya, dan ini tidak termasuk sejumlah orang yang menolak untuk menceritakan pengalaman mereka kepada para pejabat di bandara.87 Umumnya, masalah yang diadukan oleh buruh migran di Terminal 4 Selapajang Jakarta, gerbang utama ke Indonesia bagi buruh migran yang pulang, termasuk pemutusan kerja dini, penyakit yang terkait dengan pekerjaan, upah yang belum dibayar, penganiayaan fisik dan kekerasan seksual. Pada tahun 2011 saja, 2.137 buruh migran yang pulang melaporkan adanya kekerasan fisik, dan 2.186 buruh migran melaporkan adanya kekerasan seksual selama keberadaan mereka di luar negeri.

BNP2TKI melaporkan bahwa Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, bertanggung jawab atas sebagian besar kasus yang dilaporkan oleh para pekerja yang pulang. Dalam kurun waktu empat tahun antara tahun 2008 dan 2011, pekerja yang tiba di Terminal 4 melaporkan sejumlah total 194.967 kasus. Sekitar separuh dari masalah-masalah ini dilaporkan oleh para pekerja yang pulang dari Arab Saudi, dan secara keseluruhan hampir 75% dilaporkan oleh para pekerja yang pulang dari Timur Tengah (lihat Tabel 2).88

TABEL 2: Masalah yang dilaporkan pekerja migran yang kembali ke tanah air melalui terminal 4 jakarta, 2008–2011

Negara tempat kerja Jumlah pekerja yang melaporkan masalah ketika kembali

Persentase pekerja yang melaporkan masalah ketika kembali

Arab Saudi 96.448 49% UAE 21.146 11% Qatar 10.312 5% Kuwait 7.930 4% Oman 6.611 3% Bahrain 2.214 1% Suriah 1.181 1%

Total Timur Tengah 145.842 75%

Sumber: BNP2TKI Statistik Pekerja Yang Kembali

Catatan pengaduan yang dilakukan langsung ke Pusat Krisis BNP2TKI juga mencerminkan pola serupa. Antara Juli 2011 dan Juni 2012, tiga perempat dari 7.615 pengaduan formal yang dibuat oleh buruh migran atau keluarganya terkait dengan pengalaman kerja di wilayah itu (74 persen), meskipun hanya sekitar sepertiga hingga separuh dari mereka ditempatkan di Timur Tengah.89 Hampir 60 persen dari pengaduan tersebut terkait dengan Arab Saudi. Persentase ini jauh lebih tinggi dari negara urutan kedua berikutnya, Malaysia, yang hanya mencakup 9 persen dari pengaduan.90

Peserta yang diwawancarai dan peserta diskusi kelompok terarah umumnya berpandangan bahwa sebagian besar masalah yang dialami oleh para buruh migran yang bekerja di Timur Tengah terjadi di rumah majikan di luar negeri, dibandingkan selama masa pra-keberangkatan atau setelah kembali. Hal ini didukung oleh data resmi. Dari semua pengaduan yang disampaikan kepada Pusat Krisis BNP2TKI yang mengidentifikasi masalah tertentu (total 7.607), hampir separuhnya didasarkan pada salah satu dari dua masalah: upah yang belum dibayar atau hilangnya kontak antara keluarga dan buruh migran yang berada di luar negeri, di mana keluarga menghubungi BNP2TKI untuk membantu menemukan buruh migran tersebut (Lihat Tabel 3). Ada kemungkinan bahwa beberapa pengaduan dapat mengangkat isu ganda, tetapi hal ini tidak tercatat dalam data.

TABEL 3: Pengaduan Berdasarkan Jenis Yang Diterima Oleh Pusat Krisis BNP2TKI, Juli 2011–Juni 2012

Jenis Pengaduan Jumlah Pengaduan

Yang Diterima

% Seluruh Pengaduan

Gaji tidak dibayar 1.639 22% Putus hubungan komunikasi 1.520 20% Pekerjaan tidak sesuai perjanjian kerja 811 11% TKI ingin dipulangkan 782 10% Meninggal dunia di negara tujuan 472 6% Tindak kekerasan dari majikan 358 5%

Total 5.582 73%

Sumber: Laporan per Kasus BNP2TKI, Juli 2011–Juni 2012.

BNP2TKI tidak memilah jenis keluhan berdasarkan negara atau wilayah, sehingga tidak jelas apakah gangguan serupa juga terjadi di seluruh negara tujuan. Pemerintah dan masyarakat sipil yang diwawancarai menyatakan bahwa keluarga buruh migran yang bekerja di Timur Tengah paling banyak membawa kasus ‘kehilangan kontak’, yaitu keluarga kehilangan semua kontak dengan buruh migran di luar negeri. Responden yang diwawancarai meyakini bahwa peningkatan prevalensi di Timur Tengah disebabkan karena rumah-rumah di sana kurang terhubung ke internet untuk komunikasi melalui Skype atau media sosial seperti Facebook (sering digunakan oleh butuh migran untuk berkomunikasi dengan keluarga mereka), dan karena ponsel milik para pekerja diambil dari mereka sebagai suatu hal tentu saja (tidak seperti pada negara tujuan seperti Hong Kong dan Singapura). Putus hubungan komunikasi menyebabkan para buruh migran dan keluarga banyak mengalami kesusahan secara emosional, dan juga menghalangi buruh migran untuk mencari bantuan ketika mengalami masalah. Para ahli juga mencatat suatu persepsi bahwa kasus kekerasan fisik dan cedera di tempat kerja secara kualitatif lebih parah dialami oleh buruh migran dengan tujuan Timur Tengah, terutama Arab Saudi.

Hampir semua kerugian yang dilaporkan peserta diskusi kelompok terarah terjadi di luar negeri; sebagian besar terkait dengan kontrak. Masalah paling umum yang terkait dengan kontrak adalah upah yang belum dibayar, kadang-kadang selama beberapa bulan, kadang-kadang selama beberapa tahun. Beberapa buruh migran melaporkan bahwa pekerjaan mereka dilakukan berbeda dari apa yang telah dijanjikan – misalnya seseorang telah sepakat untuk pekerjaan rumah tangga, tetapi ternyata harus

bekerja di luar rumah untuk merawat kambing. Sebagian lainnya mengatakan jam kerja atau sifat pekerjaan itu terlalu berlebihan, dan mereka tidak bisa istirahat atau tidak disediakan cukup makanan atau cukup waktu untuk makan. Dalam beberapa kasus, buruh migran dipukul atau diancam ketika mereka meminta upah mereka. Dalam beberapa kasus, mantan buruh migran melaporkan bahwa anggota keluarga majikan mereka telah memukul dan menendang mereka jika mereka berbuat kesalahan.

Pada akhir tahun 2000-an, kemarahan publik tentang laporan penganiayaan terhadap warga Indonesia yang bekerja di Timur Tengah telah menyebabkan Menteri Tenaga Kerja untuk memberlakukan moratorium pada perekrutan pekerja rumah tangga ke sejumlah negara di Timur Tengah. Pada saat penulisan, moratorium telah diberlakukan di Kuwait (sejak tahun 2009), Yordania (sejak tahun 2010) dan Arab Saudi (sejak tahun 2011).91 Pada tahun 2011 Menteri Tenaga Kerja juga memberlakukan penangguhan perekrutan ke Yemen dan Suriah akibat konflik bersenjata internal. Sementara jumlah resmi PRT yang berangkat ke negara tujuan tersebut telah jauh menurun, ratusan ribu buruh migran masih berada di wilayah tersebut di bawah kontrak yang masih berjalan atau kontrak yang sudah kadaluwarsa, dan beberapa diantaranya tetap pergi ke sana melalui jalur tidak resmi. BNP2TKI telah memberikan bantuan bagi para buruh migran Indonesia di negara-negara tersebut untuk kembali.92