• Tidak ada hasil yang ditemukan

Siapa yang Bertanggungjawab? Perekrut vs Pihak Asuransi Indonesia memiliki sistem asuransi komprehensif yang unik yang menjamin

buruh migran atas banyaknya kerugian yang mereka alami di Indonesia dan di luar negeri. Namun sejumlah kerugian ini kemungkinan akibat kesalahan dari agen tenaga kerja, secara langsung maupun tidak langsung. Selanjutnya, UU No. 39 Tahun 2004 mensyaratkan bahwa perjanjian penempatan dari pekerja migran memuat jaminan bahwa agen tenaga kerja akan memberikan kompensasi kepada buruh migran atas terjadinya pelanggaran kontrak kerja (termasuk, misalnya, tidak terbayarnya upah). Polis asuransi mencakup sejumlah kerugian yang juga termasuk pelanggaran kontrak kerja (termasuk tidak terbayarnya upah).

Sebagai akibat dari adanya tumpang tindih ini, dalam prakteknya OMS sering melakukan pendekatan pada kedua pihak untuk memperoleh kompensasi. Salah seorang yang pernah menangani kasus menjelaskan bahwa dalam kasus-kasus upah yang tidak dibayarkan misalnya, pada umumnya OMS akan menghubungi agen tenaga kerja, yang sangat jarang memberikan kompensasi kepada pekerja secara langsung, tetapi kemungkinan akan “membantu” buruh migran untuk membuat klaim asuransi. Karena proses klaim ini akan memakan waktu yang cukup lama, banyak OMS yang sekarang memilih untuk datang langsung ke perusahaan asuransi untuk mengajukan klaim tersebut. Akan tampak dari UU No. 39 Tahun 2004 bahwa memiliki tanggungjawab yang paling tinggi bagi pemberian ganti rugi atas pelanggaran kontraktual jika perusahaan asuransi tidak mampu melakukan hal tersebut secara wajar, tetapi isu ini tidak dieksplorasi oleh para peserta dalam studi ini.

Manual Standar Prosedur Operasional BNP2TKI 2011 menginstruksikan kepada staf terkait bahwa baik PPTKIS maupun perusahaan asuransi mungkin menjadi para pihak dalam mediasi, namun masing-masing pihak terkait dengan kerugian yang berbeda. Menurut Manual ini, perusahaan asuransi merupakan pihak yang menangani kerugian yang terkait dengan pekerjaan, sedangkan agen tenaga kerja bertanggung jawab terhadap masalah yang timbul selama proses pra-keberangkatan, yaitu: buruh migran tidak dapat melakukan pekerjaan tersebut, buruh migran tidak bisa berkomunikasi dengan majikan, buruh migran tidak dalam kondisi sehat, atau buruh migran kembali pulang dengan seorang anak kecil.116

Masih belum jelas, apakah hal ini mencerminkan praktik standar atau penilaian BNP2TKI terhadap kewajiban hukum masing-masing pihak. Dalam kasus apapun, pernyataan yang lebih jelas dalam perundang-undangan atau peraturan tentang pihak mana yang bertanggungjawab terhadap suatu jenis kerugian tertentu akan membantu OMS dan buruh migran serta keluarga mereka agar klaim yang diajukan berhasil.

UU No. 39 Tahun 2004 tidak menetapkan prosedur untuk melakukan negosiasi atau diskusi informal. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa buruh migran dan keluarga mereka saling mempelajari strategi satu sama lain.117 Para peserta diskusi menjelaskan bahwa dalam banyak kasus, buruh migran atau anggota keluarganya mencoba untuk menghubungi pihak lain, menjelaskan situasi, dan meminta sejumlah bantuan. Dalam beberapa kasus, otoritas lokal atau OMS membantu buruh migran untuk mengumpulkan dokumen yang diperlukan atau untuk mengambil dokumen dari

agen tenaga kerja – seperti salinan perjanjian kerja jika buruh migran tidak menerima atau menyimpan salinannya.

Negosiasi dapat bervariasi dari pembicaraan yang sangat informal hingga pertemuan yang lebih formal dimana perwakilan OMS menyajikan dokumen dan bukti kerugian terhadap pihak lain, dan membuat permintaan untuk memperoleh ganti rugi tertentu. Perwakilan OMS mencatat bahwa diskusi ini kadang-kadang berlangsung panas, dimana masing-masing pihak mengajukan tuntutan terhadap pihak lainnya.

Para pihak dapat membahas sengketa melalui surat atau telepon, tetapi perwakilan OMS menekankan bahwa pertemuan secara pribadi biasanya dapat mencapai suatu kesepakatan. Seorang wakil dari SBMI Brebes mencatat: “Kita harus sangat berhati-hati juga dalam penanganan kasus. Ketika buruh migran sangat membutuhkan sponsor atau pun PPTKIS, kita langsung menuju ke PPTKIS.” Peserta menggambarkan banyaknya waktu dan tenaga yang terkuras dalam setiap negosiasi, termasuk pengiriman surat, panggilan telepon, dan melakukan perjalanan ke berbagai pertemuan

Pertemuan secara langsung menghadirkan beberapa tantangan. Pertemuan dengan perantara/calo kemungkinan bisa sulit karena sejumlah perantara/calo akan segera menghilang setelah mengatur perekrutan, meskipun sebagaian lainnya mungkin dikenal masyarakat dan akhirnya dapat dihubungi.118 Calo yang dihubungi seringkali menolak atas tanggung jawab apapun dan menyalahkan PPTKIS. Suatu pertemuan pribadi pada sebuah PPTKIS bisa sangat menakutkan bagi seorang buruh migran atau keluarganya, karena melibatkan perjalanan ke Jakarta (untuk perekrut ke Timur Tengah), dan PPTKIS seringkali terletak di kompleks eksklusif yang tertutup dan dikelilingi oleh pagar tembok tinggi. Perjalanan ke Jakarta kemungkinan juga mahal (meskipun negosiasi langsung mungkin masih lebih murah daripada menempuh jalur lain untuk memperoleh penyelesaian).

Seorang ibu di Jawa Tengah menjelaskan upaya untuk bernegosiasi dengan agen tenaga kerja setelah putrinya yang bekerja di Arab Saudi belum dibayar selama dua tahun dan dihalangi untuk kembali ke kampung halaman. Dia mengatakan dalam diskusi kelompok terarah:

Saya sudah tujuh kali bolak-balik ke PT. Tapi tidak ada hasilnya. Di sana cuma ada bapak

outsourcing dan dia hanya mengatakan, “ya, ya” tetapi tidak memberi saya jawaban. Itu

tanggung jawab sponsor, tetapi sponsor hilang.119

Meskipun UU No. 39 Tahun 2004 menerangkan negosiasi antara pelaksana penempatan dan buruh migran, para buruh migran juga bernegosiasi dengan pihak lain, seperti perusahaan asuransi (lihat Program Asuransi pekerja migran di bawah ini) dan majikan. Dalam kasus terakhir, OMS menggambarkan pekerja membuat daftar bantuan dari teman, keluarga, OMS dan bahkan agen tenaga kerja untuk berdialog

dengan majikan. Sebuah organisasi di Lombok menjelaskan proses yang mereka lakukan sebagai berikut:

Dalam kasus gaji yang tidak dibayar, maka yang kerap kita lakukan adalah kadang mantan buruh migran yang sebelumnya bekerja di sana bantu telepon majikan di sana. Cara ini juga menjadi cara baru untuk kita. Ternyata majikan juga didekati dengan itu. Terakhir kasusnya Ibu S., dia telepon majikan, TKInya dipulangkan dangajinya dibayar. Karena Ibu S. pernah kerja lama di arab, jadi dia memahami bahasa dan budaya orang di sana untuk membantu kelancaran jalan kita [dalam melakukan negosiasi].120

Dengan cara ini, negosiasi juga dapat mencegah masalah menjadi semakin meruncing, atau membantu menyelesaikan adanya kesalahpahaman sebelum pekerja merasa perlu untuk meminta kompensasi. Dan meskipun terdapat ketidakseimbangan kekuatan yang melekat yang dapat membuat negosiasi yang adil sulit tercapai, negosiasi tampaknya menjadi metode yang paling umum untuk menyelesaikan sengketa. Memang, para peserta menggambarkan negosiasi sebagai komponen yang berkelanjutan dari semua mekanisme penyelesaian sengketa, bahkan setelah pekerja telah mengajukan pengaduan resmi.