• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.C Kerangka Kerja Prosedural dan Tanggungjawab

Kelembagaan Pra-keberangkatan

Pengalaman buruh migran selama menjalani tahap pra-keberangkatan memiliki dampak yang signifikan tentang apakah mereka mengalami kerugian sebelum atau selama penempatan di luar negeri, serta apakah dan bagaimana mereka memperoleh kompensasi atas kerugian berikut. Berdasarkan Pasal 31 UU No. 39 Tahun 2004, setelah PPTKIS memperoleh ijin dari Kemenakertrans untuk melakukan perekrutan bagi permintaan tenaga kerja, rekrutmen dan seleksi kemudian dilakukan. Setelah itu, PPTKIS seharusnya akan mengatur hal berikut ini bagi semua buruh migran yang terpilih:

• Pendidikan dan pelatihan

• Personal and travel documents; Pribadi dan dokumen perjalanan • Ujian kompetensi

• Pembekalan akhir pemberangkatan • Keberangkatan

Setelah ada kritik yang berkesinambungan atas pengawasan pemerintah terhadap proses ini, Presiden menandatangani peraturan baru pada bulan Januari 2013 yang mencoba untuk memperjelas peran negara dalam melindungi para buruh migran selama persiapan pra-keberangkatan.73 Peran ini mencakup tanggungjawab penetapan standar (“administratif”) serta tanggungjawab penyediaan layanan (“teknis”) sebagai berikut:

• Tanggungjawab penetapan standar (“administratif”): – Pemenuhan dokumen penempatan;

– Penetapan biaya penempatan berdasarkan negara tujuan dan sektor jabatan. – Penetapan kondisi dan syarat kerja di luar negeri, termasuk jam kerja, upah

dan tata cara pembayaran, hak cuti dan waktu istirahat, fasilitas serta jaminan sosial.

• Tanggungjawab penyediaan layanan (“teknis”):

– “Sosialisasi dan diseminasi informasi” tentang cara bekerja luar negeri, baik melalui penyediaan informasi langsung maupun melalui media.

– Peningkatan ‘kualitas’ calon TKI melalui pelatihan, pembekalan akhir pemberangkatan (PAP), dan uji kompetensi.

– “Pembelaan atas pemenuhan hak-hak TKI” yang telah meninggal dunia, sakit dan cacat, kecelakaan, tindak kekerasan fisik atau seksual, atau gagal berangkat bukan karena kesalahan TKI.

– Pemantauan dan pengawasan pelaksana penempatan dan pihak terkait.

Bagaimana hal ini akan didefinisikan dan diimplementasikan dalam praktek masih harus diamati.

Pendidikan dan Pelatihan

PPTKIS dan pemerintah memiliki tiga fase kewajiban yang berupa informasi, pendidikan dan pelatihan terhadap calon buruh migran sebelum keberangkatan pekerja ke luar negeri (lihat Tabel 1). Pasal 31 UU No. 39 Tahun 2004 mengharuskan

PPTKIS untuk memberikan pendidikan dan pelatihan kerja sebagai kegiatan pra-penempatan. Awal dengan pengawasan dari Disnaker; pelatihan tambahan sebagai bagian dari persiapan pra-keberangkatan; dan sesi pembekalan akhir segera sebelum keberangkatan. Pemerintah juga harus menyediakan informasi yang memadai bagi calon buruh migran, sebelum mereka memutuskan untuk mengajukan lamaran untuk bekerja di luar negeri.

TABEL 1: Informasi Dan Persyaratan Pelatihan

Waktu Metode

Pelaksanaan

Informasi Yang Disediakan Pihak Yang Bertang-gungjawab Lokasi Sebelum pengajuan Sesi sehari “penyuluhan dan bimbingan” secara langsung.74

– Tata cara perekrutan – Dokumen yang

diperlukan – Hak dan kewajiban

calon buruh migran/ buruh migran – Situasi, kondisi, dan

resiko di negara tujuan; – Tata cara perlindungan

bagi buruh migran. 75

Peraturan juga mensyaratkan bahwa informasi mencakup kondisi dan syarat-syarat kerja termasuk gaji, cuti, dll.76 PPTKIS bersama dengan Disnaker setempat.77 Kantor dinas juga harus menyetujui informasi yang disam-paikan.78 Disnaker kebupaten/ kota dimana proses rekrutmen dilakukan. Persiapan pra-keberang-katan Pendidikan, pelatihan dan/atau pengalaman kerja, berpuncak pada “uji kompetensi.”79 – Ketrampilan kerja yang relevan terhadap pekerjaan

– Situasi, kondisi, budaya dan tradisi di negara tempat bekerja. – Komunikasi dalam

bahasa yang dipakai di negara tempat bekerja. – Hak-hak dan tanggungjawab.80 PPTKIS Di Jakarta, di lembaga sertifikasi yang dilisensi, baik independen atau yang dimiliki oleh PPTKIS.81

Pra-keberang-katan PAP selama beberapa hari sebelum keberangkatan (tidak wajib bagi calon TKI akan bekerja kembali di negara yang sama tidak lebih dari dua tahun terakhir).82

– UU dan peraturan (imigrasi, UU ketenagakerjaan dan hukum pidana yang relevan) di negara tujuan.

– Materi perjanjian kerja, termasuk jenis pekerjaan, kondisi, gaji, hak dan metode untuk menyelesaikan sengketa.83 Pemerintah (BP3TKI dan Disnaker).84 PPTKIS wajib mengi-kutsertakan calon buruh migran.85 Di BP3TKI di tingkat provinsi. Di Jakarta bagi mereka yang akan berangkat menuju Timur Tengah.

Pada setiap tahap pra-keberangkatan, buruh migran diberitahu tentang hak dan kewajiban tertentu. Pembekalan akhir pemberangkatan (PAP) juga mencakup diskusi tentang bagaimana cara untuk menyelesaikan sengketa. Namun, baik UU No. 39 Tahun 2004 maupun peraturan tambahan tidak merinci hak-hak tertentu yang seharusnya disadari oleh pekerja, atau bahkan sumber dari hak-hak tersebut. UU dan peraturan tersebut juga tidak menentukan metode penyelesaian sengketa yang harus diinstruksikan pada para buruh migran atau jenis informasi yang harus mereka terima. Diskusi kelompok terarah dan wawancara dengan para pakar membuktikan bahwa hanya sedikit (jika ada) buruh migran yang menerima semua informasi yang diperlukan. Sesi pra-aplikasi tidak disebutkan oleh buruh migran yang telah kembali dalam diskusi kelompok terarah, semua buruh migran menjelaskan tentang perantara yang menghubungkan kontak mereka dengan PPTKIS secara langsung. Studi ini tidak menentukan kapan atau bagaimana sesi ini bisa berlaku untuk buruh migran lain yang direkrut melalui agen berbasis lokal.

Sebagian besar buruh migran menjelaskan bahwa mereka menerima beberapa pelatihan kompetensi, namun tingkat dan kedalaman pelatihan sangat bervariasi. Dalam beberapa kasus para buruh migran belajar bagaimana cara untuk membersihkan dan menyeterika, sedangkan sebagian lainnya mengatakan mereka sedikit belajar tentang bahasa dan budaya dari negara tujuan mereka. Beberapa mengatakan menjalani beberapa minggu pelatihan, sebagian lain mengatakan hanya beberapa hari. Sebuah PPTKIS melaporkan bahwa beberapa pusat pelatihan memberikan sertifikat kompetensi dengan biaya tertentu tanpa harus melangkah melalui pintu birokrasi kecuali pengambilan foto mereka saja.

Sesi informasi yang paling sering tersedia di masa pra-keberangkatan adalah PAP yang difasilitasi Pemerintah. Hampir semua buruh migran dilaporkan menghadiri PAP, dimana mereka menandatangani Perjanjian Kerja dan menerima informasi tentang apa yang diharapkan dan bagaimana berperilaku di luar negeri. Dalam PAP banyak

calon buruh migran yang belajar untuk menghubungi kedutaan Indonesia jika mereka memiliki masalah.

Mantan buruh migran yang berpartisipasi dalam diskusi kelompok terarah sering menggambarkan cara penyampaian informasi dan pelatihan sebagai tidak memberdayakan. Mereka menceritakan bahwa mereka dikumpulkan di pusat-pusat penempatan yang penuh sesak dengan sedikit kesempatan untuk meninggalkan atau mengunjungi keluarga mereka, kadang-kadang selama beberapa bulan sambil menunggu dokumen mereka dipersiapkan.86 Dalam pengamatan para penulis, PPTKIS memperlakukan para perempuan sebagai “anak-anak”, sedangkan pemerintah maupun PPTKIS menunjukkan sikap paternalistik terhadap para perempuan yang akan ke luar negeri, meskipun beberapa diantaranya pernah pergi ke luar negeri beberapa kali sebelumnya. Sebagai contoh, pakar OMS menyatakan bahwa kesadaran buruh migran yang rendah memiliki kontribusi atas gagalnya PPTKIS untuk menginformasikan para calon buruh migran tentang isi dan pentingnya polis asuransi, menganggapnya tidak perlu atau terlalu rumit bagi mereka.

Praktek tampak telah mengalami perbaikan selama 10 tahun terakhir, karena industri rekrutmen telah mengalami peningkatan pengawasan. Tapi pemberian informasi pra-keberangkatan dan pelatihan masih tetap belum memadai, yang kemungkinan berkontribusi terhadap masalah-masalah yang dihadapi para buruh migran di luar negeri. Hal ini juga membatasi kemampuan buruh migran untuk meminta kompensasi atas masalah tersebut. Seperti yang diuraikan dalam bagian berikutnya, banyak buruh migran yang tidak meminta kompensasi disebabkan karena mereka tidak menyadari hak-hak hukum mereka, mekanisme yang ada untuk menguatkan mereka, atau mereka tidak tahu bagaimana cara untuk mengakses mekanisme yang relevan.

4. Kerugian Yang Dialami Para

Buruh Migran