• Tidak ada hasil yang ditemukan

Broker Asuransi – Peran Penting Yang Memerlukan Reformasi Seperti perantara agen tenaga kerja, broker asuransi adalah ‘calo’ antara

buruh migran dan perusahaan asuransi. Tidak seperti perantara perekrutan, broker asuransi diatur secara independen – baik oleh undang-undang asuransi umum maupun oleh Peraturan Kementerian Tenaga Kerja. Kementerian Tenaga Kerja menunjuk broker (s. 20) dan broker yang dipilih oleh Konsorsium harus menandatangani perjanjian kerjasama dengan

Konsorsium untuk dapat menangani kasus-kasus yang terjadi (s. 21). Perusahaan broker asuransi yang saat ini terkait terlibat dengan Konsorsium adalah PT Paladin International Insurance Brokers.

Jika sistem ini bekerja efektif, broker bisa menjadi sekutu yang kuat bagi buruh migran. Broker bertugas membantu pembeli asuransi – dalam hal ini buruh migran – dengan dua tugas utama: “untuk menemukan cakupan yang tepat, dan membuat klaim.”164 Peraturan secara jelas berniat mengarahkan para broker untuk bertindak demi kepentingan terbaik dari buruh migran. Namun, struktur dari Program Asuransi buruh migran mempersulit peran broker. Pertama, program ini pada dasarnya adalah sebuah program yang diatur dengan cara monopoli yang hanya menawarkan satu produk, sehingga jasa broker untuk mengidentifikasi produk yang sesuai bagi buruh migran adalah hal yang berlebihan. Selanjutnya, satu-satunya uang jasa yang broker terima adalah untuk menjual polis asuransi (dari perusahaan asuransi) sehingga memiliki insentif kecil untuk membantu buruh migran dalam pengajuan klaim atau kegiatan lain selain penjualan polis asuransi. Kedua, meskipun broker hanya berhak untuk menerima 15 persen dari premi asuransi untuk penjualan setiap polis asuransi, media telah melaporkan bahwa PT. Paladin International (broker) sebenarnya menerima hingga 50 persen dari premi buruh migran. Industri asuransi menjelaskan bahwa jumlah ini adalah untuk menutupi biaya Paladin dalam mendirikan perwakilan di seluruh Indonesia dan di luar negeri.165 Lembaga pengaturan asuransi pada Kementerian Keuangan (BAPEPAM) di Indonesia yang baru-baru ini sangat kritis terhadap tingginya komisi yang diterima oleh PT Paladin Internasional, mencatat: “Sekarang ini kecenderungannya [broker] menjadi sulit untuk diketahui. Bahwa berdasarkan Undang-undang perasuransian, pialang itu berfungsi untuk mewakili kepentingan nasabah, tapi dalam prakteknya bekerja untuk konsorsium.” Mereka juga mencatat bahwa pemberian komisi yang tinggi akan mengurangi jumlah dana asuransi yang dikelola oleh Konsorsium, sehingga pada dasarnya akan membatasi jumlah yang mungkin dibayarkan dalam klaim.166 Pada bulan Juli 2013, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memerintahkan PT Paladin untuk memasarkan asuransi kepada TKI karena komisi yang diterima broker menunjukkan adanya penyalahgunaan dana.167

Polis Asuransi Standar

Dibawah polis asuransi Konsorsium Proteksi TKI standar, pertanggungan yang sama disediakan bagi semua buruh migran, terlepas apakah mereka bepergian untuk bekerja atau faktor resiko individu.168 Polis ini didasarkan pada persyaratan Peraturan No. 7 Tahun 2010 yang menetapkan premi yang dapat dikenakan oleh konsorsium, resiko yang harus ditanggung, jumlah pertanggungan untuk resiko yang berbeda, serta durasi pertanggungan.169 Pertanggungan asuransi dibagi menjadi tiga periode, masing-masing dengan premi terpisah: pra-keberangkatan (Rp 50.000), selama penempatan (Rp 300.000) serta pasca-penempatan dan kembali (Rp 50.000) (Tabel 5). Total premi untuk ketiga periode bagi semua buruh migran adalah Rp 400.000 (sekitar AS $40).

TABEL 5: Periode pertanggungan asuransi buruh migran

Periode Durasi

pertanggungan

Premi (RP)

Resiko yang tertanggung

Pra-penempatan

5 bulan 50,000 Meninggal dunia; Sakit dan cacat; Kecelakaan;

Gagal berangkat bukan karena kesalahan calon TKI;

Tindak kekerasan fisik dan pemerkosaan/ pelecehan seksual.

Selama penempatan

24 bulan 300,000 Sakit dan catat;

Kecelakaan di dalam dan di luar jam kerja; Pemutusan hubungan kerja (PHK), secara perseorangan maupun massal, sebelum kontrak kerja berakhir;

Menghadapi masalah hukum; Upah tidak dibayar;

Pemulangan TKI bermasalah;

Tindak kekerasan fisik dan pemerkosaan/ pelecehan seksual;

Hilangnya akal budi;

Gagal ditempatkan bukan karena kesalahan TKI; Dipindahkan ke tempat kerja/tempat lain yang tidak sesuai dengan perjanjian penempatan.

Purna-penempatan

1 bulan 50,000 Kematian; Sakit;

Kecelakaan; dan

Kerugian atas tindakan pihak laim selama perjalanan pulang ke daerah asal, termasuk kerugian harta benda, atau tindak kekerasan fisik dan pemerkosaan/pelecehan seksual.

Skema ini memiliki manfaat kepraktisan (polis standar tunggal) dan luas pertanggungan (menggabungkan kehidupan, kesehatan, pekerjaan dan asuransi umum). Namun polis tersebut memiliki beberapa kekurangan yang signifikan yang telah menjadi bahan kritik dari banyak pihak.

Kritik utama dari skema ini adalah bahwa klaim yang lebih kompleks tidak akan dibayarkan, sebagian karena terlalu luasnya cakupan dan tidak jelasnya pertanggungan di bawah polis. Bank Dunia dan Korporasi Keuangan Internasional di Indonesia melakukan analisa terhadap sejumlah data yang terbatas dari Konsorsium sejak tahun 2010. Studi yang dilakukan atas permintaan pemerintah Indonesia, menemukan bahwa sebagian besar pembayaran asuransi dilakukan untuk kerugian yang sederhana, dapat dihitung dan mudah didokumentasikan – pemutusan dini/buruh migran dikirim pulang (43 persen) dan biaya penerbangan pulang kembali (49 persen). Karena kurangnya data publik yang terpercaya, tidak jelas apakah skema yang ada saat ini merupakan mekanisme ganti rugi yang efektif untuk pelanggaran kontrak lain seperti upah yang tidak dibayar, perubahan jenis pekerjaan yang bertentangan dengan keinginan buruh migran, atau pelanggaran kondisi tenaga kerja lainnya seperti jam kerja yang berlebihan atau kondisi kerja yang tidak aman. Masih belum jelas juga apakah skema tersebut bersifat efektif untuk kecelakaan dan cedera yang dialami buruh migran saat bekerja di luar negeri.

Yang jelas adalah bahwa klaim kerugian yang serius seperti kekerasan fisik atau kekerasan seksual tidak dibayar.170 Biro Perasuransian Bapepam-LK telah mengkritik lingkup pertanggungan dan menyarankan bahwa kerugian tersebut semestinya ditanggung oleh pemerintah, dan kerugian tersebut tidak sesuai untuk skema asuransi. Seorang jubir ujar pada bulan September 2012 bahwa peraturan 2010, “tidak secara tegas disebutkan mana yang diasuransikan dan tidak” serta untuk menggambarkan tanggung jawab yang berbeda antara sektor swasta dan publik.171 Bank Dunia juga telah memberikan pernyataan yang serupa bahwa resiko serius secara tradisional tidak dapat ‘diasuransikan’ (seperti kekerasan fisik dan seksual atau penyiksaan terhadap pekerja migran) harus ditanggung oleh skema perlindungan publik, seperti dana kesejahteraan.172

Bank Dunia juga telah mengkritik kebijakan yang menempatkan tanggung jawab untuk semua kemungkinan resiko pada buruh migran, bukan pada lembaga penempatan atau pihak lain. Bank Dunia berpendapat bahwa hanya beberapa resiko yang menjadi pertanggungan di atas saja yang semestinya ditanggung oleh buruh migran, seperti kematian atau sakit. Resiko lainnya seharusnya ditanggung oleh lembaga penempatan sebagai biaya dalam bisnis – misalnya, pemutusan dini dari Perjanjian Kerja.

Akhirnya, polis asuransi standar berisi sejumlah pengecualian penting untuk pertanggungan seperti kondisi awal untuk pertanggungan kesehatan, perang, dan kerugian akibat pekerja migran yang terkena tuntutan pidana. Polis ini juga

berbeda dari apa yang tertuang dalam Perjanjian Penempatan, tanpa memperhitungkan bahwa praktek yang sering terjadi ini jarang akibat dari kesalahan pekerja. Selanjutnya, buruh migran tidak memperoleh pertanggungan asuransi atas kehilangan pekerjaan jika mereka meninggalkan majikan mereka, terlepas dari alasan apapun yang diberikan atas kepergiannya. Hal ini akan menjadi masalah yang problematis karena meninggalkan pekerjaan seringkali sebagai satu-satunya pilihan yang harus buruh lakukan untuk menghindarkan diri dari situasi pelecehan, terutama dalam konteks pekerjaan rumah tangga (lihat Bagian 6.E di bawah, tentang Perlindungan Buruh Migranyang berada di Luar Negeri). Meskipun hal ini mungkin merupakan pengecualian standar untuk kontrak asuransi kerja, kontrak tersebut tidak mengakui keadaan tertentu dari buruh migran sehingga kemungkinan memperoleh pengecualian pertanggungan justru pada saat para buruh migran sangat membutuhkannya, membiarkan mereka tanpa kompensasi atas kerugian yang signifikan.

Meskipun begitu, peraturan memberikan keleluasaan kepada pihak asuransi, “dalam rangka menjalankan fungsi sosial”, untuk memberikan kompensasi kepada TKI/ calon TKI yang tidak tercakup dalam jenis polis asuransi.173 Tidak ada panduan tentang kapan dan bagaimana keleluasaan ini dilaksanakan; kelihatannya justru seluruhnya dilaksanakan secara ad hoc dan tidak transparan dengan dalih “amal” yang sebagian besar dari jumlah tersebut adalah klaim buruh migran yang dimana jika tidak, klaim tersebut akan ditolak (dibahas di bawah ini).

Problem struktural ini masih diperparah oleh masalah sistemik dalam pelaksanaan Program Asuransi Buruh Migran, yang akan dibahas dalam bagian berikut.