Kaitannya dengan bermain, Hardiyono (2013:120-121)
mengemukakan tiga karakteristik penting yang harus
Fo to _J us uf B le g u r_U K A W _2 0 1 4
diperhatikan, yaitu: 1) Bergerak, artinya harus ada gerakan dalam permainan yang dilakukan secara berkelanjutan dan berirama, misalnya gerakan berjalan, berlari, melangkah, dan merangkak. Kegiatan ini dapat meningkatkan ketahanan jantung dan paru- paru serta meningkatkan komposisi tubuh, 2) Elevator, artinya dalam permainan harus ada unsur gerak terhadap beban seperti mengangkat, membawa, memegang, dan menarik. Gerakan ini akan melatih kekuatan dan daya tahan otot, dan 3) Pelemasan, yang berarti bahwa bermain harus menjadi elemen gerak untuk meregangkan sendi termasuk pada otot. Gerakan ini akan melatih fleksibilitas sendi dan otot.
Tabel 1.1
Perbedaan antara bermain dan bekerja
No Bermain Bekerja
1 Sukarela Kewajiban
2 Mendapatkan kesenangan Mendapatkan pengakuan
3 Secara alamiah Secara ilmiah
4 Spontanitas dan fleksibel Rutinitas dan sistematis
5 Bersifat sosialis Bersifat materialis
Merujuk pada karakteristik bermain, maka suatu kegiatan yang dilakukan anak dapat saja memiliki bentuk yang sama, namun memiliki tujuan dan makna yang berbeda dalam motif dan motivasi partisipasinya. Pada saat anak bermain bolavoli secara tradisional atau konvensional dengan menggunakan lapangan permainan, peraturan permainan, dan media yang dimodifikasi, maka kegiatan tersebut syarat dengan kegiatan bermain. Namun, jika bolavoli dilakoni oleh anak dengan melibatkan segala komponen yang telah diorganisasikan, memiliki landasan yuridis, dan menuntut target yang dicapai karena adanya konsekuensi
materialistik, maka kegiatan tersebut syarat dengan kegiatan bekerja (lihat tabel 1.1).
Selain tiga karakteristik yang telah dikemukakan oleh Hardiyono (2013:120-121) di atas, maka pada kesempatan ini penulis mencoba untuk memberikan enam karakteristik bermain adalah sebagai berikut:
1. Atas dasar motivasi dari dalam diri (intrinsicmotivation)
Motivasi digambarkan sebagai konsekuensi dari makna, yang merupakan kombinasi faktor pribadi dan sosial, termasuk tujuan pribadi atau insentif, harapan, persepsi pengalaman, gerakan, dan kegiatan sosial (Lewthwaite, 1990:808). Bermain hendaknya lahir dari inisiatif sendiri. Hal ini dimaksudkan bahwa kegiatan bermain diprakarsai oleh anak-anak yang terlibat dalam kergiatan bermain tersebut. Dengan motivasi intrinsik yang kuat, maka kegiatan bermain lebih menyenangkan, partisipatif, semangat, bermakna
(meaningful) serta anak-anak lebih optimal dalam
mengeksplorasi seluruh potensi yang ada pada dirinya.
Potensi-potensi tersebut dapat meliputi, kecepatan,
kelincahan, kelenturan, keterbukaan, keberanian, kejujuran, kreativitas, dan kekritisan sehingga dapat melatih kesehatan fisik, mental, emosional, kreativitas berpikir anak.
Justifikasi ilmiah Park (2012:101) menemukan adanya perbedaan yang berarti dalam motivasi intrinsik antara anak dengan tingkat partisipasi/ kegiatan yang lebih tinggi dan anak dengan tingkat partisipasi/ kegiatan yang lebih rendah. Motivasi intrinsik anak ekstrover lebih meningkat dari anak introsver dalam pembelajaran berbasis permainan. Anak dengan motivasi intrinsik yang kuat, lebih aktif dan partisipatif dalam setiap kegiatan bermain yang dilaksanakan
sehingga yang dicapainya adalah bagaimana menempatkan kegiatan bermain sebagai kebutuhan/ penting bagi dirinya
bukan “bonus” yang menjadi skala prioritas. Artinya bonus dalam hal ini sebagai juara atau apapun itu yang sifatnya ekstrinsik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari prestasi yang dicapai anak dalam kinerjanya.
2. Berpikir yang positif (possitivethinking)
Perasaan anak melalui kecenderungan berpikir positif harus dapat mewarnai kegiatan bermainnya agar kegiatan bermain dapat membentuk dan membangun keharmonisan sosial-emosional dalam kehidupannya. Berpikir positif akan mendorong anak untuk selalu aktif dan partisipatif dalam berbagai hal. Misalnya anak secara kooperatif dan kolaboratif membangun interaksi dan komunikasi dengan sesamanya untuk mencapai suatu tujuan melalui kegiatan bermain. Seperti halnya yang dijelaskan Maksum (2011:151) bahwa:
“Dengan membiasakan berpikir positif dapat menumbuhkan
rasa percaya diri, meningkatkan motivasi, dan menjalin kerjasama antara berbagai pihak. Pikiran positif akan diikuti dengan perkataan dan tindakan positif pula, karena pikiran
akan menuntun tindakan.”
Sikap kooperatif, motivasi, kepercayaan diri, akan tercapai jika mulai dibangun dengan cara berpikir yang positif (lihat gambar 1.4). Artinya, berpikir positif harus dijadikan sebagai fondasi dari segala kegiatan yang hendak dilakukan sehingga berdampak positif pada kegiatan (apapun sifatnya) dan mengoptimalisasi potensi dalam dirinya. Orlick
(Gilbert & Orlick, 2002:55) juga menambahkan
perkembangan setiap individu untuk mencapai potensi optimalnya tergantung pada kombinasi dari mengakuisisi
perspektif, pengalaman hidup dan pentingnya belajar keterampilan mental atau keterampilan hidup yang positif.
Misalnya, permainan “gala ase” anak dengan pikiran
positifnya harus berusaha secara optimal untuk mengelabui lawannya dan menerobos pos-pos yang telah dijaga untuk mencapai kemenangan timnya. Anak tidak memikirkan apakah bajunya atau kakinya kotor, namun bagaimana dengan tanggung jawab, kepercayaan diri, dan semangat pantang menyerah, mampu mencapai target atau sasaran dalam permainan.
Gambar 1.4
Model hubungan antara pikiran, perasaan, perilaku, dan prestasi (Maksum, 2011:151)
3. Fleksibel (flexible)
Rubin dan rekan-rekannya menyampaikan bahwa fleksibel ditandai dengan mudahnya kegiatan beralih dari satu bentuk ke bentuk lainnya (Hartati, dkk., 2012:4).
Berpikir positif Perasaan
Perilaku Prestasi
Karakteristik fleksibel memberikan kesempatan pada setiap subjek yang terlibat dalam kegiatan bermain (guru dan siswa) untuk tidak kaku dengan situasi, lingkungan, sarana, aturan, melainkan adanya unsur fleksibilitas dan pengembangan untuk mencapai sasaran. Sehingga kegiatan bermain tidak dapat berjalan dengan alasan-alasan yang dikemukakan sebelumnya (sarana tidak standar, aturan harus ideal, dsb.).
Permainan tidak boleh tiga salah satu contohnya. Jika populasi siswa yang terlibat dalam permainan tersebut sangat besar, maka dapat dimodifikasi menjadi permainan empat tidak boleh, lima tidak boleh dan seterusnya. Contoh tersebut juga dapat berlaku pada situasi dan kondisi yang lain,
menggunakan lapangan in-door jika cuaca tidak bersahabat
(hujan) atau menggunakan akar kayu sebagai tali tambang, kapur sebagai lintasan, dsb. Pada prinsipnya, kegiatan bermain melalui permainan didesain untuk mencapai tujuan (kesenangan), sehingga segala kemungkinan atau peluang untuk dilakukan modifikasi (karakteristik keluwesan) sangat dibutuhkan dalam proses pelaksanaannya.
4. Menekankan pada proses (emphasizeofprocesses)
Pada saat bermain, anak harus lebih difokuskan pada kegiatan yang berlangsung (prosesnya) dari pada hasil akhir yang dicapai. Tidak adanya penekanan untuk mencapai prestasi, sehingga anak bebas untuk mengekspresikan berbagai variasi gerak dalam permainan. Sejauh ini baik dalam kegiatan bermain atau kegiatan-kegiatan formal lainnya, kita hanya difokuskan prestasi/ hasil, sehingga tingginya tendensi untuk mempraktikkan perilaku distortif (missbehavior) dengan curang dan tidak sportif serta adanya tekanan psikologi (stres, cemas, dsb) pada diri anak. Jika
kejadian demikian terjadi, maka anak-anak akan merasa tegang, kaku, serta monoton atas kegiatan bermainnya. Padahal, proses bermain harus diarahkan kepada kegiatan yang menyenangkan untuk kepentingan anak itu sendiri. Proses secara otomatis akan mengantarkan anak pada kecenderungan berpikir untuk mencapai kemenangan dengan
kegiatan-kegiatan yang yang bermartabat serta
mengintegrasikan domain pembelajaran (kognitif, afektif, dan psikomotor) secara ekuilistis.
Pentingnya proses dalam menjalankan kegiatan telah menjamur pada setiap ruang lingkup ilmu, salah satunya pada kegiatan pembelajaran. Metode yang menekankan pada proses telah berkontribusi terhadap kinerja anak, misalnya
Oliver-Hoyo, et al. (2004:441) yang menerapkan model
pembelajaran aktif berbasis masalah mempengaruhi
pengembangan konseptual dan menekan miskonsepsi pada
siswa, Dyson, et al. (2004:238) sport education, tactical
games, cooperative learning, theoritical pedagogical
considerations melatih siswa dalam pengambilan keputusan, interaksi sosial, dan pemahaman kognitif terhadap berbagai
kegiatan fisik, Hackathorm, et al. (2011:40) menemukan
active learning/ learning by process memberikan bantuan
kepada anak dalam meningkatkan kualitas kegiatan pembelajaran, Kumar & Deepla (2011:28), menerapkan permainan untuk membangkitkan motivasi berprestasi,
Mustafa, et al. (2012:43) anak yang terlibat dalam metode
pembelajaran aktif, berhasil dalam meningkatkan prestasi membaca secara komperehensif, Chee & Tan (2012:185)
pendekatan pembelajaran inkuiri berbasis permainan
5. Bebas memilih (freeofchoice)
Salah satu critical point yang Jacman ajukan dalam
mendefinisikan bermain adalah kegiatan bebas memilih yang
dilakukan anak-anak (Aulina, 2012:136). Bermain
merupakan salah satu bentuk kegiatan yang menyenangkan bila kegiatannya dilakukan secara sukarela, atas konasi dan kesadaran sendiri, sesuai preferensi anak, dan tanpa ada paksaan, maka kegiatan tersebut lebih menyenangkan dan bermakna. Untuk itulah, setiap anak yang bermain harus melakukannya dengan penuh kesadaran bahwa bermain itu lahir atas prakarsa sendiri. Jika bermain dalam nuansa kesenangan, maka anak secara mudah memilih sesuai keinginan, kebutuhan, dan karakteristiknya terkait dengan bentuk-bentuk kegiatan bermain yang hendak/ sementara dilakukannya. Musfiroh (Trinova, 2012:211) menjelaskan
bahwa: “…bermain bersifat fleksibel anak dapat dengan bebas memilih dan beralih ke kegiatan bermain apa saja yang diinginkannya. Adakalanya anak berpindah-pindah dari satu kegiatan bermain ke kegiatan bermain lainnya yang tidak
terlalu lama.”
Preferensi anak untuk memilih kegiatan bermain juga mengindikasikan bahwa anak sedang berlatih untuk mencoba hal-hal baru yang belum diketahui/ dipelajarinya, sehingga dalam bermain, sebagai guru/ fasilitator harus mampu memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih kegiatan bermain yang disukainya tanpa adanya intervensi. Misalnya, dalam bermain ada anak yang senang bermain bolavoli dan juga ada anak yang senang bermain sepakbola, maka sebagai guru/ fasilitator harus dapat memahami kondisi psikologis anak dengan memfasilitasi anak untuk mencapai kebutuhan
tersebut. Pada perspektif lain, dalam permainan fasilitator menerapkan model reward and punishment, maka seyogianya fasilitator juga melakukan konsensus (kesepakatan bersama)
dalam menentukan bentuk reward and punismet tersebut,
apakah memberi pujian, hadiah, dsb (bentuk reward) dan
bernyanyi, push-up, sit-up, dsb (bentuk punishment).
Keunggulan metode reward and pusnisment dapat melatih
kepercayaan diri (Siedentop, 1983:103), menangani perilaku indisipliner (Indrawati & Maksum, 2013:304) serta melatih kekritisan berpikir siswa dalam melahirkan sebuah persepsi/ pendapat/ keputusan dan dipertanggungjawabkan secara baik.
6. Mempertimbangkan imajinasi (imagination equired)
Imajinasi sebagai dasar dari semua aktivitas kreatif,
merupakan komponen penting dari berbagai aspek
kehidupan. Ahmadi (2009:80) dalam bukunya berjudul
“Psikologi umum” mendefinisikan imajinasi sebagai
kemampuan jiwa untuk membentuk tanggapan-tanggapan atau bayangan baru. Dengan kekuatan imajinasi anak dapat menjelaskan diri dari keadaan yang dihadapinya dan menjangkau kepada masa depan (keadaan yang akan datang). Selanjutnya, Mbaya & Chetty (2012:572) menambahkan manifestasi imajinasi dapat berupa persepsi, kemampuan mental, visualisasi, dan penyampaian makna melalui benda atau gagasan-gagasan baru. Pada dasarnya setiap anak memiliki sifat dasar untuk berimajinasi. Sifat tersebut merupakan modal dasar bagi berkembangnya sikap berpikir kritis dan kreatif bagi anak. Untuk mengembangkannya, kegiatan bermain merupakan salah satu medan yang harus dimanajelisir sehingga mengafirmasi perkembangan sifat imajinasi anak-anak.
Melalui suasana bermain, guru/ fasilitator dapat
memberikan reward atau apresiasi atas hasil kerja atau
kinerja anak, dapat juga dilakukan dengan mengajukan
pertanyaan atau pernyataan yang “provokatif” atau “konfrontatif” serta mendorong anak untuk bereksperimentasi
dalam kegiatan bermainnya. Dalam bukunya yang berjudul:
“Teaching english creativity”, Cremin, et al. (2009:1)
menyatakan energi imajinasi dapat mengembangkan kinerja, kepercayaan diri, kreativitas, membangun sikap positif untuk belajar. Implementasi kegiatan bermain yang membutuhkan daya imajinasi anak sangat penting, untuk itu guru/ fasilitator harus mampu memediasi proses bermain yang tidak kaku, monoton, dan konvensional sehingga daya imajinasi anak dapat berkembang secara optimal. Misalnya, dalam permainan tarian bombastik, anak berimajinasi laksana sedang bergoyang sehingga harus melakukan gerakan goyang sebaik mungkin untuk mempertahankan hula-hop sehingga tidak terjatuh ke tanah.