• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERMAINAN KECIL TEORI DAN APLIKASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERMAINAN KECIL TEORI DAN APLIKASI"

Copied!
318
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Permainan Kecil

(3)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Pasal 72 Ketententuan Pidana

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumpulkan atau memperbayak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyerahkan, menyiarkan, memamerkan, mendengarkan, atau

(4)

Jusuf Blegur

M. Rambu P. Wasak

(5)

Permainan Kecil: Teori dan Aplikasi

Penulis: Jusuf Blegur, S.Pd., M.Pd. & M. Rambu P. Wasak, S.Pd., M.Pd.

Penyunting: Prof. Dr. I Made Sriundy Mahardika, M.Pd.

Penata sampul: Jusuf Blegur, S.Pd., M.Pd.

Penata letak: Zuvyati A. Tlonaen, S.S.

Hak cipta © pada Penulis

Penerbit Jusuf Aryani Learning

Jl. Flamboyan, No. 12, RT. 007, RW. 002, Lasiana

Kotamadya Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur, 85228 Telp. (0380) 8552354, Hp. 082232055550

e-mail. [email protected]

Cetakan pertama, Maret 2017

Cetakan kedua, April 2018

xviii + 299; 15,5 x 21 cm

ISBN: 978-602-61202-0-5

(6)

“Untuk kedua orang tua tersayang Semuel Blegur dan Debora M. Minta atas perjuangan dan kerja kerasnya telah memberikan makna dan pentingnya nilai-nilai pendidikan”.

Jusuf Blegur

“Keluarga besar Zakarias Umbu Saki Pekoelimoe yang selalu memberi inspirasi dan spirit dalam menjalani kehidupan serta

medan layanku Universitas Kristen Artha Wacana Kupang”.

(7)
(8)

Sambutan Rektor UKAW

Lajunya perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dewasa ini kian menggeliat dan tidak terbendung, penyelenggara pendidikan pun dipacu agar dapat memenuhi berbagai regulasi dan tuntutan zaman yang multi dimensional ini. Universitas Kristen Artha Wacana yang juga merupakan salah satu penyelenggara pendidikan tinggi kristen menyadari akan hal ini sehingga selalu bermetamorfosis dari berbagai sektor guna menjawab kualitas pelayanan pendidikan yang sesuai dengan regulasi dan tuntutan zaman tersebut.

Kedinamisasian Ipteks ini pun berimplikasi pada perbaikan-perbaikan kurikulum yang bermuara dalam proses pembelajaran. Tawaran kualitas tidak terelakkan lagi, setiap pengajar harus aktif berkreasi dalam mendesain, memutakhirkan, dan mengembangkan berbagai pendekatan, metode, dan strategi pembelajaran yang akseptabel dan koheren dengan tujuan pendidikan nasional. Guna mencapai tujuan tersebut, maka salah satunya dengan menyediakan sumber-sumber belajar sebagai rujukan bagi para mahasiswa agar melatih dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis, analitis, kreatif, dan imajinatif secara berkesinambungan.

(9)

telah menyadari tugas yang diamanatkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 dengan berhasil menyusun naskah ajar guna mewujudkan pembelajaran yang transformatif, visioner, dan progresif. Ulasan materi yang praktis, lunak, dan komunikatif, tampilan gambar-gambar yang kreatif, serta dukungan data-data empiris dari berbagai hasil penelitian membuat buku ini kian menarik dan bermakna untuk disimak para pembaca.

Atas nama sivitas akademika UKAW, saya mengucapkan profisiat dan terima kasih kepada tim penulis dalam upaya pengembangan tugas akademiknya. Kiranya karya ini dapat memberi manfaat yang besar bagi mahasiswa, guru, pelatih, dan masyarakat pada umumnya.

Kupang, 26 Agustus 2016 Rektor UKAW,

(10)

Kata Pengantar

Puji dan syukur tim penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas kesehatan, anugerah, dan hikmat-Nya buku dengan judul: “Permainan Kecil: Teori dan Aplikasi” dapat diselesaikan dengan baik. Apa yang tersaji dihadapan pembaca ini merupakan kumpulan gagasan-gagasan yang dikontruksikan dengan merujuk pada berbagai referensi, di antaranya: buku permainan kecil, pengalaman mengajar, pengalaman melatih, serta berbagai efikasi dan justifikasi ilmiah untuk memperkaya struktur penulisannya. Secara umum, tim penulis menjabarkan tujuh bagian untuk melengkapi komposisi buku ini, yaitu: 1) Definisi, fungsi, karakteristik, dan jenis kegiatan bermain; 2) Bermain, permainan, dan olahraga: Teori dan aplikasi; 3) Permainan kecil dan perkembangan gerak pada manusia; 4) Permainan kecil tidak menggunakan media; 5) Permainan kecil menggunakan media; 6) Permainan kasti, kipers, bola bakar, dan rounders; dan 7) Peningkatan kualitas pembelajaran melalui permainan kecil.

(11)

mampu mengembangkan pendekatan bermain dan permainan secara tepat dan benar dalam proses pembelajaran dengan memperhatikan karakteristik siswa. Semoga sajian ini (buku) dapat memberikan sedikit dari sekian implikasi untuk peningkatan sumber daya manusia serta lebih proaktif meningkatkan kompetensinya secara khusus calon guru dan guru Penjasorkes.

Sudah tentu di dalam buku ini masih memerlukan sejumlah perbaikan-perbaikan guna penyempurnaan dan pengembangan sehingga dapat memberikan “kepuasan” bagi pembaca sekalian. Untuk itu, gagasan yang kritis, analitis, konstruktif, dan solutif dari pembaca sangat diperlukan dalam mencapai penyempurnaan tulisan ini.

Untuk menutup pengantar singkat ini, Thomas A. Edison pernah berkata “If we did all the things we are capable of, we would literally astound ourselves”. Marilah kita kejutkan diri kita sendiri dengan karya-karya sederhana untuk kebaikan orang banyak.

(12)

Daftar Isi

Sambutan Rektor Universitas Kristen Artha Wacana ... vii

Kata Pengantar ... ix

Daftar Isi ... xi

Daftar Tabel ... xiv

Daftar Gambar ... xv

Bab 1 Definisi, Fungsi, Karakteristik, dan Jenis Kegiatan Bermain A. Pendahuluan ... 1

B. Bermain dalam Definisi ... 4

C. Fungsi Bermain ... 5

D. Bermain: Bagaimana Karakteristiknya? ... 14

E. Jenis-Jenis Kegiatan Bermain ... 23

Bab 2 Bermain, Permainan, dan Olahraga: Teori dan Aplikasi A. Pendahuluan... 29

B. Teori-Teori dalam Bermain ... 31

(13)

Bab 3

Permainan Kecil dan Perkembangan Gerak Pada Manusia

A. Pendahuluan... 57

B. Apa Itu Permainan Kecil? ... 59

C. Permainan Kecil dan Tingkat Kebermanfaatannya ... 61

D. Permainan Kecil: Bagaimana Prinsip Pengembangannya? 74 E. Periode Perkembangan Gerak Pada Manusia ... 82

(14)

G. Pesan Sendok ... 155

H. Balap Karung ... 158

I. Kapal Terbang ... 161

J. Menggapai Cita-Cita ... 163

K. Pelempar Jitu Versi 1 ... 166

L. Pelempar Jitu Versi 2 ... 169

M. Pelempar Jitu Versi 3 ... 172

N. Pelempar Jitu Versi 4 ... 175

O. Boi ... 179

P. Mengoper Bola Melewati Atas Kepala ... 182

Q. Mengoper Bole Melewati Samping Badan (Kiri dan Kanan) ... 185

R. Mengoper Bola Melewati Kedua Paha ... 188

S. Mengoper Bola Melewati Kedua Paha dengan Cara Mengguling ... 192

T. Mengoper Bola Memutari Regu ... 195

U. Mengoper Bola Memutari Anggota Regu Secara Zig-Zag 198 V. FastandFurious ... 201

Bab 6 Permainan Kasti, Kipers, Bola Bakar, dan Rounders A. Permainan Kasti ... 206

B. Permainan Kipers ... 219

C. Permainan Bola Bakar (SlagBall) ... 228

D. Permainan Rounders ... 237

Bab 7 Peningkatan Kualitas Pembelajaran via Permainan Kecil A. Pendahuluan ... 252

B. Konformitas Permainan Kecil dengan Pembelajaran Penjasorkes ... 255

(15)

Daftar Pustaka ... 277

Glosarium ... 288

Indeks ... 293

(16)

Daftar Tabel

Tabel 1.1. Perbedaan antara bermain dan bekerja ... 15 Tabel 3.1. Perbedaan antara permainan kecil dan permainan

(17)

Daftar Gambar

Gambar 1.1. Komponen gerak dasar ... 6

Gambar 1.2. Solidaritas siswa dalam pembelajaran Penjasorkes . 11 Gambar 1.3. Sensitivitas berpikir dalam menendang bola takraw 14

Gambar 1.4. Model hubungan antara pikiran, perasaan, perilaku, dan prestasi ... 18

Gambar 2.1. Herbert Spencer ... 32

Gambar 2.2. Moritz Lazarus ... 35

Gambar 2.3. Karl Groos ... 37

Gambar 2.4. Granville S. Hall... 41

Gambar 2.5. Sigismund S. Freud ... 43

Gambar 2.6. Jean Piaget ... 46

Gambar 2.7. Lev S. Vygotsky ... 48

Gambar 2.8. Hubungan bermain, permainan, dan olahraga... 50

Gambar 2.9. Conceptualizationofsport ... 54

Gambar 3.1. Afriana Paijo juara 1 nomor lari 1500 dan 3000 meter dalam kejuaraan PPLP dan UKM nasional tahun 2013 di Surabaya ... 67

(18)

Gambar 3.3. Karakteristik anak dari Lang dan Evans ... 77

Gambar 3.4. Gerakan atraktif dalam olahraga senam ritmik ... 89

Gambar 4.1. Simulasi permainan jalan naga... 94

Gambar 4.2. Simulasi permainan menjala ikan ... 97

Gambar 4.3. Simulasi permainan elang dan anak ayam ... 100

Gambar 4.4. Simulasi permainan tidak boleh tiga ... 104

Gambar 4.5. Simulasi permainan menemukan teman dalam regu 106 Gambar 4.6. Simulasi permainan hitam-hijau ... 108

Gambar 4.7. Simulasi permainan pacuan “kuda” ... 112

Gambar 4.8. Simulasi permainan missionimposible ... 114

Gambar 4.9. Simulasi permainan bermain angka (ganjil dan genap) ... 118

Gambar 4.10. Simulasi permainan Tom dan Jerry versi 1 ... 120

Gambar 4.11. Simulasi permainan Tom dan Jerry versi 2 ... 122

Gambar 4.13. Simulasi permainan Tom dan Jerry versi 3 ... 126

Gambar 4.14. Simulasi permainan Tom dan Jerry versi 4. ... 130

Gambar 4.15. Simulasi permainan benteng ... 132

Gambar 4.16. Simulasi permainan gala ase ... 136

Gambar 5.1. Simulasi permainan tarik tambang ... 140

Gambar 5.2. Simulasi permainan paku mencari botol ... 142

Gambar 5.3. Simulasi permainan sapu tangan gembira ... 146

Gambar 5.4. Simulasi permainan tarian bombastik ... 148

Gambar 5.5. Simulasi permainan ekor emas... 152

Gambar 5.6. Simulasi permainan lompat “pocong” ... 154

Gambar 5.7. Simulasi permainan pesan sendok ... 156

Gambar 5.8. Simulasi permainan balap karung ... 160

Gambar 5.9. Simulasi permainan kapal terbang ... 162

Gambar 5.10. Simulasi permainan menggapai cita-cita ... 164

Gambar 5.11. Simulasi permainan pelempar jitu versi 1 ... 168

(19)

Gambar 5.13. Simulasi permainan pelempar jitu versi 3 ... 174

Gambar 5.14. Simulasi permainan pelempar jitu versi 4 ... 176

Gambar 5.15. Simulasi permainan boi ... 180

Gambar 5.16. Simulasi permainan mengoper bola melewati atas kepala ... 184

Gambar 5.17. Simulasi permainan mengoper bola melewati samping badan (kiri dan kanan) ... 186

Gambar 5.18. Simulasi permainan mengoper bola melewati kedua paha ... 190

Gambar 5.19. Simulasi permainan mengoper bola melewati ke dua paha dengan cara mengguling ... 194

Gambar 5.20. Simulasi permainan mengoper bola memutari regu ... 196

Gambar 5.21. Simulasi permainan mengoper bola memutari anggota regu secara zig-zag ... 200

Gambar 5.21. Simulasi permainan fastandvarious ... 202

Gambar 6.1. Simulasi permainan kasti ... 210

Gambar 6.2. Simulasi permainan kipers ... 222

Gambar 6.3. Simulasi permainan bola bakar ... 232

Gambar 6.5. Simulasi permainan rounders ... 240

Gambar 6.5. Format penilaian rounders... 250

Gambar 7.1. Conceptual overview: Playing with purpose ... 258

Gambar 7.2. Guru sebagai fasilitator ... 269

Gambar 7.3. Aktivitas siswa dalam permainan jalan naga ... 271

Gambar 7.4. Guru melakukan warming-up dengan permainan hitam-hijau ... 273

(20)

Bab 1

Definisi, Fungsi, Karakteristik,

dan Jenis Kegiatan Bermain

Bermain adalah dunia anak, sambil bermain mereka belajar. dari menggerakkan

anggota tubuhnya hingga mengenali berbagai benda di lingkungannya. Bayangkan keceriaan yang didapatnya ketika dia menyadari baru saja

menambahkan pengetahuan dan keterampilan. “Lihat, saya

sudah bisa” teriaknya kepada semua orang (Husdarta, 2011:12).

A. Pendahuluan

Bermain merupakan frase yang tidak asing dalam kehidupan kita. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, sampai lanjut usia, baik yang didengarkan, dibacakan, bahkan tidak sedikit juga telah terlibat secara langsung dengan sejumlah pengalaman yang disebut bermain ini. Anak-anak misalnya sebagian besar waktu kecilnya dihabiskan dengan bermain, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, maupun sekolah. Atas inisiatif dan prakarsa sendiri, mencari sejawatnya untuk memilih dan menyepakati satu bentuk permainan untuk dimainkan dengan suasana yang suka cita.

(21)

untuk merangsang pertumbuhan dan perkembangannya, baik itu psikomotor, afektif, maupun kognitif. Untuk mencapai maturitas perkembangan anak, maka sejak usia dini anak sudah dibentuk habituatifnya sehingga dapat memanajelisir seluruh pontensinya dengan pengalaman-pengalaman konkrit yang salah satunya adalah melalui kegiatan bermain. Seperti halnya yang diutarakan oleh Sukatman (2013:164) bahwa sekolah dasar merupakan titik awal yang baik untuk memulai dan memperkuat kembali moralitas positif anak yang diperoleh dari keluarga, kelompok bermain, dan pendidikan pra sekolah (taman kanak-kanak). Bermain yang dilakukan oleh anak-anak cenderung untuk mengisi hari-harinya dengan kesenangan, mencari teman, menyalurkan energi, mencari pengalaman belajar, dan memecahkan masalah. Akan tetapi pada orang dewasa, lebih disalurkan pada pengembangan potensi-potensi yang dimanifestasi dalam partisipasinya pada klub-klub olahraga (atletik, kempo, sepakbola, bola voli, bola basket, dsb.). Baik pada anak-anak sampai orang dewasa, secara sadar ataupun tidak banyak manfaat yang didapatkan dalam kegiatan bermain terlepas dari motivasi-motivasi ekstrinsik lainnya. Misalnya meningkatkan kebugaran jasmani, sarana pengembangan olahraga prestasi, melatih keterampilan sosial-emosional, dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan kreatif.

(22)

kemudian mengarah ke kreativitas bersosialisasi (Khasanah, dkk., 2011:94). Pada masa anak-anak, bermain dan permainan

merupakan “roh” dari pertumbuhan dan perkembangannya.

Anak-anak yang tidak bermain cenderung untuk tidak merasakan

“kebahagiaan” yang dirasakan oleh teman-teman sebayanya yang

berdampak langsung pada kondisi psikologisnya. Anak yang terlibat dalam kegiatan bermain dapat belajar tentang bentuk, warna, hubungan kausalitas, komunikatif, dan self-control.

Lieberman menemukan bahwa anak-anak yang diberi label tinggi dalam kualitas bermain menunjukkan bermain yang berbeda dalam bentuk, tingkat energi, dan sosialisasi terhadap orang lain (Barnett, 2012:170). Bermain merupakan media untuk anak mengeksplorasi kebahagiaannya yang meliputi: bagaimana terbentuknya suasana euforia karena mendapatkan kemenangan, kekecewaan kerena kalah, semangat dan disiplin diri karena ingin memenangkan permainan, kerja keras untuk mempertahankan kemenangan, adil untuk menjaga persahabatan, dan jujur untuk selalu diterima di dalam regu. Dengan demikian, maka bermain tidak hanya dikonotasikan dengan domain psikomotor semata, melainkan adanya ekualisasi pada seluruh domain hasil belajar.

(23)

B. Bermain dalam Definisi

Kegiatan yang dilakukan secara sukarela dan spontan untuk mendapatkan kepuasan dan kegembiraan merupakan salah satu ciri kegiatan bermain. Bermain dengan imajinasi dan fantasi, memungkinkan anak mengeksplorasi dunianya sendiri. Pertama melalui perasaannya dan kemudian menggunakan pikiran dan logikanya. Melalui eksperimentasi, anak-anak menemukan dan merancang sesuatu yang baru dan berbeda sehingga menimbulkan kepuasan. Selanjutnya, anak dapat mengalihkan minat kreatifnya ke situasi di luar dunia bermain (Zellawati, 2011:164).

Graham mendefinisikan bermain merupakan perilaku motivasi intrinsik yang dipilih secara bebas dan berorientasi pada proses yang disukai. Sementara Sukintaka menyatakan dengan bermain anak-anak dapat mewujudkan potensi dalam bentuk gerakan, sikap, dan perilaku. Dari berbagai teori dan pandangan dapat diidentifikasi bahwa bermain adalah kemajuan anak untuk aktivitas fisik, secara sukarela untuk mengekspresikan dan memperoleh kekuatan dan kesegaran (Hardiyono, 2013:119). Selanjutnya, Brewer (Aulina, 2012:136) mengemukakan bermain adalah kegembiraan, sebuah kegiatan yang menyenangkan ketika melakukannya, bebas dari paksaan atau tekanan luar, spontan dan dilakukan dengan sukarela. Hal ini memberikan anak kesempatan untuk membuat, menemukan, dan mempelajari dunianya dengan perasaan euforia bagi anak dan pemahaman tentang dirinya sendiri dan orang lain.

(24)

terbuka tanpa batas. Bermain adalah sesuatu yang aktif dan dinamis, tidak statis sehingga tidak terbatas ruang dan waktu. Bermain juga berlaku bagi setiap anak disepanjang zaman, memiliki konteks hubungan sosial dan spontan, bermain juga sebagai sarana komunikasi dengan teman sebaya dan lingkungan.

Dari pendapat-pendapat di atas, di bangun konklusi bahwa bermain merupakan wadah bagi anak secara spontan untuk menyalurkan dan merasakan berbagai pengalaman seperti kegiatan motorik, kemampuan fisiologis, emosi, senang, bergairah, kecewa, bangga, marah serta melatih keterampilan berpikir (kritis dan kreatif) yang diprakarsai oleh kuatnya motivasi intrinsik sehingga anak dapat mengeksplorasi dan bereksperimen atas segala potensi yang ada dalam dirinya untuk kepentingannya sendiri baik bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Dengan demikian, bermain tidak terjadi karena adanya unsur paksaan secara ekstrinsik.

C. Fungsi Bermain

1. Pengembangan jasmaniah

(25)

tidak menimbulkan kecacatan otot, sendi, dan fisik pada anak saat melakukan aktivitas gerak.

Gambar 1.1

Komponen gerak dasar Sukintaka (Hartati, dkk., 2012:35) Bermain dapat meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani anak termasuk kemampuan bertanggung jawab terhadap kesehatan diri sendiri dan pola hidup sehat. Kesehatan diri sendiri dapat terjadi ketika anak-anak terbiasa dengan sebuah habituatif untuk selalu bergerak sehingga tidak menimbulkan cidera, kelelahan, dan penyakit-penyakit hipokinetik lainnya. Dengan kondisi fisik yang prima, kemampuan fisik anak tidak hanya penting dalam kegiatan bermain saja, tetapi juga penting bagi tugasnya yang lain, seperti belajar dan bekerja. Aspek-aspek organis pun akan

Dalam proses pembelajaran, guru merancang kegiatan gerak dasar baik secara mandiri maupun regu melalui

(26)

terbentuk secara baik, misalnya yang dikemukakan Nurhasan dan kawan-kawan (2005:6) bahwa kegiatan jasmaniah menjadikan fungsi sistem tubuh lebih baik, meningkatkan keharmonisan fungsi saraf, meningkatkan kekuatan otot, daya tahan otot dan kardiovaskuler, serta fleksibilitas.

Selain perkembangan fisik seperti yang dideskripsikan di atas, bermain penting pula untuk pengembangan keterampilan teknik lainnya. Hal ini dapat dilakukan dengan analisis yang tepat dan dengan frekuensi yang cukup, sehingga semakin terampil penguasaan terhadap teknik permainan maka semakin besar pula probabilitas ekspansi kepada olahraga prestasi.

2. Pengembangan sportivitas

Jika kita mencermati perkembangan fenomena sosial dewasa ini, baik di bidang pendidikan, olahraga, politik, ekonomi, dan hukum banyak terjadi perilaku-perilaku yang tidak sportif. Perilaku tersebut dapat berupa, nyontek pada saat ujian, nilai ujian disabotase, gelar palsu, ijazah palsu, menggunakan doping, kampanye hitam, dsb. Oknum-oknum tersebut akan menempuh berbagai perilaku curang untuk mewarnai segala kinerjanya dengan tingkat akuntabilitas yang rendah sebagai implikasi lanjutan dari proses pemodelan perilaku tidak sportif. Oknum ini umumnya kental dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Melihat fenomena tersebut, kebiasaan untuk berperilaku sportif harus ditanamkan sejak dini demi terpeliharanya karakter anak. Misalnya dalam kegiatan bermain, anak tidak diperkenankan mengikuti “kemauannya

sendiri” jika sudah ada aturan yang telah disepakati bersama

(27)

oleh teman, lawan, maupun fasilitator. Selama permainan berlangsung, sikap sportif anak dapat dimanifestasikan dengan menaati peraturan, memberi respek terhadap kelebihan teman baik dalam satu regu atau regu lawan, adil dalam memberikan keputusan pada saat menjadi wasit, menampilkan permainan secara wajar atau normal, dan jujur mengakui kekurangan diri dan kelebihan teman atau lawan selama permainan.

Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan menganulir kemenangan atau memberikan punishment

kepada anak melakukan perilaku tidak sportif. Namun yang terpenting adalah penyadaran konsepsi bahwa menjunjung tinggi sportivitas dalam segala kegiatan (permainan dan perlombaan) itulah kemenangan yang sesungguhnya. Karena hasil yang dicapai adalah dengan karya yang tidak kontradiktif dengan norma dan etika permainan, sehingga meskipun anak terobsesi untuk menang, namun dia tetap menggunakan sportivitas sebagai parameter utamanya. Dengan metode-metode demikian, maka pengembangan sportivitas lebih mudah dicapai dan tertanam dalam kegiatan bermain anak dan pola sosialisasinya.

3. Pengembangan keseimbangan mental

(28)

direkomendasikan agar membuat program yang dapat melatih anak-anak sehingga memiliki mental yang kuat (stabil) serta berpendirian teguh pada prinsip-prinsip yang memiliki konformitas dengan norma dan etika yang barlaku baik secara vertikal maupun horisontal.

Bermain mempunyai nilai-nilai yang positif, oleh karena itu nilai-nilai positif bermain diharapkan dapat memberikan dampak yang positif pula bagi anak. Seperti halnya dijelaskan oleh Landers & Arend (2007:469) bahwa kegiatan bermain menjadi berkembang melalui latihan tetapi tidak hanya baik untuk kesehatan fisik, tetapi juga itu sangat baik untuk kesehatan mental. Permainan juga dapat dipakai sebagai medan untuk mempraktikkan kompensasi yang positif bagi anak-anak yang mendapat tekanan batin, seperti: anak yang kehilangan sesuatu yang berharga, putus cinta, dsb. Hal ini dilakukan (bermain) untuk menghindari kompensasi negatif, misalnya: berjudi, minum-minuman keras sampai mabuk, seks bebas, pencurian, dll yang mengakibatkan kerusakan mental yang lebih luas pada diri anak. Bermain merupakan salah satu medan untuk menyalurkan emosi atau energi lebih sehingga melalui kegiatan jasmani pilihan (jenis permainan), emosi dan energi tersebut dimanajelisir dan disalurkan secara baik. Dengan demikian, kegiatan bermain juga memiliki nilai rehabilitasi dan kesehatan mental pada anak.

4. Pengembangan solidaritas

(29)

yang saling mengikat secara kekeluargaan antara satu dengan yang lainnya. Solidaritas adalah kesepakatan bersama secara kolektif dalam bentuk tanggung jawab, dukungan, kekerabatan, saling berbagi untuk sesuatu hal antara satu individu dengan individu lain.

Dengan mengintegrasikan nuansa pluralisme dalam sebuah situasi yang cair dan netral dengan mengetengahkan sikap-sikap saling menghargai, kohesif, kolektif, dan altruistis maka fungsi bermain untuk pengembangan solidaritas dapat terbentuk dengan baik. Fasilitator hendaknya melibatkan anak-anak yang tidak homogen tetapi heterogen baik latar belakang agama, kebudayaan, ras, suku, dsb, pada saat kegiatan bermain untuk melatih kepekaan sosial mereka

dengan saling mengenal dan mengetahui “dunia lain” yang

merupakan kekayaan Indonesia. Misalnya dalam permainan dalam permainan benteng dan mission imposible, setiap anggota akan berjuang keras untuk menyelamatkan rekan regunya yang disandera oleh regu lain tanpa adanya pengelompokkan-pengelompokkan tertentu.

(30)

Alhasil, pengembangan solidaritas anak dalam bermain akan terbentuk serta untuk menjaga kohesivitas, kolektivitas, dan sikap altruistis.

Gambar 1.2

Solidaritas siswa dalam pembelajaran Penjasorkes

5. Pengembangan kecintaan terhadap olahraga

Kecintaan terhadap olahraga sebenarnya bukan hanya penting bagi pribadi anak semata (individualis), tetapi penting juga untuk pengembangan olahraga baik bersifat lokal, regional, maupun nasional (sosialis). Kecintaan ini sebagai motivasi intrinsik awal anak yang akan memberikan pengalaman gerak yang dasar untuk gerak-gerak lanjutan yang lebih sempurna dan kompleks untuk olahraga profesional. Presiden Indonesia pun sering mengibarkan semangat kecintaan terhadap olahraga dengan semboyan:

“Mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan

(31)

Banyak waktu luang yang anak-anak dapat isi dengan kegiatan-kegiatan positif untuk mengembangkan dirinya yang tidak hanya di sekolah tetapi berlanjut ketika berada di luar sekolah. Keterbatasan maupun kesalahan dalam mengisi waktu luang tersebut juga dapat memberikan dampak negatif bagi anak (kenakalan remaja) dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Aksioma bahwa bermain telah digemari dari anak-anak sampai pada lanjut usia. Karena bermain mendatang kesenangan, kepuasan, dan sarana menyalurkan emosi-emosi. Bermain dalam tahapan yang lebih kompleks menjadi embrio dan dapat mendorong dalam ekspansi kepada olahraga prestasi tentu dengan rasa kecintaan anak terhadap olahraga pilihannya tersebut.

(32)

6. Pengembangan kecepatan proses berpikir

Kesangsian terhadap sumbangan kegiatan bermain bagi pengembangan kecepatan proses berpikir anak masih dijumpai. Orang masih terbatas mengatakan bahwa bermain hanya menghabiskan waktu dan tenaga saja, bermain hanya membentuk otot agar menjadi kuat dan kekar saja, atau paling-paling bermain hanya membuat anak untuk melakukan beberapa kecakapan seperti menendang bola dalam permainan sepak takraw atau sepakbola, men-driblle dalam permainan bola basket, memukul dalam permainan kasti, soft ball, bolavoli, dsb. Perspektif demikian menjelaskan bahwa orang hanya melihat bermain pada sudut pandang geraknya saja (psikomotor). Tidak heran kegiatan bermain masih disangsikan sumbangannya oleh berabagai kalangan dalam mencapai hasil belajar yang holistik.

(33)

Keberhasilan menekong atau men-smash bola tidak hanya bergantung pada kemampuan tekniknya saja (parsial). Daya persepsi, kecepatan proses bepikir, pengambilan keputusan, serta fungsi kejiwaan yang lain ikut terlibat. Pada saat bola dilemparkan, anak secara cepat membuat persepsi dan sensivitas sehingga menentukan keputusan dalam mengayunkan kakinya ke arah bola untuk mendapatkan hasil tendangan yang benar, tentu saja dengan kondisi mental yang siap, misalnya kepercayaan diri dan konsentrasi tinggi. Alhasil determinasi bermain untuk melatih kecepatan proses berpikir juga dapat dirasakan dan dibuktikan.

Gambar 1.3

Sensitivitas berpikir dalam menendang bola takraw

D. Bermain: Bagaimana Karakteristiknya?

Kaitannya dengan bermain, Hardiyono (2013:120-121) mengemukakan tiga karakteristik penting yang harus

(34)

diperhatikan, yaitu: 1) Bergerak, artinya harus ada gerakan dalam permainan yang dilakukan secara berkelanjutan dan berirama, misalnya gerakan berjalan, berlari, melangkah, dan merangkak. Kegiatan ini dapat meningkatkan ketahanan jantung dan paru-paru serta meningkatkan komposisi tubuh, 2) Elevator, artinya dalam permainan harus ada unsur gerak terhadap beban seperti mengangkat, membawa, memegang, dan menarik. Gerakan ini akan melatih kekuatan dan daya tahan otot, dan 3) Pelemasan, yang berarti bahwa bermain harus menjadi elemen gerak untuk meregangkan sendi termasuk pada otot. Gerakan ini akan melatih fleksibilitas sendi dan otot.

Tabel 1.1

Perbedaan antara bermain dan bekerja No Bermain Bekerja

1 Sukarela Kewajiban

2 Mendapatkan kesenangan Mendapatkan pengakuan 3 Secara alamiah Secara ilmiah

4 Spontanitas dan fleksibel Rutinitas dan sistematis 5 Bersifat sosialis Bersifat materialis

(35)

materialistik, maka kegiatan tersebut syarat dengan kegiatan bekerja (lihat tabel 1.1).

Selain tiga karakteristik yang telah dikemukakan oleh Hardiyono (2013:120-121) di atas, maka pada kesempatan ini penulis mencoba untuk memberikan enam karakteristik bermain adalah sebagai berikut:

1. Atas dasar motivasi dari dalam diri (intrinsicmotivation)

Motivasi digambarkan sebagai konsekuensi dari makna, yang merupakan kombinasi faktor pribadi dan sosial, termasuk tujuan pribadi atau insentif, harapan, persepsi pengalaman, gerakan, dan kegiatan sosial (Lewthwaite, 1990:808). Bermain hendaknya lahir dari inisiatif sendiri. Hal ini dimaksudkan bahwa kegiatan bermain diprakarsai oleh anak-anak yang terlibat dalam kergiatan bermain tersebut. Dengan motivasi intrinsik yang kuat, maka kegiatan bermain lebih menyenangkan, partisipatif, semangat, bermakna (meaningful) serta anak-anak lebih optimal dalam mengeksplorasi seluruh potensi yang ada pada dirinya. Potensi-potensi tersebut dapat meliputi, kecepatan, kelincahan, kelenturan, keterbukaan, keberanian, kejujuran, kreativitas, dan kekritisan sehingga dapat melatih kesehatan fisik, mental, emosional, kreativitas berpikir anak.

(36)

sehingga yang dicapainya adalah bagaimana menempatkan kegiatan bermain sebagai kebutuhan/ penting bagi dirinya

bukan “bonus” yang menjadi skala prioritas. Artinya bonus

dalam hal ini sebagai juara atau apapun itu yang sifatnya ekstrinsik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari prestasi yang dicapai anak dalam kinerjanya.

2. Berpikir yang positif (possitivethinking)

Perasaan anak melalui kecenderungan berpikir positif harus dapat mewarnai kegiatan bermainnya agar kegiatan bermain dapat membentuk dan membangun keharmonisan sosial-emosional dalam kehidupannya. Berpikir positif akan mendorong anak untuk selalu aktif dan partisipatif dalam berbagai hal. Misalnya anak secara kooperatif dan kolaboratif membangun interaksi dan komunikasi dengan sesamanya untuk mencapai suatu tujuan melalui kegiatan bermain. Seperti halnya yang dijelaskan Maksum (2011:151) bahwa:

“Dengan membiasakan berpikir positif dapat menumbuhkan rasa percaya diri, meningkatkan motivasi, dan menjalin kerjasama antara berbagai pihak. Pikiran positif akan diikuti dengan perkataan dan tindakan positif pula, karena pikiran

akan menuntun tindakan.”

(37)

perspektif, pengalaman hidup dan pentingnya belajar keterampilan mental atau keterampilan hidup yang positif. Misalnya, permainan “gala ase” anak dengan pikiran positifnya harus berusaha secara optimal untuk mengelabui lawannya dan menerobos pos-pos yang telah dijaga untuk mencapai kemenangan timnya. Anak tidak memikirkan apakah bajunya atau kakinya kotor, namun bagaimana dengan tanggung jawab, kepercayaan diri, dan semangat pantang menyerah, mampu mencapai target atau sasaran dalam permainan.

Gambar 1.4

Model hubungan antara pikiran, perasaan, perilaku, dan prestasi (Maksum, 2011:151)

3. Fleksibel (flexible)

Rubin dan rekan-rekannya menyampaikan bahwa fleksibel ditandai dengan mudahnya kegiatan beralih dari satu bentuk ke bentuk lainnya (Hartati, dkk., 2012:4).

Berpikir positif Perasaan

(38)

Karakteristik fleksibel memberikan kesempatan pada setiap subjek yang terlibat dalam kegiatan bermain (guru dan siswa) untuk tidak kaku dengan situasi, lingkungan, sarana, aturan, melainkan adanya unsur fleksibilitas dan pengembangan untuk mencapai sasaran. Sehingga kegiatan bermain tidak dapat berjalan dengan alasan-alasan yang dikemukakan sebelumnya (sarana tidak standar, aturan harus ideal, dsb.).

Permainan tidak boleh tiga salah satu contohnya. Jika populasi siswa yang terlibat dalam permainan tersebut sangat besar, maka dapat dimodifikasi menjadi permainan empat tidak boleh, lima tidak boleh dan seterusnya. Contoh tersebut juga dapat berlaku pada situasi dan kondisi yang lain, menggunakan lapangan in-door jika cuaca tidak bersahabat (hujan) atau menggunakan akar kayu sebagai tali tambang, kapur sebagai lintasan, dsb. Pada prinsipnya, kegiatan bermain melalui permainan didesain untuk mencapai tujuan (kesenangan), sehingga segala kemungkinan atau peluang untuk dilakukan modifikasi (karakteristik keluwesan) sangat dibutuhkan dalam proses pelaksanaannya.

4. Menekankan pada proses (emphasizeofprocesses)

(39)

kejadian demikian terjadi, maka anak-anak akan merasa tegang, kaku, serta monoton atas kegiatan bermainnya. Padahal, proses bermain harus diarahkan kepada kegiatan yang menyenangkan untuk kepentingan anak itu sendiri. Proses secara otomatis akan mengantarkan anak pada kecenderungan berpikir untuk mencapai kemenangan dengan kegiatan-kegiatan yang yang bermartabat serta mengintegrasikan domain pembelajaran (kognitif, afektif, dan psikomotor) secara ekuilistis.

Pentingnya proses dalam menjalankan kegiatan telah menjamur pada setiap ruang lingkup ilmu, salah satunya pada kegiatan pembelajaran. Metode yang menekankan pada proses telah berkontribusi terhadap kinerja anak, misalnya Oliver-Hoyo, et al. (2004:441) yang menerapkan model pembelajaran aktif berbasis masalah mempengaruhi pengembangan konseptual dan menekan miskonsepsi pada siswa, Dyson, et al. (2004:238) sport education, tactical games, cooperative learning, theoritical pedagogical considerations melatih siswa dalam pengambilan keputusan, interaksi sosial, dan pemahaman kognitif terhadap berbagai kegiatan fisik, Hackathorm, et al. (2011:40) menemukan

(40)

5. Bebas memilih (freeofchoice)

Salah satu critical point yang Jacman ajukan dalam mendefinisikan bermain adalah kegiatan bebas memilih yang dilakukan anak-anak (Aulina, 2012:136). Bermain merupakan salah satu bentuk kegiatan yang menyenangkan bila kegiatannya dilakukan secara sukarela, atas konasi dan kesadaran sendiri, sesuai preferensi anak, dan tanpa ada paksaan, maka kegiatan tersebut lebih menyenangkan dan bermakna. Untuk itulah, setiap anak yang bermain harus melakukannya dengan penuh kesadaran bahwa bermain itu lahir atas prakarsa sendiri. Jika bermain dalam nuansa kesenangan, maka anak secara mudah memilih sesuai keinginan, kebutuhan, dan karakteristiknya terkait dengan bentuk-bentuk kegiatan bermain yang hendak/ sementara dilakukannya. Musfiroh (Trinova, 2012:211) menjelaskan

bahwa: “…bermain bersifat fleksibel anak dapat dengan

bebas memilih dan beralih ke kegiatan bermain apa saja yang diinginkannya. Adakalanya anak berpindah-pindah dari satu kegiatan bermain ke kegiatan bermain lainnya yang tidak

terlalu lama.”

(41)

tersebut. Pada perspektif lain, dalam permainan fasilitator menerapkan model rewardandpunishment, maka seyogianya fasilitator juga melakukan konsensus (kesepakatan bersama) dalam menentukan bentuk reward and punismet tersebut, apakah memberi pujian, hadiah, dsb (bentuk reward) dan bernyanyi, push-up, sit-up, dsb (bentuk punishment). Keunggulan metode reward and pusnisment dapat melatih kepercayaan diri (Siedentop, 1983:103), menangani perilaku indisipliner (Indrawati & Maksum, 2013:304) serta melatih kekritisan berpikir siswa dalam melahirkan sebuah persepsi/ pendapat/ keputusan dan dipertanggungjawabkan secara baik.

6. Mempertimbangkan imajinasi (imagination equired)

Imajinasi sebagai dasar dari semua aktivitas kreatif, merupakan komponen penting dari berbagai aspek kehidupan. Ahmadi (2009:80) dalam bukunya berjudul

“Psikologi umum” mendefinisikan imajinasi sebagai

(42)

Melalui suasana bermain, guru/ fasilitator dapat memberikan reward atau apresiasi atas hasil kerja atau kinerja anak, dapat juga dilakukan dengan mengajukan

pertanyaan atau pernyataan yang “provokatif” atau “konfrontatif” serta mendorong anak untuk bereksperimentasi

dalam kegiatan bermainnya. Dalam bukunya yang berjudul:

“Teaching english creativity”, Cremin, et al. (2009:1) menyatakan energi imajinasi dapat mengembangkan kinerja, kepercayaan diri, kreativitas, membangun sikap positif untuk belajar. Implementasi kegiatan bermain yang membutuhkan daya imajinasi anak sangat penting, untuk itu guru/ fasilitator harus mampu memediasi proses bermain yang tidak kaku, monoton, dan konvensional sehingga daya imajinasi anak dapat berkembang secara optimal. Misalnya, dalam permainan tarian bombastik, anak berimajinasi laksana sedang bergoyang sehingga harus melakukan gerakan goyang sebaik mungkin untuk mempertahankan hula-hop sehingga tidak terjatuh ke tanah.

E. Jenis-Jenis Kegiatan Bermain

(43)

Keenam pengelompokkan jenis kegiatan bermain yang dipaparkan di atas saling berkaitan satu dengan lainnya (tidak dapat dipisahkan), sehingga guru/ fasilitator tinggal memilih jenis kegiatan bermain yang sesuai dengan karakteristik situasi dan kondisi anak dan pencapaian tujuan permainan. Jenis-jenis kegiatan bermain yang hendak dijelaskan dalam buku ini hanya merupakan panduan umum bagi guru/ fasilitator untuk mengimplementasikannya dalam proses pembelajaran Penjasorkes. Jenis kegiatan bermain ini dapat meiliputi: 1) Bermain fisik; 2) Bermain intelektual; 3) Bermain ekspresi; 4) Bermain manipulasi; dan 5) Bermain simbolik.

1. Bermain fisik

Bermain fisik meliputi kegiatan yang menggunakan fisiknya dalam menyalurkan energi anak secara bebas dan memberikan kesempatan untuk anak mengembangkan keterampilan motoriknya secara optimal. Bermain fisik juga manfaat kesehatan anak dan sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangannya (pengetahuan dan afektif anak), misalnya pada saat anak merangkak, berjalan, berguling, dan berlari.

(44)

2. Barmain intelektual

Meskipun dikatakan bermain intelektual bukan serta merta tidak membutuhkan kegiatan motorik lainnya serta sebaliknya bukan menegaskan juga bahwa jenis kegiatan bermain yang lainnya tidak memerlukan intelektual. Pada kegiatan bermain intelektual lebih difokuskan pada kecerdasan intelektual semata. Bermain jenis ini memerlukan pemikiran dan konsentrasi yang tinggi dan hanya sedikit menggunakan kegiatan fisik untuk mengimplementasinya, misalnya dalam permainan catur, billiard, bridge, menembak, dsb.

Meskipun bermain jenis ini juga menjaga bagian dari rumpun kegiatan bermain (salah satu jenisnya), namun tetaplah perlu digaris bawahi bahwa anak-anak dalam masa perkembangan lebih membutuhkan kegiatan fisik yang optimal dalam bermain. Tubuh yang masih muda memerlukan latihan-latihan fisik yang giat dan sistematis untuk meningkatkan fungsi-fungsi organ secara bertahap dan berkelanjutan.

3. Bermain ekspresi

(45)

Jika media yang digunakan dalam bermain ekspresi termasuk kain, pensil, spidol, kertas, air, dsb untuk mencipta sebuah karya seni, maka anak telah melatih ekspresinya secara kreatif pada media tersebut. Namun, jika ekspresi pada anak disalurkan hanya semata-mata untuk membebaskan dirinya dari perasaan tertentu, maka itu merupakan bentuk ekspresi yang tidak kreatif dari anak. Untuk itu, sebagai guru/ fasilitator harus mengambil peran aktif dengan memoderatori situasi dan kondisi secara baik sehingga anak dapat menggunakan media-media tersebut untuk mengekspresikan perasaannya secara kreatif dalam kegiatan bermainnya.

4. Bermain manipulasi

Anak-anak dapat mengontrol atau menguasai lingkungannya melalui kegiatan bermain pada saat anak bermain manipulasi. Pada dasarnya bermain manipulasi adalah sebuah situasi rekayasa yang memuat beberapa realita untuk menstimulasi respons dunia nyata anak-anak yang terlibat dalam kegiatan bermain. Ketika anak bermain, maka lingkungan distrukturalisasi dan orang lain atau subjek dimanipulasi sedemikan rupa untuk keberlangsungan dan pencapaian makna dari koneksi kegiatan bermain anak dengan dunia nyata.

(46)

menemukannya, anak menendang bola dan guru/ fasilitator mengembalikan bola untuk ditendang lagi.

5. Bermain simbolik

Permainan ini secara simbolik mengungkapkan masalah-masalah yang dijumpai anak dalam kehidupannya. Anak dapat menggunakan drama atau ilustrasi untuk memperkuat kegiatan bermainnya dengan imajinasi-imajinasi untuk mengubah pengalaman menyakitkan dalam hidupnya. Jika anak yang berada dalam keluarga yang tidak harmonis (kasar), maka anak cenderung berpura-pura menjadi seorang ibu yang mencintai dan memeluk anaknya untuk memberikan kenyamanan dan kedamaian. Atau jika sebaliknya anak mengadopsi peran “kasar” dalam keluarga, maka anak cenderung terpolarisasi dengan perilaku antagonis dengan memukul atau berteriak pada temannya atau boneka sebagai media yang melambangkan subjek/ anak lainnya.

Pada kegiatan bermain lainnya, anak mungkin berpura-pura menjadi seorang model/ pahlawan (misalnya superman,

(47)

Tugas dan Latihan

1. Jelaskan pengertian bermain dan permainan menurut Anda! 2. Uraikanlah persamaan dan perbedaan antara bermain (play) dan

permainan (game)!

3. Uraikanlah karakteristik kegiatan bermain menurut Anda! 4. Nilailah kelebihan dari lima jenis kegiatan bermain!

(48)

Bab 2

Bermain, Permainan, dan

Olahraga: Teori dan Aplikasi

Pada saat bermain, fisik anak melakukan kegiatan yang dapat merangsang perkembangan gerak halus dan gerak kasar. Anak juga mendapatkan sistem keseimbangan, misalnya pada saat anak melompat atau berayun.

Anak juga berkesempatan untuk melibatkan koordinasi mata dan tangan (Khasanah, dkk., 2011:95).

A. Pendahuluan

Jika kita mencermati atlet-atlet profesional dalam bidang olahraga (peak performance), mereka begitu lincah dan anggun dalam mengelolah tubuhnya serta mampu menguasai media-media yang digunakan dalam suatu pentas olahraga (misalnya: sepakbola, bolavoli, silat, senam, dsb.). Sebut saja Leonel Andres Messi, kemampuannya dalam mengolah si kulit bundar baik itu

(49)

mengklasifikasikan berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Guttman (lihat gambar 2.8), maka olahraga (sport) adalah kulminasi dari kegiatan bermain (play) dan permainan (games). Ada sejumlah teori yang sudah dikembangkan oleh para pakar terkait dengan kegiatan bermain dan permainan, di antaranya: 1)

Surplus energy theory (Herbert Spencer); 2) Recreation theory

(Lazarus Moritsz); 3) Pre-exercise theory (Karl Groos); 4)

Recapitulation theory (Granville S. Hall); 5) Psychoanalytic theory (Sigismund S. Freud); 6) Cognitive theory (Jean Piaget); dan 7) Socioculturaltheory (Lev S. Vygotsky).

Plato, Aristoteles, dan Frobel mengungkapkan bermain sebagai kegiatan yang bernilai praktis. Artinya, bermain digunakan sebagai media untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan praktis (Hartati, dkk., 2012:6-7). Permainan merupakan kegiatan bermain yang diorganisasikan serta melibatkan kompetisi, dengan demikian permainan memiliki anturan-aturan untuk para pemainnya. Situasi alamiah yang membawa anak dalam kegiatan bermain dan permainan memberi implikasi dalam melatih pengalaman gerak anak baik lokomotor, non lokomotor, dan manipulatif. Sedangkan olahraga memiliki karakteristik permainan yang telah dilembagakan serta mempertunjukkan keterampilan-keterampilan yang khas dalam mencapai kemenangan.

(50)

kegiatan jasmani, karena sifat gerak anak yang heterogen serta tujuan pendidikan yang holistik, maka metode bermain dan permainan sangat feasibel. Sedangkan olahraga dapat diaplikasikan dalam kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler untuk mempersiapkan anak-anak yang memiliki kemampuan dan keterampilan khusus untuk berkompetisi dalam sebuah iven yang telah dikategorisasi berdasarkan induk organisasinya.

B. Teori-Teori dalam Bermain

1. Surplus energy theory: Herbert Spencer

Lahir di Inggris tepatnya di Derby pada 27 April 1820, dialah Herbert Spencer, seorang filsuf, sosiolog, antropolog, psikolog, dan bahkan juga politikus yang mendunia pada masanya. Pada usia 17 tahun, pria yang kerap disapa Spencer ini sudah menjadi insinyur di pembanguan jalan kereta api. Ketertarikannya pada ilmu biologi muncul dari pekerjaannya di Brimingham sebagai insinyur jalan kereta api. Hal inilah yang selanjutnya menarik perhatiannya di bidang evolusi, yaitu ketika ia memulai melakukan investigasi pada fosil yang diambil dari potongan kereta api. Filsuf sosial Inggris yang pernah dekat dengan Marian Evans ini melanjutkan karirnya di bidang jurnalistik, menjadi penulis dan redaktur

“The economist. Sebuah tabloid mingguan yang penting pada saat itu untuk kelas menengah atas di tahun 1850. Sepanjang hidupnya, Spencer tekun mempublikasikan berbagai karya ilmiahnya, antara lain: a) Social statistics

(1850); b) Principles of psychology (1855); c) Principles of biology (1861); dan d) Principles of sociology (1873),

(51)

Salah satu teori yang paling menonjol muncul dari karya filsuf dan sosiolog Inggris ini adalah penguaraiannya tentang teori surplus energi yang menjelaskan alasan hewan terlibat dalam kegiatan bermain. Spencer mengembangkan pandangan Schiller bahwa pada prinsipnya terdapat hubungan antara bermain, seni, dan estetika. Dirinya percaya, perhatian dengan penampilan estetika terwujud pada manusia yang bertindak atas dorongan “untuk mempertahankan kenikmatan kebutuhan luar” dan dengan demikian dapat merangsang imajinasinya dalam mewujudkannya. Kebutuhan luar dalam perspektif Spencer adalah perjuangan untuk bertahan hidup dalam masa evolusi hewan.

Gambar 2.1

Herbert Spencer (www.google.com)

(52)

dapat diilustrasikan sebagai sistem kerja air atas gas yang akan menekan ke semua arah untuk mencari penyalurannya. Jika volume air atau gas tersebut melimpah atau meluap melebihi daya tampungnya, maka butuh penyaluran yang lebih banyak pula sehingga air atau gas tersebut dapat tersalurkan secara baik (Hartati, dkk., 2012:7). Bermain yang diperlukan untuk memungkinkan anak-anak untuk melepaskan energinya yang terpendam. Spencer berargumen bahwa alam melengkapi manusia dengan sejumlah energi yang akan digunakan dalam proses hidup. Jika energi ini tidak digunakan untuk tujuan itu, harus dibuang entah bagaimana caranya dan anak-anak melepaskan kelebihan energinya dengan bermain. Dalam berbagai tulisannya, Spencer mengungkapkan bahwa belajar harus dibuat menyenangkan seperti halnya dengan bermain.

2. Recreation theory: Moritz Lazarus

Filsuf dan psikolog Jerman ini lahir di kota Filehne (sekarang Wielen), Polandia pada tahun 1824. Pada tahun 1850 Lazarus memperoleh gelar Ph.D. di UniversityofBerlin

dan pada tahun yang sama menikahi Sarah Lebenheim (istri pertamanya). Ia pertama kali di angkat sebagai profesor kehormatan di University of Bern. Setelah itu menjadi dekan fakultas filsafat, dan akhirnya menjadi rektor. Lazarus kembali ke Berlin dan di angkat sebagai profesor di

University of Berlin pada tahun 1873. Pada tahuan 1850,

buku pertama Lazarus berjudul: “Die sittliche berechtigung

(53)

resort kesehatan, di mana ia menyelesaikan karya besarnya yaitu ethik des judentums (2 jilid, 1898-1911) yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Henrietta Szold sebagai ethics of judaism (2 jilid, 1900-1901). Lazarus menulis banyak karya tentang psikologi bangsa (voelker psychologie), karyanya yang paling terkenal adalah “Das leben der seele (3 jilid, 1883-1973) yang diterbitkan dalam beberapa edisi.

Aliran teori rekreasi memandang bermain sebagai cara memulihkan energi dari kelelahan karena tugas-tugas yang telah dilakukan individu dalam kegiatan tertentu. Dengan bermain, energi yang telah dikeluarkan akan kembali normal melalui kegiatan-kegiatan terpilih dalam bentuk permainan. Teori ini kontradiktif dengan terori sebelumnya yang diajukan oleh Herbert Spencer. Artinya, jika dalam pandangan Spencer, individu bermain untuk menyalurkan energi lebih (surplus energy), maka Lazarus berdalil bahwa bermain bukan untuk menyalurkan energi lebih dalam diri individu, melainkan sebagai bentuk pemulihan (recorvery) dari energi yang telah dikeluarkan oleh individu tersebut.

(54)

bekerja sepanjang hari secara bersamaan membuang kelebihan energi fisik dan mengembalikan energi mentalnya. Perjelasan ini semakin mempertegas bahwa manfaat dari kegiatan bermain tidak hanya selalu dikonotasikan dengan melatih kekuatan otot semata, melainkan ada manfaat rehabilitasi untuk kesehatan saraf dan mental individu.

Gambar 2.2

Moritz Lazarus (www.google.com)

3. Pre-exercise theory: Karl Groos

(55)

fungsi-fungsi dikemudian hari dan permainan dinggap penting dalam praktik ilmu pendidikan. Karya-karya Karl Gross antara lain: a) Die spiele der tiere tahun 1896; b) Das Seelenleben des kindes tahun 1904; dan c) Der lebenswert des spieles tahun 1910. Karl Groos meninggal di Tubingen-Jerman pada bulan Maret tanggal 27 tahun 1946 diusia 85 tahun.

Karl Groos menekuni bidang psikologi dan pengembangan anak, ia merumuskan teori psikologi dari permainan yang dinamai sendiri sebagai einubungs atau teori pelajaran dengan tenaga sendiri. Diartikan bahwa permainan yang di masa kecil dan remaja, terutama fungsi biologis merupakan persiapan menyenangkan untuk tugas di masa depan dan tanggung jawab memenuhinya pada saat dewasa. Dalam bukunya yang berjudul: “The play of animals and the play of man tahun 1898, profesor filsafat ini manyajikan pandangan yang berbeda tentang bermain. Groos melihat bermain sebagai latihan dan praktik untuk pengembangan keterampilan dan kemampuan yang diperlukan dikemudian hari (persiapan anak-anak untuk kehidupan dewasa). Aliran teori ini juga masih mangadaptasi teori evolusi Charles Darwin sehingga anak yang terlibat dalam kegiatan bermain dapat membantunya melatih diri untuk fungsi-fungsi dikemudian hari, serta dapat pula mempertahankan hidup dengan berbagai keterampilan motorik yang dimilikinya.

(56)

itu sendiri merupakan sumber kesenangan. Eksperimen yang dilakukan dengan dinamometer, sphygmograph, pneumatograph, dan plethysmograph menunjukkan bahwa kegiatan yang disertai unsur kesenangan, aktivitas otot, percepatan denyut nadi, respirasi, dan meningkatkan sirkulasi perifer. Hal ini lumrah, bahwa kegiatan energik pada saat bermain koheren dengan perasaan senang. Ketika anak menikmati permainan yang memerlukan banyak pengeluaran energi, maka semua fungsi dipercepat, jantung berdetak lebih cepat, respirasi meningkat di semua frekuensi dan anak-anak mengalami perasaan yang legah.

Gambar 2.3

Karl Groos (www.google.com)

(57)

kegiatan bermain sebagai bentuk latihan dasar bagi anak yang menjadi modal untuk dikembangkan kepada olahraga prestasi maupun sebagainya. Misalnya pada anak bayi, ia belajar merangkak untuk melatih kemampuan motorik sesuai tahapan perkembangan usianya (contohnya untuk berjalan nanti). Pada anak-anak yang terlibat dalam kegiatan bermain

fast and various dapat melatih keterampilan untuk menjadi pemain sepakbola, karena karekteristinya motoriknya sama dalam permainan, yaitu kecepatan, kelincahan, kekuatan, dan daya tahan.

4. Recapitulationtheory: Granville Stanley Hall

Granville Stanley Hall adalah presiden pertama dari

American Psychological Association (APA), nama tidak hanya dikenal di bidang psikologi saja, tetapi juga di bidang pendidikan. Pria kelahiran 1 Februari 1844, di Ashfield, Massachusetts ini menempuh pendidikan doktoralnya (Ph.D) di Harvard University dalam bidang psikologi yang dibimbing oleh William James. Selanjutnya ia mengajar di

Johns Hopkins University serta atas semangat visioner, kegigihannya, dan kerja kerasnya Hall berhasil mendirikan

ClarkUniversity pada tahun 1888 dan sebagai rektor pertama di kampus terebut. Dirinya dianggap sebagai pelopor dari anak psikologi pendidikan dan gagasan-gagasannya juga mempengaruhi psychoanalytic theory yang dikembangan oleh Sigismund S. Freud. Pada tanggal 24 April 1924 akhirnya Hall menutup usianya.

Jejak teori rekapitulasi pertama kali direkam pada masa

(58)

Secara luas diadakan antara teori tradisional tentang asal-usul bahasa (glottology), yang diasumsikan sebagai premis bahwa pemakaian bahasa anak-anak memberikan wawasan tentang asal-usul dan evolusi. Gagasan ini direplikasi kembali pada tahun 1720 oleh Giambattista Vico dalam bukunya yang berpengaruh, yaitu Scienza Nuova. Ini pertama kali dirumuskan dalam ilmu biologi pada tahun 1790-an di antara para filsuf alam Jerman dan Marcel Danesi merekomendasikan sehingga segera mendapatkan status hukum biogenetis.

Teori rekapitulasi, juga disebut hukum biogenetis atau

parallelism-embriologis dan sering dinyatakan dalam kalimat Ernst Haeckel “ontogeny recapitulates phylogeny” adalah hipotesis biologis umumnya mendeskripsikan bahwa dalam perkembangan dari embrio sampai dewasa, hewan melalui tahap-tahap yang menyerupai atau mewakili tahapan dalam evolusi leluhur terdahulu. Embrio juga berkembang dengan cara yang berbeda, dalam bidang biologi perkembangan teori rekapitulasi dipandang sebagai catatan sejarah bukan sebagai dogma. Dengan formulasi yang berbeda, gagasan-gagasan seperti itu telah diaplikasikan dan diperluas ke beberapa bidang ilmu, termasuk asal-usul bahasa, agama, biologi, pengetahuan, kegiatan mental, antropologi, teori pendidikan, dan psikologi perkembangan. Teori rekapitulasi masih dianggap rasional dan diaplikasikan oleh berbagai peneliti dalam bidang seperti studi tentang asal-usul bahasa, perkembangan kognitif, dan pengembangan perilaku dalam spesies hewan.

(59)

rantai evolusi, yaitu dari binatang sampai pada manusia, sehingga anak-anak akan mereplikasi kembali kehidupan leluhur dalam kegiatan bermainnya (motorik) sebagai manifestasi dari mata rantai evolusi. Hall menunjukkan pentingnya anak usia dini sampai remaja sebagai titik balik dalam pertumbuhan psikologis. Baginya, masa hanyalah perpanjangan dari perkembangan embriologis. Pada saat bermain, sebernarnya anak tidak melakukan sesuatu yang benar-benar baru, malainkan melakukan kembali pengalaman-pengalaman yang sudah ada sebelumnya, sehingga kegiatan yang muncul bukanlah sesuatu yang asing bagi anak melainkan pengalaman motorik yang kental dengan sifat-sifat genetiknya. Meskipun secara motorik direplikasi, namun kegiatan bermain tidak dipandang sebagai bentuk kegiatan yang mengembangkan keterampilan insting masa depan, namun berfungsi berfungsi untuk menyingkirkan keterampilan insting primitif dan konservatif yang tidak perlu dibawa oleh keturunan lanjutan. Anak melewati serangkaian kegiatan bermain sesuai rekapitulasi tahapan budaya dalam bentuk perlombaan maupun pertandingan ataupun bersifat individual maupun regu.

(60)

keberlangsungan hidupnya, namun kegiatan-kegiatan tersebut direplikasi untuk kepentingan bermain dalam mencari kesenangan dan menyalurkan energi lebih pada anak (misalnya permainan benteng, tidak boleh tiga, dan hitam-hijau, dsb.).

Gambar 2.4

Granville S. Hall (www.google.com)

5. Psychoanalytic theory: Sigismund S. Freud

(61)

eutanasia. Salah satunya karya terbaiknya yang masih

diadaptasi sampai dengan sekarang ini adalah “The ego and

theid” (das ich und das es), buku ini merupakan studi analitis dalam menjabarkan teori-teori dari kejiwaan tentang id, ego, dan super-ego yang sangat penting dan mendasar dalam pengembangan psikoanalisis. Karya tersebut pertama kali dipublikasikan pada tanggal 24 April 1923 oleh Internationaler Psycho-Analytischer Verlag (Vienna), W. W. Norton and Company.

Doktor kesehatan Viennese ini awalnya dilatih dalam bidang neurologi, yang kemudian terinspirasi dari karya-karya Charles Darwin yang menjelaskan perilaku manusia dalam hal evolusi. Atas kinerja dan karyanya yang fenomenal di bidang psikologi, Freud dinobatkan sebagai salah satu trailblazer ahli saraf moderen dan psikiater kritis asal Yahudi yang paling mempengaruhi berbagai pemikiran-pemikiran di abad tersebut. Freud merintis teknik baru untuk memahami perilaku manusia dan usahanya menghasilkan teori yang paling komprehensif tentang kepribadian dan psikoterapi. Pendekatan secara luas dan holistik untuk menyembuhkan neurosis dengan analisis psikologis, tidak hanya terbatas dalam metode investigasi proses mental dan metode terapi, tetapi juga untuk fungsi psikis.

(62)

mengatasi konflik dan pengalaman yang tidak menyenangkan. Dengan bermain, anak telah mampu memproyeksikan fantasinya untuk menjadi figur atau profesi yang diidamkan oleh anak tersebut di kemudian hari. Teknik ini secara umum telah digunakan oleh sejumlah kalangan. Misalnya anak-anak yang ingin menjadi seorang dokter, maka dirinya akan mememilih kegiatan-kegiatan bermain yang menyerupai seorang dokter (pakaian, media, dsb.) dan memanipulasi lingkungan bermain seperti di rumah sakit. Selain itu, bermain juga sebagai media yang penting untuk anak menyalurkan dan melepaskan emosinya serta mengembangkan penghargaan atas diri sendiri ketika anak dapat menguasai tubuhnya, media, dan sejumlah keterampilan sosial lainnya pada saat anak bermain.

Gambar 2.5

Sigismund S. Freud (www.google.com)

(63)

(HUT) RI, di Provinsi NTT selalu melakukan pawai karnaval, dalam pawai ini juga sebenarnya telah mengimplementasikan teori Freud tersebut, di mana setiap partisipan akan bermain peran untuk memproyeksikan ekspektasinya kelak, sehingga ada yang berperan sebagai polisi, guru, hakim, petani, politisi, dsb. Dengan peran tersebut, anak terlihat begitu antusias untuk berpartipasi, meskipun mereka harus berjalan dengan jarak yang relatif panjang tanpa adanya pengeluhan, karena memang psikologis anak-anak tersebut telah tersalurkan secara baik dengan bermain peran tersebut (fantasi atau lamunan).

6. Cognitive theory: Jean Piaget

Filsuf, ilmuwan, psikolog, dan pendidik berkebangsaan Swiss ini lahir pada tanggal 9 Agustus 1986 di Neuchatel dari pasangan Arthur Piaget dan Rabecca Jackson. Ayahnya yang berprofesi sebagai dosen di University of Neuchatel

mendorong Piaget untuk aktif dan partisipatif dalam kegiatan-kegiatan akademik (membaca, menulis, dan meneliti). Sepanjang karirnya, Piaget dianugerahi gelar oleh kalangan ilmuwan lainnya sebagai seorang interaktionis dan juga konstruktivis. Piaget adalah salah satu figur penting dalam psikologi perkembangan, teori-teorinya dalam psikologi perkembangan yang menekankan pada unsur kesadaran kognitif masih diadaptasi oleh ilmuwan lainnya di seluruh belahan bumi sampai saat ini. Piaget akhirnya menutup usia pada tanggal 16 September 1980 di Jenewa, Swiss.

(64)

proses gradual, tahap demi tahap dari fungsi intelektual dari konkrit menuju abstrak. Pada tahapan perkembangan tertentu akan muncul skema atau struktur kognitif tertentu yang keberhasilannya pada setiap tahap sangat bergantung kepada pencapaian tahapan sebelumnya (Suyono & Hariyanto, 2011:83). Bermain berasal dari kegiatan anak dari tiga karakteristik mendasar dari modus pengalaman dan perkembangannya. Tiga karakteristik tersebut meliputi: asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Asimilasi adalah proses kognitif di mana anak membentuk persepsi, konsep, atau pengalaman baru secara fisik (bermain) ke dalam skema yang sudah ada dalam pikiran. Akomodasi adalah pembentukan skema baru atau mengubah skema lama sehingga sesuai dengan rangsangan baru yang diterima anak dalam kegiatan bermain. Sedangkan ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi, di mana anak dapat mengintegrasikan rangsangan baru dengan skema kognitif yang ada di dalam pikirannya untuk mendapatkan keseimbangan kognitif dalam kegiatan bermain. Anak menciptakan sendiri pengetahuan tentang dunianya melalui interaksinya ketika bermain. Karena kegiatan bermain berhubungan dengan perkembangan kognitif maka perkembangan kognitif anak juga mempengaruhi kegiatan bermainnya sehingga adanya hubungan interaktif di antara kedua varibel tersebut.

(65)

berpikir anak; b) Anak akan bermain dengan baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik, guru harus membantu anak mengakomodasi lingkungan tersebut sehingga anak dapat bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya secara optimal; c) Media yang dipelajari anak hendaknya dirasakan sebagai media baru namun tidak asing baginya; d) Anak diberikan kesempatan untuk bermain sesuai dengan tahapan perkembangannya tanpa adanya intervensi lebih dari guru/ fasilitator; dan e) Pada saat bermain, hendakanya anak-anak diberikan kesempatan untuk saling berbicara dan berdiskusi dengan teman-temannya untuk mengafirmasi keterampilan berpikirnya.

Gambar 2.6

Jean Piaget (www.google.com)

7. Sociocultural theory: Lev Semyonovich Vygotsky

(66)

Moscow State University (1913-1917). Setelah lulus, ia mulai mengajar di berbagai lembaga. Proyek penelitian besar Vygotsky pertama adalah pada tahun 1925 tentang seni psikologi. Beberapa tahun kemudian, ia mengejar karir sebagai seorang psikolog yang bekerja dengan Alexander Luria dan Leontiev Alexei dan berkolaborasi mengembangkan pendekatan psikologi Vygotskian. Meskipun tidak memiliki pelatihan formal dalam psikologi tetapi dirinya terpesona dan terpikat untuk menekuni bidang psikologi dan menghasilkan beberapa karya ilmiahnya, misalnya: a) Thought and language (1962); b) Mind and society (1978); dan c) The psychology of art (1971). Gagasan-gagasannya dikembangkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan baik di bidang pendidikan, psikologi, sosiologi, dsb. Pada tanggal 19 Juni tahun 1934 Vygotsky meninggal karena mengidap penyakit tuberkulosis (TBC).

(67)

saat bermain. Cara terakhir bahwa yang dilupakan orang lain adalah melalui pendekatan kolaboratif, yang melibatkan sekelompok rekan-rekan yang berusaha untuk memahami satu sama lain dan bekerja sama untuk belajar keterampilan tertentu.

Gambar 2.7

Lev S. Vygotsky (www.google.com)

Empat prinsip dasar pengembangan sociocultal theory

(68)

membebaskan anak dari hambatan yang didapatnya dari lingkungan. Pada perspektif ini, bermain memberi kesempatan pada anak untuk melakukan kontrol yang lebih besar terhadap situasi yang dihadapi pada situasi nyata (sesuai realita yang ada). Anak-anak bermain menggunakan makna tertentu sehingga anak dapat mencapai tingkatan proses berpikir yang lebih tinggi dengan simbol dan media yang membentuk makna-makna baru selama berlangsungnya kegiatan bermain.

C. Aplikasi Bermain, Permainan, dan Olahraga

Buku dengan judul “The Principles of physical education”

(69)

Gambar 2.8

Hubungan antara bermain, permainan, dan olahraga (Guttman dalam Dwiyogo, 2010:18)

Guttman mengeksplanasikan hubungan antara bermain, permainan, dan olahraga. Pendapatnya selanjutnya dikutip oleh Freeman bahwa bermain adalah bentuk kegiatan yang tidak produktif untuk menyenangkan diri sendiri. Bermain sendiri dikelompokkan menjadi dua, yaitu spontanitas dan permainan (games). Permainan merupakan kegiatan bermain yang diorganisasikan. Selanjutnya permainan dikelompokkan lagi menjadi dua, yaitu tidak dipertandingkan dan yang

Fisik (sport) Intelektual

Dipertandingkan (contest) Tidak

dipertandingkan

Diorganisasikan (games) Spontanitas

(70)

dipertandingkan (contest) dan kegiatan yang dipertandingkan juga dikelompokkan menjadi dua, yaitu intelektual dan fisik (Dwiyogo, 2010:18). Dengan demikian kegiatan olahraga, permainan, dan bermain memiliki hubungan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan dari motif dan motivasinya. Kencenderungan tersebut dapat dilihat dalam setiap level optimalisasi kegiatan fisiknya, yang mana pada level tertinggi (sport), kegiatan fisik lebih poduktif, terarah, terikat, dan terorganisir secara baik dalam sebuah induk olahraga untuk pencapaian prestasi.

(71)

Kegiatan bermain merupakan bagian dari kegiatan kehidupan yang nyata dan konkrit.

Keinginan individu untuk terlibat dalam kegiatan bermain adalah untuk mendapatkan “kebahagiaan” (Webb, 1999:25). Ketika anak-anak bermain, sangat jarang mereka mengukur persaingan secara formal atau merayakan kemenangan maupun menyesali kekalahannya. Bermain adalah bermain, tidak lebih maupun tidak kurang untuk simbol materialisnya. Bermain di luar kehidupan sehari-hari adalah normal, memiliki kualitas khusus yang esensial untuk anak-anak. Ini adalah “pelarian” dan

“dongeng” serta menjadi kegiatan yang diinginkan anak-anak. Tidak ada aturan, selain yang dikenakan oleh para pemain, tidak ada batas selain imajinasi, dan tidak ada konsekuensi selain kegembiraan (Laker, 2002:10). Salah satu medan yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan permainan adalah dalam pembelajaran Penjasorkes. Desain permainan yang ditawarkan guru dapat meleburkan perilaku “jenuh” menggunakan intrik kognitif dari anak untuk memulai kegiatan fisiknya selama proses pembelajaran. Intrik kognitif sebagai keajaiban yang merangsang dan memotivasi secara intrinsik individu untuk secara sukarela terlibat dalam kegiatan bermain (Farenga, et al., 2010:125).

Gambar

Gambar 1.1 Komponen gerak dasar Sukintaka (Hartati, dkk., 2012:35)
Gambar 1.2 Solidaritas siswa dalam pembelajaran Penjasorkes
Gambar 1.3 Sensitivitas berpikir dalam menendang bola takraw
Gambar 1.4  Model hubungan antara pikiran, perasaan, perilaku,
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dewasa ini telah mencapai tingkat yang begitu pesat. Perkembangan dan ke -modern- an IPTEK ini memberikan

Dewasa ini, teknologi komputer berkembang sangat pesat. Semakin pesatnya suatu ilmu pengetahuan yang berkembang, maka semakin modern pula alat-alat yang diciptakan

Dalam konteks praktik seni media dan perkembangan teknologi baru, integrasi antara seni, ilmu pengetahuan dan teknologi dalam hal ini juga memiliki peran yang penting dalam

Perkembangan teknologi informasi muncul sebagai akibat semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi. merebaknya globalisasi dalam kehidupan organisasi, semakin kerasnya

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat dewasa ini menimbulkan pengaruh terhadap seluruh aktivitas yang dilakukan oleh setiap instansi, baik

Sejalan dengan lajunya perkembangan dunia teknologi modern saat ini,mengakibatkan perubahan kehidupan manusia dalam menangani setiap permasalahan yang terjadi yang

Perkembangan dibidang teknologi dan ilmu pengetahuan membuat sektor usah harus semakin peka dalam peningkatan kualitas sumber daya yang dimilikinya. Oleh karena itu

“ Kompetensi profesional merupakan kemampuan guru dalam menguasai bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya yang diampunya yang sekurang- kurangnya meliputi