• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permainan Kecil dan Tingkat Kebermanfaatannya

Dalam dokumen PERMAINAN KECIL TEORI DAN APLIKASI (Halaman 80-93)

Setiap kegiatan yang dilakukan akan bermakna jika memiliki manfaat. Manfaat ini dapat dirasakan secara langsung maupun tidak langsung, atau jangka pendek, menengah, maupun panjang. Seperti halnya dalam bermain juga akan bermakna jika terdapat sejumlah manfaat, setidaknya secara umum ada tiga manfaat yang tingkat konformitasnya sama dengan hasil belajar (psikomotor, afektif, dan kognitif). Selain, ketiga manfaat tersebut, sebenarnya banyak manfaat positif lainnya yang didapatkan dalam kegiatan bermain, misalnya Khasanah, dkk. (2011:94) dan Kholik & Sari (2013:103) menjelaskan kegiatan bermain bermanfaat untuk merangsang perkembangan sensorik- motorik, intelektual, bahasa, sosial-emosional, kreativitas, pengendalian diri, dan moral anak. Bermain telah memberikan berbagai manfaat secara rasional, namun hal ini belum disadari dan dipahami secara baik oleh beberapa guru/ fasilitator dan

orang tua dalam melaksanakan praktik pendidikan dan pembelajaran. Miskonsepsi tersebut dimanifestasikan dalam bentuk tertulis, lisan, maupun praktik. Salah satu contoh yang sering dijumpai beberapa redaksi yang mendiskreditkan kegiatan

bermain, misalnya: “cepat belajar sana, jangan hanya bermain.”

atau “bermain terus dan hasil belajar kamu juga jelek.” atau

bahkan “baju kamu kotor/ noda karena bermain terus”, dsb.

Ketiga redaksi yang terungkap dari sekian banyak redaksi yang mendiskreditkan kegiatan bermain merupakan cerminan kecil dari banyak kasus yang terjadi di luar, hal ini menjelaskan konotasi orang tentang bermain masih sangat sempit dan terbatas. Untuk menetralisir dan menekan epidemis diskriminasi tersebut, harus dilakukan upaya pencerahan dan penjelasan kepada masyarakat (guru dan orang tua) tentang pentingnya kegiatan bermain bagi anak. Paling tidak orang-orang yang telah terlebih dahulu paham tentang manfaat kegiatan bermain harus dapat memberikan eksplanasi dangan rasionalisasi yang komprehensif

terhadap pihak-pihak yang membutuhkan atau bahkan

mendiskreditkan kegiatan bermain. Sehingga kegiatan bermain juga mendapatkan atensi serius dari stakeholder pada aspek pertumbuhan dan perkembangan anak.

Pada kesempatan ini dielaborasi sepuluh manfaat dari permainan kecil adalah sebagai berikut:

1. Sarana menyalurkan energi

Kata energi menjelaskan bagaimana kekuatan atau semangat dalam sebuah kegiatan. Pertanyaannya, bagaimana melalui bermain anak dapat menyalurkan energinya secara

positif? Banyak orang tua yang karena “keegoisannya”

memaksakan anak untuk mengikuti kehendaknya dengan mengkooptasi kebebasan anak dalam memiliki hobi/ kegiatan

bermainnya. Anak mulai terjebak pada hal-hal negatif yang merusak pertumbuhan dan perkembangannya dengan merokok, mabuk, narkotika, dan seks bebas karena hobinya tidak disalurkan secara baik. Energi yang lebih pada diri anak harus disalurkan secara baik dan tepat pula untuk kepentingan anak itu sendiri, misalnya untuk meningkatkan kinerja, perkembangan, dan kesehatannya. Anak yang memiliki energi lebih, dapat memilih kegiatan bermain sebagai media untuk menyalurkannya.

Teori bermain yang dikemukan oleh Herbert Spencer

(surplus energy), menjelaskan bahwa anak bermain karena

telah memiliki energi lebih sehingga perlu disalurkan melalui kegiatan bermain seperti berlari, melompat, berguling, dsb. Salah satu legenda tinju dunia yang familiar dengan sebutan

“si leher beton” dialah Mike Gerard Tyson. Pria kelahiran

Brooklyn ini mampu menyalurkan energi lebih secara baik

dalam kegiatan bermain “adu jotosnya”. Sejak terlibat dalam

olahraga tinju, karirnya melesat begitu cepat, setiap petinju

yang berjumpa denganya harus mampu menahan “arogansi”

energi yang dilontarkan melalui pukulan-pukulan andalan

yang mematikan (hook dan upper-cut). Meskipun purnabakti

dengan penuh kontroversi, namun Tyson memberikan pelajaran penting bahwa ketika energi disalurkan secara tepat dan positif dapat meningkatkan kinerja dalam olahraga profesional.

2. Melatih dan meningkatkan kebugaran jasmani

Kebugaran jasmani sangat penting bagi siapapun dan apapun profesinya dalam menjalani rutinitas atau kegiatan sebagai bentuk konkrit dari makluk hidup (bergerak). Kebugaran jasmani yang bagus mengantarkan individu pada

tuntutan kerja yang optimal, meskipun aktif selama seharian namun tidak memiliki kelelahan yang berarti. John F. Kennedy (Nurhasan, 2011:12) mengemukakan bahwa:

“Physical fitness is not only one of the most important keys to

a healthy body, it is the basic dynamic and creative

intellectual activities”. Pernyataan tersebut menegaskan

bahwa kebugaran jasmani merupakan salah satu bagian penting sebagai kunci kesehatan tubuh, sebagai dasar kegiatan yang dinamis, kreatif, dan cerdas.

Seperti penjelasan di atas, maka sejak dini anak sudah harus dibiasakan dan diberdayakan fisiologis tubuhnya

dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk

meningkatkan kebugaran jasmaninya, misalnya dengan kegiatan bermain. Meskipun kegiatan bermain dilakukan pada waktu-waktu tertentu, namun dapat didesain untuk melatih kebugaran anak. Permainan benteng dapat dipilih untuk melatihnya dengan memperpanjang waktu permainan sehingga anak optimal dalam mengkombinasikan berbagai

latihan, misalnya dengan lari sprint ketika mendapatkan

kejaran dari regu lawan. Selain itu, guru/ fasilitator dapat

memberikan bentuk sanksi misalnya dengan push-up atau

pull-up, namun perlu digaris bawahi bahwa bentuk ini hanya akan terjadi atas kesepakatan bersama antara guru dan siswa serta eksplanasi yang detail akan manfaat dari kegiatan tersebut (hukuman). Agar tidak menjadi beban psikologis anak dan anak melakukannya secara sukarela dan gembira untuk menjaga esensi dan makna dari kegiatan bermain.

3. Melatih dan mengembangkan motoreducability

Motor educability adalah kemampuan dasar anak untuk mempelajari dan mengembangkan suatu keterampilan gerak

baru. Motor educability merupakan kemampuan potensial yang menunjukkan cepat tidaknya atau mudah tidaknya anak menguasai suatu keterampilan gerak yang baru dalam kegiatan tertentu. Dengan kata lain semakin tinggi tingkat motor educability anak, maka semakin mudah dan cepat anak

menguasai keterampilan gerak baru tersebut. Motor

educability dapat dijadikan acuan untuk mengukur

kemampuan anak dalam mempelajari keterampilan gerak yang baru, sehingga kedudukannya dalam kerangka pembelajaran dan permainan penting untuk kepentingan mengidentifikasi dan mengklasifikasi kemampuan gerak anak.

Pembelajaran dan pelatihan harus memberikan

kesempatan kepada anak untuk mengakuisisi keterampilan gerak dasar dengan berbagai latihan fisik, permainan, dan banyak kegiatan yang membutuhkan keterampilan motorik sehingga dapat mengembangkan keterampilan gerak baru

(Hardy, et al., 2009:1; Karkare, 2015:162). Keterampilan

gerak baru pada anak harus dimulai dengan tingkat berpikir dan adanya kebiasaan yang secara berkelanjutan dalam menekuni kegiatan tersebut. Artinya anak mulai berpikir secara kritis dan kreatif tentang kebiasaan kegiatan bermain yang dilakukannya dengan demikian akan menimbulkan kencenderungan terbentuknya gerak baru. Raudsepp & Pall (2006:426) mengatakan umumnya keterampilan gerak dasar dan kebiasaan gerak berhubungan dengan perdiode masa kecil dan remaja. Kebiasaan bermain dapat melatih dan

mengembangkan motor educability anak, untuk itu guru/

fasilitator dalam menyajikan kegiatan bermain harus disesuaikan dengan perkembangan gerak berdasarkan periode

usia, sehingga tidak menimbulkan “cidera” melainkan mengafirmasi pengembangan gerak baru anak-anak dalam kegiatan bermainnya.

4. Sarana pengembangan olahraga prestasi

Olahraga prestasi bukanlah sesuatu hal yang dicapai dengan cara yang instan atau praktis, melainkan proses panjang yang telah dilakoni setiap individu untuk mencapainya, baik itu melalui latihan fisik, teknik, taktik, maupun mental yang dilakukan secara berkelanjutan. Jika untuk mencapai olahraga prestasi butuh persiapan yang panjang, maka pertanyaannya bagaimana dengan bermain olahraga prestasi dapat terecapai? Sejauh ini, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mampu menginvestasi sumber daya manusianya untuk terlibat diberbagai kegiatan olahraga, misalnya di nomor atletik sebut saja Edwardus Nabunome, Teresiana Riwu Rohi, Anthon Fallo, Oliva Sadi, Meri Paijo, dan Afriana Paijo yang berhasil mengukir namanya dalam lembaran sejarah keolahragaan Indonesia, baik skala regional, sampai pada internasional yang dimulai dengan kebiasaan bermain secara tradisional (yaitu berjalan dan berlari) sebagai cermin kebudayaan selain penanganan pelatihan secara ilmiah oleh pelatih.

Selain nama-nama di atas, di tahun 2013 dalam kejuaraan olimpiade olahraga siswa nasional (O2SN) yang berlangsung di Samarinda-Kalimantan Timur, NTT berhasil merebut medali emas pada nomor lempar lembing atas nama Kornelis K. Kambora (15 tahun) dan Marlina Kalli (14 tahun) peraih medali perunggu. Jika ditelaah prestasi kedua anak ini juga memiliki tingkat konformitas yang tinggi dengan kebudayaan bermainnya (melempar). Artinya kegiatan

bermain sejak dini yang dilakukan oleh kedua anak tersebut yaitu melemparkan kayu pada saat menunggang kuda yang sudah menjadi warisan budaya masyarakat setempat (pasola) dapat membentuk kebiasaan motoriknya untuk kepentingan olahraga prestasi. Hal ini senada dengan hasil analisis Lumba

(2010:378) dalam disertasinya bahwa karakteristik

kebudayaan (kegiatan bermain) dapat dikristalisasi menjadi olahraga moderen, dan juga memberikan efikasi bahwa berdampak pada olahraga prestasi.

Gambar 3.1

Afriana Paijo juara 1 nomor lari 1500 dan 3000 meter dalam kejuaraan PPLM dan UKM nasional tahun 2013 di Surabaya

5. Melatih dan meningkatkan interaksi sosial-emosional

Pribadi yang introsver sangat mempengaruhi interaksi sosial, anak-anak pemalu, pendiam, misterius, egois, dan sensitif. Tentu pribadi-pribadi demikian tidak diharapkan oleh bangsa ini, sebagai bangsa yang besar, majemuk, dan

Fo to _M . Ra m b u P . W a sa k_U K A W _2 0 1 3

plural kita harus mengembangkan dan menginvestasi anak- anak dengan pribadi-pribadi yang ekstrover, sehingga lebih optimal dengan interaksi sosialnya. Salah satu manfaat dari bermain adalah untuk mengembangkan interaksi sosial anak secara berkelanjutan, bentuk interaksi tersebut tampak dalam permainan beregu. Ketika ingin mencapai keberhasilan, sudah tentu sebagai regu maka syarat mutlak adalah dengan membangun komunikasi yang efektif dengan menentukan tugas dan tanggung jawab setiap anggotanya dalam regu.

Tugas dan tanggung jawab mengantarkan anak pada peran-peran yang hendak dimainkan dalam permainan. Misalnya, dalam permainan sepakbola, dibutuhkan penjaga

gawang, bek, gelandang, striker, dsb. Setiap pemain saling

membutuhkan dan bengantung satu dengan yang lainnya, maka pastinya dalam sebuah regu, partisipasi anggota lain

berpengaruh langsung terhadap keberhasilan. Dapat

dibayangkan bagaimana jika sebuah regu sepakbola tidak memiliki penjaga gawang? Atau pun tidak memiliki seorang striker? Apakah dengan disproporsi tersebut, regu dapat tampil optimal? Keadaan emosional jelas mempengaruhi proses interaksi. Tingkatan yang berbeda dari perasaan negatif termasuk kegelisahan, ancaman, stres, ketakutan, mengganggu interaksi. Untuk itu, seyogianya perasaan sukacita, menyenangkan, harapan, dan tawa mengubah suasana hati dan mempengaruhi interaksi untuk kinerja yang optimal (Crane, 2002:136). Dengan demikian, saling menghargai, membentuk kultur yang positif, terbuka terhadap kritikan/ masukan yang konstruktif, dan menunjukkan sikap altruistis akan melatih dan meningkatkan interaksi sosial- emosional anak.

6. Melatih dan meningkatkan disiplin dan pengendalian diri

Disiplin adalah ketaatan individu pada aturan-aturan yang telah tetapkan sebagai panduan atas kesepakatan bersama. Anak dalam kegiatan bermain, tentu ada peraturan permainan yang disepakati bersama yang sifatnya mengikat selama permainan berlangsung dan aturan tersebut yang kemudian akan melatih disiplin dan pengendalian diri pada

anak. Misalnya dalam permainan “gala ase” anak akan

berusaha untuk melewati hadangan regu penjaga, namun untuk melakukannya (melewati hadangan) pastikan salah satu

anggota tubuhnya tidak terkena sentuhan “hangus” dan ketika

terkena sentuhan/ hangus maka terjadi pergantian bebas. Jika anak yang disiplin dirinya sudah terbentuk secara baik, maka akan bermanfaat untuk kepentingan lanjutan dalam prospek kinerja dan karirnya, seperti yang dijelaskan Aritonang (2005:14), Maharani & Rahmawati (2010:201), Harlie (2010:122), dan Suswardji, dkk. (2012:977) bahwa disiplin tinggi berpengaruh terhadap kualitas dan kinerja individu.

Tidak hanya soal disiplin diri, namun anak dapat melatih pengendalian dirinya secara baik. Pada saat bermain, anak akan belajar untuk bagaimana mengendalikan perasaan, pikiran, dan tingkah lakunya. Selain itu, stabilitas emosional (mengendalikan perasaan cemas, marah, dan mengakhiri permainan) dan yang tidak kalah penting adalah atlet sportif atas hasil yang dicapainya dalam bermain. Selanjutnya Maksum (Maksum, 2011:57-58) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa 10 atlet yang memiliki prestasi internasional mewarisi kepribadian swakendali dari enam kepribadian lainnya (ambisi prestatif, kerja keras, gigih, komitmen, mandiri, dan cerdas).

7. Melatih dan meningkatkan kepercayaan diri

Masalah krusial yang sering dijumpai dalam setiap kegiatan belajar, berlatih, berkompetisi ataupun sejenisnya yang sifatnya berkaitan dengan kinerja/ tampilan adalah kepercayaan diri dan tidak sedikit pula individu yang gagal karena masalah psikologis ini. Masalah kepercayaan diri begitu penting ketika individu dihadapkan pada situasi sebenarnya (bukan latihan, percobaan, dsb.). Pada saat dalam setuasi tersebut, maka mental dan kepercayaan dirinya anak sangat dituntut untuk pengembangan kinerja. Martin dan Gill; Vealey; serta Weinberg dan Jackson (Stokes, 1998:17) mengungkapkan bahwa dalam olahraga, percaya diri telah dilihat sebagai aspek penting dalam mencapai hasil kinerja.

Sumber yang paling kuat dari rasa percaya diri adalah

penguasaan keterampilan. Allen dan Howe (Tzetzis, et al.,

2008:371-372) menunjukkan bahwa kepercayaan diri ditentukan oleh umpan balik dan umpan balik korektif positif meningkatkan kepercayaan diri anak. Pada saat anak bermain, guru/ fasilitator dapat memberikan dukungan dan afirmasi dengan umpan balik (korektif atau kritik) yang akan membantu anak meningkatkan keterampilan dan kinerjanya dengan kepercayaan diri yang tinggi. Bentuk konkrit atas umpan balik tersebut adalah dengan anak bermain peran, misalnya sebagai wasit, pemain, dsb. Pada saat anak bermain peran, guru/ fasilitator secara langsung dapat memberikan

umpan balik. Umpan balik dapat berupa pemberian reward

(hadiah), reward tersebut dapat dimanifestasikan dalam

bentuk pemberian jempol, tepuk tangan, tepuk pundak, gestur, secara auditorialis, dsb untuk meningkatkan kepercayaan diri anak pada saat permainan berlangsung.

8. Melatih dan meningkatkan kepemimpinan yang transformatif

Sejauh ini dalam persepsi yang terbatas, kepemimpinan selalu dikonotasikan dengan menduduki satu jabatan struktural dalam sebuah organisasi. Alhasil, banyak orang rela mengorbankan berbagai hal yang bersifat materialistik

untuk mencapai “kepemimpinan” tersebut (jabatan) dengan mencederai norma dan etika yang berlaku secara vertikal maupun horisontal. Sejak dilahirkan sampai dengan saat ini, kita semua sebernarnya telah dinobatkan menjadi pemimpin atas diri sendiri, namun hal ini tidak disadari secara baik sehingga tingkat kepuasan orang, selalu dikonkritkan jika berhasil memiliki pengikutnya/ bawahannya. Pertanyaanya, apakah memang seorang dikatakan sebagai pemimpin jika memiliki jabatan?

Buku dengan judul: “The chairlesss leader” karya

Willbur Stanley (2008:2) menjelaskan bahwa: “Siapa pun dan

dilevel mana pun dapat belajar untuk menjadi pemimpin dan membantu untuk membentuk atau mempengaruhi dunia

disekitar mereka.” Jika dicermati dan disederhanakan, maka pemimpin adalah orang yang dapat memberikan transformasi (perubahan). Kegiatan bermain pun sebagai salah satu level dalam melatih anak menjadi pemimpin. Selama permainan, anak dapat membuat keputusan, menunjukkan integritas, mengutamakan hasil konsensus, menerima masukan yang secara langsung atau pun tidak, serta dapat mempengaruhi anggota lain dalam regunya sehingga menunjukkan kinerja positif. Dengan demikian, sebenarnya melalui permainan anak telah menjadi pemimpin yang baik atas dirinya dan orang lain disekitarnya.

9. Melatih dan meningkatkan keterampilan berpikir kritis

Keterampilan berpikir kritis sangat penting karena memungkinkan anak untuk menangani secara efektif masalah sosial, masalah ilmiah, dan masalah praktis (Shakirova, 2007:42). Selain manfaat-manfaat yang telah dideskripsikan sebelumnya (psikomotor dan afektif), maka manfaat lainnya yang merupakan suatu paket yang integral dari kegiatan bermain adalah kognitif. Kritis dalam berpikir selalu mendapatkan bagian penting dalam situasi yang melibatkan paritisipasi anak untuk mencapai tujuan. Anak yang kritis akan membangun kerangka berpikir yang logis, fokus, dan komprehensif dalam memecahkan setiap permasalahan yang

dihadapinya salah satunya adalah dengan kegiatan

bermainnya.

Penelitian Sunaryo (2014:41) telah memberikan efikasi bahwa sikap anak untuk memecahkan masalah dapat meningkatkan keterampilan berpkir kritis. Untuk mencari kesenangan dengan menyelamatkan teman, menghanguskan lawan, maupun memenangkan permainan tentu diawali dengan proses berpikir. Eskalasi motorik anak terbentuk ketika anak berpikir secara kritis tentang pentingnya kegiatan motorik bagi dirinya. Permainan mission imposible misalnya,

anak berusaha memecahkan masalah dalam hal

membebaskan tawanan dengan penjagaan yang ketat, maka missioner harus fokus untuk mengelabui penjaga dengan berbagai analisis-analisis yang dibangun secara logis dan komprehensif. Dengan demikian, kontribusi bermain untuk melatih dan meningkatkan keterampilan berpikir kritis dapat tercapai yang selanjutnya ditransfer anak dalam lingkup yang lebih luas, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, dan

sekolah. Facione, Sendag, dan Odabasi (Kalelioglu & Gulbahar, 2014:248) menjelaskan berpikir kritis merupakan masalah penting dalam pengaturan pendidikan untuk berpartisipasi secara efektif dalam suatu masyarakat demokratis dengan sejumlah keterampilan dalam hal pengambilan keputusan di tempat kerja, kepemimpinan, penilaian klinis yang mempengaruhi keberhasilan profesional secara langsung.

10. Melatih dan meningkatkan keterampilan berpikir kreatif

Berpikir kreatif berasal dari otak kanan yang menekankan pada eksplorasi gagasan, adanya kemungkinan atau alternatif, dan mencari banyak variasi jawaban yang tepat. bersifat asosiatif, menyebar, subjektif, dan visualis (Emanuel & Challons-Lipton, 2012:2). Selain melatih anak untuk berpikir logis, guru/ fasilitator juga harus melatih keterampilan berpikir kreatif dengan kegiatan bermain yang tentunya dengan tingkat pemahaman yang baik dari guru/ fasilitator tentang berpikir kreatif itu sendiri. Keterampilan berpikir ini (kreatif) jarang disentuh dalam kehidupan sehari- hari, salah satunya dalam kegiatan bermain. Apakah hal ini menjelaskan bahwa memang guru/ fasilitator belum memiliki referensi yang akuntabel berkaitan dengan keterampilan berpikir tersebut? Ataukah kegiatan bermain memang belum

menjadi atensi serius dalam menumbuhkembangkan

keterampilan berpikir kreatif pada anak?

Untuk meningkatkan keterampilan berpikir kreatif anak, dalam kegiatan bermain guru/ fasilitator dapat mendesain bentuk-bentuk permainan yang abstrak dan variatif, sehingga mendorong anak untuk berpikir secara

fasilitator cukup menjelaskan secara abstrak terkait dengan media, cara bermain, dan peraturan permainan dalam permainan tersebut, selanjutnya berikan kesempatan kepada anak untuk mengembangkan sendiri gagasan-gagasannya

untuk memperlancar permainan tersebut. Menerima

masukan/ perubahan, fleksibilitas, rasa ingin tahu yang tinggi, menikmati tantangan, optimisme dalam mencari solusi, menerima kegagalan sebagai sarana belajar, menginterpretasikan masalah sebagai peluang, kesediaan untuk menantang asumsi, membangun gagasan dengan berbagai solusi, dan ketekunan merupakan ciri-ciri dari pemikir yang kreatif. Selain itu, pengajuan masalah menurut Siswono (2005:1) dalam jurnal ilmiahnya telah dapat meningkatkan keterampilan berpikir kreatif anak dan Supardi (2010:248) menyimpulkan terdapat pengaruh positif berpikir kreatif terhadap hasil belajar anak.

Dalam dokumen PERMAINAN KECIL TEORI DAN APLIKASI (Halaman 80-93)

Dokumen terkait