• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.7. Biaya dan Manfaat Kebijakan Harga Pangan

2.7.1. Biaya Stabilisasi Harga Pangan

Kebijakan harga pangan dapat berupa kebijakan harga output, kebijakan impor pangan dan kebijakan subsidi input. Menurut Sadoulet dan de Janvry (1995) kebijakan tersebut merupakan alat utama intervensi pemerintah untuk meningkatkan kontribusi pertanian terhadap pembangunan ekonomi atau meningkatkan kesejahteraan rumah tangga petani. Namun kebijakan yang menyebabkan distorsi tersebut menjadi perdebatan berbagai grup kepentingan yang mewakili produsen, konsumen, pemerintah, kompetitor internasional dan ahli lingkungan. Berdasarkan

analisis keseimbangan parsial, kebijakan tersebut menimbulkan inefisiensi jika dibandingkan dengan kondisi pasar persaingan sempurna sebagai patokan. Berikut diuraikan dampak berbagai kebijakan.terhadap kesejahteraan.

Kebijakan subsidi produsen menjamin harga produsen Pp di atas harga yang dibayar konsumen Pc yang sama dengan harga batas Pb1 (Gambar 1). Kebijakan ini meningkatkan kesejahteraan produsen (∆PS=1+2), tidak memberikan dampak terhadap kesejahteraan konsumen (∆CS=0). Untuk kebijakan tersebut pemerintah mengeluarkan biaya (∆B=−1−2−3), sehingga secara keseluruhan menimbulkan inefisiensi (Net Social Gain=NSG= - 3).

P Pp 1 2 3 Pb=Pc 0 Q Gambar 1. Dampak Subsidi Produsen terhadap Kesejahteraan

Pada kebijakan subsidi konsumen, pemerintah menetapkan harga konsumen Pc di bawah harga jual produsen Pp yang sama dengan harga batas Pb (Gambar 2). Kebijakan ini tidak mempengaruhi kesejahteraan produsen (∆PS=0), konsumen diuntungkan (∆CS=1+2). Pemerintah menanggung biaya subsidi yang sangat besar (∆B=−1−2−3), sehingga menimbulkan inefisiensi (Net Social Gain = - 3).

1 Pb=e.Ps, dimana e adalah nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan Ps harga dunia dalam mata

P Pb 1 2 3 Pc 0 Q Gambar 2. Dampak Subsidi Konsumen terhadap Kesejahteraan

Jika pemerintah mensubsidi input produksi, petani akan menjadi akses pada teknologi dan dampaknya menggeser kurva penawaran ke kanan dari S1 ke S2 (Gambar 3). Akibatnya produksi meningkat dan harga turun. Konsumen dan produsen memperoleh manfaat masing-masing ∆CS =1+2 dan ∆PS =4-1, sehingga dampak penggunaan teknologi memberikan manfaat positif (NSG=2+4). Manfaat keseluruhan merupakan selisih antara manfaat akibat perubahan teknologi dengan biaya akibat subsidi input.

P S1 S2 P1 1 2 P2 3 4 0 Q Gambar 3. Dampak Perubahan Teknologi terhadap Kesejahteraan

Kebijakan untuk mencapai ketahanan pangan yang lebih mandiri dilakukan dengan mengenakan tarif impor produk pangan (Gambar 4). Produsen memperoleh manfaat (∆PS =1), namun konsumen dikenai pajak (∆CS=-1-2-3-4). Pemerintah memperoleh manfaat (∆B=3) dari penerimaan tarif impor. Secara keseluruhan pengaruh redistributif dari konsumen ke produsen dan Pemerintah menimbulkan kerugian (NSG= -2 -4). P P 1 2 3 4 tarif Pb 0 Q Gambar 4. Dampak Tarif Impor terhadap Kesejahteraan

Menurut Amang dan Sawit (2001) manajemen stok yang merupakan inti dari kebijakan harga pangan memerlukan biaya. Biaya tersebut meliputi biaya pengadaan, eksploitasi1 dan manajemen2 (Tabel 8). Demikian juga dengan program OPK membutuhkan biaya yang terdiri dari subsidi langsung, biaya operasional, biaya tidak langsung dan biaya insentif. Biaya tidak langsung adalah biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk mengangkut beras dari titik distribusi ke tempat masing-masing. Biaya insentif adalah subsidi kurs untuk impor beras yang dilakukan Bulog (Tabel 9).

1 meliputi biaya penanganan, transportasi, penyimpanan dan distribusi. 2 meliputi biaya administrasi dan penelitian.

Tabel 8. Biaya Stabilisasi Harga Beras yang Dikeluarkan Bulog, Tahun 1996/1997

Rincian Biaya Persentase (%)

1. Eksploitasi 2. Manajemen 3. Susut Komoditas

4. Bunga bank termasuk administrasi

27.37 17.31 4.89 50.43 Total Total (Rp juta) 100.00 1 136 069

Sumber: Amang dan Sawit (2001)

Tabel 9. Biaya Program Operasi Pasar Khusus Periode Agustus 1998-Agustus 1999

Rincian Biaya Nilai (Rp Milyar)

1. Subsidi beras 2. Biaya operasional 3. Biaya tidak langsung 4. Biaya insentif 2 400 267 63 628 Total 3 358

Sumber: Tabor dan Sawit (1999) dalam Amang dan Sawit (2001)

Jika biaya manajemen stok relatif tinggi bukan berarti fungsi tersebut dihilangkan, melainkan perlu dilakukan perbaikan manajemen untuk meningkatkan efisiensi. Karena pada prinsipnya manajemen stok yang dilakukan dengan baik dapat memberikan manfaat secara langsung (mikro) maupun tidak langsung (makro).

Menurut Suparmin (2005), beberapa hal yang mempengaruhi biaya manajemen stok beras Bulog adalah: (1) jumlah stok yang besar dapat membantu kegiatan distribusi sekaligus untuk stabilisasi harga, namun merupakan beban jika disimpan terlalu lama karena biaya simpan menjadi besar dan berakibat lebih lanjut pada penurunan pembelian Bulog sehingga harga gabah menurun akibat kelebihan penawaran di pasar, (2) pembelian gabah petani oleh Sub Dolog melalui pedagang

besar akan lebih efisien dibandingkan membeli langsung ke petani, namun hal itu menyebabkan stabilitas harga gabah yang diterima petani menurun, (3) negosiasi antara Bulog dan Menteri Keuangan dalam menentukan subsidi kepada Bulog membutuhkan biaya transaksi yang harus dibebankan pada biaya manajemen stok, (4) jual beli delivery order merupakan modus penyelewengan yang dilakukan merupakan biaya dalam manajemen stok.

Jika dilakukan dengan efisien dan tanpa penyelewengan, secara teori selain memberikan manfaat positif melalui efek pengganda, upaya manajemen stok secara langsung juga akan meningkatkan kesejahteraan (Ellis, 1992). Gambar 5 menunjukkan jika terjadi goncangan penawaran, perpotongan kurva penawaran (tidak diperlihatkan) dengan kurva permintaan berkisar diantara A dan B. Dengan kebijakan manajemen stok, harga akan distabilkan di tengah dua titik tersebut.

P D P2 A Pe a b P1 c d e f B g h D 0 Q2 Qe Q1 Q

Gambar 5. Dampak Kesejahteraan Kebijakan Stabilisasi Harga Ketika terjadi Perubahan Penawaran

Secara total, efek kebijakan tersebut diuraikan sebagai berikut:

1. Jika penawaran mengalami defisit sehingga produksi turun dari Qe ke Q2 menyebabkan harga naik dari Pe ke P2. Melalui kebijakan manajemen stok, dilakukan penjualan stok ke pasar sehingga harga tetap di Pe. Dampak kebijakan ini adalah:

a. ∆CS =a + b b. ∆PS=- a

c. Pendapatan penjualan stok = d + g

2. Jika terjadi kelebihan penawaran sehingga produksi naik dari Qe ke Q1 menyebabkan harga turun dari Pe ke P1. Melalui kebijakan manajemen stok, dilakukan penjualan stok ke pasar sehingga harga tetap di Pe. Otoritas melakukan pembelian kelebihan produksi untuk keperluan stok. Dampak kebijakan ini adalah:

a. ∆CS =- (c + d + e) b. ∆PS=c + d + e + f

c. Biaya Pembelian untuk stok = - (e + f + h)

3. Efek total dari kebijakan manajemen stok tersebut adalah:

a. Manfaat-Biaya manajemen stok saling meniadakan: d + g = e + f + h b. ∆CS = - d (sebab c + e = a + b)

c. ∆PS= d + e + f

d. Kesejahteraan total: e + f

Kesejahteraan tersebut akan diperoleh jika tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk gudang dan administrasi lain. Kenyataanya dibutuhkan biaya, selagi biaya tersebut lebih kecil atau sama dengan e + f kegiatan manajemen stok layak dilakukan.

Stabilisasi harga juga dilakukan oleh bank sentral di beberapa negara maju1 dengan kebijakan moneter. Kebijakan tersebut mendapat kritik dari beberapa ahli analisis kesejahteraan (manfaat-biaya) yang menyatakan biaya dalam mendukung stabilisasi harga lebih besar dibandingkan manfaatnya (Saxton, 1997). Lima kritikan terhadap kebijakan tersebut adalah:

1. Mandat stabilisasi harga sebagai tujuan utama kebijakan moneter hanya akan menghilangkan alat kebijakan ekonomi pemerintah yang mampu menstabilkan ekonomi makro. Dalam kondisi kebijakan fiskal dengan anggaran berimbang, defisit kebijakan fiskal tidak lagi dapat berperan untuk stabilisasi harga. Oleh karena itu kebijakan moneter harus menjaga fleksibilitasnya untuk dapat bertindak sebagai stabilisasi. Tanpa fleksibilitas ini, tidak satupun yang dapat menstabilkan ekonomi makro dari berbagai gangguan.

2. Target stabilitas harga yang ketat melalui kebijakan moneter adalah suboptimal jika penyesuaian pasar tenaga kerja tidak bekerja dalam menghadapi gangguan pengangguran dan upahnya tidak fleksibel. Dengan menurunnya kekakuan upah nominal, inflasi positif adalah penting untuk memicu penyesuaian pasar tenaga kerja terhadap gangguan pengangguran. Dengan demikian, biaya untuk menghapuskan inflasi lebih tinggi dibandingkan yang diduga karena pada tingkat inflasi rendah akan muncul trade-off permanen antara pengangguran dan inflasi; biaya pengangguran dalam menghapuskan inflasi meningkat jika inflasi mendekati nol. Artinya, stabilitas harga akan berakibat pada meningkatnya pengangguran.

3. Inflasi positif adalah penting agar kebijakan moneter dapat memicu kebijakan ekspansif dengan suku bunga rendah. Dengan tingkat inflasi positif, bank sentral dapat merespon gangguan permintaan agregat negatif dengan mengarahkan suku

bunga nominal jangka pendek di bawah inflasi yang diharapkan, sehingga dana bank sentral menjadi negatif dan memacu ekonomi. Dengan stabilisasi harga (inflasi nol) dan suku bunga nominal nol akan membatasi kemampuan bank sentral untuk menurunkan suku bunga riil dan memicu ekonomi. Jadi inflasi nol akan menjadi kendala bagi kebijakan moneter sehingga bank sentral tidak mempunyai kebebasan dan kemampuan untuk mendorong kebijakan ekspansif. Oleh karena itu stabilitas harga memiliki risiko, sedangkan inflasi positif membuat opsi kebijakan moneter lebih luas.

4. Ketika terjadi inflasi adalah lebih baik mentoleransi inflasi rendah dibandingkan mengeluarkan biaya untuk menurunkan inflasi sampai level nol. Analisis kesejahteraan menunjukkan bahwa menurunkan inflasi ke nol adalah tidak tepat jika tingkat inflasinya rendah, karena biayanya lebih besar dibandingkan manfaatnya. Namun mengevaluasi argumen ini sulit karena diperlukan penilaian yang tepat dengan pengukuran yang komprehensif dan akurat dari biaya dan manfaat yang ditimbulkan.

5. Tingkat inflasi yang sebenarnya tidak dapat diukur secara akurat dengan luasnya indeks harga seperti indeks harga konsemen. Terdapat bias indeks harga konsumen dalam pendugaan inflasi yaitu tingkat inflasi yang sebenarnya di bawah tingkat yang diukur. Bias ini berimplikasi bahwa indeks harga konsumen tidak dapat digunakan sebagai tujuan kebijakan yang berdaya guna. Konsekuensinya, stabilitas harga atau target inflasi tidak dapat bekerja sebagai suatu strategi untuk kebijakan moneter dan dalam prakteknya tidak dapat diterapkan. Pendugaan bias inflasi indeks harga konsumen adalah bervariasi, tetapi berkisar antara 0.5 persen sampai 2.0 persen per tahun.

Dari uraian di atas ternyata stabilitasi harga dilakukan baik oleh negara sedang berkembang maupun negara maju. Perbedaan perekonomian negara tersebut

berimplikasi perbedaan kebijakan yang diambil. Pada negara sedang berkembang dimana pangsa pengeluaran pangan lebih besar dari pangsa pengeluaran lainnya kebijakan harga pangan menjadi lebih penting dibandingkan pada negara maju yang lebih pada kebijakan target inflasi yang biasanya dilakukan melalui pengendalian penawaran uang dan tingkat suku bunga. Kedua upaya tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit sehingga banyak mendapat kritikan. Namun dengan alasan yang lebih jauh yaitu kestabilan sosial dan politik. Biaya tersebut tidak menjadi penghalang bagi negara-negara tertentu untuk melakukannnya.