• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Dawe (2002) di lingkup internasional studi tentang pengaruh ketidakstabilan harga dan program stabilisasi harga terhadap ekonomi makro kurang banyak mendapatkan perhatian ahli ekonomi. Beberapapaper kerja Waugh (1944), Oi (1961), Samuelson (1972) dan Newbery dan Stiglitz (1981) hanya beberapa halaman yang membahas arti penting skema stabilisasi harga untuk ekonomi makro.

Terbatasnya studi tersebut antara lain disebabkan pada negara-negara maju pembahasannya sudah tidak lagi ditingkat ekonomi mikro, seperti pengaruh harga pangan, tetapi sudah pada level lebih makro. Hal itu disebabkan karena pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran rumah tangga sudah relatif kecil sehingga dampaknya tidak nyata terhadap ekonomi makro. Kalaupun ada skema stabilisasi harga, dilakukan dengan manuver variabel-variabel makro, seperti dalam kebijakan target inflasi.

Berbeda dengan di negara maju, di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran rumah tangga masih relatif tinggi, sehingga harga pangan memberikan pengaruh relatif kuat terhadap tingkat inflasi umum di Indonesia dibandingkan produk lain (Ilham, 2003a). Menurut Simatupang (2002), subsektor tanaman pangan berkontribusi besar dalam PDB pertanian sehingga berpengaruh besar dalam stabilisasi ekonomi, yang berkaitan dengan pemantapan ketahanan pangan, pengendalian inflasi, dan stabilisasi PDB. Penelitian Timmer (1997) dalam Amang dan Sawit (2001) memperlihatkan bahwa harga pangan yang stabil mendukung pertumbuhan ekonomi di negara-negara Asia. Berdasarkan hal itu kebijakan harga pangan masih relevan untuk dikaji.

Pada periode 1970-1979 sumbangan bahan makanan dalam inflasi mencapai 57,47 persen dan menurun tajam menjadi 31.17 persen pada periode tahun 1990-1998. Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan pertanian dan kebijakan pendukungnya telah berhasil meredam peningkatan harga bahan pangan sehingga tidak lagi menjadi sumber penyebab utama inflasi seperti pada dekade 1960-an dan 1970-an (Simatupang, 2002). Namun demikian karena kuatnya hubungan harga beras terhadap komoditas lain, maka stabilisasi harga beras tetap menjadi bagian strategis dari stabilisasi ekonomi (PSE, 2003).

Saliem et al. (2004), menyimpulkan bahwa Harga Dasar Gabah (HDG) dan Harga Dasar Gabah Pembelian Pemerintah (HDPP) sebagai instrumen pokok kebijakan harga pangan masih efektif menopang stabilisasi harga jual gabah petani. Namun derajat efektivitasnya semakin menurun dengan melemahnya kontrol pemerintah terhadap pasar beras. Dimana pada saat pasar terisolasi (1995-1997) efektivitas HDG lebih tinggi dibandingkan saat pasar bebas (1998-1999) maupun saat pasar terkendali (2000-2003).

Kebijakan harga pangan disamping mencegah fluktuasi musiman, umumnya juga dimaksudkan untuk melindungi ekonomi domestik terhadap ketidakstabilan pasar internasional. Liberalisasi tidak menjamin adanya stabilitas yang dapat menguntungkan negara yang lemah. Lebih-lebih pasar beras yang merupakan residual market, thin market dan bersifat oligopoly (Widodo, 2003).

Menurut Kasryno, et al. (2001) ada empat dampak ketidakstabilan ekonomi beras pada perekonomian nasional. Pertama, apabila produksi beras tidak dapat dipulihkan maka impor beras akan meningkat. Karena Indonesia sebagai negara besar, peningkatan impor beras di atas 10 persen konsumsi beras akan berpengaruh pada harga beras di pasar dunia. Kedua, penurunan laju pertumbuhan produktivitas disertai dengan peningkatan intensitas penggunaan input berarti keuntungan riil usahatani padi cenderung menurun yang berarti pendapatan dan kesejahteraan petani menurun. Ketiga, perlambatan peningkatan produksi padi dan pendapatan petani berdampak negatif terhadap perekonomian desa maupun pengentasan kemiskinan, karena usahatani padi merupakan basis ekonomi bagi sebagian besar penduduk desa di Indonesia. Keempat, ketahanan pangan merupakan prakondisi bagi pembangunan desa, ketahanan pangan yang rentan akan berdampak buruk terhadap perekonomian makro maupun stabilitas sosial-politik nasional.

Menurut Gunawan (1991), ketatnya pengaturan harga pangan di Indonesia menyebabkan berkurangnya ketidakstabilan ekonomi makro. Hal yang sama terjadi di beberapa negara, seperti yang disitir maupun yang dihasilkan dari studi Kannapiran (2000), menunjukkan skim stabilitas harga komoditas dapat mengurangi instabilitas ekonomi makro, tetapi pada beberapa hasil penelitian ada yang menciptakan sedikit fluktuasi, khususnya pada balance of payment dan stabilitas moneter. Hal itu disebabkan kebijakan stabilitas harga tidak memberikan kontribusi yang baik terhadap manajemen ekonomi makro.

Dengan menggunakan indikator RMSE, menurut Suparmin (2005) stabilitas harga gabah di tingkat petani dalam rezim Pasar Terbuka Terkendali (2000-2003) relatif lebih lebih stabil dibandingkan dalam rezim Orde Baru (1975-1998) maupun dalam rezim Pasar Bebas (1998-1999). Sementara itu tingkat stabilitas harga beras di tingkat konsumen dalam rezim Orde Baru relatif lebih stabil dibandingkan dalam pasar Terbuka Terkendali dan rezim Pasar Bebas. Berarti kebijakan stabilisasi harga selama ini lebih difokuskan pada upaya menjaga stabilitas harga beras di tingkat konsumen sebagai instrumen untuk mengendalikan laju inflasi. Jika Rezim Orde Baru mewakili kebijakan harga pangan yang intensif dibandingkan rezim Terbuka Terkendali dan Rezim Pasar Bebas maka dapat dikatakan juga bahwa kebijakan harga pangan, dalam hal ini OPM, mampu meningkatkan stabilitas inflasi.

Untuk melihat efektivitas kebijakan pemerintah terhadap stabilitas harga gabah dan harga beras konsumen, Suparmin (2005) menggunakan pendekatan integrasi vertikal antar pasar dengan model kointegrasi dan vector error correction. Jika terjadi integrasi antar pasar maka kebijakan harga yang dilakukan efektif, demikian juga sebaliknya. Hasil analisis menyimpulkan bahwa stabilisasi harga gabah/beras efektif hanya pada rezim Orba, keefektifan ini lebih disebabkan oleh peran dan campur tangan penguasa saat itu.

Sugiyono (2005) dengan sistem persamaan simultan mengintegrasikan blok ekonomi beras, ekonomi makro dan politik. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor ekonomi beras mempengaruhi faktor ekonomi makro dan sebaliknya. Namun Faktor politik tidak mempengaruhi faktor ekonomi beras dan faktor ekonomi makro, demikian sebaliknya. Hasil penting yang berkaitan dengan penelitian ini adalah laju inflasi dipengaruhi oleh harga riil beras eceran. Dalam jangka pendek laju inflasi responsif terhadap Variabel harga riil beras eceran dengan nilai elastisitas 6.34. Ini membuktikan bahwa laju inflasi dipengaruhi oleh harga riil beras eceran sesuai pendapat Rahardjo (1993) dan Mulyana (1998).

Hasil analisis simulasi yang dilakukan Sugiyono (2005) menunjukkan bahwa: (1) peningkatan harga dasar gabah lebih menguntungkan petani padi, konsumen beras tetap diuntungkan (ketahanan pangan meningkat), dan stabilitas ekonomi makro terjaga (pertumbuhan ekonomi meningkat, pengangguran berkurang dan inflasi mengalami penurunan), serta partai politik dan pemerintah diuntungkan karena faktor politik (ketahanan nasional) mengalami penguatan, (2) peningkatan subsidi pupuk berdampak positif meningkatkan penggunaan pupuk, produktivitas padi, produksi dan penawaran beras, pendapatan usahatani dan konsumsi beras, serta berdampak positif terhadap stabilitas ekonomi makro dan stabilitas politik.

Dari uraian tentang studi-studi terdahulu, khususnya yang dilakukan di Indonesia, lingkup kajian terfokus pada keterkaitan harga gabah/beras dan inflasi, harga gabah/beras dan ketahanan pangan, kebijakan harga gabah/beras dan ketahanan pangan, inflasi dan pertumbuhan ekonomi serta kebijakan harga gabah/beras dan stabilitas ekonomi makro. Sementara itu studi ini lebih merupakan tahapan lebih jauh dan lebih komprehensif dari setudi sebelumnya. Hal itu disebabkan: (1) kajian ini melakukan kajian awal tentang perilaku pangsa pengeluaran pangan penduduk

sebagai dasar perlunya dilakukan kajian tentang keterkaitan kebijakan harga pangan terhadap ketahanan pangan dan stabilitas ekonomi makro, (2) tidak lagi menganalisis harga pangan yang sudah dilakukan peneliti sebelumnya, tetapi mengkaji kebijakan harga pangan yang menentukan stabilitas harga pangan itu sendiri, (3) pangan yang dianalisis tidak hanya beras, tetapi termasuk beberapa bahan pangan yang relevan dengan sasaran komoditas dari kebijakan harga pangan.

Selama ini banyak statemen yang menyatakan bahwa pentingnya stabilisasi harga pangan karena pengaruhnya sangat signifikan terhadap stablitas ekonomi makro, terutama inflasi dan ketahanan pangan yang secara luas akan mempengaruhi pembangunan nasional. Pernyataan-pernyataan tersebut lebih didasarkan pada pengalaman empiris sejak tahun 1945 hingga krisis ekonomi tahun 1998.

Penelitian empiris tentang hal itu masih belum banyak dilakukan. Kalaupun ada terbatas pada pengaruh harga beras terhadap inflasi. Bedasarkan hal tersebut maka penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan, sehingga pengalaman-pengalaman empiris yang selama ini terjadi dapat dikaji perilakunya untuk digunakan merancang kebijakan yang lebih efektif mencapai sasaran pembangunan yang diinginkan.