• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.1. Kerangka Teoritis

3.1.5. Keterkaitan Kebijakan Harga Pangan dan Indikator

Variabel ekonomi makro yang menjadi isu utama adalah pertumbuhan output, laju inflasi, pengangguran dan neraca pembayaran (Stiglitz, 1997; Dornbusch, Fisher dan Startz, 1998). Variabel ekonomi makro tersebut saling terkait melalui pasar

barang, pasar uang, pasar tenaga kerja dan pasar saham yang membentuk keseimbangan internal (macro equilibrium) dan keseimbangan eksternal.

Beberapa studi menunjukkan bahwa di Indonesia sebagian besar pendapatan masih digunakan untuk pangan, sehingga pengaruh perubahan harga pangan terhadap inflasi diduga cukup besar. Indikator ekonomi makro yang terkait langsung dengan kebijakan harga pangan adalah inflasi. Secara mikro inflasi dipengaruhi harga-harga komoditas. Tingkat inflasi akan mempengaruhi keseimbangan di pasar uang, pasar tenaga kerja, pasar barang, dan daya saing produk di pasar internasional yang akhirnya akan mempengaruhi keseimbangan makro.

Hubungannnya dengan keseimbangan eksternal, sukubunga akan mempengaruhi net capital inflow dan tingkat harga umum serta nilai tukar akan mempengaruhi balance of trade, dimana keduanya mempengaruhi BOP dengan formulasi sebagai berikut:

BOP = (X - M) + (CI – CO) (15)

BOP = [X(P, E) – M(P,Y,E)] – NCI(i – i*) (16)

dimana:

CI = Capital inflow; CO = Captal outflow

E = Nilai tukar ; P = Tingkat harga umum X = Ekspor; M = Impor

Y = Pendapatan domestik; NCI = Net capital inflow i = Suku bunga domestik; i* = Suku bunga foreign

Perubahan BOP akan mempengaruhi penawaran dolar di pasar valuta asing domestik. Pada kondisi surplus menyebabkan peningkatan penawaran dolar yang menyebabkan apresiasi rupiah terhadap dolar AS, sebaliknya pada kondisi defisit.

Jika terjadi kegagalan panen pada suatu negara dimana kontribusi pengeluaran pangan masyarakatnya lebih tinggi dari pengeluaran non pangan, akan memberikan efek pada ekonomi makro. Menurut Dawe (2002) pengaruh gangguan panen pada

variabel ekonomi makro dapat terjadi pada tiga kondisi, yaitu: (1) tidak ada intervensi pemerintah dan ekonomi tertutup; (2) ada intervensi pemerintah berupa kebijakan buffer stock dan perekonomian tertutup dan (3) pada perekonomian terbuka. Berikut akan diuraikan transmisi gangguan panen pada berbagai kondisi tersebut terhadap keseimbangan ekonomi makro.

a. Tanpa Intervensi Pemerintah

Jika harga pangan utama berubah akibat hasil panen yang baik atau buruk, pengeluaran untuk pangan utama juga akan berubah sepanjang elastisitas harga tidak elastis. Jika terjadi gagal panen, harga pangan cenderung akan meningkat. Akibatnya pengeluaran untuk pangan juga meningkat, sehingga jumlah uang untuk pembelanjaan non pangan berkurang dan menggeser kurva permintaan non pangan. Sebaliknya, jika pengeluaran untuk pangan menurun karena penen berhasil.

Dengan mengasumsikan hanya terdapat dua sektor dalam ekonomi, pangan dan non pangan, jika terjadi kegagalan panen, harga pangan akan meningkat dari P0P dan P1P. Ini berimplikasi pengeluaran untuk pangan meningkat dan akan berimbas ke sektor non pangan berupa penurunan harga dan inflasi akan meningkat (Gambar 10). Sebaliknya, jika ada kenaikan produksi pangan. Dengan demikian, fluktuasi panen akan menyebabkan instabilitas, baik bagi konsumen beras dan petani padi maupun produsen manufaktur.

Jika konsumen mempunyai akses ke bank maka kelebihan uang saat harga pangan rendah akan ditabung ke bank untuk membeli ketika harga pangan tinggi. Jika demikian konsumsi barang manufaktur akan kurang dipengaruhi oleh fluktuasi panen. Jumlah tabungan akan mempengaruhi tingkat suku bunga bank. Terjadi sebaliknya jika panen mengalami kegagalan. Perubahan suku bunga akan mempengaruhi produsen pada sektor manufaktur. Pengaruh tersebut dapat

dihilangkan jika bank memiliki akses dengan level biaya transaksi lebih rendah pada pasar modal internasional yang stabil. Namun demikian, pasar modal internasional tidak selalu stabil.

S1P S0P S0NP PP PNP P1P P0NP P0P P1NP D0P D1NP D0NP 0 Q1P Q0P QP 0 Q1NP Q0NP QNP

Gambar 10. Pengaruh Gagal Panen terhadap Harga Pangan dan Harga Non Pangan (Sumber: Dawe, 2002)

Jika petani tidak akses ke bank, mereka mungkin akan menanam berbagai jenis tanaman untuk meminimalkan dampak dari kemungkinan cuaca buruk. Strategi ini akan meningkatkan kesejahteraan petani, tetapi menurunkan output rata-rata dengan mengurangi gain untuk melakukan spesialisasi. Bentuk lainnya adalah konsumen akan menyimpan uang atau emas untuk menghindari pengaruh ketidakstabilan harga. Akibatnya investasi produktif dalam ekonomi akan menderita.

Bagaimana keterkaitan dampak kegagalan panen tanpa intervensi pemerintah terhadap variabel ekonomi makro melalui variabel inflasi dapat dilihat pada Gambar 11 dan Gambar 12. Jika cuaca buruk menyebabkan produksi pertanian menurun, sehingga kurva produksi agregat (Gambar 11a) bergeser ke bawah dari KP0 (N; Ko; Co) ke KP1 (N; Ko; C1). Pada kondisi tenaga kerja dan kapital tertentu, produksi turun dari Y0 ke Y1. Dengan asumsi produk marginal tenaga kerja (MPL) menurun,

maka di pasar tenaga kerja permintaan terhadap tenaga kerja menurun sehingga kurva permintaan tenaga kerja (Gambar 11b) bergeser dari WD0 [P0.f0 (N)] menjadi WD1 [P0.f1 (N)]. Akibatnya N menurun dari N0 ke N2 dan menyebabkan Y turun bergerak sepanjang KP1 dari Y1 ke Y2. Pada harga P0 penurunan output dari Y0 ke Y2 menyebabkan kurva AS bergeser ke kiri atas dari AS0 ke AS1 (Gambar 12c). Akibatnya terjadi excess demand yang menyebabkan kenaikan harga dari P0 ke P3.

Pada model Keynessian informasi yang diterima pekerja tidak sempurna (p<1)- kenaikan harga tersebut direspon oleh pengusaha dengan meningkatkan permintaan tenaga kerja sehingga kurva WD1 bergeser ke kanan atas menjadi WD2 [P3.f1(N)]. Pada sisi lain pekerja juga merespon dengan menurunkan penawaran tenaga kerja sehingga kurva WS bergeser ke kiri atas dari WS0 [P0e.g(N)] ke WS1 [P3e.g(N)]. Akan tetapi pergeseran WS lebih kecil daripada pergeseran WD, sehingga N naik kembali dari N2 ke N3. Akibatnya Y naik kembali sepanjang kurva produksi yang baru (KP1) dari Y2 ke Y3 dan hal yang sama terjadi pada kurva AS bergerak sepanjang kurva dari Y2 ke Y3.

Di pasar uang, kenaikan harga dari P0 ke P3 menyebabkan kurva penawaran uang (Gambar 12a) bergeser ke kiri atas dari MS0/P0 ke MS0/P3 yang menyebabkan LM juga bergeser ke kiri atas dari LM0 ke LM2 (Gambar 12b) sehingga suku bunga naik dari r0 ke r2. Kenaikan r menyebabkan investasi menurun bergerak sepanjang kurva IS0, sehingga output turun dari Y0 ke Y3.

Secara keseluruhan keseimbangan makro baru terjadi pada tingkat output Y3 (turun dari Y0 ke Y3), harga P3 (naik dari P0 ke P3), suku bunga r2 (naik dari r0 ke r2) dan tenaga kerja N3 (turun dari N0 ke N3). Atau dengan perkataan lain kegagalan panen tanpa intervensi pemeritah pada perekonomian tertutup menyebabkan stagflasi yang diikuti dengan meningkatnya suku bunga.

Pengaruh terhadap tenaga kerja bisa berbeda, tercipta lapangan kerja, yaitu lebih besar dari N0. Ini terjadi jika kurva AD sangat tegak, sehingga kenaikan harga dari P0 ke P3 cukup besar menyebabkan permintaan tenaga kerja meningkat tajam hinga melebihi N0 (WD2 bergerak ke kanan WD0 pada Gambar 11b). Namun demikian Y tetap di bawah Y0, karena penurunan kurva produksi dari KP0 ke KP1.

Y KP0 Y0 Y1 KP1 Y3 Y2 0 N2 N3 N0 N (a) W WS0 WS1 W0 W1 WD2 WD0 WD1 0 N2 N3 N0 N (b)

Gambar 11 Dampak Kegagalan Panen terhadap Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja pada Perekonomian Tertutup

MS0/P3 r MS0/P0 r LM2 LM0 r2 r2 r0 r0 MD0 IS0 0 L2 L1 L 0 Y2 Y3 Y0 Y (a) (b) P AS1 AS0 P3 P0 AD0 0 Y2 Y3 Y0 Y (c)

Gambar 12. Dampak Kegagalan Panen terhadap Keseimbangan Makro pada Perekonomian Tertutup (Sumber: Branson, 1979)

b. Fungsi dari Buffer Stock

Dalam kasus gangguan suplai positif, kurva suplai beras bergeser ke kanan dari S0 ke S1, sehingga terjadi ekses suplai Q0Q2. Agar tidak terjadi penurunan harga dari P0 ke P1 dan untuk cadangaan, ekses tersebut perlu dikumpulkan sehingga kurva permintaan begeser ke kanan dari D0 ke D1 dengan harga tetap di P0 (Gambar 13).

P S0 S1 P0 P1 D0 D1 0 Q0 Q1 Q2 Q Gambar 13. Kebijakan Stok Pangan saat Produksi Melimpah

Pengumpulan bahan pangan tersebut membutuhkan dana. Di Indonesia digunakan dana Bank Indonesia (BI). Ada dua kebijakan berbeda yang mungkin dijalankan terhadap uang yang digunakan untuk menahan dan/atau mendistribusikan suplai pangan. Kemungkinan pertama, tidak ada “sterilisasi”. Pembelian excess supply menggunakan dana BI akan meningkatkan suplai uang dan level harga agregat

Kemungkinan kedua, BI melakukan sterilisasi ,dengan menjual Sertifikat Bank Indonesia, terhadap perubahan pada suplai uang yang digunakan untuk mengumpulkan dan/atau mendistribusikan suplai beras. Jika ini dilakukan berdasarkan satu untuk satu, hasilnya adalah sterilisasi sempurna. Dalam skenario ini, surplus panen tidak menyebabkan peningkatan suplai uang dan level harga agregat.

Pada kondisi pemerintah melakukan intervensi tanpa sterilisasi dan ekonomi dalam keadaan tertutup, ganguan panen secara langsung dapat mempengaruhi penawaran uang. Karena pemerintah melakukan intervensi membeli kelebihan suplai beras domestik untuk cadangan menggunakan dana KLBI. Ini berarti BI menambah penawaran uang ke pasar dan akan mempengaruhi keseimbangan di pasar uang.

Meningkatnya penawaran uang pada tingkat harga tetap, akan menyebabkan kurva penawaran MS/P bergeser ke kanan dari MS0/P0 ke MS1/P0 (Gambar 14a). Pada tingkat harga yang sama akan menyebabkan ekses penawaran uang. Kelebihan uang ini akan meningkatkan permintaan terhadap Bond. Pada penawaran Bond tetap maka harga Bond meningkat. Untuk memperoleh imbal hasil yang sama maka suku bunga Bond harus menurun.

Begesernya MS/P ke kanan yang diikuti dengan menurunnya r dari r0 ke r1 menyebabkan kurva LM juga bergeser ke kanan dari LM0 ke LM1 dan investasi meningkat melalui pergerakan sepanjang kurva IS0 sehingga output meningkat dari Y0 ke Y1 (Gambar 14b). Kenaikan output pada harga tetap di P0 menyebabkan kurva AD bergeser ke kanan dari AD0 ke AD1 yang menyebabkan ekses permintaan. Ekses permintaan ini meningkatkan harga dari P0 ke P1 (Gambar 14c). Kenaikan P dari P0 ke P1 menggeser keseimbangan di pasar uang sehingga MS1/P0 bergeser ke kiri atas menjadi MS1/P1. Hal ini menyebabkan kurva LM1 bergeser ke kiri atas menjadi LM2. Pergeseran ini menaikkan suku bunga yang menyebabkan investasi berkurang, sehingga output turun dari Y1 ke Y2 dan terjadi keseimbangan.

Di pasar tenaga kerja, kenaikan harga dari P0 ke P1 menyebabkan pengusaha meningkatkan produksi sehingga butuh tenaga kerja lebih banyak yang ditunjukkan oleh bergesernya kurva WD ke kanan atas dari WD0 ke WD1. Dengan menggunakan asumsi Keynessian (p<1), peningkatan permintaan tenaga kerja tersebut direspon oleh tenaga kerja dengan menawarkan tenaga kerja lebih rendah yang

ditunjukkan oleh bergesernya kurwa WS ke kiri atas, namun pergeserannya lebih kecil dari pergeseran WD (Gambar 15b). Keseimbangan makro baru terjadi pada tingkat output Y2, harga P1, suku bunga r2 dan tenaga kerja N2. Intervensi pemeritah dengan adanya kelebihan produksi tanpa sterilisasi pada perekonomian tertutup menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh meningkatnya inflasi, penurunan suku bunga, dan meningkatnya kesempatan kerja.

MS0/P0 MS1/P1 LM0 r MS1/P0 r LM2 LM1 r0 r0 r2 r2 r1 r1 MD0 IS0 0 L0 L2 L1 L 0 Y0 Y2 Y1 Y (a) (b) P AS0 P1 P0 AD1 AD0 0 Y0 Y2 Y1 Y (c)

Gambar 14. Dampak Kebijakan Buffer Stock terhadap Keseimbangan Makro pada Perekonomian Tertutup

Y Y2 Y0 KP0 0 N0 N2 N (a) W WS1 WS0 W2 W0 WD0 WD1 0 N0 N2 N (b)

Gambar 15. Dampak Kebijakan Buffer Stock terhadap Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja pada Perekonomian Tertutup

c. Stabilisasi Harga Pangan pada Ekonomi Terbuka

Jika pasar pangan internasional besar dan stabil, setiap perubahan pada produksi domestik dapat dikompensasi ke dalam pasar internasional, sehingga pasar domestik akan secara otomatis terstabilisasikan. Argumen ini sangat logis tetapi asumsi yang mendasari logika ini tidak benar. Dalam hal padi/beras, pasar internasional yang besar dan stabil tidak ada (Gambar 16).

P S0 S1 P S1 S0 P0 P1 D0 D1 0 Q 0 Q (a) (b)

Gambar 16. Hubungan Gangguan Produksi Pangan Domestik dengan Pasar Internasional

Jika terjadi gangguan suplai positif (Gambar 16a) kurva penawaran bergeser ke kanan dari S0 ke S1, sehingga terjadi kelebihan suplai. Jika kelebihan suplai tersebut diekspor kurva suplai S1 kembali lagi ke S0. Demikian juga jika terjadi gangguan negatif (Gambar 16b) kurva penawaran akan bergeser ke kiri dari S0 ke S1, sehingga terjadi kekurangan suplai. Jika kekurangan suplai tersebut dipenuhi dari impor, maka kurva penawaran S1 kembali lagi ke S0 . Kedua upaya tersebut menyebabkan harga akan menjadi stabil.

Namun dalam prakteknya, struktur pasar beras dunia sangat berbeda dengan struktur pasar pangan lainnya. Bentuk yang paling membedakan adalah sangat kecil produksi beras dunia yang masuk ke dalam pasar internasional (thin market).

Menurut Amang dan Sawit (2001) beras yang dipasarkan di pasar dunia hanya 4-7 persen dari total produksi beras dunia yaitu sebesar 15 juta ton. Jika Indonesia menggantungkan impor 10 persen saja dari kebutuhan domestik atau tiga juta ton, berarti akan menyerap 20 persen dari volume beras dunia yang diperdagangkan.

Volume beras yang diperdagangkan tersebut dikuasai oleh enam negara eskportir penting yaitu Thailand, Vietnam, Cina, AS, Pakistan dan India. Selain itu, permintaan dan penawaran pasar beras internasional adalah tidak elastis merespon perubahan harga. Karena produsen di Asia memberikan prioritas tinggi pada stabilitas suplai domestik, termasuk mengadakan stok untuk cadangan. Jika demikian, negara importir yang kekurangan pangan tidak mudah mendapatkan beras dari pasar dunia, karena produsen mengutamakan untuk stok dan akan megekspor cadangan berasnya jika memiliki produksi baru, sehingga jumlahnya terbatas dan harganya relatif lebih mahal.

Bentuk pasar beras internasional yang kecil dan penawaran serta permintaan yang tidak elastis menyebabkan harga menjadi tidak stabil. Menurut Amang dan Sawit (2001), selama periode 1965-1995, koefisien variasi harga beras di pasar dunia adalah 33 persen dibandingkan koefisien variasi harga beras di pasar domestik hanya delapan persen. Artinya harga beras domestik empat kali lebih stabil dibandingkan harga beras di pasar dunia. Dengan demikian, harga beras domestik akan sangat tidak stabil jika pemerintah mengijinkan perdagangan bebas tanpa batasan untuk beras.

Ketidakstabilan harga beras akan diterjemahkan menjadi ketidakstabilan untuk komoditas non pangan yang akan memberikan pengaruh pada investasi dan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian pengendalian penawaran domestik dalam bentuk stok penyangga, pengendalian impor dan peningkatan teknologi diperlukan untuk mencegah ketidakstabilan harga beras domestik.

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa gangguan panen atau panen raya dapat mempengaruhi kondisi ekonomi makro melalui berbagai jalur, di antaranya melalui inflasi, suku bunga bank, pertumbuhan ekonomi, investasi, kurva produksi agregat, dan penawaran uang. Untuk mengantisipasi dampak gangguan panen atau panen raya terhadap stabilitas ekonomi makro pemerintah melakukan kebijakan harga pangan.

Tujuan utama kebijakan harga pangan adalah untuk meningkatkan ketersedian dan konsumsi pangan yang berkaitan dengan aspek ketahanan pangan. Kebijakan harga pangan juga diharapkan mampu meredam instabilitas ekonomi makro akibat adanya gangguan panen atau panen raya. Namun demikian kebijakan harga pangan yang menggunakan dana Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dan APBN yang tidak terkendali juga dapat menyebabkan instabilitas ekonomi. Karena KLBI yang bersumber dari Bank Indonesia merupakan dana segar sehingga jika dana kebijakan harga pangan dari KLBI meningkat berarti penawaran uang meningkat. Demikian juga peningakatan dana APBN akan meningkatkan permintaan agregat. Peningkatan penawaran uang dan permintaan agregat akibat dari kebijakan harga pangan akan memicu terjadinya inflasi. Dengan menggunakan model VECM penelitian ini akan melihat bagaimana dampak dan pengaruh kebijakan harga pangan terhadap stabilitas ekonomi makro.