• Tidak ada hasil yang ditemukan

6.4. Pengaruh Kebijakan Harga Pangan terhadap Ketahanan

6.4.2. Konsumsi Pangan

Pendugaan persamaan konsumsi pada awalnya menggunakan variabel yang sama dengan pendugaan ketersediaan pangan. Namun karena lingkup analisisnya bersifat mikro, yaitu tingkat konsumsi per kapita, maka variabel konsumsi energi dan protein serta produk domestik bruto yang digunakan merupakan konsumsi dan PDB per kapita. Selain itu dicoba juga menggunakan indeks harga konsumen (LIHK) sebagai proksi dari aksesibilitas ekonomi penduduk dan variabel harga minyak solar

(LRSOL) sebagai proksi aksesibilitas fisik. Dari berbagai respesifikasi yang dilakukan hanya model konsumsi energi yang memberikan hasil yang relatif baik, sedangkan untuk model konsumsi protein tidak. Berikut disajikan hasil pendugaan terbaik dari berbagai respesifikasi yang telah dilakukan (Tabel 22).

Hasil pendugaan menunjukkan bahwa kebijakan harga pangan berpengaruh positif terhadap konsumsi energi per hari per kapita penduduk Indonesia. Akan tetapi pengaruh kebijakan tersebut secara statistik tidak signifikan. Demikian pula halnya dengan produk PDB per kapita. Pengaruh yang signifikan terhadap konsumsi energi adalah tingkat inflasi, terutama dalam jangka panjang. Makin tinggi inflasi maka akses penduduk terhadap energi makin berkurang. Rinciannya dapat dilihat pada Lampiran 19.

Tabel 22. Hasil Pendugaan Pengaruh Kebijakan Harga Pangan terhadap Ketahanan Pangan (LEACK4)

Dependent variable: LEACK4

Periode pendugaan dari 1976 – 2004: 29 observasi Nilai koefisien jangka panjang:

Regressor Koefisien Standar Error T-Ratio [Prob]

LRIOPP 0.0014 0.0294 0.0486 [0.962]

LIHK -0.0937 0.0510 -1.8388 [0.078]

LPDBK 0.0100 0.1507 0.0663 [0.948]

A0 -0.2712 0.3300 -0.8217 [0.419]

Nilai koefisien jangka pendek

dLRIOPP 0.0092 0.0190 0.0484 [0.962]

dLIHK -0.0605 0.0423 -1.4283 [0.166]

dLPDBK 0.0064 0.0979 0.0659 [0.948]

dA0 -0.1749 0.2185 -0.8004 [0.431]

ecm(-1) -0.6451 0.2036 -3.1683 [0.004]

ecm = LEACK4 - 0.0014277*LRIOPP + 0.093738*LIHK -0.0099956*LPDBK + 0.27116*A0

R-Squared 0.33942 R-Bar-Squared 0.22933;

S.E. of Regression 0.050582 F-stat. F( 4, 24) 3.0830 [0.035] DW-statistic 2.0136

Temuan-temuan ini konsisten dengan fakta yang terjadi dan hasil penelitian Hermanto (2002) yang menyatakan bahwa gejolak harga pangan akan mempengaruhi inflasi sehingga berdampak negatif terhadap daya beli konsumen dan petani produsen (net consumer) sehingga menghambat rumah tangga tersebut untuk akses terhadap pangan yang dibutuhkan. Tingginya inflasi, seperti pada krisis ekonomi yang terjadi pada medio 1997, menyebabkan menurunnya konsumsi penduduk. Dampaknya pada tahun 2005 banyak ditemui kasus busung lapar di berbagai wilayah di Indonesia. Jadi walaupun PDB per kapita meningkat, jika distribusinya tidak merata tidak akan memberikan pengaruh signifikan bagi sebagian besar penduduk yang tidak akses pada aktivitas ekonomi.

Diduga masih banyak variabel-variabel yang sifatnya mikro yang menentukan tingkat konsumsi energi seseorang. Menurut Saliem et al, (2002), faktor-faktor tersebut adalah pendapatan rumah tangga, pendidikan kepala rumah tangga/isteri, dan jumlah anggota rumah tangga, pola asuh, dan budaya setempat. Penguasaan lahan petani diduga juga mempengaruhi kenapa kebijakan harga pangan tidak berpengaruh pada tingkat konsumsi energi dan protein. Seperti diutarakan pada teori garis anggaran di depan, dampak kebijakan harga pangan terhadap ketahanan pangan dapat melalui dua jalur. Pertama adanya rotasi garis anggran yang menyebabkan harga pangan menjadi relatif murah dan kedua melalui pergeseran garis anggaran kekanan yang menyebabkan daya beli makin meningkat.

Jika sebagian besar petani penguasaan lahannya semakin mengecil, bahkan hanya sebagai petani buruh (landless) maka kebijakan harga pangan yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat berpendapatan rendah seperti pada sebagian besar petani menjadi kurang berarti. Kebijakan yang dilakukan justru dinikmati petani pemilik lahan luas dan pemilik lahan yang bukan petani. Petani kecil

hanya menerima upah buruh atau bagi hasil yang kurang signifikan pengaruhnya terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga mereka.

Data pada Tabel 23 menunjukkan bahwa distribusi petani yang menguasai lahan kurang dari setengah hektar jumlahnya makin meningkat dari 44.5% pada tahun 1983 menjadi 51.5% dan 55.0% pada tahun 1993 dan tahun 2003. Penurunan jumlah penguasaan lahan tersebut dapat disebabkan makin terkonsentrasinya penguasaan lahan pada penduduk kelompok berpendapatan tingggi dan atau dapat juga disebabkan oleh makin mengecilnya penguasaan lahan akibat adanya budaya mewariskan lahan kepada anak. Faktor kedua ini terlihat pada Tabel 23 dengan semakin banyaknya jumlah rumah tangga petani dari waktu ke waktu selama 30 tahun terakhir. Masalah penguasaan lahan ini sebenarnya dapat dicegah dengan mengimplementasikan dan menyempurnakan Undang-undang Pokok Agraria Tahun 1960 yang hingga kini belum efektif dilakukan (Jajaki, 2005).

Tabel 23. Distribusi Rumah Tangga Pertanian Pengguna Lahan Menurut Golongan Luas Lahan yang Dikuasai, Tahun 1983, 1993, dan 2003

Luas Lahan Yang Dikuasasi Tahun

Satuan

< 0.5 Ha >= 0.5 Ha

Jumlah Rumah Tangga

1983 ribu unit 7 601 9 475 17 076 % 44.5 55.5 100.0 1993 ribu unit 10 908 10 253 21 161 % 51.5 48.5 100.0 2003 ribu unit 13 314 10 909 24 223 % 55.0 45.0 100.0

Sumber: Sensus Pertanian 1983, 1993, dan 2003 (BPS, 2004a, 1995, 1984)

6.5. Ringkasan Hasil

Kebijakan harga pangan selama ini mampu menyediakan kalori dan protein hingga melampaui anjuran dalam pedoman Pola Pangan Harapan. Akan tetapi ketersediaan tersebut belum diikuti oleh kualitas yang memadai, karena sebagian besar (64%) dipenuhi dari sumber nabati.

Kebijakan harga input-output, baik jangka pendek maupun jangka panjang, sangat mempengaruhi ketersediaan pangan (energi), namun ketersediaan pangan tidak responsif (inelastis) terhadap perubahan kebijakan harga input-output. Kebijakan harga output dalam jangka pendek mempengaruhi ketersediaan pangan, akan tetapi dalam jangka panjang pengaruhnya tidak signifikan, sedangkan kebijakan harga input, baik jangka pendek maupun jangka panjang, tidak berpengaruh terhadap ketersediaan pangan. Ketiga kebijakan tersebut masih difokuskan kepada penyediaan energi serta bias terhadap penyediaan protein.

Kebijakan harga input-output, baik jangka pendek maupun jangka panjang, tidak berpengaruh signifikan terhadap konsumsi energi dan konsumsi protein. Ini membuktikan bahwa ketersediaan pangan ditingkat nasional tidak menjamin akses pangan penduduk di tingkat rumah tangga. Selain itu kebijakan harga pangan cenderung dinikmati oleh rumah tangga petani berlahan luas dibandingkan rumah tangga petani yang menguasai lahan sempit. Temuan ini sejalan dengan hasil bab lima dengan menggunakan analisis dinamika pangsa pengeluaran pangan. PDB mempengaruhi ketersediaan energi namun tidak mempengaruhi konsumsi energi. Terhadap ketersediaan protein PDB hanya berpengaruh dalam jangka panjang, sedangkan terhadap konsumsi protein secara statistik tidak terkointegrasi.

Temuan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Saliem et al. (2001) di Lampung, D.I. Yogyakarta, Kalimantan Barat dan Sulawesi Utara yang membuktikan bahwa ketahanan pangan ditingkat provinsi cukup baik, namun di tingkat rumah tanggga kaarena masih terdapat 21-33 persen rumah tangga yang rawan pangan. Hal utama yang menyebabkan kasus tersebut adalah aspek pendapatan rumah tangga. Oleh karena itu kebijakan harga pangan yang dilakukan tidak hanya memperhatikan sisi produksi tetapi juga dari sisi pendapatan petani, terutama petani berpendapatan rendah.

VII. DAMPAK KEBIJAKAN HARGA PANGAN TERHADAP

STABILITAS EKONOMI MAKRO

Berdasarkan hasil pengujian awal variabel yang digunakan merupakan beda pertama (first difference), ordo lag optimum yang digunakan adalah tiga, dan rank kointegrasinya adalah dua. Dengan demikian dari sembilan persamaan dalam model ada dua persamaan yang dapat menjelaskan hubungan jangka panjang untuk menjelaskan keseluruhan fenomena yang tercakup dalam model yang dianalisis. Setelah dilakukan pengujian awal dilanjutkan dengan pendugaan model VECM yang akan digunakan untuk inovasi akuntansi dengan teknik IRF dan FEVD.