• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2. Faktor-faktor yang Menentukan Efektivitas Kebijakan Harga

2.2.1. Komoditas Gabah

Secara umum sasaran kebijakan pangan adalah: (1) meningkatkan produksi pangan untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, (2) meningkatkan pendapatan petani, (3) mengendalikan kecukupan pangan sehingga tersedia di seluruh wilayah, dalam waktu dan jumlah, serta dalam batas harga yang terjangkau masyarakat, dan (4) memperbaiki mutu produksi pangan. Efektivitas suatu kebijakan yang diukur dari keberhasilan pencapaian sasaran tersebut ditentukan oleh bagaimana proses pembuatan dan implementasi kebijakan dilaksanakan (PSE, 2003). .

Dalam kasus kebijakan harga beras, implementasi pengadaan melibatkan KUD, pedagang grosir, pengecer dan importir. Sementara itu implementasi

penyalurannya melibatkan koperasi pasar, pedagang grosir dan pengecer. Kegiatan pengadaan dan penyaluran tersebut sebagian besar menggunakan angkutan laut yang membutuhkan waktu cukup panjang sejak dari muat, perjalanan dan bongkar. Rangkaian tersebut melibatkan banyak lembaga sehingga berpeluang besar terjadi gangguan jadwal kegiatan. Menurut Moelyono (2002), kapasitas penyimpanan dan jaringan perhubungan laut merupakan faktor kendala yang berat untuk melakukan operasi pergerakan dan dislokasi stok yang efisien.

Menurut Kasryno et al. (2001) kebijakan harga pangan dan perdagangan internasional beras sejak pra swasembada beras sampai tahun 1996 kelihatan efektif karena disertai dengan kebijakan nilai tukar rupiah yang over value. Namun menjadi tidak efektif sejak diberlakukan deregulasi perdagangan beras. Kebijakan tarif impor yang tinggi juga menjadi tidak efektif karena memberi insentif bagi importir ilegal (Amang dan Sawit, 2001), sehingga efisiensi sistem usaha tani perlu ditingkatkan.

Menurut Suryana (2004b), pelaksanaan Inpres No. 9 tahun 2001 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan oleh berbagai instansi terkait cukup efektif. Namun dalam pelaksanaannya berupa penerapan tarif impor sebesar Rp 430 per kg dikatakan belum sepenuhnya efektif, tetapi telah mampu menjadi penghambat membanjirnya beras impor dan sekaligus menjadi katup pengaman penyediaan pangan saat pasokan dalam negeri berkurang, sehingga mengurangi tekanan munculnya lonjakan harga.

Pernyataan tersebut dapat diinterpretasikan bahwa proses pembuatan kebijakan berjalan sesuai yang diharapkan. Namun implementasinya mengalami masalah. Pada periode itu, bukti empiris menunjukkan pengendalian impor tidak efektif karena adanya beras selundupan yang harganya lebih murah dari harga beras domestik. Sementara itu, perangkat dan kelembagaan pengawas dengan kondisi geografis yang ada belum berjalan baik.

Keefektifan kebijakan harga pangan selain ditentukan oleh kegiatan pengadaan komoditas, juga ditentukan oleh kegiatan distribusinya. Menurut Suntoro (2004), adanya jembatan yang rusak, bencana alam, kerusuhan, pungutan liar dan lainnya, dampaknya sangat besar terhadap stok dan harga pangan di suatu wilayah, sehingga bisa mengakibatkan terjadi rawan pangan. Karena selain ditentukan daya beli, tingkat pendapatan, harga pangan, dan kelembagaan di tingkat lokal, proses distribusi pangan merupakan faktor penentu akses individu terhadap pangan (Rachman dan Ariani, 2002). Dengan demikian efektivitas kebijakan harga pangan tersebut tidak hanya melibatkan satu sektor, tetapi banyak sektor.

Untuk mengefektifkan kebijakan insentif ekonomi bagi petani pangan, pada tahun 2003 pemerintah menyiapkan subsidi pupuk sebesar 1.35 triliyun rupiah, subsidi benih 24 milyar rupiah dan subsidi bunga kredit ketahanan pangan sebesar 10 persen, kenaikan harga dasar pembelian pemerintah dari Rp 1500 per kg menjadi Rp 1700 per kg GKG di tingkat petani. Kebijakan tersebut didukung dengan kenaikan dan pengefektifan penerapan tarif impor beras dan pembelian gabah atau beras petani oleh pemerintah saat panen raya (Suryana, 2004b).

Keberhasilan kebijakan harga dasar gabah pembelian pemerintah, perlu memperhatikan hal-hal berikut: (1) pembelian dilakukan pada saat yang tepat, yaitu puncak panen raya, (2) volume gabah yang dibeli diperkirakan 10 persen dari produksi periode puncak panen raya, dan (3) menetapkan harga dasar gabah yang layak menjamin keuntungan usahatani, minimal 30 persen dari total pengeluaran. Harga yang tinggi menyebabkan biaya semakin mahal dan menuntut penerapan tarif impor yang tinggi. Dalam kondisi penegakan hukum yang lemah, penerapan tarif impor terlalu tinggi akan mendorong penyelundupan beras (Departemen Pertanian, 2002). Efektivitas penerapan harga dasar juga dipengaruhi oleh ketepatan jadwal pencairan dan fleksibilitas penggunaan dana (Amang dan Sawit, 2001).

Menurut PSE (2003), tingginya insiden harga jual gabah di bawah harga dasar gabah pembelian pemerintah (HDPP) selama periode Januari – Agustus 2003 disebabkan oleh beberapa alasan berikut: (1) volume panen dalam negeri sangat besar karena periode puncak panen raya, (2) harga beras internasional cenderung turun atau setidaknya tidak akan naik, (3) nilai rupiah stabil di bawah Rp 9 000 per US $, bahkan saat ini cenderung menguat pada tingkat di bawah Rp 8 500 per US $, sehingga harga paritas impor beras menjadi lebih murah lagi, (4) paket kebijakan HDPP mengalami diskontruksi, terutama berkaitan dengan penetapan tarif dan tataniaga impor beras, dan (5) pengadaan gabah dalam negeri oleh Bulog belum sepenuhnya efektif dalam menjaga stabilisasi harga gabah petani, karena pembelian gabah melalui kontraktor pengadaan tidak menjamin sepenuhnya kontraktor tersebut membeli gabah di sentra produksi padi dan sesuai degan HDPP.

Efektivitas kebijakan bantuan pangan dapat juga dipengaruhi oleh pendekatan yang digunakan. PSE (2003), melaporkan setidaknya ada tiga pendekatan yang dipakai untuk membantu pangan bagi masyarakat, yaitu bantuan pangan secara umum (broad food targeting), secara sempit (narrow food targeting), dan langsung kepada sasaran (self-food targeting). Pendekatan bantuan pangan secara umum dilakukan dengan memberi subsidi pangan untuk komoditas yang banyak dikonsumsi masyarakat seperti beras. Pemerintah melepas stok saat harga melewati harga tertinggi untuk menghambat kenaikan harga beras di pasar dan mengontrol volume impor guna menstabilkan harga beras dalam negeri dari pengaruh gejolak harga beras di luar negeri. Kebijakan ini dinikmati semua kelompok baik miskin maupun kaya.

Pendekatan bantuan secara sempit adalah subsidi pangan secara langsung diberikan kepada kelompok sasaran. Kelompok sasaran ditentukan berdasarkan daerah dimana umumnya mereka berada, seperti daerah kekeringan. Setiap kelompok

sasaran diikutkan dalam kelompok kerja misalnya memperbaiki saluran irigasi yang diberikan upah berupa beras. Dengan cara ini dua manfaat yang diterima, yaitu peningkatan pendapatan riil pekerja dan perbaikan infrastruktur yang berdampak positif pada kegiatan produksi dan pemasaran pertanian. Kelemahannya sering tidak tepat dalam menentukan kelompok sasaran.

Pendekatan bantuan pangan langsung dengan cara memberikan subsidi pada komoditas pangan yang banyak dikonsumsi oleh kelompok miskin kekurangan pangan, seperti program raskin menggunakan beras kualitas medium. Cara ini tidak dinikmati kelompok menengah dan kaya, karena mereka tidak biasa mengkonsumsi pangan yang dikonsumsi kelompok miskin. Cara ini lebih efektif karena mencapai sasaran, murah dan kebocorannya relatif kecil. Selain pendekatannya, bentuk bantuannya juga menentukan efektivitas kebijakan. Kelemahan dan kelebihan bantuan dalam bentuk tunai dan natura (Tabel 5).

Tabel 5. Kekuatan dan Kelemahan Subsidi Pangan Melalui Uang Tunai dan Natura

Keterangan Uang Tunai Natura

1. Distorsi dalam produksi Melalui mekanisme pasar Terdistorsi 2. Distorsi dalam

konsumsi Melalui mekanisme pasar Terdistorsi 3. Mendorong konsumsi

komoditas pangan tertentu

Tidak akan terjadi Akan terjadi 4. Mendorng konsumsi

anggota RT: wanita dan anak-anak

Belum tentu, bisa

diselewengkan Lebih mengena sasaran 5. Pembayar pajak Kurang menerimanya Lebih menerima 6. Dampak kenaikan harga Merosot nilainya Stabil nilainya 7. Menentukan kelompok

sasaran

Lebih sulit dan sering bocor ke luar sasaran

Lebih mudah, bisa dikontrol masyarakat 8. Keinginan secara politis Kurang disenangi Lebih disenangi